“Re—Regan,” ujar Sera terbata.
Ia sangat terkejut begitu melihat suaminya tiba-tiba kembali pulang. Apa Regan melihat yang Axel lakukan tadi? Apa Regan melihat semuanya?
Sera terlihat gugup, tapi sebisa mungkin menutupinya. Berbanding terbalik dengan Axel yang terlihat lebih tenang.
Bahkan pria itu tidak menurunkan tangannya dari pinggul Sera sejak tadi.
“Hai, Pa. Aku ke sini untuk menjenguk Nenek.” Axel menjawab dengan riang.
Selama ini nenek Axel, Nyonya Josephine tinggal di rumah yang sama dengan Regan dan Sera. Hanya karena sakit stroke membuat Nyonya Josephine terus berada di kamar.
Regan mengangguk, tapi matanya sedang menatap tangan Axel yang memeluk pinggul Sera. Seketika Sera menurunkan tangan Axel. Sementara Axel hanya tersenyum cengengesan melihat Regan.
“Tadi Tante Sera kepleset dan aku membantu memeganginya supaya tidak jatuh. Sepertinya lantainya masih basah.”
“Betul kan, Tante?” Axel kembali bersuara sambil menatap Sera. Sera yang awalnya terdiam gegas mengangguk, mengiyakan alasan Axel.
Regan hanya diam, tapi matanya sudah memperhatikan lantai. Sepertinya tidak ada bekas air di sana, tapi Regan tidak mau bertanya banyak.
“Ada berkasku yang tertinggal.”
Regan bersuara memecah keheningan kemudian langsung tergesa berjalan menuju ruang kerjanya. Axel mengikuti, sementara Sera memilih turun ke lantai satu. Ia tidak mau terlibat pembicaraan mereka.
“Apa Papa punya waktu sebentar?” tanya Axel.
Ia sudah menerobos masuk mengekor ayahnya. Regan menghela napas sambil sibuk mencari berkas di meja kerjanya.
“Ada apa lagi, Axel? Apa ada masalah di kantormu?”
Axel mengangguk dan langsung menarik kursi kemudian duduk di depan meja kerja Regan.
“Iya, urgen, Pa.”
Regan menghentikan aktivitasnya dan menoleh menatap Axel. “Ada apa?”
“Sekretarisku resign. Dia ikut suaminya mutasi keluar kota. Jadi, mau tidak mau aku butuh sekretaris baru.”
Regan berdecak. “Ya sudah, buka saja lowongan kerja. Papa yakin tidak dalam seminggu kamu sudah mendapatkan sekretaris baru.”
Axel manggut-manggut sambil menyilangkan kakinya.
“Iya, benar. Namun, aku tidak ingin seperti itu.”
Regan mengernyitkan alis dan kini duduk di kursi kerja berhadapan dengan Axel.
“Lalu apa maumu?”
“Ini perusahaan keluarga. Apa tidak sebaiknya jika anggota keluarga ikut berkecimpung dalam perusahaan ini?”
Regan masih terdiam, menatap Axel dengan bingung.
“Maksudku, aku minta izin ke Papa agar Tante Sera yang menjadi sekretarisku.”
Tidak ada jawaban dari Regan, tapi matanya sudah menatap penuh selidik. Axel menghela napas sambil menyandarkan punggung ke kursi.
“Tante Sera sudah resmi menjadi istri Papa. Apa salahnya dia tahu tentang perusahaan ini? Toh, tidak akan rugi juga.”
“Lagipula jika nanti aku berhalangan hadir, Tante Sera bisa menggantikan aku. Aku tidak perlu khawatir lagi soal perusahaan,” imbuh Axel.
Masih belum ada jawaban dari pria paruh baya itu, tapi kepalanya sudah mengangguk.
“Iya, kamu benar, tapi apa Sera bersedia?”
Axel mengendikkan bahu sambil mengulum senyum memainkan kakinya.
