"Ikut aku kekantor." Gilang memberikan sebuah paper bag pada Risa.
"Selamat pagi, Kakak ipar. Kenalkan, aku Gio." Seorang remaja tiba-tiba masuk ke dalam kamar Gilang.
"Minggat, Lo." Gilang melempar sebuah sisir pada remaja itu.
"Gue cuma mau kenalan sama Kakak ipar aja, kali, Kak. Masa nggak boleh?"
"Minggat, gue bilang."
"Dasar pelit." Remaja itu pergi meninggalkan kamar Gilang sambil terus mengomel.
"Kak, dia ...."
"Gio, adikku." Gilang menjawab singkat.
Risa manggut-manggut mendengar penjelasan Gilang. Perempuan itu segera berganti pakaian karena takut Gilang kembali marah.
Sebenarnya Risa ingin merajuk atas sikap Gilang tadi malam, tapi saat dia menyadari bahwa pernikahan mereka tidak dilandasi cinta dan tujuan yang jelas, dia pun menganggap ucapan Gilang tadi malam suatu peringatan untuknya agar tidak banyak berharap pada pernikahan mereka.
"Sarapan di kantor saja." Gilang langsung menyeret Risa keluar kamar membuat perempuan itu mendengkus kesal.
"Tak bisakah Kakak berjalan lamban?" Risa setengah berlari menuruni anak tangga. Hatinya yang tadi malam kesal, pagi ini semakin kesal karena Gilang selalu menyeretnya.
"Kakiku panjang." Gilang terus melangkah tanpa peduli Risa yang setengah berlari mengimbangi langkahnya.
"Gilang, mau kemana kamu?" Nyonya Adiguna menyambut Gilang di bawah tangga.
"Ke kantor."
"Dengan mengajak Risa?"
"Tentu."
"Tidak, Gilang. Apa kata orang-orang di kantor nanti kalau sampai kamu membawa Risa?"
"Aku tidak peduli." Gilang menyeret Risa mengikuti langkahnya meskipun ibunya terus berteriak dengan kencang.
Gilang fokus membawa mobil tanpa bersuara meskipun Gio berkali-kali bertanya.
"Lo bisa diam nggak?" Gilang akhirnya menatap tajam pada Gio membuat remaja itu cemberut.
"Kak Risa kok mau sih nikah sama dia? Lelaki dingin. Ngomong aja irit banget." Gio menoleh ke arah belakang melalui kaca spion.
Risa hanya terdiam. Dia pun sebenarnya tidak ingin menikah dengan lelaki es seperti Gilang yang bahkan tidak mengajak berbicara atau bertanya barang sepatah kata.
Namun jika takdir berkata lain, dia harus berbuat apa? Selain menerima takdir tersebut dengan lapang dada.
"Bukan urusan Lo." Gilang menyahut membuat Gio kembali tersenyum kecut.
Gilang menurunkan Gio di halaman sekolah yang Risa kenal. Ternyata Gio satu sekolah dengan Della, anak Tante Tika yang cukup dekat dengan Risa.
"Kak, boleh aku menunggu sepupuku datang?" Risa mencoba berbicara dengan Gilang.
"Siapa?"
"Della, anaknya Tante Tika."
"Tidak!" Gilang langsung melajukan mobilnya meninggalkan halaman sekolah membuat Risa hanya tertunduk.
"Aku ini sebenarnya apa di mata Kak Gilang? Bahkan berbicara saja dia hanya seadanya," lirih Risa. Dia menahan sesak di dada karna ternyata Gilang seorang lelaki yang dinginnya lebih parah dari kulkas.
"Turun."
"Apa?"
Gilang menoleh ke arah pintu mobil agar Risa turun. Perempuan itu pun turun dari mobil bersamaan dengan Gilang.
"Kita mau kemana, Kak?" tanya Risa memberanikan diri
"Kelas kepribadian," sahut Gilang singkat.
