Bab 1.
Arini Sakit.Aku sedikit bingung saat mendapati di dapur tidak ada sarapan dan lauk pauk yang siap. Di bawah tudung saji hanya menyisakan sisa makanan semalam yang aku makan bersama Mas Reza-suamiku.Kenapa Arini nggak masak ya? Ini sudah jam setengah tujuh pagi. Kok tumben ya?Biasanya pagi-pagi sekali, Arini sudah menghidangkan ada banyak makanan di meja. Semua menggugah selera.Tidak biasanya Arini bangun kesiangan hari. Batinku bertanya-tanya.Aku gegas menyambangi kamar Arini untuk melihat apakah dia masih tidur atau lagi tidak enak badan.Tok! Tok! Tok!"Arini, kamu masih tidur?" Aku memanggilnya dari daun pintu.Tidak ada sahutan dari Arini, aku bingung kenapa dia bisa telat bangun seperti ini. Tidak adanya sahutan dari dalam membuat aku mencoba kembali membangunkannya.Tok! Tok! Tok!"Rin! Kamu mas…."Handle pintu itu terbuka perlahan membuatku berhenti bertanya. Arini keluar dari kamarnya.Namun, alangkah terkejutnya aku mendapati wajah Arini yang memucat, dan tampilannya masih acak-acakan. Dia lemas seperti tak berdaya."Arini? Kamu kenapa? Kenapa kamu pucat sekali?" tanyaku panik.Setahuku, dari kemarin dia baik-baik saja. Tapi kenapa pagi ini dia sangat lemas?"Maaf, Mbak, aku belum melaksanakan tugasku pagi ini. Aku tiba-tiba meriang." UjarnyaAku meraba dahinya, memastikan apakah badannya panas.Ya, dahinya sedikit panas."Ya, ampun, Rini, kamu sakit? Ya sudah kamu nggak usah mikirin itu. Kamu berobat dulu ya. Aku panggil dokter ke rumah aja ya?""Nggak usah, Mbak. Aku nanti berobat sendiri aja. Mbak ke toko aja nggak apa-apa, aku bisa nanti sendiri," sambungnya lagi dengan suara serak dan lemas.Aku nggak tega melihat keadaannya. Dia bekerja di rumahku, membuat aku khawatir jika terjadi apa-apa dengannya."Kamu nggak bisa sendiri. Biar aku antar kamu ya, kita berobat sekarang. Tunggu, aku panggil, Mas Reza dulu." Kataku."Mbak!" Panggilnya.Aku menghentikan langkahku lalu menoleh padanya."Iya, Rin, kenapa?" tanyaku."Aku pusing, Mbak," ujarnya. Dia memegang kepalanya dengan kedua tangannya. Wajahnya menyerngit mengisyaratkan bahwa kepalanya sangat sakit lewat ekspresi itu."Aduh, Rin, kamu tahan ya. Kita sekarang ke klinik depan ya. Tunggu, aku ambil kunci mobil dulu di kamar. Kamu tunggu sebentar ya?" pintaku.Arini mengangguk, lalu kembali masuk ke kamarnya.Aku membuka pintu kamar, mendapati Mas Reza suamiku sudah siap dengan kemeja warna navy dan celana dasar warna hitam membalut tubuh atletisnya.Wangi kamar sudah menyeruak ketika aku telah masuk ke dalam tempat kami sering memadu kasih dan cinta."Mas, kamu sudah siap? Nanti kamu sarapan di kantor aja ya? Arini hari ini nggak masak dia. Dia sakit." Kataku."Arini sakit? Sakit apa dia?"tannya Mas Reza. "Belum tau, Mas. Badannya agak panas. Dia lemas sekali. Aku kasihan melihatnya. Tadi barusan dia bilang dia sakit sekali kepalanya. Ini aku mau bawa dia ke klinik depan dulu ya," Jelasku. "Oh, kok tiba-tiba sakitnya?" tanya Mas Reza lagi. "Aku nggak tau juga, Mas. Namanya orang mau sakit mana bisa menebak kapan saja bisa," sambungku lagi. "Iya sih, tapi kok tiba-tiba sekali begitu. Kemarin dia masih sehat dan kelihatan baik-baik saja," tukas Mas Reza lagi. "Nggak tahu, Mas. Sekarang aku mau bawa dia berobat dulu ke klinik depan. Takut nanti makin parah dia."Aku berkata sembari merapikan pakaianku di depan cermin. Aku tidak lagi memikirkan dandan. Karena melihat kondisi Arini membuatku khawatir jika nanti dia semakin lemas. "Kamu bisa sendiri? Mas ikut antar nggak?" tawarnya. "Nggak usah, Mas. Biar aku saja. Nanti kamu telat. Kamu kerja aja ya. Arini bisa aku sendiri.""Ok, baiklah, Hati-hati ya!" ujarnya lagi. Aku mengulurkan tanganku, menciumnya takzim. Tak l
