Share

Banyak pertanyaan di dada

"Aku .... Errr ..." Risa bingung harus menjawab apa.

"Cepat mandi, dan bersihkan dirimu." Gilang berdiri di hadapan Risa, lalu menunjuk sebuah pintu dengan dagunya.

"Ak-aku segera mandi!" Risa langsung meraih pintu dan masuk seperti ketakutan.

Risa segera membersihkan diri, lalu berganti pakaian. Ia memakai dress terbaik yang dia punya karena memang dia tidak memiliki pakaian yang bagus.

Setelah rapi, Gilang mengajak Risa turun untuk makan bersama anggota keluarga. Dari kejauhan Risa melihat ruang makan yang cukup mewah. Meja makan tersebut terbuat dari kaca yang tebal berukuran panjang yang di setiap sisinya terdapat beberapa kursi yang tak kalah mewah.

Risa melihat Mama dan Papa Gilang sedang menikmati makan malam bersama. Sesekali terdengar derai tawa dari kedua pasangan suami istri tersebut. 

Risa ragu untuk melangkah karena tadi siang masih terngiang di telinganya kalau kedua orang tua tersebut tidak menyukai kehadirannya.

Namun, tangan Gilang terus menyeretnya. Tangan lebar itu menggenggam tangan mungil Risa agar berjalan bersisian. Gilang menarik sebuah kursi, lalu mendudukkan Risa di kursi tersebut; Gilang juga duduk di kursi sebelah Risa.

"Berani-beraninya kamu ajak perempuan itu makan bersama kami, bikin nafsu makan hilang saja," ujar Mamanya Gilang menunjuk wajah Risa.

Mama Gilang yang tadi begitu asyik menikmati makan malam menghentikan aktivitas makannya. Perempuan paruh baya itu menatap Risa dengan penuh kebencian.

"Oke, aku juga mendadak hilang nafsu makan." Gilang menggandeng tangan Risa dan menyeret perempuan itu keluar rumahnya.

"Kak, kita mau kemana?" Risa mencoba mensejajarkan tubuhnya karena langkah Gilang cukup lebar.

"Makan."

"Makan di mana?"

"Di mana saja."

"Kenapa jalan kaki?"

Gilang menghentikan langkahnya dan menatap tajam pada Risa.

"Jangan tanyakan sesuatu yang tidak penting." Gilang berujar tanpa menoleh ke arah Risa. Tatapan matanya masih tetap lurus ke depan.

Risa mendengus kesal. "Dasar manusia es." 

"Apa?" 

"Eh, nggak, Kak."

Gilang terus mengandeng tangan Risa hingga mereka sampai di sebuah warung nasi uduk di pinggir jalan. Lelaki bernama elang itu mendudukkan Risa di sebuah kursi dan memesan makanan untuknya.

"Makanlah." ujar Gilang seraya menambahkan ayam goreng ke dalam piring Risa.

"Kak, kenapa kita tidak mengajak Amira serta?"

Gilang menghentikan makannya, lalu meletakkannya sendok di piring."

"Ada Asih." Gilang melanjutkan makan hingga piringnya bersih tak bersisa.

Risa benar-benar merasa dinikahi oleh lelaki dingin yang bahkan berbicara saja sangat irit. 

***

Langit begitu hitam sehingga batas dengan bumi hilang, akibatnya bintang dan lampu kota bersatu seolah-olah berada di satu bidang. 

Risa dan Gilang baru saja hendak masuk ke dalam kamar setelah menikmati makan malam.

"Bunda …." Amira memanggil Risa.

"Iya, Sayang," sahut Risa. Gadis itu menghampiri Amira.

"Malam ini boleh Amira minta Bunda temani sebelum tidur?"

Risa menoleh ke arah Gilang untuk meminta persetujuan. 

"Ayah temani juga." Gilang menggendong Amira masuk ke dalam kamar. Mereka bertiga duduk di tepian ranjang Amira.

"Amira boleh minta sesuatu?" ujar Amira menatap Risa dan Gilang bergantian.

"Mau apa, Sayang?" tanya Gilang dengan senyum manis.

"Amira mau punya Adik," ujar Amira, sontak membuat wajah Risa bersemu merah.

"Bukankah Bunda pernah bilang, akan memberikan Amira adik?" ujar Amira lagi.

"Ehm, itu …." Risa gugup. Dia tidak tau harus menjawab apa. 

Namun, raut wajah Gilang berubah.

"Kapan bunda bilang mau kasih Amira adik?" tanya Gilang.

"Sehari sebelum bunda tenggelam, dan di bawa keluar negri," sahut Amira.

Gilang berdiri dan mengepalkan kedua tangannya. Ada amarah yang tergambar di raut wajahnya. Dadanya naik turun dengan gigi yang bergemelutuk.

"Temani Amira." Gilang berlalu meninggalkan Amira dan Risa. 

"Kenapa Kak Gilang terlihat marah?" Risa menatap Gilang yang menghilang di balik pintu.

