Share

Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar
Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar
Author: Arsta

Sah?

"Sah!"

Seperti baru saja memejamkan mata,lalu di paksa bangun segera. Aku seperti manusia kehilangan nyawa sejenak. Ini beneran? Ini sungguhan? Kemarin masih jalan jalan sama anak orang orang sekarang sudah jadi suami anak orang beneran.

Aku menelan siliva yang menempel di tenggorokan. Bagaimana tidak? Jika seharusnya aku menjadi kakak iparnya, kini malah menjadi istrinya. Yasalam. Mas Ravin menatapku aneh, lalu mengulurkan tangan kanannya untuk ku cium. Aku menurut, bisa apa lagi? Wajah lelaki itu memerah. Paduan antara geram bingung dan marah. Aku yakin ia tak nyaman. Sumpah! Karena aku juga sudah merasakannya. Sedari tadi saat tiba-tiba mama berbisik di telingaku, kalau Nisya adik terlaknatku kabur, dan dengan tanpa rasa bersalah anak nakal itu mengamanatkan agar aku yang menggantikannya. Astagfirullah, gusti. Ampuni aku yang kini sudah melafalkan sumpah serapah untuk adik cantik yang ingin ku sentil otaknya itu. Masih ingat jelas di ingatan bagaimana ia menggebu bercerita tentang lelaki yang kini duduk kaku di sampingku.

"Dia dewasa sekali, mbak. Suaranya kalau lagi nyanyi apalagi bawa gitar. Beneran, serasa di lamar setiap hari aku. Kapan ya nikah, pengen cepet-cepet".

Cepet ngulang maksudnya? Ku lihat sebentar mama di sampingku, pasrah lelah dan entah. Pesta hening, hanya beberapa flash yang menyilau mengambil gambar kami. Pelan aku mendongak, menatap kearah lelaki yang beberapa menit lalu masih menjadi calon adik iparku dan kini sah menjadi suamiku. Kembali aku beristigfar lirih. Apalagi ketika kecupan ringan menyapu keningku. Seakan memaksaku kembali merenungi kenyataan yang ada di hadapanku.

"Maafkan adikmu, Mbak."

Bisiknya, aku melirih dalam deru napas. Setelah di sakiti saja dia masih cinta. Ya Allah Nisya, emas ini kamu telantarkan demi apa? Bukan hanya aku yang terpaksa. Lelaki di hadapanku ini juga sama. Bahkan pasti lebih. Karena dia terkena dua kali sayatan. Pertama di tinggal kekasih, ralat, calon istri di hari pernikahan. Yang kedua, harus menikahi perempuan yang seharusanya ia hormati sebagai kakak ipar. Bukan perempuan yang dia cintai sebagai seorang istri. Aku memejamkan mata sejenak, mengambil napas dalam berharap setelah ku lepaskan, lepas juga segala beban yang belum sempat ku rencanakan bagaimana solusinya.

"Jangan maafkan adikku, kita cari dia sampai ketemu nanti."

Aku membalas tatapannya yang sempat kosong lalu kembali fokus ketika ku ucapakan sepenggal kalimat yang mewakili keinginku. Mungkin ia kaget, aku yang selama ini tak banyak bicara ketika ia berkunjung ke rumah, aku yang banyak diam daripada berkomentar kini mengucapkan kata-kata seperti itu.

**

"Maafkan adikmu, Sayang."

Mama memelukku, mengerti apa yang kini terjadi pada putri sulungnya. Aku membalas pelukan wanita terkasihku, meski aku bukan putri terkasihnya. Ya, karena putri terkasihnya kini sudah mencetak kekecewaan nyata di hati mama.

"Karin coba ya, Ma. InsyaAllah bisa. Bismillah."

Ujarku menenangkan. Mas Ravin, bohong kalau dia tidak mendengar. Aku meliriknya yang kini juga menatapku. Aneh. Rasanya di pandang suami baru kaya ada yang joget di hati. Ser. Duh, kenapa aku ini. Yakali wanita se-untouchable aku bisa jatuh cinta cuma dalam hitungan menit. Aku menggelengkan kepala, mana bisa. Sampai mobil, keheningan kembali tercipta. Aku menyandarkan kepala. Karena hari ini juga, aku di boyong suami ke rumahnya. Tak habis pikir. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa aku yang akan menjadi kakaknya kini menjadi istrinya?

"Maaf, Mbak."

