Share

Terpaksa Satu Peraduan dengan CEO Arogan
Terpaksa Satu Peraduan dengan CEO Arogan
Penulis: Anita26

BAB 1 Putusan Pengadilan

"Sylvi Anugrah, dijatuhi hukuman penjara selama tiga tahun dan dipotong masa tahanan selama tiga bulan,"

Tok Tok Tok

Suara hakim beserta ketukan Palu itu terdengar samar di telinga Sylvi yang sedang menundukkan kepalanya yang terasa hampir pecah.

Ditambah lagi dengan suara teriakan histeria karena bahagia dari orang-orang yang menuntutnya. Suara yang bergemuruh itu membuatnya ingin segera pergi dari tempat itu.

"Dasar kau pembunuh. Kau tak pantas mendapat hukuman penjara. Seharusnya kau mendapatkan hukuman mati!!!" teriak seseorang di kursi hadirin.

"Benar. Hukuman penjara tiga tahun terlalu mudah bagimu. Kau lebih pantas mati," teriak yang lainnya.

"Kau pikir uangmu bisa mengembalikan anakku yang sudah mati? Tidak. Aku berharap kau juga mati membusuk di penjara!!!" teriak seorang wanita paruh baya.

Sylvi membalikkan tubuhnya dan menatap lekat ke arah wanita itu. Dia memang memberikan uang sebesar lima belas miliar sebagai kompensasi dan uang duka pada keluarga anak yang meninggal itu.

Dia tahu, uang sebanyak apapun tidak akan bisa mengembalikan nyawa yang telah hilang, tapi dia juga tidak menyangka bahwa Ibu dan seluruh keluarga dari anak yang tak sengaja di tabraknya itu justru memberatkan hukumannya dan melontarkan kata-kata yang tidak pantas kepadanya.

Sylvi hendak membalas perkataan mereka saat tubuhnya tiba-tiba di seret oleh dua orang petugas sidang ke dalam mobil yang akan mengantarnya ke Rumah Tahanan.

Tak hanya di dalam ruang sidang, di luar gedung pengadilan pun dia mendapat kecaman yang sama dari masyarakat yang berbondong-bondong datang untuk menyaksikan langsung persidangan hari ini. Namun mereka tak di izinkan masuk karena hanya keluarga korban yang diperbolehkan berada di dalam ruang sidang.

"Dasar pembunuh!!!" teriak seseorang tak jauh dari tempat Sylvi berjalan.

Sylvi seketika menghentikan langkahnya karena tidak terima dengan sebutan itu. Dia membuka mulutnya untuk mengatakan bahwa itu tidak benar.

"Kau pantas di hukum mati. Itu kelalaian terbesar dalam hidupmu, hingga seorang Ibu harus kehilangan anak semata wayangnya," seru pengunjung lain saat Sylvi belum sempat membantah teriakan pertama.

"Ya, benar. Pembunuh harus dibunuh!!!"

Semua orang tampak semakin menggila dengan terus menerus meneriakkan kata-kata umpatan terhadap Sylvi.

Mereka bahkan berusaha maju dan menerobos barikade penjagaan gedung persidangan. Meski sudah dihalangi, namun sebuah tangan berhasil menarik rambutnya dengan sekuat tenaga hingga Sylvi terjerembab dan jatuh di tanah.

"Aaahhhh..." Suara Sylvi terdengar lirih saat dia merasakan sakit di kulit kepalanya.

Sylvi terjatuh dengan lutut terhempas ke tanah di depan gedung persidangan. Bukannya kasihan dan menghentikan tindakannya, beberapa pengunjung lainnya bahkan menyerbu bersamaan ke arahnya untuk meraih tubuh kurusnya itu di iringi dengan lemparan telur yang entah siapa yang memulainya.

"Praaakkk..."

Sebutir telur busuk berhasil singgah tepat di kepalanya dan pecah tepat mengenai dahinya. Cairan busuk keluar dari cangkang telur yang pecah dan mengalir ke wajahnya yang polos tanpa make up.

"Huweekkk..."

Sylvi hampir saja memuntahkan isi perutnya karena aroma tak sedap yang berasal dari pecahan telur. Dia bahkan berulangkali mengusap wajahnya agar cairan busuk itu segera enyah dari hadapannya.

Namun semakin di usap, aroma busuk itu semakin menempel di wajahnya.

"Hahahahaa... kau rasakan itu hahahhaa..."

Semua orang yang melihatnya tertawa terbahak-bahak tanpa ada sedikit pun rasa belas kasihan. Mereka senang telah berhasil meneror sang pembunuh tepat di depan mata, begitu pikir mereka.

"Tidak ada yang boleh main hakim sendiri. Dia sudah di adili di pengadilan. Kalian jangan ikut campur," teriak seorang petugas yang geram dengan kelakuan mereka semua.

