Share

2. Mobil Reza

tannya Mas Reza. 

"Belum tau, Mas. Badannya agak panas. Dia lemas sekali. Aku kasihan melihatnya. Tadi barusan dia bilang dia sakit sekali kepalanya. Ini aku mau bawa dia ke klinik depan dulu ya," Jelasku. 

"Oh, kok tiba-tiba sakitnya?" tanya Mas Reza lagi. 

"Aku nggak tau juga, Mas. Namanya orang mau sakit mana bisa menebak kapan saja bisa," sambungku lagi. 

"Iya sih, tapi kok tiba-tiba sekali begitu. Kemarin dia masih sehat dan kelihatan baik-baik saja," tukas Mas Reza lagi. 

"Nggak tahu, Mas. Sekarang aku mau bawa dia berobat dulu ke klinik depan. Takut nanti makin parah dia."

Aku berkata sembari merapikan pakaianku di depan cermin. 

Aku tidak lagi memikirkan dandan. Karena melihat kondisi Arini membuatku khawatir jika nanti dia semakin lemas. 

"Kamu bisa sendiri? Mas ikut antar nggak?" tawarnya. 

"Nggak usah, Mas. Biar aku saja. Nanti kamu telat. Kamu kerja aja ya. Arini bisa aku sendiri."

"Ok, baiklah, Hati-hati ya!" ujarnya lagi. Aku mengulurkan tanganku, menciumnya takzim. Tak lupa Mas Reza pun mengecupkan ciumannya di dahiku sebelum dia berangkat kerja. 

Kami sama-sama keluar kamar, namun aku mengarah  ke kamar Airini, sementara Mas Reza keluar arah garasi. 

"Aku nggak anter ya, Mas, kamu hati-hati." Kataku. 

"Iya, Sayang. Nggak apa-apa. Kamu hati-hati juga ya nanti di jalan. Kalo ada apa-apa di kabari." Sambung Mas Reza lagi. 

"Iya, Mas," balasku. 

Aku bergegas ke kamar Arini untuk membawanya ke klinik depan. 

Tok! Tok! Tok! 

"Rin, aku boleh masuk?" tanyaku. 

"Masuk, Mbak!" sahutnya dari dalam. 

Aku membuka pintu kamarnya perlahan membawa langkahku ke dalam. 

Arini berbaring di tempat tidurnya sambil memegang kepalanya. Masih sakit, Rin?" tanyaku. 

Dia hanya menganggukkan kepalanya. 

"kamu kuat jalan, kan? Kita ke klinik sekarang ya?" 

"Kuat, Mbak. Pelan-pelan aja ya, Mba, " pintanya. 

"Iya, kita pelan-pelan aja. Yuk sekarang biar kamu segera ditangani dokter." 

Aku berdiri memapahnya berjalan pelan-pelan ke luar rumah.

Hampir saja ambruk, karena Arini oleng dan tidak bisa menjaga keseimbangannya. 

Jarak tempuh klinik dari rumah hanya sekitar lima menit perjalanan menggunakan kendaraan. 

Aku segera masuk ke parkiran depan klinik. 

Karena masih pagi, klinik masih baru buka dan masih sepi. Sehingga tidak butuh lama dan antri. 

"Atas nama Arini anindya. Silahkan masuk ke ruang periksa, Ibuk!" ujar petugas resepsionis nya. 

Aku ingin memapahnya kembali namun Arini menolak. 

" Mbak, Mbak nggak usah anterin ke dalam ya biar aku sendirian aja. Mbak di luar aja tunggu di sini." Tolaknya. 

" lho, kenapa Rin? Kamu nanti ambruk, biar Mbak pegangin kamunya, Mbak Nggak apa-apa kok, biar Mbak pegangin kamu ya?" tawarku. Aku benar-benar khawatir dengannya. 

"Nggak apa-apa, Mbak, aku bisa sendiri kok. Mbak di sini aja aku nggak apa. Mbak nggak usah antar aku, Mbak tunggu di sini aja ya." Pintanya lagi. 

Arini lalu berdiri menuju ruang periksa pasien namun hanya beberapa langkah Arini oleng dan hampir ambruk. Aku reflek berdiri lalu memegang tubuh Arinii yang tidak berdaya.

"Kan, Mbak bilang apa, Rin, Biar Mbak pegangin kamu, kamu itu lemes nggak kuat kamu tuh jalan sendiri."

"Tapi aku beneran nggak papa, Mbak. Terima kasih Mbak sudah peduli dan mau membantu aku. Nggak apa biar aku sendiri aja masuk ke dalam." Tolak Arini lagi. 

Aku menyerngitkan keningku mendengar kata-kata yang Arini lontarkan. Tidak ada yang salah dengan ucapannya, hanya saja aku merasa kok dia seperti orang yang baru kenal yang aku tolong. 

Bukankah sebagai majikannya di rumah sudah kewajibanku memastikan kesehatan dan apa saja yang terjadi padanya. 

Aku harus tau dia sakit apa dan apa yang yang dialami saat ini. 

Aku masih menatap Arini dengan tatapan memohon agar dia mau aku temani masuk ke dalam ruang periksa. 

