“Sudah lunas ya, Bu.”
Aku terkesiap saat perawat di bagian administrasi itu menyodorkan selembar kertas yang sudah diberi cap warna merah bertuliskan LUNAS!
Baru saja aku hanyut dalam ingatan satu jam yang lalu. Rasanya terlalu mustahil bagiku memaksakan diri untuk bersama dengan laki-laki yang tidak aku cintai, meskipun dia memiliki banyak uang.
Dasar memang dia laki-laki urakan dan pemaksa.
“Ah, iya. Terima kasih, Sus,” ucapku sedikit terbata-bata.
Perawat itu tersenyum padaku. “Sekarang pasien akan segera dipindahkan ke ruang operasi.”
Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Aku tahu, saat ini bahkan kalian mungkin tengah menghujatku dan menganggapku bodoh. Tapi faktanya memang aku tidak memiliki pilihan lain.
Kuayunkan langkahku dengan gontai dan tatapan mata yang kosong. Aku harus kembali ruang ICU untuk memastikan suamiku benar-benar sudah ditangani dengan baik oleh rumah sakit ini.
“Ya Allah, kepalaku pusing sekali.” Aku sedikit memijat-mijat pelipisku yang tiba-tiba terasa berdenyut.
Aku baru ingat kalau tadi belum sempat makan malam. Awalnya karena tidak ingin berlama-lama berada di rumah Bu Ambar dan Pak Wira, akibat Mas Bisma yang terus saja menggangguku.
Tapi kali ini mungkin akibat rasa panik dan tertekan hebat akibat memikirkan nasib suamiku, hingga aku melupakan untuk mengisi perutku sendiri.
Aku memutuskan untuk duduk sejenak, berharap rasa pening di kepalaku menghilang. Tapi tiba-tiba kulihat dari kejauhan sebuah blankar yang didorong dengan cepat dan terus mendekat ke arahku.
Brankar itu melewatiku begitu saja. Tapi hal yang membuatku tertegun adalah pandangan mataku sendiri yang rasanya belum bisa kupercaya.
‘Itu tadi kan mas Ihsan? Terus kenapa Mbak Rania berlari di samping brankar sambil menggenggam erat tangan mas Ihsan sambil menangis? Apa aku salah lihat?’
Aku masih mencoba untuk berpikiran positif. Bisa saja karena terdorong oleh keadaan, Mbak Rania bersikap seperti itu. Aku menguatkan kakiku untuk bisa berjalan ke arah ruang operasi.
Kali ini tak kulihat Mas Bisma, bahkan bayangannya pun seolah pergi. Syukurlah, aku tenang.
TING
Aku yang sedang berjalan pelan sambil memegangi tembok ke arah bagian depan ruang operasi, seketika menghentikan langkahku untuk melihat siapa orang yang mengirimiku pesan.
“Astaghfirullaah … bisa gak sih dia gak gangguin aku?” Aka sampai memijat pangkal hidung saking jengkelnya dengan makhluk satu itu.
Kuabaikan pesannya dan kulanjutkan langkah kakiku menuju ruang operasi.
Setibanya di sana, melihat Bu Minten duduk dengan mulut yang terlihat berkomat-kamit. Sepertinya dia sedang berdoa. Lalu Mbak Rania, tampak cemas dengan berjalan mondar-mandir di depan pintu ruang operasi.
Bu Minten hanya melirik sinis saja padaku. Meski tak ada satupun yang mengharapkan kehadiranku di sana, namun aku tetap duduk di kursi ruang tunggu.
Mbak Rania mendekat ke arahku. “Den Bisma kemana, Run?”
“Gak tahu, Mbak.”
“Aneh ya ada anak majikan mau nganterin pembantunya,” ucap Mbak Rania.
Aku mengerutkan keningku. Emosiku terpancing oleh kata-katanya. “Maksud Mbak apa ngomong kayak gitu?”
“Kali aja–”
“Cukup, Mbak! Bisa-bisanya di saat seperti ini mbak berpikiran buruk tentang saya!”
Oke, faktanya aku memang wanita buruk saat ini. Tapi tetap saja aku tak terima dengan ucapan kakak iparku ini.
Rasa lelah, kalut, termasuk rasa sakit di hati dan area sensitifku semua bergabung menjadi satu dan berubah menjadi emosi tak terbendung.