"Kelas kepribadian?" Risa bertanya dengan setengah berlari.
"Pilih pakaian terbaik untuknya," perintah Gilang pada seorang karyawan di butik yang mereka sambangi.
Risa mencoba beberapa pakaian, lalu meminta pendapat Gilang. Lelaki menggeleng.
Risa mengerucutkan bibirnya karena kesal pada tingkah Gilang yang memintanya untuk terus mengganti pakaian di kamar pas, lalu memakai lagi pakai yang lain. Bahkan hingga pakaian kelima, Gilang masih tidak mengangguk.
"Coba ini." Gilang mengambil beberapa potong pakaian dan memberikan pakaian itu kepada Risa.
"Menyebalkan sekali." Risa menggerutu saat masuk ke dalam kamar pas.
Perempuan itu segera mencoba pakaian yang diberikan kepada Gilang dengan harapan kali ini Gilang suka dan tidak memintanya mengganti dengan pakaian lain.
"Kak, bagaimana dengan yang ini?"
Gilang memperhatikan Risa, lalu tersenyum dan mengangguk. Itu artinya dia setuju dengan pakaian yang Risa pakai.
"Coba semua pakaian itu," perintah Gilang membuat Risa terbelalak.
Setelah semua pakaian yang Risa coba sesuai selera Gilang, mereka kembali membelah jalan raya.
Gilang memarkirkan mobilnya ke suatu tempat yang hampir mirip dengan sebuah rumah, tapi lebih tertata minimalis.
Risa mengikuti langkah Gilang untuk masuk ke dalam bangunan tersebut. Di dalam bangunan itu ada banyak sepatu berhak tinggi dan beberapa buku tebal yang terletak di atas meja. Ada juga sebuah penggaris panjang yang terbuat dari kayu.
Seorang perempuan cantik menghampiri Risa dan Gilang. Dia mengulas senyum dengan manis dan mempersilahkan tamunya duduk di sofa tamu.
"Ajarkan istriku tentang kepribadian yang sekelas denganku. Aku tidak ingin, istriku dipermalukan orang banyak di hari istimewaku nanti, " ujar Gilang kepada perempuan yang memakai name tag "Vani"
"Siap, Bos ... aman," ujarnya.
Risa bingung melihat tempat tersebut. Kebingungan itu bisa tertangkap oleh Gilang.
"Kamu adalah istriku. Jadi, penampilan dan kepribadianmu harus sekelas denganku. Aku tidak ingin kamu nanti dipermalukan oleh orang di tempat umum dan tempat yang kelasnya istimewa." Gilang berucap seraya menatap iris mata Risa lekat-lekat.
"Aku harap, kamu bisa belajar dengan baik dan tidak mengecewakanku." Gilang berlalu meninggalkan Risa dan Vani.
Risa hanya menatap punggung Gilang yang menghilang di balik pintu. Betapa dia berharap Gilang mengusap lembut kepalanya atau sekedar mengucapkan kata pamit, tapi hingga lelaki itu masuk kembali ke dalam mobil, tak ada klakson atau lambaian tangan dari Gilang. Membuat Risa merasa bersedih.
"Mari, Nyonya, aku akan mengajarkan banyak hal padamu." Vani berujar dengan lembut membuat Risa merasa sungkan.
Risa mengikuti langkah Vani untuk masuk ke dalam ruangan yang telah disiapkannya.
Ternyata, Risa di sini diajarkan berjalan, berbicara, dan bersikap di meja makan. Semua dijelaskan oleh Vani panjang lebar agar Risa mengerti.
"Kuncinya Fokus, ya, Nyonya. Bayangkan anda bisa membuat bangga Bos Gilang," ujar Vani memberi semangat pada Risa.
Risa diajarkan berjalan dengan menggunakan sepatu hak tinggi. Dia juga diajarkan bersikap elegan saat ada orang yang menghina ataupun mengejek. Bukan hanya itu, Risa diajarkan untuk duduk dengan benar di meja makan.