“Papa kan suaminya, masa tidak bisa membujuk Tante Sera.”
Regan membisu. Ia sudah paham apa maksud Axel. Sedikit banyak ia setuju dengan alasan Axel. Apalagi ada hal yang sudah ia siapkan dengan baik.
“Ya sudah, biar nanti Papa ngomong sama Tante Sera.”
“Kalau bisa secepatnya, Pa. Aku lagi banyak kerjaan sekarang.”
“Kalau bisa Tante Sera masuk kerja mulai besok.”
Mata Regan melebar menatap Axel dengan kesal, sementara Axel hanya mengulum senyum melihat reaksi ayahnya.
“Ya sudah, Papa bicara dulu dengan Tante Sera.”
Axel mengangguk. Selang beberapa saat kemudian, mereka kembali berkumpul di ruang tengah. Ada Sera yang duduk tidak jauh dari Regan dan Axel.
“Sayang … Axel sedang butuh sekretaris. Apa kamu bisa membantunya?” tanya Regan to the point.
Sera tampak terkejut mendengar permintaan Regan. Kenapa ini kesannya mendadak?
Sera belum menjawab, tapi ia sudah melirik Axel. Axel hanya tersenyum sambil sesekali mengedipkan sebelah mata. Untung saja Regan tidak melihat ulahnya.
“Eng … aku belum pernah jadi sekretaris. Apa aku bisa melakukannya, Regan?”
“Nanti aku ajari caranya. Tante tenang saja,” sahut Axel.
Sera terdiam sambil menatap Regan. Regan tersenyum dengan lembut kemudian berdiri menghampiri Sera dan duduk di sampingnya.
“Axel benar, Sayang. Ia akan mengajarimu nanti. Aku yakin kamu cepat belajar.”
“Eng … tapi aku takut malah memperlambat kinerja Axel nantinya,” tolak Sera.
Ia tahu maksud Axel memintanya menjadi sekretaris. Apalagi kalau ingin berada lebih dekat dengannya. Pria ini memang benar-benar nekat.
“Aku sama sekali tidak keberatan, Tante. Toh, pada akhirnya nanti Tante akan membantuku juga.”
Kembali Axel bersuara dengan santainya. Sera semakin gelisah, beberapa kali menghela napas sambil melirik Axel dengan kesal.
Regan melihat reaksinya kemudian dengan lembut mengelus tangan Sera. Sera terjingkat kaget dan hampir menepis tangan suaminya, tapi ia sadar ini bukan waktu yang tepat untuk melakukannya.
Entah mengapa sejak tahu perilaku menyimpang Regan. Sera sedikit ketakutan jika berinteraksi dekat dengannya.
“Sayang … kamu itu sudah menjadi bagian keluarga ini. Perusahaan yang dihandle Axel juga perusahaan keluarga. Apa salahnya jika kamu membantu kami?”
Sera membisu, menundukkan kepala sambil meremas kedua tangannya. Ia bingung harus memutuskan apa. Kalau boleh jujur, ia masih terkejut dengan kenyataan menyakitkan tentang Regan.
Pria yang ia pikir baik, penuh kasih dan lembut ternyata tidak seperti itu. Lalu kalau sudah begini apa Sera sanggup meneruskan pernikahannya.
“Lagipula … aku takut kamu kesepian di rumah. Belakangan ini, aku akan semakin sering keluar kota. Jika kamu punya aktivitas pasti tidak akan bosan.”
Regan menambahkan kalimatnya dan entah mengapa itu memberi angin segar untuk Sera. Sejak menikah dengan Regan, ia sudah tidak bekerja dan memutuskan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya.
Namun, sikap Regan yang menyimpang membuat Sera ragu. Bila terjadi sesuatu pada pernikahannya, ia harus mempersiapkan diri. Termasuk kondisi finansialnya.
Perlahan Sera mendongak, menatap Regan dan Axel bergantian.