"Kalau ibunya mau, biar saya yang bantu masuk ke dalam, Buk?" Salah satu perawat di klinik itu menghampiri aku dan Arini. 

"Oh, iya, boleh, Sust. Mba, aku sama suster ini saja ya. Mbak kalo mau ke toko juga nggak apa-apa. Nanti aku pulang naik ojek aja." Katanya lagi. 

"Mari, Buk, pelan-pelan saja ya." Kata Suster itu membawa Arini masuk.

Aku masih belum sempat menjawab ucapan Arini, Arini sudah hilang di balik pintu ruang periksa itu. 

Aku sejenak memikirkan kenapa Arini begitu menolak aku temani dia. Namun aku juga tidak tega meninggalkan dia sendirian di sini. 

Aku memilih menunggunya sampai keluar, setidaknya, aku tau dia tidak ada sakit yang serius. 

Tak berselang lama, Arini keluar dari ruang periksa masih dipapah oleh suster yang tadi. 

Aku langsung berdiri menghampiri Arini. 

"Gimana, Rin kata Dokter? Kamu sakit apa?" tanyaku. 

"Aku hanya kecapean, Mbak. Kata dokter aku harus banyak istirahat untuk sementara waktu.  Mbak kok belum ke toko?" tanyanya. 

"Oh, syukurlah kalau hanya itu. Ya sudah, kamu istirahat dulu saja ya di rumah. Kamu nggak usah kerjakan dulu pekerjaan rumah. Nanti makan Mbak beli saja. Ok." 

"Iya, Mbak. Maaf ya, aku ngerepotin, Mba. Aku jadi nggak enak." Katanya sungkan. 

"Tentu saja nggak, Rin. Kamu kerja sama aku, aku harus juga menjaga kesehatan kamu. Memastikan kamu baik-baik saja."

"Terima kasih, Mbak. Mbak kalau mau ke toko nggak apa, aku nanti pulang sendiri saja. Ini sudah agak enakan, Mbak. Tadi di suntik sama dokternya."

Kembali dia memintaku pergi. Arini seolah menolak untuk aku temani. 

"Beneran kamu nggak apa-apa aku tinggalin sendiri?" tanyaku memastikan kembali. 

"Iya, Mbak. Aku nggak apa. Mbak ke toko aja. Biar nanti aku pulang naik ojek saja." Lagi, dia mamastika dirinya baik-baik saja."

Aku melirik jam di layar hpku. Sudah hampir jam 9 pagi. Mau tidak mau aku harus meninggalkan Arini di klinik, dan aku harus ke toko sekarang juga. Kebetulan hari ini ada janjian dengan pelanggan yang dari luar kota untuk mengambil pesanan mereka dari minggu lalu. 

"Ok, Rin, Mbak tinggal kamu ya. Kamu hati-hati di rumah nanti. Jangan kerjakan apa-apa dulu kalau kamu masih capek. Nanti Mbak kirim makanan ke rumah ya." Pesanku padanya. 

"Iya, Mbak. Terima kasih." Jawabnya. 

Aku langsung meninggalkan Arini yang masih di klinik. Sebelumnya aku meninggalkan dia uang warna pink beberapa lembar untuk bayar. Dia  menunggu obatnya yang masih belum diberikan. 

Aku melajukan mobilku dengan kecepatan sedang. Karena waktunya aku sudah sangat telat ke toko pagi ini. 

Jarak tempuh dari klinik ke toko kurang lebih 20 menit perjalanan jika tidak ada macet. 

Kebetulan, aku datang cukup cepat. Dari jauh aku sudah melihat dua orang karyawanku duduk di depan toko. 

"Kalian sudah lama nunggu?" tanyaku. 

"Lumayan, Mbak." Jawab Cici dan Linda. 

"Maaf ya, Mbak, tadi lagi ada masalah sedikit jadi telat. Kok kamu belum buka tokonya? Kenapa masih di luar?" tanyaku lagi. 

"Kan kunci tokonya sama, Mbak." Sahut Linda. 

"Ya ampun, maaf, Mbak lupa. Mbak ambil dulu di mobil." 

Aku mencari-cari tasku. Ternyata aku lupa kalau aku belum bawa tas kerja. 

Ya Tuhan, gara-gara kepikiran Arini aku sampai lupa bawa tas yang biasa itu. 

"Kalian tunggu bentar ya, Mbak pulang dulu. Kuncinya masih ketinggalan di rumah."

Aku langsung melajukan mobil tanpa menunggu jawaban mereka. 

Tak butuh waktu lama, dengan kecepatan yang cukup tinggi, aku sampai depan rumahku. Aku memarkirkan mobil di depan rumah tetangga samping rumahku. Sebab jalannya agak lebar. Jadi aku memilih untuk tidak membawa masuk mobilku. 

Aku setengah berlari menuju rumah. Ku buka pagar minimalisku perlahan, aku langsung terkejut melihat garasi ku. 

Lho, Kok mobil Mas Reza ada di garasi? Mas Reza pulang? Ini kan masih pagi? Kenapa Mas Reza pagi-pagi udah di rumah ya? Kok Mas Reza nggak ngabarin aku? 

Lho? Jangan-jangan? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status