Risa benar-benar bingung karena semua itu harus dipelajari dan ternyata pelajaran itu sangatlah berat.
Risa tidak boleh berjalan dengan tergesa-gesa, tidak boleh berbicara kasar, tidak boleh bersikap aneh di meja makan. Dia harus duduk manis dan terus menebarkan senyum kepada semua orang.
"Kakiku rasanya mau lepas." Risa memijat kakinya yang mulai pegal karena memakai sepatu hak tinggi.
"Santai saja, ya, Nyona. Bernapas yang normal, jangan merasa terbebani, Oke. Santai," ujar Vani memberi Risa arahan.
Risa menarik napas dalam-dalam. Dia terus mengikuti instruksi dari Vani agar bisa belajar lebih maksimal.
"Ternyata, gaya jalan orang kaya juga harus di atur. Benar-benar menguras emosi dan tenaga, tapi demi Kak Gilang, tetap harus aku lakukan. Aku adalah Istrinya, walaupun istri dari hasil dibeli di F******k, tapi aku harus tetap berterima kasih, karena pelelangan ini membuat aku selamat dari para rentenir yang terus mengejar Tante Tika." Risa menekadkan hatinya untuk belajar demi mengabdi pada Gilang.
Risa menarik napas dalam, dan menghembuskannya secara perlahan. Mencoba bersikap santai walaupun kepalanya rasanya sudah mulai oleng oleh tumpukan buku yang terus ditambah jumlahnya oleh Vani.
"Hati-hati, ya Nyonya. Jangan sampai mengenai garis," Vani terus mengawasi Risa. Entah sudah beberapa kali Risa menjatuhkan buku-buku tersebut dikepalanya, dan entah berapa kali Risa berjalan keluar garis.
"Cukup bagus, aku rasa kalau satu Minggu, Kakak akan lulus," ujar Vani.
Risa terbelalak. "Selama seminggu? Oh Tuhan, sehari ini saja rasanya sangat lelah. Kakiku rasanya pegal semua, kepalaku juga rasanya pening karena tumpukan buku-buku tersebut." Risa terduduk lesu.
Materi itu sangat berat bagi Risa. Tubuhnya serasa mau remuk karena harus mondar-mandir berjalan menggunakan sepatu berhak tinggi dengan buku-buku yang berada di atas kepal. Setiap gerakan Risa hampir sempurna, Vani pasti menambahkan buku di kepalanya sehingga Risa kembali oleng.
"Ternyata menjadi orang kaya itu sangat ribet," gerutu Risa.
"Tidak ribet, Nyonya. Ini baru hari pertama. Percayalah, esok Nyonya pasti akan terbiasa," sahut Vani tersenyum.
"Besok, materi table manner. Bagaimana cara duduk di meja makan, berbicara depan relasi bisnis, dan lainnya." tambah Vani lagi.
"Ya Tuhan, mau berbicara juga harus di atur, aku tidak bisa membayangkan. Bukan tidak mampu membayangkan lelahnya, tapi aku tidak mampu membayangkan, jika nanti aku masih melakukan kesalahan di depan orang banyak, padahal aku sudah berada di kelas ini." Risa berkata lirih.
"Maka dari itu, Nyonya harus semangat!" Vani mengusap punggung Risa dengan lembut.
Menjelang sore, Gilang datang menjemput Risa dengan tampilan yang sangat tampan. Risa bahkan terpesona melihat ketampanan Gilang yang sedang mengenakan pakaian casual.
"Bagaimana, Van?" tanya Gilang.
"Tidak buruk. Dalam waktu seminggu, semuanya oke," ujar Vani menepuk pundak Risa dengan lembut.
"Aku percayakan ini padamu," ujar Gilang seraya menggenggam tangan Risa.