Dengan penuh penasaran aku membawa langkahku masuk ke dalam rumahku untuk memastikan kenapa Mas Reza ada di rumah pagi-pagi begini.Ini sungguh tidak biasanya. Lho? Kok mobil Mas Reza ada di garasi? Mas Reza pulang? Ini kan masih pagi? Kenapa Mas Reza pagi-pagi udah di rumah ya? Kok Mas Reza nggak ngabarin aku? Hah! Jangan-jangan? Dengan penuh penasaran aku membawa langkahku masuk ke dalam rumahku untuk memastikan kenapa Mas Reza ada di rumah pagi-pagi begini. Ini sungguh tidak biasanya. Aku masuk ke rumah, karena pintu rumah memang tidak terkunci. Sepi. Tidak melihat satu orang pun. Termasuk Mas Reza. Itu yang kudapati dalam rumah. Aku langsung ke belakang kamar menuju kamar Arini untuk melihat apakah Arini sudah di rumah atau belum. Tok! Tok! Tok! "Rin! Kamu sudah pulang?" Tidak ada sahutan dari dalam, Samar-samar terdengar suara percikan air di seperti orang sedang mandi. Tok! Tok! Tok! "Rin! Kamu di dalam? Gimana keadaanmu?" suaraku sedikit berteriak. Tidak ada sahutan, ak
"Iya, Mas, aku sudah pulang. Maaf ya, aku kira Mas belum pulang. Jadi aku belum sempat masakin kamu, Mas. Kok Mas cepat pulangnya?" tanyaku. Aku menaruh belanjaan itu di meja dan langsung mengambil tangan suamiku untuk ku cium. Arini dengan cekatan membantuku untuk merapikannya. "Sini, Mbak, biar aku yang kerjain." Dia mengambil semuanya membawanya ke belakang. "Kamu gimana keadaannya, Rin? Sudah baikan?" tanyaku. Aku menarik kursi dan duduk di samping Mas RezaArinii berhenti, lalu menoleh. "Sudah, Mba, alhamdulillah, sudah baikan tadi setelah berobat." "Oh, syukurlah. Itu belanjaan kamu rapikan aja dulu ya. Nggak usah masak. Besok saja." Aku melirik makanan yang tadi diantar Mama ke rumah. Ada beberapa macam. Sayur asem, sambal terasi beserta lalapannya. Dan juga ikan goreng. Cukup banyak, dan semua itu menggugah selera. "Iya, Mbak." Arini langsung pergi ke belakang membawa semua belanjaan itu. "Kamu sudah makan? Maaf ya, Mas lapar sekali, jadi nggak nungguin kamu." "Belum,
"Baiklah, Mas. Kamu benar juga. Besok aku tanya baik-baik sama dia. Mana tau Arini mau bilang," ujarku. "Nggak usah, Sayang. Kita sebagai majikan yang cukup mempekerjakannya, lalu membayar upah atas apa yang dia kerjakan. Tidak usah ikut campur terlalu dalam urusan pribadinya, Arini. Kamu paham?" ucap Mas Reza. Dia berkata dengan menatapku dalam. Meskipun aku kurang setuju, tetapi aku mencoba untuk mengikuti saran darinya. "Baiklah, Mas kalau begitu."Kami berdua sama-sama terlelap setelah ngobrol panjang lebar. Hingga pagi kembali menyapa untuk memulai aktifitas sebagai seperti biasa. ⓂⓊⓈⓉⒾⓀⒶ ⒶⒾⓃⒺⓁ"Kapan kamu akan bicara jujur pada Tania, Za? Kalau kamu belum siap, biar Mama yang ngomong," Suara mama mertuaku terdengar jelas di ruang makan saat aku hendak mendekat. Langkahku urungkan untuk melangkah lebih jauh. Kakiku pun seolah tercekat di sini. Aku menyandarkan tubuhku di tembok pembatas ruang keluarga dan ruang makan. Tidak ada maksud untuk menguping, hanya saja, ketika
