"Sayang,”“Hm,”“Lihat mata aku.”Perlahan mata kami bertemu. “Boleh?” tanyaku dengan nada lembut.Kalila tersenyum dan mengangguk samar. Kedua tangannya ia kalungkan di leherku. Dengan cepat kupagut bibir manisnya penuh nafsu. Seperti biasa, Kalila selalu mengimbangi permainan dengan sangat lihai. Namun, kali ini akan terasa lain dari hari-hari sebelumnya. Kalila sudah menyerahkan dirinya dengan sukarela.Segera kulakukan sentuhan pemanasan untuk memancing gairahnya. Lenguhan indah dari bibir Kalila menandakan ia begitu menikmati tiap perlakuanku. Napasnya mulai naik turun dengan ceracauan syahdu, bak alunan melodi yang membelai penuh damba.Tangan kami saling memberi dan menerima. Bahu-membahu demi menyalurkan sensasi nikmat yang maha dahsyat. Tampaknya wanita bergelar istri ini juga tengah haus. Terbukti dari kelihaiannya menjelajahi titik-titik sensitifku. Napas kami saling memburu. Larut dalam pertikaian sengit di balik selimut yang menjadi saksi bisu. Namun, saat aku mulai men
"Kalila memang sering begitu kalau mau datang bulan, Vin. Mama pernah periksakan dia ke dokter. Katanya normal, karena memang kadar hormonnya naik turun. Bisa datang menjelang haid atau selama haid itu berlangsung.”Aku mendengarkan penjelasan Mama mertua tentang keanehan yang dialami oleh anaknya tadi malam. “Bisa begitu, ya, Ma?”Mama mengangguk. “Itu, sih, masih mending kalau cuma dari jam satu sampai jam empat. Bisa dibilang cepat. Pernah lho, Kalila menggigil hampir seharian.”Aku tertegun. Ternyata menjadi wanita itu tidak mudah.“Eh, tapi bulan lalu kayaknya enggak gitu, ya, Sayang? Pas pertama kita jadi pengantin di rumah sakit, paginya kamu juga kedapatan halangan, kan?”Kalila mengangguk.“Tapi pas malam itu kamu enggak menggigil, kan?” tambahku.Kalila menggeleng. Aku beralih menatap Mama, beliau hanya tersenyum.“Siklus menggigil menjelang haid juga enggak setiap bulan, Vin. Entah, Mama sama istrimu juga enggak paham. Kadang itu terjadi, kadang juga enggak,” jawab Mama den
“Apa itu?” tanyaku.“CCTV.”Aku hanya bisa menjadi pendengar yang baik untuk Kalila saat ini. Walaupun aku punya mulut, tidak akan kukotori lisan ini untuk memperkeruh kondisi. Apalagi ini menyangkut aib Mas Alan.Bisa saja aku membumbui fakta yang ada dan berkata jika malam itu mungkin Mas Alan kecewa karena Kalila memilihku untuk dijadikan suami. Namun, aku lelaki sejati. Bukan begitu cara menjatuhkan lawan. Walau semua praduga belum pasti, tapi aku pun paham bagaimana lelaki jika sudah cemburu, kecewa, bahkan sakit hati. Hal yang paling ia hindari akan dijadikan tempat pelampiasan hanya demi menghibur diri. Entah itu dengan cara minum alkohol atau konsumsi sabu. “Yang menjadi pertanyaan, kenapa Mas Alan sampai mabuk?” Kalila masih tampak berpikir. “Apa mungkin ... ucapan Mas Vino benar?”Kutatap manik mata milik Kalila.“Tapi enggak mungkin Mas Alan suka sama aku," lirihnya dengan wajah sendu.Aku kembali merapatkan tubuh dan memeluknya dalam keadaan setengah berbaring.“Sudah, Sa
(Pov Kalila)Seminggu berlalu. Tiga hari lagi aku berikut keluarga akan pergi ke Semarang untuk pesta dan acara ngunduh mantu di sana. Namun, acaranya akan digelar dua hari setelahnya.“Biar pengantin bisa istirahat dulu sebelum acara di hari H.” Begitu kata Ibu mertua. Untuk keluarga besar dari Yogyakarta mungkin langsung berangkat di hari yang telah ditetapkan dalam undangan. Aku mulai menyiapkan beberapa keperluan untuk dibawa ke rumah mertua. Untuk urusan hotel, Mas Alan bisa handle sementara. Toh, aku tetap memantau. Mas Vino juga bilang, mungkin memang sementara waktu kami harus menjauh dari pandangan Mas Alan. Biarkan dia menikmati gelenyar-gelenyar perih di hatinya jika itu memang benar adanya. Paling tidak, kebersamaan dan kemesraan kami yang terkadang tidak sengaja tertangkap oleh netra Mas Alan jangan sampai semakin memperkeruh kejernihan berpikirnya.Tidak ada niat untuk memanas-manasi. Namun, jika orang yang hatinya tengah tergores kerap disuguhkan pemandangan yang melu