Risa merasakan debaran yang aneh setiap kali berada di samping Gilang. Pada awalnya, dia merasa kesal setiap kali melihat sikap dingin Gilang, tapi hari ini Risa merasa tetap nyaman meskipun kedinginan Gilang tidak bisa dia cairkan.
"Sudah makan?" Suara bariton Gilang mengagetkan Risa.
"Hah?" Risa hanya termangu karena tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Gilang.
"Ck." Gilang mendengkus kesal.
Lalu memarkirkan mobil di sebuah restoran.
"Turun," Gilang memberi perintah kepada Risa.
Risa segera turun dari mobil dan membiarkan Gilang menyeret langkahnya seperti biasa.
Gilang membawa Risa masuk ke dalam sebuah restoran. Mereka masuk ke dalam sebuah ruangan tertutup yang mana disana ada sebuah meja bundar dengan dua kursi yang di atas meja tersebut ada dua lilin yang menyala. Gilang menarik salah satu kursi, lalu mendudukkan Risa di kursi tersebut. Kemudian, dia duduk di kursi yang berseberangan dengan Risa.
"Silakan." Pelayan Restoran menghidangkan makanan di hadapan Gilang dan Risa.
Risa tidak pernah melihat makanan seperti itu sebelumnya. Perempuan itu hanya terdiam karena tidak tau bagaimana cara makan makanan tersebut. Ada pisau, garpu, dan di mana nasinya?
Risa menatap Piring porselen berwarna putih yang ukurannya cukup besar, tapi didalamnya hanya ada sepotong daging, sebuah pisau dan sebuah garpu.
"Besok, kamu belajar cara duduk di meja seperti ini, dan makan makanan seperti ini," ujar Gilang tanpa menoleh pada Risa.
"Kakak tahu aku belum belajar table manner, lalu mengapa mengajakku kemari?" sungut Risa.
Baru saja Gilang hendak menyahut, ponselnya berdering.
"Apa? Amira menangis?"
***
"Katakan padanya kalau Bundanya sedang sibuk."" ... ""Hhhh. Baiklah, aku akan segera pulang." Gilang memanggil pelayan dan membayar makanan mereka, lalu mengajak Risa segera pulang ke rumah."Amira kenapa, Kak?""Aku tidak tahu." Risa tidak berani bertanya lebih banyak karena khawatir Gilang akan marah. Mereka tergesa-gesa masuk ke dalam rumah saat mobil sudah terparkir di halaman."Bunda ... kenapa Bunda pergi lagi?" Amira berhambur memeluk Risa yang baru saja menginjakkan kaki di lantai atas."Karena dia bukan ibumu, Amira!" Nyonya Adiguna muncul dengan bersidekap dada."Ma-maksud Oma apa?" Amira menatap Risa dan Omanya secara bergantian."Iy, Oma sudah bilang berkali-kali, kalau Ibumu itu sudah mati, dia sudah mati karena dia yang membunuh anak tertuaku, ibumu itu pembunuh!" Nyonya Adiguna menunjuk-nunjuk wajah Amira sehingga gadis kecil itu ketakutan.Risa segera memeluk Amira yang ketakutan."Cukup, Ma! Mega bukan pembunuh, kalau ada yang disalahkan atas kematian Kak Gading,
"Ini, Risa … dia istriku," Gilang mengisyaratkan agar Risa memberi hormat. Wajah Bik Ijum berubah menjadi keruh, dan beberapa bulir bening menetes di pipinya. Risa tidak mengerti mengapa Bik Ijum memanggilnya dengan sebutan Mega. "Mega … aku pernah mendengar nama ini. Tapi aku lupa, dimana itu." Risa bergumam seorang diri. Gilang lalu menggandeng Risa menuju sebuah kamar. Kamar yang tidak kalah mewah dengan kamar di rumah Gilang. "Ini kamar kita," Gilang menatap Risa dan membuka kopernya, lalu memasukkan pakaiannya ke dalam lemari. "Biar aku saja, Kak," ujar Risa seraya menahan tangan Gilang. Namun, Gilang menatap tajam ke arah Risa seakan tidak suka apa yang dilakukan oleh istrinya itu "Harus berapa kali aku katakan. Aku tidak ingin, kamu menyentuh barang-barang milikku." Suara bariton Gilang membuat dada Risa kembali sesak seperti beberapa saat yang lalu. Melihat Gilang yang sibuk memasukkan pakaiannya ke dalam lemari, Risa memutuskan untuk masuk ke dalam kamar mandi dan mencu