Bau busuk dari telur-telur yang berserakan di tanah membuat semua penjaga mual dan menatap marah pada para pengunjung yang telah mengotori halaman gedung pengadilan.

Para penjaga bergegas menyeret Sylvi masuk ke mobil tahanan agar tak lagi menjadi bulan-bulanan para pengunjung.

"Wanita cantik berhati busuk, kau harus mendekam di penjara selamanya,"

"Benar sekali. Mati saja kau di penjara,"

Suara-suara teriakan yang mengecamnya masih terdengar jelas dari dalam mobil yang dinaiki Sylvi. Perlahan suara-suara itu mulai menghilang seiring bergeraknya kendaraan itu menjauh dari gedung pengadilan.

Sylvi menghempaskan nafas lega sejenak. Terlepas dari kecaman masyarakat dan masuk ke dalam penjara yang tentu saja tidak lebih baik dari pada diluar penjara.

"Apa yang kau lakukan sampai semua orang membencimu, nona Sylvi?" ujar seorang penjaga bernama Dhani yang tak peduli dengan berita persidangan. Dia hanya sibuk bekerja sesuai tugasnya.

"Apa kau tidak pernah membaca koran atau menonton berita?" Tanya rekannya yang sedang mengendarai mobil tahanan.

"Tidak," sahut Dhani jujur.

"Dia itu pembunuh. Dia menabrak seorang anak kecil hingga tewas. Tapi dia menyangkal dan tidak mengakui perbuatannya," sahut penjaga yang mengendarai mobil.

"Benarkah?" Tanya Dhani yang berbalik menatap Sylvi yang duduk di bangku bagian tengah kendaraan itu. Kursi depan mobil tahanan dan kursi di bagian tengah berbatas jeruji besi namun tak menghalangi pandangan Dhani ke wajah Sylvi.

Sylvi spontan menggelengkan kepalanya karena memang dia tak bersalah. Meskipun kejadian itu terlalu cepat tapi dia yakin anak kecil itu mendadak berlari ke arahnya saat dia hendak membelokkan mobilnya memasuki cluster tempat tinggalnya.

Penjaga yang sedang mengemudikan kendaraan itu pun spontan tertawa terbahak-bahak.

"Mana ada penjahat yang mau mengakui perbuatannya?" ujarnya sambil terus tertawa.

Sylvi yang sejak tadi sudah menahan kekesalannya akhirnya menumpahkan semua isi hatinya di dalam mobil tahanan.

"Aku bukan pembunuh. Aku sudah menjelaskan semuanya di pengadilan. Tapi kenapa tidak ada yang percaya padaku?" teriaknya dengan suara lantang.

Kedua orang penjaga yang duduk di kursi depan terdiam. Akhirnya mereka mendengar suara Sylvi yang bungkam sejak di dalam ruang persidangan tadi.

"Lalu, kenapa pengacaramu juga meninggalkanmu? Bukankah dia seharusnya hadir di sidang putusan hari ini?" Tanya penjaga yang sedang mengemudi.

"Itu...itu karena...aku tidak punya uang lagi untuk membayarnya," sahut Sylvi lirih.

William Neil, pengacara handal blasteran jerman yang disewanya untuk memenangkan perkara ini telah banyak membantunya. Dakwaan awal pasal pembunuhan telah berubah menjadi dakwaan pembunuhan tidak di sengaja setelah mereka mendapatkan rekaman CCTV dan kesaksian dari seorang satpam Cluster yang melihat langsung kejadian itu.

"Aku kehabisan semua asetku setelah James Singgih merebut perusahaanku dengan cara paksa. Uang tabungan sebanyak lima belas miliar telah kuserahkan pada keluarga korban sebagai kompensasi dan uang duka. Kemudian pengacara itu meninggalkanku karena aku tak punya uang lagi untuk membayarnya," ujar Sylvi dengan hati perih.

"Apa kau tidak memiliki keluarga yang bisa membantumu?" Tanya Dhani lirih.

"Aku sudah mencobanya, tapi tidak ada yang peduli padaku," sahut Sylvi sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Dhani yang sejak tadi menatap wajahnya berpaling dan menyembunyikan gurat kesedihannya setelah mendengar cerita Sylvi.

Bahkan rekannya yang sedang mengemudi pun terlihat sedang mengusap wajahnya dari balik kaca spion.

"Lalu, James Singgih itu siapa, nona?" Tanya Dhani lagi.

"Dia? Dia adalah singkong rebus basi berkelakuan mesum yang selalu saja berusaha merebut proyek perusahaanku. Dia bahkan tak segan melakukan segala cara untuk merampas aset perusahaanku, Anugrah Sejati," sahut Sylvi geram. Kedua telapak tangannya saling menggenggam dengan buku-buku jari yang memutih karena genggamannya begitu erat.

"Singkong rebus basi?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status