Aku tidak pernah menyangka pertemuan malam ini akan berjalan di luar dugaan. Ruangan itu terasa hening. Celeste duduk dengan ekspresi datar, tetapi aku bisa melihat ketegangan di rahangnya. Joanne berdiri di hadapannya, tangannya terlipat di depan dada. Mata tajamnya menatap Celeste tanpa ragu sedikit pun. “Aku tidak suka bertele-tele, Celeste." Joanne membuka suara dengan nada tegas. “Aku tahu kau terlibat dalam ancaman terhadap Seraphina.” Aku menahan napas, lalu melipat bibir ke dalam. Jantungku cukup berdegup kencang, tapi ekspresiku memperlihatkan sebaliknya. Celeste mengangkat dagu, tatapannya tidak goyah sedikit pun. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan.” Joanne tertawa pendek. “Jangan pura-pura naif. Aku mengenal orang sepertimu. Selalu bermain di balik orang suruhan, lalu menyusun rencana tanpa berani mengotori tangan sendiri.” Wajah Celeste tetap tenang, tetapi aku melihat jemarinya menggenggam gelas di tangannya dengan erat. “Jika kau tidak punya bukti, jangan
Suasana rumah sakit terasa dingin, bukan hanya karena suhu AC yang menyelimuti setiap ruangan, tetapi juga karena ketegangan yang menggantung di udara. Aku duduk di kursi tunggu, tanganku mencengkeram lengan kursi dengan erat. Ibu masih berada di ICU, belum sadarkan diri sejak kejadian itu. Aku mencoba menenangkan napasku, tetapi pikiranku dipenuhi suara para perawat yang berlari tadi. Kejadian beberapa jam lalu masih berputar jelas di kepalaku. "Seraphina!" Suara Lucian membuatku tersentak. Aku menoleh dan melihatnya berjalan cepat ke arahku, wajahnya jelas tampak tegang. "Ada apa?" tanyaku, merasa suaraku sedikit bergetar. Lucian berhenti di hadapanku, matanya mengunci dengan dalam. "Seseorang mencoba menyusup ke ruang ICU ibumu." Jantungku seakan berhenti berdetak. Aku nyaris tidak bernapas sedetik. "A–apa? Apa ... maksudnya?" "Kami memang berhasil menghentikannya." Lucian melanjutkan, rahangnya terlihat mengencang dan menahan marah. "Keamanan rumah sakit sigap menangan
Aku tidak pernah benar-benar percaya pada kebetulan. Namun, malam ini, langkah kecilku menuju kebenaran justru membawaku ke dalam kenyataan yang lebih menyesakkan. Sejak beberapa hari yang lalu, setelah aku akhirnya kembali pulang ke apartemen tanpa menarik perhatian siapa pun, aku menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Lucian semakin sering pulang larut, tapi raut wajahnya sangat lelah dan tegang. Aku menduga itu karena urusan bisnis, tetapi ada sesuatu yang lebih dari sekadar masalah perusahaan. Malam ini, aku memutuskan untuk menunggu di ruang kerja Lucian. Duduk di kursinya, aku mengamati dokumen yang berserakan di mejanya. Berkas-berkas keuangan, laporan saham, dan satu map tebal berwarna hitam yang tampak paling mencurigakan. Aku membuka map itu, mataku langsung terpaku pada serangkaian foto yang terlalu aneh ada di sana. Celeste dan Damien. Mereka sedang bertemu diam-diam di sebuah restoran hotel mewah. Ada ekspresi serius di wajah mereka. Beberapa dokumen tampak di a
Semuanya terjadi begitu cepat. Aku tidak menyangka malam ini akan berakhir menyeramkan. Awalnya, aku hanya berniat pulang lebih awal setelah menghadiri acara amal yang diadakan keluarga Devereaux. Lucian masih sibuk berbincang dengan beberapa rekan bisnisnya, jadi aku memutuskan untuk pulang sendiri. Namun, begitu aku melangkah keluar dari gedung acara, udara dingin malam menyambutku dengan cara yang berbeda. Bukan hanya karena angin yang berembus, tetapi karena sesuatu yang terasa tidak beres. Sebelum aku sempat menyadari apa yang terjadi, sepasang tangan kuat tiba-tiba mencengkeram lenganku dari belakang. Aku berusaha melawan sekuat tenaga, tetapi seseorang membekap mulutku dengan kain berbau menyengat. Pandanganku langsung berputar sehingga tubuhku melemah dalam hitungan detik. Aku hanya sempat melihat bayangan hitam sebelum semuanya menggelap. Saat aku sadar, kepalaku terasa berat. Ada rasa nyeri di pelipisku dan tubuhku terasa lemah. Aku mengerjapkan mata, mencoba me