"Malam ini Amira mau tidur di pelukan Bunda sampai pagi." Amira memainkan rambut Risa sambil sesekali menoleh ke arah Gilang. Gadis kecil itu bicara dengan nada lirih karena takut ayahnya akan marah. "Ehem, tapi Bunda lelah." Gilang menyahut. "Dulu sebelum tenggelam, Bunda menemani Amira tidur sampai pagi, kok. Bunda juga tidak pernah masuk ke dalam kamar ayah." Amira sedikit bersikeras pada Gilang. "Tidak pernah masuk kamar Kak Gilang?" Risa menatap Gilang yang tengah menengadah kepalanya. "Seperti apa hubungan Kak Gilang dan istrinya sebenarnya?" batin Risa lagi. "Baiklah." Gilang mempersilahkan Risa membawa Amira masuk ke dalam kamar Amira. Amira berbaring di pelukan Risa dan meminta berdongeng seperti kemarin. Gadis kecil itu mendengarkan Risa berdongeng sampai tertidur. "Bik Ijum?" Risa terkejut saat Bik Ijum tiba-tiba masuk ke dalam kamar Amira. Bik Ijum Risa. Dia tersenyum dan berkata. "Terima kasih telah kembali." Risa menatap ke arah Bik Jum. Perempuan itu tampak meny
"Kak." Risa menahan napas saat Gilang semakin merangkulnya ke dalam pelukan dan lelaki itu pun menarik selimut yang tadi sempat terbuka. "Mega ... kenapa kamu ninggalin aku?" Risa tiba-tiba terkejut saat Gilang menangis sambil memeluknya. "Apa kamu nggak tahu kalau aku sangat mencintaimu?" Gilang berbicara sambil memeluk erat tubuh Gilang. "Ternyata ... Kak Gilang mengira aku Mega." Risa beringsut bangkit dari ranjang dan meletakkan guling di pelukan Gilang. Hatinya sakit dan patah karena Gilang ternyata tidak bisa melupakan mantan istrinya yang saat ini Risa tidak tahu di mana keberadaannya. Risa mencoba menerima kenyataan pahit atas pernikahannya, tapi dia berharap lelaki itu mencintainya. Namun ternyata, Risa dinikahi hanya untuk dijadikan ibu bohongan untuk Amira. *** Risa menatap sinar matahari pagi yang menerpa permukaan kolam di depan rumah yang Di dindingnya berdiri sebuah background menyerupai gua. Dia menata bunga bunga cantik yang berada di taman di sudut rumah d
Risa semakin tak mengerti dengan sikap Tante Tika yang bisa-bisanya mengatakan kalau Della bukan anak kandungnya."Apa maksud Tante?" Risa maju dan mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dia ingin menghadiahkan bogem mentah pada perempuan iblis itu."Iya, Dela bukan anakku. Dela adalah anak sahabatku yang meninggal ketika Della masih bayi," ujar Tante Tika membuat Risa dan Della tidak percaya.Tante Tika tersenyum miring. "Aku di beri sahabatku warisan untuk menjaga dan merawat Dela, makanya aku jauh lebih sayang pada Dela yang bukan siapa-siapa dibandingkan kamu, keponakanku sendiri," ujar Tante Tika menuding Risa dengan jarinya.Risa terperangah mendengar perkataan Tante Tika karna dia memang merasakan perbedaan sayang Tante Tika padanya dan Della. Risa bisa memahami karna Della adalah anak kandungnya, sedangkan Risa hanya kemenakan Om Herman.Dela pun terperangah saat mendengar perkataan Tante Tika. Ia menggeleng seakan tidak mempercayai kenyataan tersebut. "Apa?" Gadis itu merosot ke la
