INICIAR SESIÓNPelayan itu terus membenturkan kepalanya ke lantai dengan keras, hingga darah mulai menetes dari dahinya. "Ampuni saya, Tuan. Saya menyesal!"
“Cukup!” seru Tuan Dirgantara, tapi pelayan itu tetap berlutut, tubuhnya gemetar memohon ampunan. Dengan tangan berlumur darah dari dahinya, pelayan itu merangkak ke arah Kanaya dan berusaha memegang ujung roknya. “Nona Kanaya, tolong saya ... saya tidak sengaja ... saya hanya—” suaranya tersendat, matanya memohon tapi ada sesuatu di matanya. Kanaya menatap pelayan itu dengan wajah tidak percaya. Suaranya terdengar kecewa. “Kenapa kamu melakukan ini? Apa kamu tidak tahu kalau Kak Elena bisa dihukum karena perbuatan yang tidak dia lakukan?” Pelayan itu masih memohon, tubuhnya bersujud di lantai, “Nona tapi bukankah Nona kemarin—” “Cukup!” potong Kanaya cepat, matanya membulat dan pandangannya langsung beralih ke ayahnya, Adipati Dirgantara. “Ayah,” kata Kanaya, suaranya memelas, “pelayan ini memang bersalah. Tapi bisakah hukumannya diringankan? Aku tahu dia hanya terbawa emosi. Mungkin dia marah karena mengira Kak Elena akan melukaiku. Tolong, Ayah, ringankan hukumannya.” Elena yang berdiri di belakang mereka hanya menatap pemandangan itu dengan senyum tipis. Tuan Dirgantara terdiam, menatap wajah lembut putrinya yang penuh air mata, hatinya yang keras perlahan luluh. Sebagai seorang ayah, dia sulit menolak permohonan Kanaya. Melihat itu, Rangga segera ikut bicara, “Ayah, ini pertama kalinya Kanaya meminta sesuatu saat datang ke kediaman ini. Aku rasa tidak ada salahnya menuruti permintaannya.” Ringga pun mengangguk menimpali, “Benar, Ayah. Lagipula pelayan itu sudah mengaku dan menyesal.” Suasana jadi seolah berpihak pada Kanaya. Semua terlihat mendukung gadis itu. Tapi tawa kecil tiba-tiba terdengar. Semua kepala menoleh ke arah Elena. Rangga menatap tajam. “Apa yang kau tertawakan, Elena?” Elena menggeleng pelan, masih dengan tawa mecil di wajahnya. “Aku hanya merasa lucu,” katanya datar. “Beberapa menit yang lalu, kalian semua begitu semangat ingin menghukumku bahkan tanpa bukti. Tapi sekarang, ketika pelakunya sudah jelas, kalian justru memohon agar hukumannya diringankan hanya karena yang memintanya Kanaya.” Rangga membuka mulut, tapi Elena lebih dulu melanjutkan. “Bagaimana kalau yang bersalah itu aku? Apa kalian juga akan memohon agar hukumanku diringankan?” tanyanya tersenyum sinis. Tak ada jawaban, semua orang terdiam, tak berani menatap Elena. Elena tersenyum kecil lagi, kali ini suaranya penuh pilu, “Ternyata posisiku di rumah ini bahkan lebih rendah dari seorang pelayan. Setidaknya dia masih diperlakukan seperti manusia.” Kata-kata itu menampar keras wajah mereka masing-masing. Tuan Dirgantara memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang. Saat menatap Elena lagi, ada gurat marah dan juga rasa bersalah di matanya. “Cukup, Elena. Kau sudah bicara terlalu jauh.” “Terlalu jauh?” Elena mengulang dengan nada datar. “Tidak, Tuan Adipati. Saya hanya bicara sesuai kenyataan.” Tuan Dirgantara menoleh ke arah Kanaya, nada suaranya lebih lembut. “Maafkan Ayah, Kanaya. Tapi kau tahu ini bukan hanya tentang belas kasihan. Nama baik keluarga akan dipertanyakan kalau kita tidak memberi hukuman.” Kanaya hanya menunduk, air matanya jatuh pelan, namun ia tidak berkata apa-apa. Akhirnya, suara tegas sang Adipati menggema di ruangan. “Pengawal!” Dua orang prajurit segera menunduk hormat menunggu perintah. “Bawa pelayan ini ke penjara bawah