Share

2. Mobil Reza

Author: Ria mustika
last update Last Updated: 2023-01-28 00:45:42

tannya Mas Reza. 

"Belum tau, Mas. Badannya agak panas. Dia lemas sekali. Aku kasihan melihatnya. Tadi barusan dia bilang dia sakit sekali kepalanya. Ini aku mau bawa dia ke klinik depan dulu ya," Jelasku. 

"Oh, kok tiba-tiba sakitnya?" tanya Mas Reza lagi. 

"Aku nggak tau juga, Mas. Namanya orang mau sakit mana bisa menebak kapan saja bisa," sambungku lagi. 

"Iya sih, tapi kok tiba-tiba sekali begitu. Kemarin dia masih sehat dan kelihatan baik-baik saja," tukas Mas Reza lagi. 

"Nggak tahu, Mas. Sekarang aku mau bawa dia berobat dulu ke klinik depan. Takut nanti makin parah dia."

Aku berkata sembari merapikan pakaianku di depan cermin. 

Aku tidak lagi memikirkan dandan. Karena melihat kondisi Arini membuatku khawatir jika nanti dia semakin lemas. 

"Kamu bisa sendiri? Mas ikut antar nggak?" tawarnya. 

"Nggak usah, Mas. Biar aku saja. Nanti kamu telat. Kamu kerja aja ya. Arini bisa aku sendiri."

"Ok, baiklah, Hati-hati ya!" ujarnya lagi. Aku mengulurkan tanganku, menciumnya takzim. Tak lupa Mas Reza pun mengecupkan ciumannya di dahiku sebelum dia berangkat kerja. 

Kami sama-sama keluar kamar, namun aku mengarah  ke kamar Airini, sementara Mas Reza keluar arah garasi. 

"Aku nggak anter ya, Mas, kamu hati-hati." Kataku. 

"Iya, Sayang. Nggak apa-apa. Kamu hati-hati juga ya nanti di jalan. Kalo ada apa-apa di kabari." Sambung Mas Reza lagi. 

"Iya, Mas," balasku. 

Aku bergegas ke kamar Arini untuk membawanya ke klinik depan. 

Tok! Tok! Tok! 

"Rin, aku boleh masuk?" tanyaku. 

"Masuk, Mbak!" sahutnya dari dalam. 

Aku membuka pintu kamarnya perlahan membawa langkahku ke dalam. 

Arini berbaring di tempat tidurnya sambil memegang kepalanya. Masih sakit, Rin?" tanyaku. 

Dia hanya menganggukkan kepalanya. 

"kamu kuat jalan, kan? Kita ke klinik sekarang ya?" 

"Kuat, Mbak. Pelan-pelan aja ya, Mba, " pintanya. 

"Iya, kita pelan-pelan aja. Yuk sekarang biar kamu segera ditangani dokter." 

Aku berdiri memapahnya berjalan pelan-pelan ke luar rumah.

Hampir saja ambruk, karena Arini oleng dan tidak bisa menjaga keseimbangannya. 

Jarak tempuh klinik dari rumah hanya sekitar lima menit perjalanan menggunakan kendaraan. 

Aku segera masuk ke parkiran depan klinik. 

Karena masih pagi, klinik masih baru buka dan masih sepi. Sehingga tidak butuh lama dan antri. 

"Atas nama Arini anindya. Silahkan masuk ke ruang periksa, Ibuk!" ujar petugas resepsionis nya. 

Aku ingin memapahnya kembali namun Arini menolak. 

" Mbak, Mbak nggak usah anterin ke dalam ya biar aku sendirian aja. Mbak di luar aja tunggu di sini." Tolaknya. 

" lho, kenapa Rin? Kamu nanti ambruk, biar Mbak pegangin kamunya, Mbak Nggak apa-apa kok, biar Mbak pegangin kamu ya?" tawarku. Aku benar-benar khawatir dengannya. 

"Nggak apa-apa, Mbak, aku bisa sendiri kok. Mbak di sini aja aku nggak apa. Mbak nggak usah antar aku, Mbak tunggu di sini aja ya." Pintanya lagi. 

Arini lalu berdiri menuju ruang periksa pasien namun hanya beberapa langkah Arini oleng dan hampir ambruk. Aku reflek berdiri lalu memegang tubuh Arinii yang tidak berdaya.

"Kan, Mbak bilang apa, Rin, Biar Mbak pegangin kamu, kamu itu lemes nggak kuat kamu tuh jalan sendiri."

