Share

BAB 5

Dua minggu berlalu tanpa harapan. Harapan Sylvi untuk mendapat bantuan hukum. Seorang penjaga wanita membangunkan nya yang hampir pingsan setelah dijadikan samsak hidup oleh tujuh wanita begundal .

"Tahanan 1234, ada tamu," teriak penjaga wanita itu.

"Tamu?" tanya Sylvi lirih. Secercah harapan timbul dibenaknya.

Gadis bertubuh kurus itu tiba-tiba duduk dengan wajah berseri-seri, di balik luka lebamnya.

"Apakah itu William? Atau Om Stevan? Mungkin juga Tante Marina, atau Hani yang berubah pikiran?" gumamnya dalam hati.

"Namanya James Singgih," ujar penjaga wanita itu.

Sylvi langsung terkulai lemas. Mau apa lagi singkong rebus basi itu menemuiku? Apa dia mau menertawakanku? geramnya kesal.

Sylvi masih ingat pertemuan terakhirnya dengan James Singgih yang menyebalkan itu, tiga bulan yang lalu.

"Presdir, ada tamu penting yang ingin bertemu denganmu," ujar Diana Pinkan, sekretaris Sylvi.

"Siapa?" Tanya Sylvi sambil terus menatap laporan keuangan yang baru saja diserahkan Diana beberapa jam yang lalu.

Johan Waluyo, manajer keuangan yang baru bekerja di perusahaan itu selama tiga bulan, menitipkan laporan itu pada Diana. Pagi ini Sylvi datang terlambat ke kantor karena mobil yang biasa dia gunakan tiba-tiba rusak di tengah jalan dan dia harus membawa mobilnya ke bengkel langganannya setelah menghubungi mobil derek.

"Bapak James Singgih dari perusahaan properti Indah Perkasa," sahut Diana.

"Mau apalagi dia?" Tanya Sylvi geram saat mendengar nama itu.

James Singgih adalah pemilik perusahaan properti saingannya. James selalu saja mencoba untuk merebut semua proyek yang berhasil Sylvi dapatkan melalui persaingan yang adil. Tapi dia juga lah yang selalu merasa tidak mendapatkan keadilan karena dia tak berhasil mendapatkan tender yang Sylvi miliki.

James pria hidung belang itu selalu mengancam dengan alasan kedekatannya dengan para pejabat akan menghancurkan perusahaan Sylvi cepat atau lambat.

Sungguh muak melihat wajahnya yang munafik itu. Terlebih lagi saat dia tersenyum mesum, Menjijikkan.

"Aku sibuk dan tidak ada waktu bertemu dengannya," ujar Sylvi ketus.

"Baik, Presdir" sahut Diana dan berbalik menuju meja kerjanya hendak memberitahu resepsionis untuk menolak kedatangan si James mesum itu.

Belum sempat Diana berbicara di telepon, lelaki bertubuh tambun dengan perut buncit itu sudah ada di depan ruangan Sylvi dan masuk begitu saja tanpa Permisi.

Lima orang pengawal di belakangnya sedang menahan petugas keamanan perusahaan yang berusaha menghalangi mereka.

"Hahahaha.... Presdir Sylvi Anugrah, lama tak bertemu denganmu."

Suara beratnya itu sungguh memekakkan telinga dan membuat mood Sylvi makin hancur berantakan.

Laporan keuangan tahunan yang gak sinkron, mobil rusak saat di perjalanan, sekarang ditambah lagi dengan kehadiran singkong rebus basi yang merusak aroma penciuman.

Entah wewangian apa yang dipakai laki-laki itu, aromanya seperti bau singkong rebus yang sudah basi di hidung Sylvi yang sensitif.

"Kurang ajar. Apa kamu gak pernah di ajarkan sopan santun saat di sekolah dulu?" bentaknya kesal.

"Makiiiiinn cantik kalo udah marah begitu. Aku suka. Aku suka. Hahahaha..." ujarnya tak tahu malu.

"Bajingan..." ucap Sylvi dengan nada suara tertahan.

"Duduk dulu. Kita bisa kan bicara baik-baik?" ujarnya sambil duduk di sofa di depan meja kerja dan tersenyum mesum. Menggelikan.

"Ini kantorku. Apa hak mu memerintah aku?" bentak Sylvi makin galak.

"Oh baiklah. Terserah kamu saja mau duduk atau berdiri. Yang terpenting, kau tetaplah wanita pujaan hatiku, nona Sylvi yang baik hati," ujarnya sarkas dan semakin membuat dada Sylvi sesak karena emosi.

Melihat wajah Sylvi yang sudah merah padam karena marah, dia buru-buru bicara.

"Oke. Langsung ke inti permasalahan saja ya. Perusahaan ini akan segera ku ambil alih dalam waktu 1 bulan," ucapnya sombong.

"Apa maksudmu?" bentak Sylvi keras.