Kulihat Bu Minten berdiri sambil menatap tajam ke arahku. “Beraninya kamu membentak menantu kesayanganku. Orang miskin aja belagu. Jangan mentang-mentang kamu udah berhasil mendapatkan pinjaman dari majikanmu, terus kamu bisa bersikap seenak udelmu.”
Kesal. Aku pun memilih pergi meninggalkan bagian depan ruang operasi itu menuju kantin. Betulan juga perutku sudah sangat lapar malam ini.
Sejak aku meninggalkan ruang ICU menuju bagian administrasi rumah sakit, aku tidak lagi melihat Mas Bisma. Entah ke mana dia pergi. Tapi itu jauh lebih baik.
“Ini pesanannya, Mbak.” Seorang pelayan kantin tapak meletakkan sepiring nasi goreng ayam pesananku.
Tadi pasti banyak di kantin aku langsung memesan makanan..
“Makasih, Mbak,” ucapku dengan tetapan penuh minat ke arah nasi goreng ayam tersebut.
Aku baru ingat kalau tadi Mas Bisma mengirimiku pesan. Meskipun enggan, pada akhirnya aku tetap membuka aplikasi chatting berwarna hijau untuk membaca pesannya.
Aku harus bersikap profesional terhadap perjanjian yang sudah disepakati bersama. Toh Mas Bisma pun sudah berjanji padaku tidak akan pernah membuka aib ini pada siapapun. Setidaknya aku bisa tenang.
“Tadi ibu sama bapak nelpon dan tanya aku ada di mana. Aku jawab aja kalau aku lagi nongkrong sama temen-temen. Aku cuma mau ngingetin, empat hari lagi kamu siap-siap, karena itu adalah pertemuan kita yang kedua”
Aku yang sedang menelan nasi goreng, tiba-tiba seperti sedang menelan sesendok pasir yang terasa serat tenggorokanku. Tak terasa air mataku kembali menetes membayangkan kalau empat hari lagi aku harus kembali melayaninya.
Siapapun, tolong aku. Rasa sakit itu masih terbayang dalam ingatanku. Aku seperti terjebak dalam sebuah ruangan yang tidak memiliki pintu untuk keluar.
“Mungkin gak ya kalau perjanjiannya diubah saja? Aku bayar ke mas Bisma pake tenaga gitu.”
POV Bisma.Aku mendengar teriakan Ihsan yang penuh dengan amarah dan kecemburuan.Aku menoleh dengan sinis pad Ihsan. “Sok-sokan marah. Padahal apa yang dia lakukan juga udah nyakitin Seruni banget.”Seruni yang masih ada dalam pelukanku mendongakkan kepalanya. “Mas, ngomong apa?”Aku lupa kalau ada Seruni dalam pelukanku. “Gak ada kok. Aku cuma ngomong gak jelas aja.”Aku jelaskan pun rasanya percuma karena bisa saja Seruni tidak percaya dengan ceritaku tentang Ihsan. Untuk saat ini aku memilih zona aman. Kesalahpahaman hanya akan membuat Seruni menjauh lagi dariku dan aku tidak ingin hal itu terjadi.Tanpa menghiraukan Ihsan, aku segera menggendong Seruni sebelum tiga pria yang menculiknya bangkit dan mencoba melawan lagi. Aku melewati Ihsan yang masih berusaha berjalan dengan susah payah, sambil berusaha menenangkan diri dari se
POV BismaAku menggeliatkan tubuhku yang masih terasa lemah setelah melepaskan segala hormon stress ku tadi bersama Seruni. Beberapa waktu lalu, kami habis memadu kasih dengan penuh gairah.“Kamu itu menggemaskan, Seruni,” ucapku membayangkan kegilaan kami tadi.Aku melepas kepergian Seruni yang memutuskan untuk pulang sendiri dan menolak diantar olehku.“Sudahlah, yang penting sekarang Seruni benar-benar akan jadi milikku,” gumamku.Aku turun dari ranjang dengan perasaan bahagia. Tubuhku masih polos tanpa sehelai benang pun, namun aku tidak peduli. Lagi pula kami sudah mengikat janji akan bersama setelah ini, dan aku merasa perjuanganku tidak sia-sia meski harus memakai cara jahat dan licik dengan memanfaatkan kesulitan Seruni saat dia membutuhkan uang untuk biaya operasi Ihsan.Toh aku tahu, Ihsan bukan laki-laki baik sebenarny
