“Aku harus pulang bentar,” bisik Callista tanpa melepaskan pelukannya.
Adrian hanya mengangguk, tidak langsung menjawab. Tapi lengannya masih melingkar erat, seolah tubuh Callista akan runtuh kalau ia lepaskan terlalu cepat. Gadis itu menelan napas. “Ibu pasti nunggu. Meskipun beliau nggak bisa banyak gerak, aku tahu… beliau nunggu.” Adrian mengusap punggungnya pelan. “Kamu mau aku antar?” Callista menggeleng kecil. “Nggak. Aku harus ngadepin ini sendiri dulu. Kalau kamu ikut… aku takut malah nggak kuat.” Pria itu diam beberapa detik. Lalu berkata dengan suara serendah embusan napas, “Kalau ada yang bikin kamu lelah, pulanglah ke sini. Biarpun nggak banyak yang bisa aku tawarkan… tempat ini selalu terbuka buat kamu.” Callista tak menjawab. Ia hanya menunduk, lalu mencium pelipis Adrian seperti cara orang mengucap terima kasih… tanpa harus menyebut satu kata p“Aku harus pulang bentar,” bisik Callista tanpa melepaskan pelukannya.Adrian tidak menjawab langsung. Tapi pelukannya justru menguat, seolah ia ingin menahan tubuh gadis itu lebih lama, mengulur momen yang terasa terlalu singkat.Callista menghela napas. “Ibu pasti nunggu. Meskipun beliau nggak bisa banyak gerak, aku tahu… beliau nunggu aku. Walaupun cuma untuk dengar suara.”Adrian akhirnya mengangguk, pelan. “Kamu mau aku antar?”Callista menggeleng. “Aku harus sendiri kali ini. Kalau kamu ikut… aku takut aku malah ngumpet lagi di balik kamu.”Tangan Adrian mengusap punggungnya. “Kamu nggak pernah ngumpet. Tapi kalau kamu butuh pulang—ke Ibu, ke dirimu sendiri—aku ngerti.”Callista menarik diri sedikit, menatap mata pria itu. “Kalau nanti aku balik dan aku nggak sekuat yang kamu lihat sekarang…”“Kalau kamu balik dan lelah,” potong Adrian pelan, “aku di sini. Tempat ini buat kamu, nggak peduli kamu datang dalam bentuk
“Aku harus pulang bentar,” bisik Callista tanpa melepaskan pelukannya. Adrian hanya mengangguk, tidak langsung menjawab. Tapi lengannya masih melingkar erat, seolah tubuh Callista akan runtuh kalau ia lepaskan terlalu cepat. Gadis itu menelan napas. “Ibu pasti nunggu. Meskipun beliau nggak bisa banyak gerak, aku tahu… beliau nunggu.” Adrian mengusap punggungnya pelan. “Kamu mau aku antar?” Callista menggeleng kecil. “Nggak. Aku harus ngadepin ini sendiri dulu. Kalau kamu ikut… aku takut malah nggak kuat.” Pria itu diam beberapa detik. Lalu berkata dengan suara serendah embusan napas, “Kalau ada yang bikin kamu lelah, pulanglah ke sini. Biarpun nggak banyak yang bisa aku tawarkan… tempat ini selalu terbuka buat kamu.” Callista tak menjawab. Ia hanya menunduk, lalu mencium pelipis Adrian seperti cara orang mengucap terima kasih… tanpa harus menyebut satu kata p
“Kenapa kamu nggak pernah ragu sama aku?” suara Callista pelan, tapi tajam, seperti panah yang mencari sasaran paling jujur di dada Adrian.Pria itu sedang membuka laptop di meja kecil, jemarinya berhenti mengetik. Ia menoleh. “Karena kamu satu-satunya yang nggak pernah minta aku pura-pura.”Callista duduk menyandar, memeluk lutut. “Tapi kamu tahu aku bisa aja gagal. Bisa aja suatu hari nyerah.”“Tapi kamu belum nyerah sampai hari ini.” Adrian menutup laptopnya. “Dan itu cukup buat aku percaya.”Callista menunduk. Tak menjawab. Tapi di balik diamnya, ada dentuman pelan yang muncul: ia tidak sendiri lagi. Dan kepercayaan itu… tidak datang dari paksaan, tapi dari pilihan.Ia bangkit dan mendekat, lalu duduk di sisi Adrian. “Apa kamu pernah ngerasa… semua ini bisa hancur dalam sekali tebas?”“Setiap saat,” jawab Adrian, tak mencoba terdengar kuat. “Tapi aku juga sadar, hancur bukan berarti selesai. Kadang justru jadi mulai.”