"Tapi aku beneran nggak papa, Mbak. Terima kasih Mbak sudah peduli dan mau membantu aku. Nggak apa biar aku sendiri aja masuk ke dalam." Tolak Arini lagi. 

Aku menyerngitkan keningku mendengar kata-kata yang Arini lontarkan. Tidak ada yang salah dengan ucapannya, hanya saja aku merasa kok dia seperti orang yang baru kenal yang aku tolong. 

Bukankah sebagai majikannya di rumah sudah kewajibanku memastikan kesehatan dan apa saja yang terjadi padanya. 

Aku harus tau dia sakit apa dan apa yang yang dialami saat ini. 

Aku masih menatap Arini dengan tatapan memohon agar dia mau aku temani masuk ke dalam ruang periksa. 

"Kalau ibunya mau, biar saya yang bantu masuk ke dalam, Buk?" Salah satu perawat di klinik itu menghampiri aku dan Arini. 

"Oh, iya, boleh, Sust. Mba, aku sama suster ini saja ya. Mbak kalo mau ke toko juga nggak apa-apa. Nanti aku pulang naik ojek aja." Katanya lagi. 

"Mari, Buk, pelan-pelan saja ya." Kata Suster itu membawa Arini masuk.

Aku masih belum sempat menjawab ucapan Arini, Arini sudah hilang di balik pintu ruang periksa itu. 

Aku sejenak memikirkan kenapa Arini begitu menolak aku temani dia. Namun aku juga tidak tega meninggalkan dia sendirian di sini. 

Aku memilih menunggunya sampai keluar, setidaknya, aku tau dia tidak ada sakit yang serius. 

Tak berselang lama, Arini keluar dari ruang periksa masih dipapah oleh suster yang tadi. 

Aku langsung berdiri menghampiri Arini. 

"Gimana, Rin kata Dokter? Kamu sakit apa?" tanyaku. 

"Aku hanya kecapean, Mbak. Kata dokter aku harus banyak istirahat untuk sementara waktu.  Mbak kok belum ke toko?" tanyanya. 

"Oh, syukurlah kalau hanya itu. Ya sudah, kamu istirahat dulu saja ya di rumah. Kamu nggak usah kerjakan dulu pekerjaan rumah. Nanti makan Mbak beli saja. Ok." 

"Iya, Mbak. Maaf ya, aku ngerepotin, Mba. Aku jadi nggak enak." Katanya sungkan. 

"Tentu saja nggak, Rin. Kamu kerja sama aku, aku harus juga menjaga kesehatan kamu. Memastikan kamu baik-baik saja."

"Terima kasih, Mbak. Mbak kalau mau ke toko nggak apa, aku nanti pulang sendiri saja. Ini sudah agak enakan, Mbak. Tadi di suntik sama dokternya."

Kembali dia memintaku pergi. Arini seolah menolak untuk aku temani. 

"Beneran kamu nggak apa-apa aku tinggalin sendiri?" tanyaku memastikan kembali. 

"Iya, Mbak. Aku nggak apa. Mbak ke toko aja. Biar nanti aku pulang naik ojek saja." Lagi, dia mamastika dirinya baik-baik saja."

Aku melirik jam di layar hpku. Sudah hampir jam 9 pagi. Mau tidak mau aku harus meninggalkan Arini di klinik, dan aku harus ke toko sekarang juga. Kebetulan hari ini ada janjian dengan pelanggan yang dari luar kota untuk mengambil pesanan mereka dari minggu lalu. 

"Ok, Rin, Mbak tinggal kamu ya. Kamu hati-hati di rumah nanti. Jangan kerjakan apa-apa dulu kalau kamu masih capek. Nanti Mbak kirim makanan ke rumah ya." Pesanku padanya. 

"Iya, Mbak. Terima kasih." Jawabnya. 

Aku langsung meninggalkan Arini yang masih di klinik. Sebelumnya aku meninggalkan dia uang warna pink beberapa lembar untuk bayar. Dia  menunggu obatnya yang masih belum diberikan. 

Aku melajukan mobilku dengan kecepatan sedang. Karena waktunya aku sudah sangat telat ke toko pagi ini. 

Jarak tempuh dari klinik ke toko kurang lebih 20 menit perjalanan jika tidak ada macet. 

Kebetulan, aku datang cukup cepat. Dari jauh aku sudah melihat dua orang karyawanku duduk di depan toko. 

"Kalian sudah lama nunggu?" tanyaku. 

"Lumayan, Mbak." Jawab Cici dan Linda. 