James mengeluarkan sebuah amplop coklat berukuran besar dari tas kerjanya lalu mengeluarkan dua lembar kertas dari dalam amplop.

"Baca ini," ujarnya sambil meletakkan lembaran kertas itu di atas meja sofa.

Dari jarak yang tak terlalu jauh, Sylvi bisa melihat tanda tangan dan stempel perusahaannya di bagian bawah kertas itu.

Tampaknya surat itu seperti surat perjanjian dengan perusahaanku. Tapi perjanjian apa? Sejak kapan aku membuat surat perjanjian dengan orang mesum itu? pikir Sylvi mulai gusar.

"Ayo lihatlah. Jangan bertanya-tanya seperti itu donk, sayang," ujarnya santai.

Suaranya yang memuakkan membuat perut Sylvi mual seketika. Tapi rasa penasaran saat melihat stempel perusahaan membuatnya berjalan ke arah sofa dan mengambil lembaran kertas itu.

"Apa?" teriaknya sambil membelalakkan mata karena terkejut dengan isi surat perjanjian itu.

"Apa-apaan ini?" teriaknya lagi karena tak percaya dengan apa yang baru saja dia baca.

"Hahahahaa... Aku beri kamu waktu 1 bulan untuk mengosongkan perusahaan ini dan angkat kaki segera. Jika tidak, aku akan menuntut kamu ke pengadilan dan menjebloskanmu ke penjara," ujarnya menantang di iringi suara tawa menjijikkan yang masih terdengar bahkan saat dia sudah meninggalkan ruangan kerja Sylvi.

"Dianaaaa..." teriaknya memanggil Diana yang dari tadi tak berani masuk karena ada penjaga si singkong rebus basi itu.

"Ya, Presdir," ujar Diana sedikit gemetar.

"Lihat. Baca ini. Sejak kapan aku punya perjanjian seperti ini sama manusia biadab itu?" ujar Sylvi sambil menyodorkan beberapa lembar kertas padanya.

Diana meraih kertas itu dan ikut membelalakkan matanya. Dia pun tak percaya dengan apa yang tertulis di atas kertas itu.

"Bagaimana mungkin ada perjanjian seperti ini, Presdir?" ujarnya gugup. Tangannya bergetar hebat dan matanya berkaca-kaca.

Sylvi membuka laci meja kerjanya dan meraih kotak obat kecil disana. Beberapa butir obat sakit kepala sebelah ditenggak sambil meminum air putih yang sudah tersedia di atas meja.

Diana masih terpaku di tempatnya semula dengan kondisi sama seperti tadi.

Surat perjanjian yang baru saja diserahkan James itu berisi tentang pengalihan aset perusahaan Anugrah Sejati pada James jika saja hutang Sylvi padanya tidak dibayarkan selama 6 bulan. Dan perjanjian itu berakhir tepat hari ini.

Di lembar kertas berikutnya tertulis bahwa Sylvi berhutang pada James sebanyak 150 miliar padanya dalam bentuk uang Cash.

Uang Cash? 150 miliar? Apa mungkin?

Dan gilanya lagi, di atas dua lembar kertas itu tercantum tanda tangan Sylvi dan stempel perusahaan Anugrah Sejati.

"Gak mungkin. Gak mungkin terjadi. Aku tidak pernah berhutang apapun pada James apalagi sampai menandatangani surat itu. Itu pasti palsu," pikir Sylvi yang baru pulih dari keterkejutan dan mulai berpikir jernih sekarang.

Dia mengambil ponsel dan menghubungi James.

Beberapa panggilan tak tersambung. Sylvi bahkan makin panik sekarang.

"Bagaimana kalau surat itu memang asli? Dalam waktu 1 bulan, aku harus menyerahkan perusahaanku pada James?" teriaknya kesal.

Dasar singkong basi sialan, awas saja kau nanti.

Sylvi langsung menghubungi pengacara andalannya dan membuat janji temu dengannya sore nanti.

Setelah jam kerja usai, Sylvi buru-buru menemui pengacaranya di tempat yang sudah mereka sepakati.

"Surat ini asli. Dan biasanya, surat perjanjian seperti ini dibuat dua rangkap agar bisa dipegang masing-masing pihak," ujar William Neil, pengacara blasteran Jerman yang memiliki kewarganegaraan Indonesia.

Ucapannya membuat Sylvi membeku tak berdaya. Benar-benar di luar nurul. Sejak kapan aku menandatangani surat perjanjian seperti itu? pikirnya kesal.

"Tapi aku gak pernah punya hutang piutang sama dia, Will," ujarnya lirih.

"Apalagi pakai surat perjanjian gini," lanjut Sylvi dengan nada suara menahan tangis.

"Masalahnya adalah, bagaimana mungkin tanda tanganmu ada di atas surat perjanjian ini jika bukan kamu sendiri yang menandatangani nya? Bahkan ada stempel perusahaan segala," ujar William bingung.

"Apa ada orang dekat yang menjebakmu?" Tanya William lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status