Aku menggigit bibir menahan rasa sakit. Mungkin wanita lain akan menangis karena cengkraman Celeste sangat kuat, tapi aku tertawa kecil. Ini tidak sakit sama sekali daripada melihat ibuku terbaring tanpa tahu kapan bisa sadarkan diri."Kau lucu, Celeste.""Jangan tertawa, sialan!" bentak Celeste. Tangannya beralih menekan leherku hingga aku mendongak."Lalu harus apa? Menyebutmu sakit jiwa?" Aku tertawa renyah. Celeste melebarkan mata. "Kau tahu, Seraphina? Aku selalu bertanya-tanya, apa yang membuat Lucian memilih wanita tidak tahu diri sepertimu?" Aku menatap balik tanpa takut. Senyumku masih setia di bibir. "Entahlah, mungkin pria itu sudah gila?" Celeste menyeringai tipis, lalu tiba-tiba melepaskan cengkeramannya. "Aku bisa melakukan ini dengan cara yang lebih mudah. Namun, jika kau ingin cara yang sulit, aku tidak keberatan. Kau memang menarik, Seraphina." Aku terbatuk-batuk sambil mengerutkan kening. Aku melihat wanita itu memberi isyarat kepada seseorang di sudut ruan
Aku menatap ke luar jendela, membiarkan pikiranku tenggelam dalam kekosongan. Setelah insiden penculikan itu, segalanya terasa begitu berat. Keberanian yang sebelumnya mengalir dalam diriku perlahan-lahan memudar, tergantikan oleh keraguan yang menggerogoti. Aku memejamkan mata, mengingat kembali bagaimana Damien dan Celeste berusaha menghancurkanku. Bagaimana aku hampir tidak bisa keluar dari situasi itu. Setiap detik dalam penangkapan itu terukir jelas di ingatanku, seperti bayangan gelap yang terus membayangi. Namun, yang lebih mengusik pikiranku adalah bagaimana Lucian muncul tepat waktu, seperti selalu tahu aku dalam bahaya. Dan sekarang, aku duduk di kamar ini, menunggu kejujuran yang katanya akan dia berikan. Meskipun sebenarnya aku tidak tahu, apakah aku benar-benar siap untuk mendengar apa yang akan dikatakannya? Pintu terbuka, dan aku bisa mendengar langkahnya mendekat. Setiap langkahnya terasa seolah beban yang dia bawa jauh lebih berat dari yang aku pikirkan. Ak
Aku memperhatikan Lucian yang berdiri di seberang meja. Raut wajahnya dingin seperti biasa, tetapi ada kilatan fokus di matanya. Di antara kami, berkas-berkas tersusun rapi—semua bukti yang selama ini dia kumpulkan. Laporan-laporan itu adalah hasil kerja keras yang akan membuktikan semuanya. "Jadi ini yang kau temukan?" Aku meraih salah satu dokumen dan membaca isinya. "Iya, aku sudah lama mencurigai Damien dan Celeste, tapi aku tidak bisa bertindak tanpa bukti konkret. Dan sekarang kita punya semuanya." Aku menggigit bibir. Ada banyak angka dalam laporan ini—transfer mencurigakan, aset yang tidak dilaporkan, dan transaksi ilegal yang mengarah pada penyelundupan. Damien dan Celeste benar-benar tenggelam dalam dunia kejahatan lebih dalam dari yang kuduga. Setiap halaman tampak seperti mencerminkan kegelapan dari kehidupan mereka yang selama ini tersembunyi. Lucian menyandarkan diri pada kursi, lalu menatapku lurus. "Setelah ini, tidak ada jalan kembali bagi mereka. Begitu kita m