"Maaf ya, Mbak, tadi lagi ada masalah sedikit jadi telat. Kok kamu belum buka tokonya? Kenapa masih di luar?" tanyaku lagi. 

"Kan kunci tokonya sama, Mbak." Sahut Linda. 

"Ya ampun, maaf, Mbak lupa. Mbak ambil dulu di mobil." 

Aku mencari-cari tasku. Ternyata aku lupa kalau aku belum bawa tas kerja. 

Ya Tuhan, gara-gara kepikiran Arini aku sampai lupa bawa tas yang biasa itu. 

"Kalian tunggu bentar ya, Mbak pulang dulu. Kuncinya masih ketinggalan di rumah."

Aku langsung melajukan mobil tanpa menunggu jawaban mereka. 

Tak butuh waktu lama, dengan kecepatan yang cukup tinggi, aku sampai depan rumahku. Aku memarkirkan mobil di depan rumah tetangga samping rumahku. Sebab jalannya agak lebar. Jadi aku memilih untuk tidak membawa masuk mobilku. 

Aku setengah berlari menuju rumah. Ku buka pagar minimalisku perlahan, aku langsung terkejut melihat garasi ku. 

Lho, Kok mobil Mas Reza ada di garasi? Mas Reza pulang? Ini kan masih pagi? Kenapa Mas Reza pagi-pagi udah di rumah ya? Kok Mas Reza nggak ngabarin aku? 

Lho? Jangan-jangan? 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Testpack di Kamar Pembantuku   perjodohan

    "Ka–kamu, mendengar semuanya?" Mas Reza tergagap. "Sa–sayang, Mas bisa jelasin. Ini semua tid…." "Aku berangkat dulu, Mas. Nggak usah dipikirkan. Jangan hiraukan aku. Kamu harus menjaga perasaan Arini dan juga Mama. Aku tidak apa-apa." Aku memotong ucapannya dan berlalu pergi meninggalkan mereka. "Sayang! Dengarkan, Mas dulu." Mas Reza mengejarku, aku mempercepat langkahku untuk segera keluar. "Reza! Kamu dengar Mama tidak?" teriak Mama. Aku terus mempercepat langkahku menuju mobil. Jangan tanya seperti apa aku saat ini. Sakit? Iya, sangat sakit! "Sayang, dengarkan Mas dulu." Mas Reza meraih tanganku yang hendak membuka pintu mobil. Dia mencekal kuat untuk menahannya. "Lepas, Mas. Aku mau ke toko.""Nggak! Kamu harus dengar dulu Mas bicara. mas nggak mau kamu keluar dalam keadaan begini.""Apalagi yang harus Mas jelaskan? Semua sudah jelas. Aku di sini bukan lagi perempuan yang berperan penting dalam hidupmu, Mas. Biarkan aku pergi menyibukkan diriku. Setidaknya dengan begi

  • Testpack di Kamar Pembantuku   17. menantu kesayangan

    Sentuhan hangat terasa menyentuh pundakku. Aku seperti berada diangan-angan di tengah kesadaran yang masih separuh dialam mimpi. "Sayang … kamu kenapa tidur di bawah?" Suara Mas Reza terdengar begitu lembut. Aku membuka mataku perlahan, pandangan pertamaku lansung menangkap sosok laki-laki bergelar suamiku tengah menatapku dengan senyumamanya. Senyuman yang selama ini sellau membuatku candu. "Maaf, Mas, aku tadi ketiduran. Ini sudah jam berapa?" tanyaku. Aku mengucek-ngucek mataku yangasih terasa berat. "Ini sudah jam dua pagi, Sayang. Yuk pindah keatas."Aku segera membuka mungkena yang masih melekat di badan. Kulipat lalu kutaruh di tempat biasa. "Sini, Sayang, Mas kangen sama kamu.""Iya, Mas, sama. Aku juga kangen sama suamiku." "Boleh, ya?" bahasa yang sudah kutahu kemana arahnya. "Hu um, boleh." Kami memadu kasih seolah rasa rindu yang lama tidak tertuntaskan. Di tengah kesunyian malam, hanya ada suaraku dan dia sesekali saing bersahutan merasakan kenikmatan. Tok! Tok!