tanah. Cambuk seratus kali, tanpa ampun.” Pelayan itu menjerit keras, “Tuan! Nona Kanaya! Tolong saya! Ampuni saya!” Tapi prajurit tak bergeming, mereka menyeretnya keluar tanpa belas kasihan. Tangisan dan teriakan pelayan itu perlahan menjauh. Kini semua orang terdiam, masih tidak percay. Elena menatap ke arah pintu, lalu berkata, “Akhirnya, keadilan bisa ditegakkan juga.” Elena menunduk hormat. “Kalau begitu, saya pamit. Saya harus bereskan barang-barang saya di paviliun Selatan.” Tanpa menunggu izin, Elena berbalik dan melangkah keluar, diikuti oleh Cani yang bergegas mengejarnya. Begitu keluar dari paviliun, Cani menarik napas lega. “Syukurlah, Nona, Anda tidak dihukum. Tapi, sejak kapan Anda memasang batu spiritual itu?” Elena menatap lurus ke depan, bibirnya melengkung samar. “Sudah. Tidak perlu dipikirkan, Cani.” Cani menatap bingung. “Tapi Nona bagaimana Anda bisa tahu akan ada yang mencoba menjebak?” Elena hanya menoleh lalu tersenyum tipis.Di dalam paviliun Selatan. Elena duduk di tepi ranjang, sementara Cani berdiri di depannya dengan wajah cemberut dan tangan yang bekerja cepat mengoleskan krim herbal ke lengan Elena yang memerah.Cani terus menggerutu tanpa berhenti.“Mereka benar-benar jahat, nona. Apa hati mereka sudah jadi batu? Saya benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana bisa Kanaya meracuni pikiran mereka semua sampai seperti itu.”Elena menghela napas panjang, lelah, lalu menatap Cani dengan senyum menggoda.“Sudahlah, Cani. Kau akan cepat tua kalau marah-marah seperti itu.”Cani langsung mempout bibirnya, wajahnya penuh protes. “Nona! Saya serius ini!”Elena tidak bisa menahan tawa kecil. Ia meraih tangan Cani dan menggenggamnya lembut.“Aku tahu kau serius. Tapi kau tidak perlu membuang energimu hanya untuk mereka.”Bibirnya melengkung sinis kecil. “Lagipula, kenapa kau mengoleskan krim ini padaku? Aku bisa menyembuhkannya pakai elemen cahaya. Sembuh dalam sekejap.”Cani buru-buru menatap Elena, lalu memuk
Elena akhirnya tidak tahan lagi. Suara yang sejak tadi ditahan meledak begitu saja.“Hentikan!”Teriakan itu membuat Rangga dan Ringga refleks berhenti. Elena menyentakkan tangannya dengan kekuatan penuh. Cekalan kasar itu terlepas, meninggalkan bekas kemerahan di kulitnya.Elena menatap mereka berdua dengan tatapan tajam, penuh luka, dan penuh kemarahan yang selama ini ia pendam.“Aku tidak melarikan diri,” suaranya pecah tapi tegas. “Karena aku tidak bersalah.”Rangga hendak membalas, tapi Elena lebih dulu melanjutkan, suara yang keluar kini bukan sekadar marah melainkan pilu yang menohok. “Kalian .…” Elena menarik napas gemetar, “kedua kakakku yang dulu selalu melindungi dan menyayangiku sejak kecil. Kita tinggal bersama selama belasan tahun. Apa kalian tidak mengenalku sedikit pun?”Air matanya mengalir setetes. Dingin salju yang turun tak bisa mengalahkan dinginnya kata-katanya. “Sedangkan Kanaya … orang yang baru tinggal bersama kita beberapa bulan … kalian langsung percaya pa
Setelah makan bersama di kedai. Elena baru saja melangkah melewati gerbang taman bunga ketika suara lembut tapi terkejut memanggilnya.“Elena … kau sudah bebas?”Nyonya Andini berdiri di bawah naungan pohon plum, wajahnya pucat dan matanya membesar melihat Elena benar-benar ada di hadapannya. Wanita paruh baya itu tampak seperti baru saja kehilangan kekuatan untuk berdiri.Elena tersenyum tipis, senyum yang tidak lagi hangat seperti dulu. “Tentu saja nyonya. Aku sudah berada di depan Anda sekarang.” Elena menatap langsung ke mata wanita itu. “Atau … apa nyonya Andini berharap aku tetap berada di penjara?”Nyonya Andini cepat-cepat menggeleng. “Bukan seperti itu … bukan, Nak .…”Suara itu pecah, air mata mulai memenuhi pelupuk matanya. Bagaimanapun, dialah yang menggendong Elena sejak bayi, yang menimang, menyuapi, mengajari berjalan. Dan sekarang, dia merasa seperti seseorang yang telah menusuk anaknya sendiri.Cani di sisi Elena menunduk, tak berani menatap siapapun.Nyonya Andini me