Cahaya matahari pagi menembus celah tirai kamar rumah sakit sehingga menciptakan pantulan hangat di lantai putih yang mengilap. Aku berdiri di samping ranjang, menatap wajah ibuku yang tiba-tiba mulai membuka matanya perlahan. Napasku tertahan di tenggorokan saat jari-jarinya bergerak pelan. "Seraphina," panggil wanita itu seperti bisikan, membuat air bening spontan memenuhi pelupuk mataku. "Ibu!" Aku segera menggenggam tangannya dan menunduk untuk memastikan aku tidak sedang bermimpi. "Ibu benar-benar sudah sadar?" Tatapan matanya masih lemah, tapi ada sudah kehangatan di dalamnya. Dia mengedarkan pandangan, seolah memastikan di mana dia berada sekarang. "Berapa lama aku tertidur?" Aku tersenyum lembut sambil menangis. "Cukup lama, tapi itu tidak penting sekarang. Yang penting, Ibu sudah kembali. Aku senang bisa melihat ibu membuka mata lagi." Pintu kamar kemudian terbuka. Ayahku masuk dengan langkah terburu-buru. Wajahnya yang selama ini selalu terlihat tegar, kini dipenuh
“Saya turun di sini saja,” ucapku pada sopir taksi ketika mobil melewati sudut jalan tempat toko bungaku berdiri. Hujan masih belum turun, meski langit sudah menggelap sejak pagi. Di luar, angin bertiup pelan, menyapu dedaunan yang mulai menguning. Hari libur ini tidak berjalan seperti yang kubayangkan—tidak ada olahraga pagi bersama Lucian, dan tentu saja, tidak ada ketenangan.Aku melangkah masuk ke toko. Aroma bunga mawar putih menyambutku, dan suara lonceng kecil di pintu membuat Margaret yang sedang merangkai bunga menoleh cepat.“Seraphina?”“Margaret,” jawabku sambil tersenyum. “Kukira aku mampir sebentar. Sudah lama juga aku tidak ke sini.”Margaret langsung meletakkan gunting bunganya dan menepuk-nepuk kedua tangannya. “Wah, lihat siapa yang datang. Madam Fleur DeVere sendiri. Masih ingat tempat ini, rupanya.”Aku terkekeh pelan dan menyender ke meja kasir. “Tentu saja. Ini rumahku sebelum semua menjadi rumit.”
Hari libur seharusnya menjadi momen paling kutunggu—terutama jika bisa dimulai dengan wajah Lucian yang masih mengantuk dan rambutnya yang berantakan di atas bantal. Tapi pagi ini, tempat tidur terasa terlalu besar. Terlalu sunyi.Lucian berangkat kerja lebih awal. Dia bahkan tidak sempat sarapan."Hanya ada satu rapat penting," katanya saat mencium dahiku di ambang pintu. "Aku akan pulang cepat."Ya, tentu saja. Satu rapat penting, seperti kemarin. Dan hari sebelumnya.Kupaksakan tersenyum sambil menyeruput kopi. Biasanya kami akan ke gym bersama, lalu sarapan sambil berdebat kecil soal playlist lagu siapa yang lebih menyebalkan. Tapi pagi ini hanya ada suara jam dinding dan desahan angin dari jendela.Kupikir aku akan menghabiskan hari ini menonton drama Korea sambil mengenakan kaos bekas Lucian.Sampai ponselku berdering."Haelyn Devereaux".Nama yang muncul di layar membuat tenggorokanku tercekat. Kutatap la
Cahaya sore mengalir pelan melalui jendela kaca kafe kecil di sudut kota, membentuk siluet tenang di atas meja kayu bundar tempat aku duduk. Jemariku melingkar di cangkir teh yang mulai kehilangan panasnya, tapi aku nyaris tak menyadari itu. Pikiranku terlalu sibuk menimbang. Bertanya. Menebak-nebak.Dia sudah lima belas menit terlambat.Dan aku masih di sini.Bukan karena aku tak punya pilihan. Tapi karena rasa ingin tahu adalah jebakan yang manis sekaligus berbahaya.“Maaf, aku terlambat.”Suara itu membuatku menoleh. Pria itu berdiri di dekat meja dengan jaket hitam dan wajah yang lebih tirus dari yang kuingat dari foto-foto skandal yang dulu sempat beredar. Tak ada aura menggoda, tak ada karisma gelap seperti yang pernah digembar-gemborkan media. Yang kulihat hanya lelah.“Xander?” tanyaku, meski aku sudah tahu jawabannya.Dia mengangguk, lalu duduk dengan kikuk. Matanya bergerak cepat, menghindari tatapanku.