"Gitu, ya, Tu?” tanya Luna dengan wajah polosnya."Hm!" jawab Ratu dengan mengangguk.“Tapi, aku nanyain Kak Vino enggak ada niat apa-apa, lho, Kal. Sumpah!” Luna mengacungkan dua jarinya membentuk huruf V.Aku hanya tersenyum dan mengangguk.“Makasih, Bu Persit, untuk nasehatnya. Tadi juga cuma becanda, kok.”Ratu pun membalas, “Iya, aku pun paham. Seorang Luna bukan gadis murahan. Aku hanya sedikit mengingatkan.”Keduanya langsung kayak Teletubbies, berpelukan.Ah, bahagia sekali punya mereka. Meskipun seperti Upin-Ipin dan Kak Ros, namun tujuan kami selalu ingin mengingatkan dalam hal kebaikan.“Kita ke sini emang enggak ada rencana sebelumnya, Kal. Soalnya waktunya mepet. Aku sekalian mau pamit,” ucap Ratu.“Hah, pamit ke mana, Tu?”“Mau nyusul suami ke Malang. Aku mau nemenin perjuangan dia di sana.”Seketika bahuku luruh. Salah satu sahabat baik akan menemani suaminya berjihad. Namun, mungkin saja Ratu mulai merasa kesepian setelah menikah. Apalagi masih terhitung pengantin bar
Aku membantu Mama menyiapkan makan malam. Seperti biasa, menu makanan laut, olahan sayur, serta tak lupa aneka buah telah tertata rapi di meja makan.Jika biasanya kami melakukan salat berjamaah di rumah dengan Papa sebagai imamnya, beberapa hari belakangan justru beliau aktif salat di masjid. Tak lupa dengan mengajak menantu satu-satunya itu. Katanya biar lebih akrab dengan warga kompleks. Lebih-lebih tidak lama lagi kami akan pergi ke Semarang.Setelah acara demi acara selesai, aku sudah mengantongi izin dari suami untuk tegap produktif bekerja. Alhamdulillah, Mas Vino mengizinkan.Semua menu hidangan sudah siap. Tinggal menunggu Papa dan suamiku pulang setelah salat Isya.“Kal, akhir-akhir ini ada banyak kegiatan, ya, di hotel?”“Uhmm, enggak juga, sih, Ma. Kenapa?”“Alan pulangnya sering larut akhir-akhir ini.”Aku terdiam sesaat. “Ada beberapa meeting dan brifing tambahan untuk tim direksi dan marketing, Ma. Selama Kalila tidak di tempat, semua Mas Alan yang hendel. Untuk menjala
Aku menggeleng pelan, sesaat setelah mengerti arah pembicaraannya. “Wudu dulu, yuk. Kita salat sunnah pengantin. Belum benar-benar dilakukan, kan?”Aku tersenyum dan mengangguk menuruti perintahnya. Segera kami berwudu dan melaksanakan salat sunnah pengantin dua rakaat.Usai akad nikah di rumah sakit waktu itu, Mas Vino hanya membacakan doa barakah dengan sebelah tangan memegang ubun-ubun istrinya ini. Doa dengan arti yang sangat dalam.“YaAllah, aku meminta kepada-Mu kebaikan istriku dan kebaikan apa yang ia munculkan pada pernikahan. Dan aku berlindung padamu dari keburukan istriku dan keburukan apa yang ia munculkan pada pernikahan.”Dan malam ini, doa itu kembali ia ulangi lagi. Katanya, malam setelah ijab kabul waktu itu tidak langsung terjadi pertempuran, makanya ia ingin kembali merasakan detik-detik mendebarkan itu."Kejadian di hotel setelah pesta resepsi juga belum sempurna sepenuhnya," katanya.Aku kembali menangis saat Mas Vino juga mulai menitikkan air mata usai membacak
Mendung yang menggantung seolah-olah tengah mendukung. Namun, Mas Vino seperti paham rasa ngilu yang masih kurasakan usai pertempuran semalam. Dia meminta maaf karena membuat jalanku sedikit terlihat aneh. Aku tersenyum malu. Ada-ada saja.Namun, Mas Vino kembali memelukku dengan penuh kasih sayang saat melihat bercak darah yang tertoreh di atas seprai karena ulah kami semalam. Dia kembali menciumi wajahku dengan ungkapan terima kasih karena sudah memberikan kegadisanku padanya.Lagi-lagi aku hanya tersenyum dan kembali membenamkan kepala ke dada bidangnya. Malu, tapi ini pahala yang besar.“Yakin, mau makan bareng di bawah?” tanya Mas Vino. “Aku ambilin aja gimana? Makan di kamar.”Aku menggeleng. “Enggak pa-pa, Mas. Bisa, kok.”“Masih sakit, Sayang?”Aku mengangguk malu-malu.“Tapi, mau lagi, nggak?”Refleks aku mengangguk lagi. Eh, dasar kepala luck-nat. Mas Vino malah terbahak-bahak. Ish! Menyebalkan. Untung sayang.Akhirnya, kami turun untuk sarapan. Kedua orang tuaku berikut san