Adrian memutar kunci mobil tanpa tergesa, membiarkan suara mesin menyala perlahan di bawah keheningan yang berat. Callista hanya diam di sampingnya, matanya masih menatap lurus ke depan—tapi pikirannya sudah kembali ke satu tempat yang tak pernah ia abaikan terlalu lama.“Ibu di rumah sendiri,” ucapnya pelan.Adrian meliriknya sejenak. “Kamu mau kita mampir dulu?”Callista mengangguk. “Aku nggak bisa tenang kalau belum lihat beliau.”Tanpa tanya lebih lanjut, Adrian mengarahkan mobil ke arah rumah tua di pinggir kota, tempat Callista tinggal bersama ibunya sejak dulu. Rumah itu tidak besar, tidak mewah, tapi selalu memiliki bau khas yang membuat Callista merasa—apa pun yang terjadi di luar sana—di sinilah akar dirinya.Saat mobil berhenti di depan pagar, Callista langsung turun. Tak perlu aba-aba. Ia melangkah cepat menuju pintu rumah, dibuka pelan, dan suara langkahnya menggema di lantai.“Ibu…”Suara dari dalam menjawa
Koridor kampus terasa lebih sempit dari biasanya. Bukan karena bangunannya berubah, tapi karena tatapan yang menyambut setiap langkah mereka. Bisik-bisik tak lagi malu-malu. Tapi tidak satu pun dari itu membuat Callista berhenti.Adrian tetap berjalan di sisi kirinya, tak sedikit pun menunjukkan ragu. Sorot matanya lurus, langkahnya mantap. Dan genggamannya pada tangan Callista tidak berubah—kuat, stabil, melindungi.Saat mereka berhenti di depan ruang kepala jurusan, Callista menarik napas dalam. Tapi sebelum Adrian sempat bicara, ia sudah lebih dulu berkata, “Aku ikut masuk.”Adrian menatapnya. Dalam. Sejenak, ia seperti ingin membantah. Tapi wajah Callista tidak menyisakan ruang untuk itu. Gadis itu tidak akan tinggal di luar. Bukan lagi.Pintu diketuk. Suara dari dalam mempersilakan mereka masuk.Ruangan itu sepi. Tegang, tapi bukan menghakimi. Kepala jurusan duduk di balik meja, diapit dua dosen etika. Tidak ada senyum. Tapi juga tid
Callista masih berbaring di dada Adrian. Tidak bergerak. Tidak bicara. Tapi dari cara napasnya yang menghangatkan kulit pria itu, Adrian tahu—ia sedang menyerap segalanya. Menyimpan detik-detik yang mereka punya, seolah waktu bisa mencurinya kapan saja.“Kalau aku hancur, kamu tetap mau pegang tanganku?” bisik Callista pelan.Adrian memejamkan mata. “Kalau kamu hancur, aku ikut pecah. Tapi setelah itu, kita bangun lagi. Bareng.”Callista mengangguk kecil. Kepalanya naik turun di dada pria itu. “Aku sering ngebayangin kamu waktu nggak ada aku. Kayak gimana hidupmu. Tapi sekarang aku sadar… aku nggak mau tahu. Karena yang aku pengen cuma satu: aku mau jadi bagian dari hari-harimu. Bahkan kalau hari itu buruk.”Adrian tersenyum samar. Ia meraih tangan Callista dan menaruhnya di atas dadanya. “Aku nggak punya hari baik sebelum kamu datang. Yang ada cuma rutinitas. Tanggung jawab. Dan kebohongan yang aku pelihara sendiri.”Callista tidak menjawab. Tapi jemarinya mengerat. Lalu mengusap dad