Lirih, suara itu yang membuatku menoleh. Lelaki itu bahkan masih memanggilku dengan sebutan 'Mbak' berasa kaya pinjam suami adek. Gila.

"Usia kita nggak jauh beda, Mas Ravin hanya lebih tua 2 tahun dari aku, nggak usah panggil mbak lagi. Lagian di panggil mbak pun status kita nggak akan berubah dalam waktu dekat ini. Aku nggakpapa, aku sedang tidak terikat dengan siapapun. Jadi, sekarang jangan terlalu sungkan. Nanti kita cari calon istrimu itu."

Aku nyerocos.

"Adik ipar kali maksudnya."

Aku menoleh ke arahnya, dia lurus menatap jalan di depan. Aku berpaling ke arah jendela.

Menghindari debaran aneh di dadaku. Lelaki itu tersenyum. Lalu mengangguk. Ah, tentu saja masih ada luka di matanya. Hingga keheningan kembali menemani di antara kami. Padahal, ketika dulu ia bertamu saat masih menjadi kekasih adikku, ia sangat ramah, supel dan care. Nah ini? Lebih mirip beruang kutub. Aku nyesek. Tapi, memang apa yang harus aku harapkan? Cinta memang belum ada dan mungkin sukar ad di antara kami. Tapi bukan berarti tidak mungkin,kan?

Mobil berhenti bergulir saat sudah sampai di depan rumahnya. Aku menarik napas kuat, lalu menghembuskannya.

"Selamat datang menantu kesayangan."

"Assalamualaikum,Ma." aku mengecup dua tangannya takdzim.

Wanita paruh baya dengan segala rona kasih yang selama ini belum pernah ku amati saksama. Beberapa kali beliau berkunjung ke rumah untuk sekedar 'dolan' atau waktu menjenguk mama yang bebera bulan lalu tumbang kelelahan. Tau kalau beliau sosok yang baik dan penyayang. Tapi tidak semurni ini ku kira.

Aku tersenyum kikuk mendapati sambutan yang sangat berbeda dari bayanganku. Menyalami satu per satu anggota keluarga suami baruku. Lalu di rangkul hangat layaknya menantu yang di impikan. Miris sekali. Menantu cadangan ini, mah.

"Mbak Karin capek, Ma. Udah, ya. Kita ke kamar dulu."

Mbak lagi, aku melirik sedikit.

Pamit Mas Ravin, sedikit meraih lenganku. Aku menurut, sampai sosok mama mertuaku menghalangi jalan kami. Memelotot kearah suamiku.

"Seenaknya panggil mbak, kamu pikir dia mbakmu?! Nggak ada. Panggil Adek."

Hardik mama Luna, menjewer kuping Mas Ravin. Lelaki itu mengekeh sakit, lalu berjanji menuruti perintahnya.

"Iya, Adek cepek, mau istrirahat. Lepasin, Ma, sakit."

Pinta Mas Ravin, yang tak langsung di turuti oleh mama.

" Awas saja nanti kalau mama dengar masih ada yang manggil mbak mbak an. Di cekoki temu lawak nanti orangnya. Nduk, Karin. Nanti jangan sungkan lapor sama mama ya kalau mas mu ini manggil kamu Mbak lagi." Mama melepas tangannya dari telinga Mas Ravin.

Aku mengangguk singkat sambil tersenyum kaku. Tiba-tiba aku merasa tubuhku kembali di rengkuh, rasanya kini jauh lebih hangat daripada tadi. Ku rasakan helaan napas dalam di pundak ku.

"Terimakasih ya, Rin. Terimakasih sudah mau berkorban sejauh ini. Terimakasih sudah menyelamatkan martabat keluarga kami."

Ujar mama Luna pelan sekali. Aku mengangguk sebentar, rasanya aku ikut merasakan kecewa mendengar deru napasnya. Tak sengaja pandanganku terangkat. Sekali lagi ku temui luka menganga di mata lelaki yang kini berdiri di hadapanku. Nasya! Tanggung jawab. Bagaiamana cara mengobati luka yang kamu ciptakn di hati orang orang sebaik mereka. Apa yang harus kakakmu ini lakukan? Demi apapun nanti kalau aku di takdirkan untuk bertemu dengan adikku itu. Tidak akan ku biarkan ia pergi tanpa penjelasan.

Kurasakan kembali dekap hangat tubuh mama.

"Kamu tau,Rin? Rumah tangga akan semakin berwarna saat buah hati sudah hadir di antara mereka."

Glek.

Belum sehari.

*

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status