  • Testpack di Kamar Pembantuku   16. Suara desahan

    Aku berjalan melangkah pelan menuju ruang keluarga. Ruang keluarga yang dulu hangat kini terasa begitu suram dan menyakitkan. Apa ada yang peduli dengan rasaku? Apa ada mereka meminta maaf atas apa yang mereka tutupi dibelakangku? Tidak.Aku duduk di kursi tunggal yang ada di sudut. Tepat di hadapanku Mas Reza dan Arini duduk di sana. Mas Reza seolah lupa dengan janjinya, dia hanya sibuk dengan Arini tanpa menghiraukan ada aku yang tersakiti menyaksikan mereka. Entahlah. Apakah dia sengaja atau tidak yang pasti aku sakit menyaksikan ini. "Tan. Mama mau bilang sama kamu di sini kalau sebenarnya Reza dan Arini ini mereka sud….""Aku sudah tau, Ma." Aku memotong cepat ucapan Mama. Mereka semua menatapku bergantian. "Oh, baguslah kalau kamu sudah tau. Jadi kita tidak lagi harus kucing-kucingan menutupi ini dari kamu. Jadi Mama Minta sama kamu, berbaik-baiklah pada Arini, ya. Karena bagaimana juga dia isteri Reza dan sekarang dia tengah hamil anak Reza, calon cucu Mama. Beruntungnya d

  • Testpack di Kamar Pembantuku   apa kamu cemburu?

    "Hm… Amar. Dia Amar." Aku menjawab dengan santai. Mas Reza segera menarik kursi dan duduk disampingku. Aku melihat wajah suamiku tidak bersahabat sama sekali menatapku dan menatap Amnar bergantian. Ammar segera mengulurkan tangannya pada Mas Reza untuk berkenalan. Kulihat Mas Reza seperti enggan menyambut tangan Ammar namun sepersekian detik Mas Reza menerimanya. "Kenalkan, saya Ammar.""Saya sudah tahu kalau anda itu namanya Amar. Kenalkan saya Reza. Suami Tania.""Oh, anda suaminya Tania Bro. Sorry ya bro, saya kira Tania belum punya suami," ujar Amar "Kalau dia belum punya kenapa?" tanya Mar Reza balik. "Maaf, Bro, saya mengagumi istri anda sejak pertama kali saya bertemu denganya." Mas Reza memberi tatapan tajam paku, lalu dia bertanya. "Jadi selama ini kamu di belakangku sering bertemu dengan pria lain?" "Sorry, Bro, saya belum pernah bertemu secara langsung dengan istri anda. Hanya kebetulan sempat beberapa kali berpapasan saat saya menyambangi panti asuhan cinta kasih.

  • Testpack di Kamar Pembantuku   pria asing

    Jawab jujur aku, Mas, apa kamu pernah menolak saat Mama menawarkan itu padamu dibelakangku? Sejak kapan Mama memintamu untuk menikah lagi? Apa Mama juga minta kamu untuk menceraikan aku? Jujur lah jangan ada lagi yang kamu tutupi. Aku sudah terlanjur sakit Mas. Tidak perlu lagi berbohong padaku." Mas Reza tidak menjawab apa yang aku tanyakan padanya. Dia memilih untuk diam dan menunduk membuat aku bisa menyimpulkan jawaban dari apa yang dia tunjukkan. "Diammu adalah sebuah jawaban yang bisa ketebak, Mas. Semoga kamu bahagia dengan pilihanmu." "Maaf, Sayang," ucapnya lesu. Aku kembali menyeka bulir kristal yang mengalir tanpa diminta dari sudut mataku. Sakit. Aku sakit menerima semua ini. Namun hati ini tidak bisa untuk bohong bahwa rasa itu masih untuknya. Ya, untuk dia yang sekarang ada dihadapanku. Terkadang cinta memang sebodoh itu, sudah disakiti masih saja memberi rasa. Apa mau dikata, aku memang mencintainya. Tapi aku terluka oleh sikapnya. "Mari kita pulang, Sayang. Kamu

  • Testpack di Kamar Pembantuku   13. pengakuan Reza

    "Kamu di mana, Sayang?" ucapanku terpotong oleh suara yang tidak asing adalah suamiku sendiri. Aku menjauhkan HP itu segera dari telingaku. Seolah ada sengatan listrik yang menjalar di tubuhku secara tiba-tiba. Tanganku bergetar, tubuhku melemah kembali. "Aku pikir kamu tidak akan mencariku, Mas? Untuk apa? Bukankah wanita itu sudah mengalihkan duniamu?" gumamku. Aku menatap nanar HP itu dengan hati yang terasa hancur berkeping-keping. "Sayang! Kamu dengar, Mas, nggak? Kamu di mana?" tanyanya. "Sayang, kamu kenapa? Kamu baik-baik saja, 'kan? Kamu kenapa blokir nomor, Mas? Ayo ngomong dong, jangan bikin Mas khawatir sama kamu. Kamu di mana?" sambungnya lagi. Aku masih diam membisu mendengar pertanyaannya. Tidak kuat untuk mengeluarkan satu patah kata pun. Kuremas-remas jemariku untuk menetralisirkan hatiku yang tidak baik-baik saja.Entah apa yang ada pikiran laki-laki yang bergelar suamiku itu, dia masih bertanya aku kenapa? Apa dia masih meyakini jika aku belum mengetahuinya? Ap