Langit siang itu sedikit mendung, tapi hangat. Angin dari laut membawa aroma asin yang terasa familiar. Aku memarkir mobilku di dekat dermaga kayu tua, tempat yang beberapa bulan lalu menjadi pelarianku. Saat dunia terasa seperti runtuh di bawah kakiku, aku pernah berdiri di sini, tak tahu harus ke mana. Tapi seseorang waktu itu menghentikanku. Seorang pria asing dengan mata penuh dunia. Hari ini aku kembali ke pantai itu. Bukan karena aku ingin melarikan diri, tapi karena aku ingin mengucapkan terima kasih. Untuk seseorang yang tidak kutahu namanya, tapi entah kenapa masih membekas dalam ingatanku seperti bekas luka yang tidak menyakitkan, hanya mengingatkan. Butuh waktu lima belas menit berjalan menyusuri pasir sebelum aku melihat sosoknya. Duduk di bangku kayu reyot, membelakangi laut, seperti sebelumnya. Diam, tenang, nyaris seperti batu karang itu sendiri. Aku ragu. Tapi akhirnya aku melangkah. Langkahku pelan agar tidak mengejutkannya, meski aku tahu—entah bagaimana—dia pasti
Langkahku mantap, meski tangan yang menggenggam gunting berlapis emas ini sempat bergetar sesaat. Di hadapanku, pita satin berwarna biru tua melintang di depan pintu kaca besar bertuliskan Fleur DeVere dalam font elegan dan tegas.Di belakangku, para tamu berdiri. Pers, investor, teman-teman yang pernah melihatku menangis diam-diam di pojok toko bunga lama milik ibuku. Hari ini bukan hanya soal gedung megah atau bunga-bunga yang menghiasi setiap sudut ruangan. Ini tentang bertahan. Tentang kelahiran kembali.Kutarik napas panjang, lalu mengayunkan gunting. Suara pita terpotong seperti gemuruh halus di dadaku. Gemuruh yang berkata: aku berhasil.Tepuk tangan menggema. Kamera menyala. Tapi dunia seolah mengabur saat aku melangkah ke podium. Mikrofon tingginya sejajar dadaku, tapi suaraku jauh lebih tinggi dari itu. Meskipun aku mengaku aku gugup, tapi beruntung aku bisa mengontrol diri."Saya dibesarkan di antara bunga." Aku memulai pembicaraan, dengan suaraku yang stabil dan rendah tan
Aku duduk di sofa sudut ruangan, mendengarkan nasihat dari Clara, salah satu konsultan bisnis yang Lucian panggil untukku. Clara orangnya tegas tapi ramah, tipe yang bisa membuat seseorang merasa bodoh dan termotivasi dalam satu kalimat. Sekarang dia sedang menjelaskan strategi untuk memperkuat posisi perusahaan baruku—yang Lucian serahkan padaku beberapa bulan lalu—di tengah persaingan yang semakin ketat. “Seraphina, kau harus lebih agresif dalam negosiasi,” kata Clara, menunjuk papan presentasi di depannya. “Jangan hanya mengandalkan nama besar Lucian atau koneksi Fedorov. Bangun reputasimu sendiri. Jika ada lawan yang bermain kotor, kau harus siap membalas dengan cerdas, bukan hanya emosi yang sia-sia." Aku mengangguk, mencatat poin-poin penting di buku catatanku. Sejak Lucian menyerahkan perusahaan baru ini padaku, aku belajar banyak—dari cara membaca laporan keuangan sampai menghadapi klien yang sok tahu. Namun, aku suka tantangannya. Rasanya seperti membuktikan bahwa aku
