[Maaf, aku gak bisa datang sekarang. Nanti sepulang dari sini aku pasti ke sana. Turut berduka cita.]
Anand menatap pesan yang dikirimkan Nadira. Gadis itu memang sedang melakukan studi lapangan, sama seperti Triana yang tak turut serta dalam pemakaman tantenya. [Tidak masalah.] *** "Umur gak ada yang tahu, ya, Ra? Padahal Kak Anand udah ngusahain yang terbaik sampai ke luar negri," ucap Triana. Nadira tak menyahut, tatapannya lurus ke depan. Entah harus bahagia atau sedih mendengar kabar itu, Nadira tak tahu. Bahagianya mungkin ini adalah jalan yang tuhan pilihkan untuk mengakhiri ikatan menyesakan ini. Hanya saja ... "Nadira ... " Nadira dan Triana sontak menoleh ke belakang, terlihat Danil sedang berdiri. "Danil? Ngapain Lo ke sini?" tanya Triana. "Gue mau ngomong sama Nadira." "Gue gak izinin." "Jangan ikut campur, sana sana!" "Eh!" Nadira memberi isyarat untuk Triana memberi mereka waktu bicara. Walaupun sedikit keberatan akhirnya Triana menjauh. "Jangan macam-macam Lo sama sepupu gue!" ucap Triana sebelum benar-benar berlalu. Danil mengernyit, kemudian menatap Nadira yang sedari tadi hanya diam. "Sejak kapan kalian sepupuan?" tanya Danil. "Lo gak perlu tahu." "Ra, gue tahu Lo pasti marah sama gue. Tapi gue punya alasan, gue gak bisa mendadak dipinta menikah gitu aja, apa-apa juga harus ada persiapan, kan?" Nadira menutup telinganya, tetapi Danil memaksanya untuk melepaskan tangan. "Ra, aku masih cinta sama kamu. Aku gak mau putus. Aku belum siap nikahin kamu bukan berarti aku gak cinta sama kamu. Dengar, aku pengen ngasih yang terbaik buat kamu. Pernikahan yang megah, riasan, pesta yang meriah, tentu saja semua itu gak bisa aku dapetin cuma dalam waktu satu bulan. Aku masih butuh waktu." "Kapan?" "Setidaknya ... 4 tahun." Nadira menyunggingkan sudut bibirnya. "Terus kenapa Lo gak bilang kaya gitu sama papa gue waktu itu? Lo malah langsung menyerah gitu aja. Lo denger ya, sekarang semuanya udah terlambat. Gak usah ganggu gue lagi." Dengan cepat Danil menahan tangan Nadira. "Terlambat? Maksudnya?" Nadira mengangkat tangannya, memperlihatkan cincin emas indah melingkar di sana. "Gue udah nikah." "Apa? Sama siapa?" "Bukan urusan Lo!" Nadira dengan cepat menjauh. "Dira! Lo bohong, kan? Ra!" Nadira tak menoleh sekalipun dan terus berjalan menjauhi Danil. "Aaarghh sial! Gak! Pasti semua itu bohong! Gue harus menyelidiki ini. Gue gak akan lepasin Lo gitu aja, Ra." *** "Jemput gue, dong!" ucap Nadira lewat telepon. "Kenapa minta jemput sama gue? Sama suami Lo dong. Cieee suaminya balik." "Diem Lo!" Triana masih tertawa. Nadira menyampirkan kerudung, kemudian membawa tas slempangnya. "Ma! Pa! Aku berangkat." Melati dan Abram menatap Nadira dengan lekat. "Bagus sekali kamu punya kesadaran sendiri buat datang ke makam ibu mertua kamu. Tunjukin kalau kamu itu bisa jadi menantu yang berbakti." Nadila hanya tersenyum kecil. "Sama siapa perginya?" tanya Abram. "Sama Anand?" tebak Melati. "Nggak, sama Triana." "Kenapa nggak sama Anand? Sekalian ketemu, kalian kan belum pernah ketemu." "Sudah ah, Ma, aku berangkat dulu. Daaah!" "Eh, ini anak! Suami istri macam apa mereka?" Nadira langsung masuk ke dalam mobil putih yang berada di depan rumahnya. "Nunggu lama, gak?" tanya Nadira. "Nggak, kok," sahut Triana. Setelah menaburkan bunga di atas pusara, Nadira dan Triana mulai menutup mata sambil menengadahkan tangan, mendoakan kebaikan untuk jasad yang terkubur di dalam sana. *** Nadira termenung sendiri di halaman kampus. Baru saja muncul notifikasi transferan masuk ke akun mobile banking nya. Perasaannya tak berarah, antara gelisah, serba