POV Ihsan.Jam menunjukkan angka 7.30, namun Seruni belum kembali dari apotek. Aku mondar-mandir di ruang tamu dengan gelisah, hati terasa semakin berat seiring berjalannya waktu.“Kenapa Seruni belum kembali?” gumamku pelan.Pikiran-pikiran buruk mulai menguasai benakku. Bagaimana jika sesuatu terjadi padanya? Bukan karena aku khawatir dengan keselamatannya. Aku yakin akan hal itu, tapi Seruni adalah calon pohon uangku.“Udahlah, Ihsan. Nanti juga dia akan pulang,” ucap ibuku.Aku menatap tajam pada ibuku. “Ibu yang bikin Seruni pergi malam-malam dan nenek juga udah bilang gak jadi, tapi ibu terus maksa!” seruku marah, melemparkan pandangan tajam ke arah ibuku.Nenekku tampak terdiam dan merasa bersalah. Ibuku yang melihat hal itu merasa tak suka.“Bu, istirahat saja di kamar ya,&rdqu
POV Seruni.“Mas Bisma!” pekikku dengan kedua mata yang masih melebar. “Kok bisa ada di sini?”Dia hanya tersenyum padaku sambil mengemudi. Wajahnya penuh keringat dan sedikit darah di sudut bibirnya. Tatapan matanya penuh kekhawatiran padaku.“Panjang kalau diceritain. Bisa ngabisin 1 buku novel cetak,” jawabnya, yang membuatku merubah raut wajahku menjadi masam. “Kamu baik-baik aja kan?” tanyanya untuk yang kedua kali.Aku mengangguk, meskipun raut wajahku masih cukup masam. “Aku gak apa-apa. Kamu sendiri gimana, Mas?”Dia tersenyum lemah. “Aku akan baik-baik saja. Yang penting sekarang kita selamat dulu dari kejaran orang-orang itu.”Dalam keheningan mobil, aku tidak bisa menahan rasa terima kasih yang meluap-luap di dalam hatiku. Mas Bisma telah menyelamatkanku. Ini bukan pertama kalinya aku merasa aman berada di dekatnya meskipun situasinya begitu berbahaya.
POV SeruniSiang telah berlalu berganti malam. Keheningan merayapi rumah neneknya mas Ihsan yang sudah cukup tua dan penuh kenangan. Saat ini aku berada di dapur, mencuci piring bekas makan malam beberapa waktu yang lalu.Air dingin mengalir deras, mengguyur piring-piring dengan suara gemericik yang menenangkan."Seruni!" panggil Bu Minten dengan nada tajam, mengagetkanku.Aku menoleh dan melihat beliau berdiri di ambang pintu dapur, wajahnya terlihat sinis seperti biasa. Beliau mendekat lalu menarik lenganku dengan kasar."Ikut aku sebentar," katanya dengan nada memerintah, kemudian membawaku ke samping rumah, jauh dari telinga yang mungkin mendengar."Ada apa, Bu?" tanyaku dengan jantungku yang berdegup kencang."Seruni, aku mau kamu ninggalin Ihsan. Aku lihat semua udah gak sesuai rencana awal," kata Bu Minten tegas, suaranya penuh
POV Ihsan.Rupanya itu telepon dari Heru, laki-laki yang sedang mencariku. Hal inilah yang mendasariku untuk diam sementara di rumah nenekku dengan membawa Seruni. Mereka menuduhku berkhianat karena dianggap menghilang.“Dimana kamu? Kenapa nomormu lama tidak aktif?” tanya Heru begitu sambungan telepon aku terima.“Aku kecelakaan dan koma sampai dua minggu lamanya,” bisikku. Aku takut Seruni mendengar. Seruni memang tampak tidur, tapi itu bukan jaminan kalau dia benar-benar tidur.“Sialan! Bos terus nanyain aku tentang kamu dan istrimu itu,” ucapnya begitu kencang di telingaku."Aku tidak bisa memberitahumu banyak lewat telepon. Kita harus bertemu langsung," ucapku masih dengan suara berbisik."Baiklah. Di mana kita bisa bertemu?" tanyanya."Aku akan mengirimkan lokasi. Tapi ingat, pertemuan ini hanya antara kita berdua," ucapku.“Oke.”Meski Heru sempat berkata ’oke’ dan tak akan mengatakan pertemuan ini pada siapapun, tapi aku harus mempersiapkan segala kemungkinan terburuk.Aku men