Apartemen terasa sepi tanpa Lucian malam ini. Dia berpesan ada urusan di kantor yang harus diselesaikan, karena itu aku pulang lebih dulu setelah kami meninggalkan mansion Fedorov pagi tadi. Cahaya lampu di ruang tamu menyala lembut, tapi aku merasa agak gelisah. Mungkin karena obrolan kemarin malam masih terngiang, atau mungkin karena aku masih mencerna semua yang terjadi di mansion. Aku akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang produktif—merapikan lemari lama Lucian di kamar yang sekarang jarang dia pakai. Lemari itu penuh dengan barang-barang yang sepertinya sudah lama tidak disentuh. Kotak-kotak berdebu, buku catatan kuliah, dan beberapa baju yang jelas sudah tidak muat lagi. Aku tersenyum kecil sambil mengeluarkan tumpukan kaos lusuh, bertanya-tanya kenapa Lucian masih menyimpan semua ini. Tapi saat aku menggeser sebuah kotak sepatu tua di rak bawah, sesuatu jatuh ke lantai dengan bunyi ringan. Aku membungkuk, mengambil benda itu, dan langsung terpaku. Sebuah gel
Malam menyelimuti mansion Fedorov dengan suasana yang hangat, meski udara di luar terasa dingin. Cahaya lampu-lampu taman memantul di permukaan air mancur, menciptakan kilau yang bikin aku ingin terus menatapnya. Setelah obrolan panjang di ruang duduk tadi, Fedorov bersikeras kami menginap. “Kalian sudah jauh-jauh ke sini,” katanya dengan nada yang tidak menerima penolakan. “Lagipula, ada kamar yang sudah disiapkan untuk kalian.” Aku dan Lucian cuma saling pandang, lalu mengangguk. Sulit menolak pria seperti Fedorov—bukan karena dia menakutkan, tapi ada aura yang membuatku merasa dia selalu mempunyai rencana lebih besar dari yang terlihat.Setelah makan malam yang mewah tapi entah kenapa terasa nyaman, kami dipanggil lagi ke ruang kerja Fedorov. Ruangan itu beda dari bagian lain mansion—dindingnya dipenuhi rak buku kayu tua, meja besar di tengah dengan lampu hijau klasik, dan bau samar kertas tua yang bikin aku merasa seperti masuk ke film detektif jadul. Fedorov duduk di balik me
Pagi ketiga di Lapland terasa seperti mimpi yang belum ingin kuberhenti jalani. Cahaya matahari pagi menyelinap lembut melalui jendela sehingga membawa kilau salju yang membuat segalanya terasa magis. Namun, ketika Lucian masuk ke kamar dengan wajah sedikit tegang—sesuatu yang jarang kulihat—aku tahu ada sesuatu yang berbeda hari ini. “Seraphina, kita harus pulang lebih awal,” katanya sambil duduk di tepi ranjang, sambil tangannya meraih tanganku dengan lembut. “Kakekku ingin bertemu kita. Secepatnya." Aku mengerjap, mencoba mencerna kata-katanya. “Kakekmu? Serius?” Aku pernah mendengar cerita-cerita Lucian, tapi pria itu selalu terdengar seperti legenda—pengusaha kaya raya yang keras kepala, hidup menyendiri di mansion mewahnya. “Kenapa tiba-tiba?” tanyaku tidak bisa menyembunyikan keterkejutan. Lucian menghela napas, jari-jarinya mengusap punggung tanganku. “Dia bilang sudah waktunya kita membicarakan tentang banyak hal. Mulai dari bisnis, pernikahan kita, dan yang paling utam