salah, dan dilema. Hatinya Muali merasa tak nyaman dengan status yang tak terlihat itu. "Sampai kapan sih gue gini terus? Apa gue minta cerai aja, ya, sekarang? Toh, kan ibunya udah meninggal. Tapi ... Apa gue sejahat itu? Pasti dia lagi sedih, dan kalo gue minta cerai ... " "Kenapa, Lo?" tanya Yasmin yang baru datang. Nadira mendesah. "Tau ah, hidup gue runyam banget." "Loh, gue kira hidup Lo gak punya masalah." "Enak aja." Yasmin tertawa. "Si Nana belum datang?" Nadira menggeleng. "Eh, Lo beneran Udha putus sama si Danil?" "Iya." "Kok bisa? Lo kan bucin abis sama dia. Tiba-tiba aja putus, apa yang terjadi?" Nadira mengerucutkan bibir, tak berniat sama sekali menjelaskan. Tiba-tiba seluruh mahasiswi riuh bergosip sambil jingkrak-jingkrak kecil. Suasana heboh seketika. Nadira dan Yasmin yang terganggu pun mengamati suasana. "Ada apa sih?" tanya Yasmin pada Jelita. "Katanya ada dosen baru. Ganteng, keren, tinggi, aah ... Sempurna! " "Masa, sih?" tanya Nadira. "Iya. Masih muda, lagi, Dil. Kayanya masih lajang. Makanya semua cewek heboh." Jelita menambahi. Wajahnya berbinar setiap membicarakan dosen baru tersebut, sama seperti semua mahasiswi yang kini seakan tenggelam dalam kekaguman. Nadira dan Yasmin saling pandang. Siapa coba dosen baru itu?"Ngaku aja, Ra," ucap Danil sambil tersenyum. Nadira melengos sambil melipat tangan dengan kesal. "Ra, gak papa. Walaupun kamu udah nikah sama yang lain, tapi aku yakin cinta kamu masih milik aku. Kita bisa diam-diam berhubungan tanpa sepengetahuan siapapun, Ra. Dan begitu aku siap nikahin kamu, kamu harus cerai sama dia." Danil menggenggam tangan Nadira, membuat Anand semakin kepanasan. Tanpa permisi Danil menarik Nadira ke dalam pelukan. Melihat gadis itu tak berkomentar apapun tentang idenya membuat Danil mengira gadis itu berhasil ia taklukan. Anand yang sudah bergejolak melangkah hendak keluar untuk memberikan pelajaran pada keduanya. Namun langkahnya langsung terhenti saat Nadira mendorong Danil. "Dasar brenqsek! Gue buka cewek rendahan seperti yang Lo kira, ya! Walaupun gue menikah karena paksaan, tapi gue tahu diri dan aturan. Gue masih punya otak dan moral. Dengan lihat sikap Lo yang seperti ini gue makin benci sama Lo dan percaya sama ucapan papa gue waktu itu. Lo, buka
"Masya Allah, rabbanaa hab lanaa min azwaajinaa wadzurriyyaatinaa qurrota a'yuniwwaj'alnaa lil muttaqiina imaamaa. Aamiin." Ayah muda itu mengecup kening anaknya yang sedang tertidur dalam pangkuan sang istri selepas kenyang minum asi."Aamiin." Nadira menyahut sambil tersenyum, menatap Anand tanpa kedip dengan berjuta rasa yang tak sanggup lisannya ungkapkan. Anand beralih menatap Nadira, senyuman hangatnya senantiasa terlukis di wajah tampan itu untuk keluarganya. Pria itu duduk di samping sang istri, kemudian merangkul pinggangnya dan mengecup kepala Nadira cukup lama, seolah lewat kecupan itu ia menjelaskan betapa kini sempurna kebahagiaannya wasilah dari perempuan tersebut. "Mas sangat bahagia," bisiknya kemudian. Nadira mengulum senyum, kemudian balas menatap sang suami. "Aku juga, Mas. Makasih untuk semuanya, makasih untuk semua cinta dan kasih sayang yang sudah Mas curahkan buat aku, sampai aku sekarang merasa jadi wanita yang paling bahagia di muka bumi ini." Anand mengu
