Kamar pengantin itu sunyi, hanya diisi dengan cahaya temaram lilin dan semerbak mawar putih yang masih segar. Alisya duduk di tepi ranjang, jemarinya masih meremas pelan kain kebaya putih yang kini tampak kusut di pangkuannya. Jantungnya berdetak kencang, seakan tak selaras dengan tenangnya malam di luar jendela.
Di hadapannya, Dhimas melepas jas hitamnya, lalu menggulung perlahan lengan kemeja putihnya. Gerakannya santai, namun tatapannya penuh arti, membuat Alisya semakin salah tingkah.
“Kenapa kamu tegang banget, Sya?” Dhimas menyunggingkan senyum kecil, mendekat, lalu duduk di sampingnya. “Aku ini suamimu, bukan orang asing.”
Alisya menunduk, tak berani menatap langsung. “Aku… cuma belum terbiasa, Mas.”
Dhimas meraih dagunya, mengangkat wajahnya hingga mata mereka bertemu. Tatapan itu membuat dada Alisya semakin bergetar. “Mulai malam ini, kamu nggak perlu takut. Aku janji nggak akan pernah nyakitin kam
Pagi itu, ruang administrasi universitas dipenuhi tumpukan berkas penerimaan mahasiswa baru. Alisya duduk di balik meja kayu panjang yang sudah penuh map, formulir, dan stempel. Tangannya bergerak cepat, memeriksa dokumen satu per satu, tapi pikirannya jauh tertinggal di rumah. Struk restoran itu masih membayang jelas di kepalanya, membuat setiap angka di berkas terasa kabur.“Lis, kamu nggak apa-apa?” suara Nisa terdengar, memecah lamunannya.Alisya tersentak, hampir menjatuhkan map di tangannya. “Eh… Nisa. Aku baik-baik saja.”Nisa menarik kursi, duduk di sampingnya. Pandangannya tajam, seakan bisa menembus topeng tipis yang coba Alisya kenakan. “Kamu dari tadi kelihatan murung. Padahal biasanya kalau sibuk begini, kamu malah lebih semangat.”Alisya mencoba tersenyum. “Cuma capek. Dua minggu terakhir kerjaan lagi banyak banget.”Tapi Nisa tak mudah percaya. Ia menatap wajah sahabatnya itu lama, memperhatikan mata sembab yang berusaha ditutupi bedak tipis. “Lis, aku sahabatmu. Aku bi
Malam itu udara terasa lembab. Hujan baru saja reda, meninggalkan sisa rintik di atap rumah dan aroma tanah basah yang samar masuk lewat celah jendela. Alisya duduk di ruang tamu dengan lampu temaram, memandangi jam dinding yang sudah lewat pukul sebelas.Sejak beberapa hari terakhir, pola ini berulang: Dhimas pulang larut malam tanpa kabar jelas. Dan setiap kali Alisya bertanya, jawabannya selalu sama: tugas mendadak, lembur, patroli.Alisya menarik napas panjang, meneguk air putih dari gelas yang sudah dingin. Di meja, piring makan malam masih tersisa, sup ayam yang ia masak sore tadi sudah kehilangan panasnya. Ia sempat menaruh piring itu kembali ke panci agar tidak basi, tapi perasaan kosong di dada membuatnya kehilangan nafsu.Suara motor berhenti di depan rumah. Alisya segera berdiri, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia buru-buru membuka pintu, berharap kali ini Dhimas datang dengan wajah lelah tapi tetap ramah, bukan dengan sikap dingin seperti malam-malam sebelumnya.Pintu ter