"Bapak, boleh ikut saya sebentar, ada yang mau saya jelaskan." "Baik, Pak."Aku membuka mataku perlahan, kulihat di sekeliling tempatku terbaring lemah ini begitu asing bagiku. Bau obat-obatan pun langsung ditangkap oleh indera penciuman. Aku menatap tanganku yang sudah terpasang infus. Kupijat pelan pelipisku dengan tangan, kepalaku terasa sedikit pusing. "Mba, Mbak sudah sadar?" tanya Arini. Arini mendekatiku. Aku menoleh dan rasa sakitku kembali tercabik-cabik. Dia begitu sangat perhatian dan lembut padaku. Apa karena dia belum mengetahui aku telah mengetahuinya. Apa dia hanya berusaha untuk tetap profesional dengan pekerjaannya sebagai asistenku dan aku majikannya. Semua rasa berkecamuk di hatiku saat ini. Bulir bening yang kujaga agar tidak runtuh kembali keluar tanpa berpamitan terlebih dahulu. Arini ingin menghapus air mataku, aku menepisnya dengan menarik wajahku sedikit menjauh. Tangan Arini mengambang, lalu dia menariknya kembali dan dia tersenyum padaku. Tatapanku
"Mas, kalo Mas mau kerja nggak apa-apa, biar, Mbak Tania, Arin yang jaga." Arini berdiri dan mendekat ke tempat aku terbaring. Apa yang dia katakan barusan? Arin? Jadi, selama ini mereka sudah punya panggilan kesayangan. Dan Mas Reza memanggilnya, 'Arin'? aku tidak habis pikir dengan mereka berdua. Benar-benar jahat! Mas Reza menoleh ke arahku, sementara aku membuang pandanganku ke arah lain. Ku ikuti saja apa yang dia mau sekarang, toh, jika aku minta juga tidak akan diizinkan. Lebih baik dia bekerja saja dan tidak berada di sini. "Hm, itu ide yang bagus, kalau kamu nggak keberatan, Aku kerja dulu. Kamu jaga baik-baik Tania, ya. Kalau ada apa-apa, cepat kabari aku." Mas Reza berpesan pada Arini. "Siap, Mas," jawab Arini dengan sedikit membungkukkan badanya. Aku hanya melihat dari ekor mataku. Aku tahu, Arini mungkin sengaja mencegah itu agar aku tidak menanyakan kecurigaan terhadap Mas Reza. Silahkan, Mas! Pergilah dari sini. Bawa sekalian wanita dihadapanku ini. Itu hany
Mbak tau aku ha … mil?!" Arini terlihat terkejut dengan pertanyaanku. "Aku menemukan testpack di kamarmu kemarin, dan itu sudah bergaris dua. Siapa pemilik tespack itu kalau bukan dirimu. Aku menemukannya di kamarmu, di tempat sampah." Tidak ada jawaban dari Arini, dia diam dan hanya menunduk. "Kenapa diam? Bicaralah sebagai sesama perempuan seharusnya kamu bisa cerita padaku." Aku masih ingin memancing agar Arini bicara jujur tentang apa yang sudah mereka lakukan padaku. "Kenapa kamu masih diam? Benar kamu hamil, Rin? Siapa laki-laki itu? Siapa yang sudah menanam benih di rahimmu?" tanyaku dengan cukup santai. Tidak ingin membuang energi untuk emosi hal yang sudah terjadi, aku memilih untuk lebih tenang menanyakannya. "Mbak, maaf, itu aku…" Arini menjeda ucapannya, dia menatapku tanpa ada sedikit ketakutan dalam manik mata miliknya. "Aku apa, Arini? Kamu ngomong sampai tuntas. Kamu hamil sama siapa?" desaku mulai tidak sabar ingin mendengar pengakuannya. "Aku hamil sama suam
"Aku nggak ada maksud apa-apa, Mbak. Hanya saja, laki-laki jika sudah mendua biasanya yang kedua yang lebih diprioritaskan. Apa lagi sekarang aku tengah hamil anaknya Mas Reza, suami kita. Tapi Mbak nggak usah khawatir, aku akan tetap meminta Mas Reza untuk tetap sama Mbak Tania. Dan tidak akan meninggalkan Mbak Tania. Aku tahu, Mbak pasti terluka sekali 'kan dengan kabar ini? Aku paham, Mbak. Sekarang Mbak harus banyak sabar ya, aku turut prihatin atas apa yang terjadi dengan Mbak saat ini. Mbak mau makan? Biar aku suapin." Seolah tidak merasa bersalah sedikitpun atas apa yang dia lakukan, dia memberi perhatian padaku. Sungguh, dia ternyata adalah perempuan licik. Sangat terlihat jelas gambaran di wajahnya dia merasa menang atas perlakuannya. "Sekarang aku minta kamu pergilah dari sini. Dan juga aku minta kamu pulang ke rumahmu, dan jangan lagi kamu tampakkan batang hidungmu di hadapanku. Aku memecatmu sekarang juga." "Benarkah? Wah, dengan senang hati Mbak, tapi maaf, aku nggak