"Nadira melahirkan!""Nadira melahirkan, Mas!" Yasmin dan Triana serta para suaminya langsung bergegas menuju rumah sakit. "Ayo cepet, Mas!" Fahrul menoleh. "Kamu ini, kaya kamu aja yang mau lahiran." "Haish! Udah diem. Nyetir aja yang cepet." "Yasmiiin Yasmin! Masa kaya gitu kamu bicara sama suami?" tegur Zein yang duduk anteng bersama Triana di belakang. "Gue ikut deg-degan, Bang!"Triana dan Zein terkekeh melihatnya. Tiba-tiba Triana terdiam merasakan sesuatu. "Hweeek!" "Kamu kenapa, Sayang?" tanya Zein panik. Triana masih menutup mulut. Ia menggelengkan kepala sambil mengerjap."Apa Triana suka mual kalo naik mobil?" tanya Fahrul."Biasanya nggak." "Mungkin Lo hamil, Na!" pekik Yasmin membuat Triana dan Zein saling tatap. Zein menarik kepala Triana sampai bersandar di pundaknya, kemudian memijat tengkuk istrinya dengan lembut. "Mas?" lirih Triana sambil mendongak menatap wajah suaminya. Tatapannya menyiratkan banyak tanya. Zein mengangguk, mencoba menenangkan. "Nanti
"Na ... Jalan Lo kenapa gitu?" Triana langsung mematung, menoleh pada Yasmin dengan ragu-ragu. "Gue ... Jalan gue biasa kok." "Nggak, jalan Lo gak biasa, Yas." "Ah udahlah. Cepet bantuin gue cuci piring." Yasmin menurut. Namun lagi-lagi ia kembali berbisik. "Na, sakit, gak?" Triana gelagapan, mulai tak nyaman berada dekat-dekat dengan Yasmin. "Na?" "Sakit apa?""Lo jangan pura-pura gak ngerti, Na." Triana menghela nafas. "Lumayan." Yasmin berdesis. "Kaya gimana rasanya?""Haish! Lo itu ... " Triana tak melanjutkan protesan nya dan berdecak kesal. "Na, gue cuma pengen tahu aja. Biar siap-siap nanti. Itung-itung Lo berbagi pengalaman lah sama calon pengantin yang masih polos ini." "Gak perlu siap-siap segala, Yas, nanti Lo juga tahu sendiri." "Tapi, Na--""Yas, gue juga gak siap-siap, tuh. Lagian, gue malu kalo harus ngomongin kaya gituan." Yasmin terkekeh. Dalam hati ia mengejek, padahal gue udah lihat secara langsung hal yang mungkin bakalan bikin Lo tambah malu jika ta
"Gugup?" Triana tak menjawab, tangannya meremas sprei dengan kuat. Zein menghela nafas lalu bersandar di kepala ranjang. "Jangan gugup, kita ngobrol, yuk?" Triana mulai mendongak. "Ngobrol apa?" "Menurut kamu, Fahrul seperti apa? Apa dia cocok untuk Yasmin?" Triana mulai berpikir. "Menurutku Fahrul terlihat baik, mudah akrab juga sama keluarga. Dan dia juga kelihatan benar-benar mencintai Yasmin." Zein manggut-manggut. "Tapi bukannya jadi istri tentara itu banyak resikonya?" Triana tersenyum. "Resiko pasti selalu ada di setiap keputusan yang kita buat. Yasmin juga bukan gak tahu resikonya bagaimana jika menikah dengan Fahrul, tapi dia tetap menjalaninya, kan? Jadi mungkin dia memang sudah mempersiapkan diri. Dan lagi, suatu kebanggaan juga untuk keluarga kita punya saudara seorang abdi negara, kan?" Zein mengangguk lagi. "Jadi kamu setuju?" Triana mengangguk. "Selama laki-laki itu mencintai Yasmin dengan tulus dan Yasmin juga mencintainya, aku setuju." "Tapi M
"Yasmin cukup beruntung, ya, punya pacar yang seperhatian ini sampai maksain datang di tengah-tengah kesibukan," ucap Anand. "Jelas. Sekarang Yasmin prioritas saya. Saking buru-burunya langsung ke sini saya gak sempat ganti seragam dulu. Takut Yasmin sedih, kasihan. Tapi malah jadi pada takut lihat kedatangan saya." Semua orang tertawa. "Aku belum terlambat, kan?" tanya Fahrul menatap Yasmin yang kini senyum-senyum sok kalem. Gadis itu pun menggeleng untuk menanggapi pertanyaan pacarnya itu.Kini giliran Triana dan Nadira yang memasuki mode jahil."Uhuyy! Akhem-akhem!" "Uhuk! Uhuk! Aduh, Mas, aku keselek," celetuk Nadira.Dengan sigap Anand menyerahkan minuman gelas. "Mas, aku bercanda!" pekik Nadira membuat Anand melongo."Ra, lihat, Ra!" ucap Triana menunjuk udara di dekat Yasmin."Apaan, Na?" "Saking hatinya lagi berbunga-bunga, bunga-bunga itu berterbangan keluar." Yasmin tersenyum. "Bunga melati, kan? Kaya nama gue?" "Bukan." Triana menggeleng. "Terus?" "Bunga raflesia,