"Apa lagi?" gumam Ari sendiri.
Ia sudah kembali ke stationnya saat pesan Lara diterima. Ia menggeleng pertanda enggan membalas. Lantas, meletakkan ponsel ke loker sebelum kembali bekerja.
"Lapo to, Su?"
"Nggak apa, Pri."
"Kupikir-pikir kamu itu ganteng sebenarnya. Kenapa nggak nyoba jadi penyiar radio, aja?"
Mendengar kelakar Supri yang tak lucu, Ari hanya menyungging senyum kambing. Lantas mulai mengambil daftar mobil yang akan kembali dioperasi.
Detak jarum jam terus berputar hingga berganti beberapa kali angkanya. Tepat pukul empat sore, seluruh mobil telah usai diperiksa. Tibalah saatnya untuk membersihkan bengkel serta seluruh badan.
Saat Ari hendak menuju ke rest room, Pak Daus menghentikan langkahnya. "Ri, itu mobil belum diambil?"
Ari mengikuti ke mana arah telunjuk Pak Daus berhenti. Tiba-tiba saja, ia tekeju
Ari masih terpaku di kasur. Berkali-kali ia tampak memegang pilipis dan memijatnya pelan. Ada banyak kecamuk yang membuatnya bingung tak keruan. Terlebih, Rendi telah menuduhkan banyak hal padanya. Meski tembakan sang adik benar adanya, tapi ia tak pernah macam-macam pada perempuan.Sebejat apa pun Ari, ia tak ingin menyentuh atau bahkan melukai. Ia hanya ingin mengubah nasib dengan pasti. Tanpa kembali ke jalan haram yang dulu pernah menerbangkannya tinggi."Judi salah, ngene yo salah. Kepiye jane, Ren?" gumaman Ari terdengar begitu putus asa.Pria berambut cepak itu masih terdiam sembari menatap selembar kertas Poto yang telah usang. Wajah sang ibu di usia muda, mampu membuat Ari meredam segala rasa. Ia memejam sebentar, sebelum akhirnya kembali membulatkan tekad."Ini harus diakhiri secepat aku memulai."Cepat, Ari meraih ponsel dan mengetik balasan pada ruang obrolan maya. Na
Lara baru saja menyelesaikan jam mata kuliah terakhirnya, saat ruang obrolan pada aplikasi perpesanan kian ramai. Bukannya tak peduli, tapi ia tahu mana yang lebih penting.Beberapa kali pula, nomor seseorang memanggilnya tanpa jeda. Ia enggan untuk sekadar membuka pesan dari siapa pun juga.Kini, ia telah duduk di sebuah rest room khusus bagi para investor UKLAKA. Bak kamar hotel superior, ruangan lima kali sepuluh meter itu disulap sedemikian rupa.Ranjang lipat yang menyatu dengan sebuah lemari, bean bag dan meja kerja di ujung, serta kamar mandi di sisi yang lain langsung menyapa saat pintu ruangan terbuka. Beruntungnya, lebih dari setengah total saham universitas ini dipegang oleh keluarga Lara.Tentu saja, secara sistematis ruangan ini menjadi hak penuh Lara. Tak ada yang bisa masuk selama ada ia di UKLAKA.Dari meja kerja, Lara menatap ke luar jendela yang la
Senja telah datang saat Ari menyelesaikan banyak daftar yang menjadi acuannya untuk memeriksa keadaan mobil pelanggan. Entah mengapa, bengkel baru itu tak pernah sepi pelanggan.Beberapa di antaranya memang ada yang datang karena ingin bertemu sang pemilik bengkel yang akhir-akhir ini tak pernah lagi mampir. Beberapa lainnya karena memang hendak mencari muka pada keempat enterpreneur muda dengan banyak bisnis dan usaha.Ari baru tahu bahwa keempat bosnya masih punya banyak bisnis dengan berbagai bidang. Informasi itu ia peroleh dari salah satu pelanggan yang mengajaknya bicara saat Ari menjelaskan permasalahan mobilnya."Percaya nggak, Mas, kalo pemilik bengkel ini masih muda?"Ari yang sudah tahu hanya menyungging senyum sembari mengangguk pelan. "Iya, Mas, lebih muda dari umur adikku.""Baru lulus SMA. Nggak tau sekarang pada kuliah di mana. Bisnisnya nggak tanggung-tanggung, M