Amira kemudian membaringkan kepalanya di pangkuan Risa, gadis kecil itu bermanja-manja dengan penuh bahagia. 

Risa membelai rambut panjang Amira. Dia mulai menyukai gadis kecil itu. Gadis kecil yang memiliki kulit putih dan berambut panjang. Pupil matanya agak menyipit dengan iris mata berwarna coklat. Anehnya, Amira sedikitpun tidak mirip dengan Gilang.

"Kalau Amira mirip ibunya, tentu juga mirip denganku. Tapi, wajah Amira tak ada mirip-miripnya denganku." Risa bergumam seorang diri.

"Bunda, maukah Bunda berdongeng tentang putri salju?" Amira bangkit dari pangkuan Risa.

"Kenapa harus bercerita tentang Putri salju?" 

"Karena Bunda selalu bercerita tentang Putri salju. Bukankah Bunda mengatakan kalau Bunda tidak tahu tentang cerita lain? Bunda hanya mengenal tentang cerita Putri salju." Amira menyentuh pipi Risa dengan lembut.

Risa terkesiap. Ada banyak kenangan antara Amira dan ibunya yang sama sekali tidak pernah dia ketahui. Risa tidak berani menanyakan kepada Gilang tentang apa yang selalu dilakukan oleh ibunya Amira. Dia takut Gilang akan marah.

"Bunda lupa, Sayang," sahut Risa.

"Kalau begitu bunda bisa bercerita tentang apa?" Amira tak berhenti sampai di situ. Dia terus bertanya kepada tentang cerita-cerita yang bisa Risa menceritakan kepadanya.

"Cerita kancil dan buaya Bunda bisa," sahut Risa penuh keyakinan.

"Bukankah Bunda tidak bisa bercerita tentang kancil dan buaya?" Amira menyipit. Gadis kecil itu menatap lekat-lekat iris mata Risa.

"Bunda, kenapa warna mata bunda berubah?" Amira memiringkan kepalanya demi mempertajam penglihatannya.

Risa merasakan debaran yang kencang di dadanya. Dia takut Amira curiga kalau dia bukan ibu kandungnya.

"Oh, itu sayang ... Bunda memakai softlens berwarna hitam pekat agar mata bunda terlihat lebih cantik." Risa menjawab asal.

"Padahal Amira lebih suka warna asli mata Bunda."

"Besok Bunda ganti lagi, ya." Risa berusaha meyakinkan Amira agar tidak bertanya lebih banyak.

"Bunda, ingat tidak, kita sudah menyiapkan nama untuk adek Amira nanti," ujar Amira tersenyum manis.

Risa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia benar-benar dibuat gemas oleh Amira. Bocah kecil itu selalu menayangkan sesuatu yang tidak Risa ketahui.

"Nama adik bayi? Aku bahkan tidak pernah terpikir untuk memiliki seorang bayi pada saat ini." Risa membatin.

"Ehm, bunda tidak ingat, Sayang. Sejak kejadian itu, bunda banyak melupakan beberapa hal. Tapi bunda akan berusaha mengingatnya." ujar Risa mencoba menghibur Amira. 

"Janji?" Amira mendekatkan jari kelingkingnya.

"Bunda janji." Risa menyambut jari kelingking Amira dengan jari kelingkingnya.

"Ya Tuhan, kepalaku rasanya mau pecah mendengar setiap pertanyaan yang keluar dari bibir Amira. Aku tidak bisa terus-menerus seperti ini. Aku harus bertanya kepada Kak Gilang apa yang sebenarnya terjadi pada ibunya Amira. Aku juga harus menanyakan tentang apa yang biasa dilakukan oleh ibunya Amira." Risa berkata di dalam hati. Dia benar-benar harus menanyakan segala sesuatu tentang Amira.

Risa bertekad untuk menanyakan hal itu besok karena dia tidak ingin terus-terusan dibuat pusing oleh pertanyaan Amira yang tak bisa dia jawab.

Setelah Amira tertidur, Risa masuk ke dalam kamar dan menatap Gilang yang sedang melamun di dekat jendela. Wajah lelaki itu menyimpan duka dan marah yang bisa dilihat oleh Risa.

"Kak."

"Tidurlah."

Risa hanya menghela napas panjang, lalu mengambil jaket Gilang yang terletak di atas ranjang.

"Jangan sentuh itu!" 

Risa meletakkan kembali jaket tersebut.

"Jangan sentuh barang-barangku. Aku tidak suka." Gilang mengambil jaket tersebut dan menggantungnya di balik pintu.

Sesak hati Risa mendengar perkataan Gilang. Jika barangnya saja tidak boleh disentuh, lalu bagaimana dengan hatinya?

***

Comments (16)
goodnovel comment avatar
Noundtt Iefachaj
huuuu dingin sekali hatinya pasti banyak tragedi yang menyedihkan......
goodnovel comment avatar
Dian Ibrahim
galak bingiiittzzz sih Gilang apa emg keturunan dari mama nya... sabar Risa ...
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
kasihan risa,suaminya aepwrti es,mertuanya jutek
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status