Share

Bab. 2

Seusai akad aku langsung di boyong ke kota, di tempat di mana aku tak mengenal siapapun. Termasuk suamiku. Ia dingin, tak banyak bicara. Bahkan diperjalanan yang menghabiskan beberapa jam itupun tak terdengar sepatah katapun keluar dari bibirnya. Hanya tampak raut kekecewaan. Mungkin ia membayangkan wanita yang dinikahi berperawakan menarik, dengan kulit putih bersih dan bertubuh semampai seperti Mesa. Namun kenyataannya, ia menikahi gadis dekil dengan kulit sawo matang ini. Kenapa ia tak menolak saat hendak menikah denganku? Entahlah. Aku pun tak berani bertanya. Hanya diam.

“Silahkan masuk, Non.” Seorang wanita berpawakan seperti Simbok membukakan pintu mobil, sedangkan lelaki yang dari tadi duduk di sebelahku sudah melangkah masuk ke rumah terlebih dulu.

Aku menatap bangunan mewah berwarna serba putih itu, pilarnya besar dan menjuntai tinggi ke atas. Aku melangkah masuk dengan pelan, apalagi kebaya yang aku pakai terasa begitu ketat, membuat jarak langkahku kian menyempit.

Saat pertama aku melangkah melewati pintu itu, aku di sambut oleh barang-barang mewah yang hanya terlihat dalam tv saja. Sebuah sofa besar, anak tangga yang melengkung indah, serta pernak pernik mahal seperti guci dan yang lainnya, pantas saja bude sering kali menyombongkan calon menantunya ini.

“Mari, Non.” Wanita paruh baya itu menundukkan kepalanya, dan mempersilahkanku menaiki anak tangga indah itu. Sedang bola mata ku tak mampu diam untuk menjelajahi keindahan rumah ini.

“Au.” Aku meringis ketika kaki ini terpeleset dan membuat tubuhku ambruk. Sepatu hak tinggi ini benar-benar membuatku tak nyaman.

“Non tidak apa-apa?” tanya wanita paruh baya itu sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan, sepetinya ia menahan tawa karena kelakuan katrokku.. Sungguh sial di hari pertama pun aku sudah melakukan hal yang memalukan.

Aku masuk kamar ketika sang punya empu ruang itu mengijinkan. Hatiku dibuat berdegup kencang ketika melangkahkan kaki pertama untuk masuk. Bahkan hampir saja aku menjerit jika tak bergegas menutup mulut. Pemandangan pertama melihat seorang lelaki bertelanjang dada sambil terbaring di atas kasur, tangannya diangkat ke atasnya. Sedangkan pandangannya masih menatap langit-langit tanpa menoleh sedikitpun.

“Permisi, Saya masuk,” ucapku sambil menunduk. Seperti seorang pelayan ketika bertemu dengan tuannya.

“Oh. Hem,” sekilas ia melirik ke arahku dan kembali ke tatapan awalnya. Menatap langit-langit kamar.

Aku canggung harus berbuat apa, dia dingin. Bahkan sangat dingin. Aku lebih baik mendengar Omelan bude dan pak De seharian dari pada menghadapi laki-laki seperti ini. 

“Kenapa berdiri di sana saja, ayo ke sini!” ucap ia sambil menepuk bantal di sebelahnya. 

Lagi-lagi hatiku serasa tak karuan, keringat dingin mulai bermunculan. Apakah ini saatnya aku harus melepaskan mahkotaku? Bukankah malam pertama begitu menyakitkan? Aku bergidik ngeri.

“Heh, kamu! Apa tak dengar ucapanku?” tanyanya lagi sambil melempar pandangan ke arahku. Ya Allah Ya Robbi, suaranya saja terlalu menyeramkan.

“Heh, apa kamu tuli?”

“I-iya, maaf, Pak!”

“Kamu panggil aku apa?” 

“Pak,” ucapku ragu dengan nada ketakutan. “Maaf, kalau boleh saya bertanya. Saya panggil tuan degan sebutan apa?”

“Pak? Tuan?” 

Lelaki itu terkekeh, menampakkan gigi-giginya terawat. Sedangkan tubuhnya ikut terguncang karena tawa yang sangat membahana, bahkan beberapa kali ia menepuk -nepuk guling di sebelahnya.

Sedangkan aku masih berdiri mematung, sambil menggigit bibir bawahku. Kedua tanganku saling bertaut dan saling bergesek, tak tahu harus berbuat apa. Aku bahkan  tak mengerti ini pernikahan semacam apa? Tak ada perayaan? Tak ada keluarga yang datang, Benar-benar sepi.

“Maaf, boleh saya duduk?” tanyaku dengan tubuh gemetar. Kurasakan kakiku yang semakin sakit akibat sepatu hak tinggi yang kupakai. Entah, bagaimana Mesa bisa memakai sepatu itu berhari-hari. Kalau aku di suruh memilih, sudah pasti aku milih sandal jepit dari pada sepatu orang kaya itu.

“Iya, sini. Aku dari tadi memang sudah menantimu,” ucapnya sambil kembali menepuk ranjangnya. 

Ya Allah Ya Robbi, jantungku kini berdesir hebat. Apakah ia mengira aku meminta jatah malamnya? Bahkan saat ini matahari masih bersinar dengan teriknya.

“Katanya mau duduk! Kenapa masih berdiri di situ,” ucapnya sambil membulatkan bola matanya.  

Aku perlahan melangkah dan mendekati ranjang. Duduk di tepi ranjang.

“Ayo naik sini,” ucapnya lagi sambil menunjuk bantal di sebelahnya.

‘mati aku, sepertinya ini riwayat terakhirku,”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
bingung y Zi mw ngapain. .........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status