"Kita harus segera memakamkan Om Herman." Gilang membujuk Risa dan Della agar berhenti menangis.Setelah jenazah Om Herman dibersihkan oleh petugas rumah sakit, mereka membawa Om Herman pulang ke rumah dengan memakai ambulans rumah sakit. Risa dan Dela ikut bersama ambulans untuk mendampingi Om Herman yang terakhir kalinya. Awalnya, Risa ingin Om Herman dibersihkan di rumah saja dan di kafankan di rumah, tapi Gilang memberi pendapat agar sebaiknya Om Herman dibersihkan oleh pihak rumah sakit agar langsung dimakamkan di pemakaman umum."Kalau kita bawa ke rumah otomatis kita harus membersihkan kan rumah dulu." Gilang menatap Risa dengan lekat. Gilang membantu Risa dan Dela mengurus pemakaman Om Herman. Risa tidak menyangka kalau ternyata Gilang sebegitu peduli padanya dan Della yang telah kehilangan Om Herman. Gilang juga yang sudah membayar semua biaya pemakaman termasuk minta seorang ustadz untuk membantu proses pemakaman tersebut."Kamu tenang saja. Semua biaya sudah aku handle."
Gilang hanya membisu membuat Risa mundur dan memilih untuk menenangkan dirinya sendiri dengan cara yang lain. Dia tidak ingin mempermalukan dirinya dengan mengemis pelukan pada Gilang."Risa ...!" Gilang menahan tangan Risa yang hendak pergi. Detik berikutnya Gilang menarik Risa dalam ke dalam dekapannya. Lelaki itu memeluk Risa dengan erat sambil mengusap punggung dengan lembut."Aku semakin merasa ini adalah tempat yang paling nyaman untukku. Aku merasa kalau pelukan ini benar-benar membuat aku mampu melupakan semua kesedihanku. Bolehkah aku berlama-lama di sini?" Risa menangis tersedu-sedu di pelukan Gilang."Jangan bersedih lagi, kamu harus mengikhlaskan Om Herman agar dia tenang di sisinya." Gilang membingkai wajah Risa dan mengusap air mata yang membanjiri wajah gadis dengan lembut. "Kamu boleh berada di pelukanku selama apa pun yang kamu mau," tambah Gilang lagi seraya mencium pucuk kepala Risa membuat Risa semakin merasa nyaman.Risa tersenyum mendapati perhatian dari Gilang
"Menurutmu bagaimana?" Gilang balik bertanya kepada Risa."Gimana kalau Della tinggal dirumah Kak Gilang aja. Kan ada Gio yang super duper ganteng menjaganya dari orang-orang suruhan Tante Tika." Gio langsung angkat bicara "Aku nggak setuju!" sanggah Gilang."Elah, Kak. Kenapa nggak setuju? Kan biar kami bisa berangkat barengan ke sekolah?" Gio tetap bersikukuh pada pendiriannya."Barengan? Enak di kamu nggak enak di aku!" cicit Gilang."Aku kan ... cuma ....""Della tinggal di apartemenku saja." Gilang terus menatap ke depan tanpa menoleh pada siapa pun."Di apartemen? Tapi, Kak!"Pletakk"Mulut Lo berisik, bisa diam nggak!" Gilang menjitak kening Gio karena pemuda itu terus membantah ucapan kakaknya. "Kalau Della tinggal di apartemen, itu jauh lebih aman karna tidak sembarangan orang yang bisa masuk ke sana dan Della juga berangkat sekolah lebih dekat," tambah Gilang lagi."Aku menurut saja bagaimana baiknya menurut Kakak," sahut Risa. Gadis itu membelai rambut Della dengan lembut