“Baik, aku akan terima tawaran Axel.”
Regan dan Axel tersenyum bersamaan. Dua pria dengan dua tujuan berbeda itu senang mendengar keputusan Sera.
“Tante bisa masuk mulai besok. Aku harap Tante tidak datang terlambat.”
Sera mengangguk ke arah Axel.
“Kalau sudah selesai, aku berangkat dulu.”
Regan bangkit dari duduknya. Sera ikut bangkit kemudian berjalan di belakang Regan mengantarnya sampai pintu. Axel juga ikut serta berjalan bersisian dengan Sera.
Sesekali Axel melirik Sera dengan sebuah senyum menggoda. Hingga di suatu kesempatan, tiba-tiba tangan Axel meraih tangan Sera dan menggenggamnya erat.
Sera melotot, menarik tangannya agar lepas. Namun, Axel pura-pura tidak melihat malah mempererat genggamannya.
Hingga tiba-tiba Regan memutar tubuhnya dan langsung melihat mereka berdua.
Dengan kecepatan laksana cahaya, Axel melepas genggaman tangannya. Sehingga Regan tidak sempat melihat ulah nekat putranya.“Aku pergi dulu, ya?” pamit Regan ke Sera.Sera mengangguk dan terdiam saat Regan mendaratkan ciuman di bibirnya. Regan melirik Axel, menganggukkan kepala kemudian sudah berjalan masuk ke dalam mobil.Begitu mobil Regan menghilang, Sera tergesa masuk. Ia tidak mau berada lebih lama dengan Axel. Namun, pria tampan itu dengan cepat mencekal lengan Sera dan membuatnya urung pergi.“Kamu mau apa lagi?” tanya Sera dengan sebal.Axel mengulum senyum, berjalan mendekat hingga berdiri sejajar di depan Sera. Mata mereka beradu saling pandang.Perlahan tangan Axel merengkuh pinggul Sera dan menarik rapat hingga dada mereka menempel. Sera panik. Ia takut ulah mereka dilihat asisten rumah tangga di sini.“Tante gak usah panik gitu, dong. Aku kan cuman mau pamitan.”Sera berdecak. &l
“Re—Regan,” ujar Sera terbata.Ia sangat terkejut begitu melihat suaminya tiba-tiba kembali pulang. Apa Regan melihat yang Axel lakukan tadi? Apa Regan melihat semuanya?Sera terlihat gugup, tapi sebisa mungkin menutupinya. Berbanding terbalik dengan Axel yang terlihat lebih tenang.Bahkan pria itu tidak menurunkan tangannya dari pinggul Sera sejak tadi.“Hai, Pa. Aku ke sini untuk menjenguk Nenek.” Axel menjawab dengan riang.Selama ini nenek Axel, Nyonya Josephine tinggal di rumah yang sama dengan Regan dan Sera. Hanya karena sakit stroke membuat Nyonya Josephine terus berada di kamar.Regan mengangguk, tapi matanya sedang menatap tangan Axel yang memeluk pinggul Sera. Seketika Sera menurunkan tangan Axel. Sementara Axel hanya tersenyum cengengesan melihat Regan.“Tadi Tante Sera kepleset dan aku membantu memeganginya supaya tidak jatuh. Sepertinya lantainya masih basah.”“Betul
“Apa maksudmu, Regan? Aku … aku ---”Sera terperangah kaget mendengar ucapan Regan, tapi belum sempat Sera bersuara tangan Regan sudah turun mencengkram erat lehernya.Tidak hanya itu Regan sudah mendorong tubuh Sera menempel ke dinding di belakangnya.“Ekgrr … Re … gan … akhrgg … .”Sera kesakitan dan kesulitan bernapas. Wajahnya memerah dengan mata yang melotot. Belum lagi rasa nyeri dan sakit yang ia rasakan. Sera tidak tahu mengapa tiba-tiba Regan melakukan hal ini padanya.“Tidak mau ngaku, heh?”Sera kebingungan harus menjawab apa. Apa ini berkaitan dengan pengakuannya saat itu? Apa Regan tahu jika Axel orangnya?Belum selesai benak Sera berpikir, tiba-tiba Regan melepas cengkraman tangannya. Tubuh Sera merosot. Ia berulang kali batuk sambil memegang lehernya. Masih terasa nyeri tertinggal di sana.Sera pikir semua akan selesai, tapi dugaan Sera salah.