Senja telah datang saat Ari menyelesaikan banyak daftar yang menjadi acuannya untuk memeriksa keadaan mobil pelanggan. Entah mengapa, bengkel baru itu tak pernah sepi pelanggan.Beberapa di antaranya memang ada yang datang karena ingin bertemu sang pemilik bengkel yang akhir-akhir ini tak pernah lagi mampir. Beberapa lainnya karena memang hendak mencari muka pada keempat enterpreneur muda dengan banyak bisnis dan usaha.Ari baru tahu bahwa keempat bosnya masih punya banyak bisnis dengan berbagai bidang. Informasi itu ia peroleh dari salah satu pelanggan yang mengajaknya bicara saat Ari menjelaskan permasalahan mobilnya."Percaya nggak, Mas, kalo pemilik bengkel ini masih muda?"Ari yang sudah tahu hanya menyungging senyum sembari mengangguk pelan. "Iya, Mas, lebih muda dari umur adikku.""Baru lulus SMA. Nggak tau sekarang pada kuliah di mana. Bisnisnya nggak tanggung-tanggung, M
Senja telah datang saat Ari menyelesaikan banyak daftar yang menjadi acuannya untuk memeriksa keadaan mobil pelanggan. Entah mengapa, bengkel baru itu tak pernah sepi pelanggan.Beberapa di antaranya memang ada yang datang karena ingin bertemu sang pemilik bengkel yang akhir-akhir ini tak pernah lagi mampir. Beberapa lainnya karena memang hendak mencari muka pada keempat enterpreneur muda dengan banyak bisnis dan usaha.Ari baru tahu bahwa keempat bosnya masih punya banyak bisnis dengan berbagai bidang. Informasi itu ia peroleh dari salah satu pelanggan yang mengajaknya bicara saat Ari menjelaskan permasalahan mobilnya."Percaya nggak, Mas, kalo pemilik bengkel ini masih muda?"Ari yang sudah tahu hanya menyungging senyum sembari mengangguk pelan. "Iya, Mas, lebih muda dari umur adikku.""Baru lulus SMA. Nggak tau sekarang pada kuliah di mana. Bisnisnya nggak tanggung-tanggung, M
Sudah dua hari sejak proposal usaha dikirim oleh Ari. Dua hari pula, ia tak menerima kabar apa pun dari Lara. Bahkan, di bengkel tak ada satu pun dari keempat bosnya yang datang berkunjung seperti sebelumnya."Ada apa, ya?" tanya Supri sembari menyesap kopinya pelan."Aku juga nggak ero, Pri. Tapi, kalo dipikir-pikir ini nggak wajar, lo.""Lah, kenapa gitu?""Pasti ada sesuatu," jawab Ari pelan. Lantas, ia mencoba menelisik sekitar. Ia merasa ada yang sedang mengawasinya.Ari mengedarkan pandang dari ujung warung hingga ke jalanan depan. Tak luput pula celah-celah kecil yang berada di sekitar. Semua tempat disisir oleh penglihatannya yang tajam.Sadar ada perubahan ekspresi pada sang kawan, Supri celingukan. Lalu diamatinya tiap sudut yang dipandang Ari dengan seksama."Cari apa, Su?"Ari mengangkat telunjuknya tinggi
"Masalah sepele?" tanya Ari. Kedua matanya menyipit mencoba menelisik gestur tubuh salah satu bosnya.Lalita mendengkus, lantas mengambil duduk berhadapan dengan Ari. Kedua tangannya melipat tangan di dada. "Kenapa ngeliatin gue kek gitu? Harusnya gue yang ngeliat gitu ke elu!"Ari tergagap sebentar. "Eh, iya bener. Sorry, Bos. Tapi maaf, Bos, ada masalah apa sebenernya?""Jujur, aja. Siapa elu?"Pertanyaan Lalita cukup membuat Ari tercengang sebentar. Sebelum akhirnya ia mengurai senyum pada bosnya. "Seperti yang, Bos, lihat. Aku hanya montir di sini, Bos."Lalita menggeram sebentar, lalu menelengkan kepalanya. "Maksud gue, apa elu sepupunya Lara?"Sekali lagi pertanyaan Lalita mampu membuat Ari berdebar tak keruan. Ia memejamkan mata, lantas memutar bola mata. Ia harus mencari jawaban yang tepat."Tuhkan, diem! Kenapa? Karena ketauan?"
Sudah dua hari Lara tak terlihat di kampus. Ia lebih memilih untuk menenangkan diri setelah bersitegang dengan Tarissa pada ruang obrolan.Beberapa kali, Lalita dan Derisca datang ke rumah Lara dan Tarissa secara bergantian. Nahas, bukan sambutan baik yang mereka terima. Keduanya kompak enggan menemui siapa pun yang datang.Terang saja keduanya terlibat perang dingin usai saling serang dalam grup perpesanan. Hanya karena sosok Ari, kedua bisniswoman kawakan itu saling diam sekarang."Jaga tuh jari, Tar," balas Lara setelah merasa disudutkan. Ia bahkan tak habis pikir, Tarissa mengetahui banyak hal."Nggak usah munak, Ra. Gue tau sendiri, elu sering nelponin dia. Nggak tau siaap yang kegatelan. Tapi yang pasti, keknya dia lebih suka ke gue daripada elu yang arogan.""Kalian pada ngomong apaan?" tanya Derisca."Iya, loh. Kita kan cuma becanda Tar, Jan diambil h