Elena melangkah keluar dari aula Kekaisaran Solaria dengan napas lega. Udara luar terasa jauh lebih ringan daripada atmosfer penuh intrik di dalam sana. Cani yang berjalan di sampingnya langsung memekik kecil sambil tersenyum lebar."Nona! Syukurlah nona tidak apa-apa. Saya benar-benar takut tadi."Elena tersenyum tipis lalu menepuk punggung tangan Cani dengan lembut."Terima kasih, Cani. Tanpa kau semua mungkin akan berjalan berbeda."Cani menggeleng cepat, wajahnya memerah bangga. "Saya hanya melakukan kewajiban saya."Elena lalu menoleh pada pemuda di sisi kirinya Caspian, dengan tatapan tajam namun hangat yang selalu membuat orang lain susah menebak isi pikirannya."Dan kau, terima kasih. Kalau bukan karena bantuanmu, aku tidak akan selamat dari tuduhan itu."Caspian tersenyum tipis, senyuman khasnya yang jarang muncul. Ia mengangkat tangan dan tanpa ragu mengusap kepala Elena pelan."Aku sudah bilang aku tidak akan pernah membiarkanmu terluka."Wajah Elena seketika memerah. "K–ka
Aula utama Kekaisaran Solaria mendadak bergemuruh begitu Nina, gadis yang baru saja diseret prajurit, berteriak histeris. Kaisar Noah berdiri sedikit dari singgasananya, ekspresinya tajam namun tidak terburu-buru. Beliau menatap Elena.Kaisar Noah berkata dengan suara berat.“Nona Elena, apa maksudnya semua ini?” Elena melangkah maju. Wajahnya tampak tenang, tapi sorot matanya dingin.“Yang Mulia, beberapa waktu lalu mantan pelayan pribadi Kanaya ini dihukum cambuk dan diusir dari kediaman Adipati Dirgantara, karena ketahuan menggelapkan uang bulanan saya selama berbulan-bulan.” Bisik-bisik langsung pecah di antara para bangsawan. Sebagian terperanjat, sebagian lagi saling bertukar pandang, mencoba mengingat rumor-rumor lama.Rano Kusuma terkejut, ia menatap Nina dengan raut wajah sesuatu dan tentu Elena menangkap perubahan berbeda itu. Adipati Dirgantara mengerutkan kening. Ia lalu menoleh pada pemimpin pembunuh bayaran itu dan berkata dengan suara menggelegar. “Kau! Katakan yang
Semua orang mengangguk setuju mendengar perkataan Kanaya. Suasana aula menjadi bising, penuh bisikan dan kecurigaan.Rano Kusuma tiba-tiba berdiri. Dia menunduk hormat pada Kaisar Noah. “Maaf menyela pembicaraan Yang Mulia.”Aula langsung sunyi. Semua kepala menoleh. Sebagai Penegak Hukum Kekaisaran, ucapannya punya bobot besar.Kaisar Noah mengangguk pelan. “Katakan.”Rano Kusuma menoleh pada semua orang, kemudian tatapannya mengarah pada Elena.“Apa yang dikatakan Nona Kanaya ada benarnya nuga,” ucapnya lantang. “Kita semua melihat sendiri siapa yang membawa para pembunuh bayaran itu ke depan aula persidangan kekaisaran ini, pelayan Nona Elena dan Tuan Muda Caspian. Apa ini bisa dibilang sebuah kebetulan? Tidak mungkin bukan.”Ucapan dari pria berperut buncit itu benar-benar masuk akal. Dalam hati, Rami tersenyum licik. Ia tak akan melepaskan Elena, apalagi gadis itu sudah mempermalukan dirinya dan jga putri kesayangannya itu. Beberapa pejabat mulai berbisik lagi.“Benar juga.”“Ca