“Baguslah kalau begitu. Sekalian saja aku katakan sebenarnya apa yang terjadi di antara kita,” ucap Axel.Ia bangkit dari kasur dan tampak sibuk merapikan baju sambil berjalan menuju pintu menghampiri Sera. Sera melotot saat Axel hendak membukanya.“Kamu gila. Kamu ingin aku mati?”Axel terdiam, kepalanya miring menatap Sera dengan bingung.“Bukannya dari awal aku sudah memberimu solusi, Sera. Kamu yang menolaknya. Jadi, apa salahnya jika aku yang mengatakan langsung ke Papa?”“JANGAN!!!”Sera langsung menahan tangan Axel, mencegahnya membuka pintu. Axel terdiam, menatapnya dengan saksama.“Aku janji … aku janji akan melakukan apa saja yang kamu minta asal jangan katakan soal malam itu ke Regan.”“Aku mohon … .”Sera berkata dengan sungguh-sungguh. Axel trenyuh melihatnya, apalagi saat mata bulat wanita cantik itu menatapnya penuh ketul
“AXEL!!! Apa yang kamu lakukan di sini?” pekik Sera tertahan.Pria berusia 27 tahun itu tidak menjawab, malah meringsek masuk ke dalam kamar. Sera melotot dan berusaha menyuruhnya keluar, tapi tenaga Axel lebih besar darinya. Hingga pada akhirnya Sera mengizinkan Axel masuk.Ia berdiri diam sambil merapatkan jubah tidurnya. Kali ini ia sudah mengenakan lingerie merah nan seksi dengan belahan dada yang rendah. Untung saja ada jubah tidur yang menutupi lekuk tubuhnya.Axel tersenyum menyeringai kemudian berjalan mendekati Sera. Setiap kali Axel melangkah maju, setiap kali itu pula Sera berjalan mundur. Hingga langkahnya terhenti karena terantuk dinding di belakangnya.“Kenapa kamu selalu ketakutan jika melihatku?” tanya Axel kemudian.Sera menggeleng. “Aku tidak ketakutan, aku hanya ---”“Hanya apa?” Axel memotong kalimatnya dan sudah berdiri tak berjarak di depan Sera.Sera tidak menjawab
“Eng … aku rasa tidak. Aku baru ini melihatmu,” jawab Sera.Ia langsung menyambut uluran tangan Axel dan secepat kilat menariknya kembali. Axel hanya diam dan sama sekali tidak mempermasalahkannya. Apalagi setelah itu banyak tamu yang menghampiri Sera dan Regan hendak memberi selamat.Axel mundur dengan teratur dan memilih duduk di salah satu kursi. Ia hanya diam memperhatikan Sera sambil menikmati minuman yang disajikan.“Rasanya aku tidak salah. Dia wanita di malam itu,” gumam Axel.Mata pekatnya terus mengawasi gerik Sera dan tentu saja Sera jadi tidak nyaman. Padahal sepanjang acara, Sera merasa bahagia, tapi setelah kedatangan Axel dan perkenalannya tadi membuat Sera ketakutan.Bagaimana jika Axel mengatakan ke Regan kalau telah terjadi sesuatu pada mereka malam itu? Apa jadinya Sera jika Regan marah dan membatalkan pernikahannya?Beberapa kali Sera menghela napas untuk melepas ketegangannya dan itu diketa