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar yang setengah terbuka. Burung-burung berkicau, menyambut hari baru, tapi suasana hati Alisya justru muram. Ia membuka matanya perlahan, mendapati punggung Dhimas masih membelakangi dirinya. Selimut menutupi tubuh pria itu, napasnya berat dan teratur.Alisya terdiam cukup lama. Rasa sakit di dada dari semalam belum hilang, tapi ia mencoba menyingkirkan itu semua. Mungkin memang aku yang salah. Mungkin aku terlalu sibuk, terlalu cuek… pikirnya. Ia ingin membuktikan pada suaminya bahwa ia bisa jadi istri yang lebih baik, lebih perhatian, lebih hangat.Dengan hati-hati ia bangkit dari ranjang, melangkah ke dapur. Suara piring dan sendok terdengar ketika ia mulai menyiapkan sarapan. Tangan kecilnya sibuk memotong bawang, menggoreng telur, menanak nasi, dan membuat kopi favorit Dhimas. Ia bahkan menambahkan sambal terasi—yang biasanya jarang ia buat—hanya demi melihat senyum suaminya pagi ini.S
Hari itu, kampus lebih ramai dari biasanya. Penerimaan mahasiswa baru memang membuat seluruh staf administrasi sibuk luar biasa. Alisya hampir tak punya waktu untuk sekadar duduk tenang. Tumpukan berkas di mejanya terus berdatangan, telepon berdering tak henti, dan pertanyaan-pertanyaan mahasiswa baru datang silih berganti.“Bu, ini formulirnya harus ditandatangani dulu atau langsung diserahkan?”“Mbak, saya sudah transfer uang daftar ulang, bisa dicek sekarang?”Alisya menjawab satu per satu dengan sabar. Sesekali ia tersenyum, meski tubuhnya terasa remuk. Sejak pagi ia belum sempat makan, bahkan minum pun hanya seteguk. Tapi ia menahan diri, mencoba bekerja sebaik mungkin. Dalam hati, ia berharap Dhimas bisa mengerti kalau belakangan ini dirinya benar-benar kelelahan.Sore hari, setelah berkas terakhir dibereskan, Alisya menghela napas panjang. Pukul lima lewat, dan ia baru bisa pulang. Ia mengirim pesan ke Dhimas:&ldqu
Minggu siang itu, Alisya duduk di ruang tamu rumah orang tuanya. Tangannya sibuk merapikan kerah blus yang dikenakannya, padahal tidak ada yang salah dengan blus itu. Hanya saja, ia butuh sesuatu untuk mengalihkan rasa gugup. Di meja, ibunya sudah menyiapkan teh hangat dan kue basah. Suasana rumah begitu akrab, penuh kehangatan yang berbeda dari rumah barunya bersama Dhimas.“Lis, kamu kelihatan capek sekali. Kerjaan di kampus padat, ya?” tanya ibunya sambil menuangkan teh ke gelas.Alisya tersenyum samar. “Iya, Bu. Lagi musim penerimaan mahasiswa baru, jadi agak repot.”Ibunya mengangguk, lalu menatap lebih dalam, seolah berusaha membaca hal lain dari wajah anak perempuannya. “Tapi kamu bahagia, kan, nak? Setelah menikah, harusnya makin tenang. Dhimas orangnya perhatian, ya?”Pertanyaan itu membuat Alisya tercekat. Ingatannya melayang pada malam-malam panjang ketika ia menunggu Dhimas pulang. Pada suara pintu yang tak
Dua bulan setelah pernikahan, kehidupan rumah tangga Alisya dan Dhimas tampak berjalan wajar di permukaan. Orang-orang di sekitar mereka menganggap keduanya pasangan bahagia: istri cantik, suami gagah dengan seragam kebanggaannya. Namun di balik pintu rumah sederhana itu, sesuatu yang tak terlihat mulai merambat pelan—retakan kecil yang tak disadari oleh banyak orang.Hari-hari Alisya semakin padat. Kampus tempatnya bekerja sedang sibuk dengan penerimaan mahasiswa baru. Tumpukan berkas memenuhi mejanya; formulir pendaftaran, data calon mahasiswa, hingga jadwal ujian. Pagi hingga sore, bahkan sering sampai menjelang malam, Alisya tenggelam dalam pekerjaan yang seolah tak ada habisnya.Sore itu, ia baru tiba di rumah ketika langit sudah gelap. Tubuhnya lelah, bahunya terasa kaku setelah seharian duduk menunduk di depan komputer. Begitu masuk, ia melihat Dhimas sudah duduk di ruang tamu, masih mengenakan seragam lengkap, wajahnya tanpa senyum.“Kamu pul