  • Testpack di Kamar Pembantuku   12. aku pulang Bunda

    Mobil yang dikemudikan memasuki area pekarangan Panti Asuhan. Mematikan mesin mobil setelah ku pastikan sudah kuparkir dengan aman. Aku menatap hangat pada papan yang bertuliskan, 'Yayasan Cinta Kasih'. Hanya di sini aku mendapat hangat cinta seorang Ibu. Di sini juga aku dibesarkan dengan kasih sayang seorang ibu yang tidak memiliki hubungan darah. Aku pulang, kembali ke tempat dimana aku berasal. "Kak Tania?!" Suara lengkingan itu mampu membuatku mengumpulkan kembali kepingan pikiranku yang melalang buana menyatu kembali pada alam nyataku. Aku menoleh pada sumber suara, seorang gadis kecil nan cantik tengah bermain di teras bersama saudara kecilku yang lainnya. Ya, mereka lah saudaraku di dunia ini. Bukankah kami sama? Sama-sama tidak memiliki orang tua. Entah memang hadir kami yang tidak diinginkan, atau memang kami anak yang terbuang sehingga kami tumbuh di sini di tangan orang yang sama. Beruntungnya kami berada di tangan orang yang tepat. Hangat. Itulah yang bisa kugambarkan p

  • Testpack di Kamar Pembantuku   11. buku nikah

    Tanganku masih bergetar hebat menyentuh benda yang menimpa tepat di kakiku. Dua buah buku berwarna merah dan hijau bertuliskan buku nikah dan mana yang tersemat di sana adalah laki-laki yang bergelar suamiku. Jangan ditanya bagaimana gemuruh dan gejolak hatiku saat ini. Hancur berkeping-keping? Itu sudah pasti. Aku hanya ingin membuktikan jika apa yang diucapkan oleh Arini itu tidak bohong. Aku kira aku akan kuat menerima kenyataan ini. Namun pada kenyataannya aku tidak mampu. Duniaku benar-benar runtuh, pelangi yang semula memberi warna indah dalam mahligai rumah tanggaku kini berubah menjadi awan yang kelam. Awan yang akan menurunkan hujan badai. Ku buka kembali lembar demi lembar untuk melihat isi dalam buku itu, tertulis tanggal, hari, bulan dan tahun hubungan mereka diresmikan. Tepat hari ini sudah 3 bulan setengah pernikahan mereka terjadi. Aku mencoba kembali mengingat ke belakang pada bulan dan hari itu. Bulan, tanggal dan hari itu aku mengingat bahwa Mas Reza pamit ke lua

  • Testpack di Kamar Pembantuku   10. pergi dari RS

    Arini memegang perutnya dan terus meringis. "Mbak! Tolong perutku sakit, Mbak." Ucapnya. Langkahku tertahan saat di daun pintu, aku menoleh dan melihat keadaan Arini. Cairan putih bercampur warna kecoklatan keluar memberi noda pada celana warna cream yang Arini kenakan. "Arini?!" Mataku melotot melihat apa yang terjadi padanya. "Mbak, tolong panggilkan Dokter, perutku sakit sekali, Mbak." Titahnya dalam kesakitan. Tanpa berpikir panjang aku pun segera keluar memanggil Dokter. Aku berjalan sambil berlari kecil di koridor rumah sakit hingga sampai di ruang perawat yang berjaga. "Sust, tolong! Ada pasien gawat darurat." Kataku terengah-engah. Suster itu menatapku heran, dia menelisik dari atas hingga ke bawah. "Ibuk bukannya di infus dan di rawat di sini? Kok keluar? Itu darah di tangan ibunya?" Suter itu melihat tanganku yang ada darah mengalir pelan yang sudah mulai mengental. Aku menyembunyikan tanganku ke belakang punggung. "Tolong, Sust. Itu yang jaga saya lagi kritis, dia ke

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status