"Kamu lihatin apa, sih, Na? Kok, aku dikacangin?" protes Lisa.
"Itu, Lis, tetanggaku." Aku menunjuk Siska dan Pak Abas menggunakan dagu.
"Kenapa emangnya?" tanya Lisa heran.
"Mereka itu sama-sama udah berkeluarga," jelasku.
"Ah, masa, sih? Gila banget!" Komentar Lisa. Apalagi mereka tampak begitu mesra berjalan menuju meja kosong. Pak Abas merangkul Siska. Tampak sekali seperti wanita muda yang sedang jalan dengan Om-Om.
"Makanya aku kaget. Enggak nyangka, sumpah!" ucapku. "Apalagi itu laki-laki itu terkenal jadi orang yang dituakan di komplek. Sikapnya juga berwibawa banget dan sopan gitu setahuku."
"Ngeri, ya? Udah tua gitu masih main gila. Apa enggak mikir udah mau mati?"
"Hus! Sembarangan kamu, Lis. Bawa-bawa mati segala!"
"Ya, habis, udah tua gitu masih aja cari daun muda. Istri orang pula!"
"Iya, sih, emang. Tapi ... ada yang lebih ngeri lagi, loh, Lis," ucapku sedih.
"Apaan?" tanya Lisa penasaran.
"Cewek itu ... ngedekatin suamiku."
"Apa?" pekik Lisa. Membuat beberapa pengunjung lain menoleh ke arah kami.
"Hus! Jangan keras-keras!" tegurku sambil mengibaskan tangan di depan Lisa.
Lisa menoleh kanan kiri salah tingkah. "Kaget aku, Na! Gimana ceritanya?" tanya Lisa penasaran.
"Dia minta nomor hp Adrian ke aku."
"Sumpah, lu? Berani banget!"
"Seriusan! Dia bilangnya suaminya yang minta. Soalnya mau ajak Adrian main badminton. Eh, tuanya pagi-pagi dia kirim pesan ke Adrian."
"Kok, bisa sepede itu? Emang mereka saling kenal sebelumnya?" tanya Lisa.
"Ceritanya Adrian pernah nolongin dia pas kehabisan bensin. Eh, dia malah baper."
"Itu, sih, gila! Kamu ati-ati, loh, Na! Biasanya perempuan model gitu bisa nekat dan menghalalkan segala cara," pesan Lisa.
"Aduh, aku jadi ngeri, Lis! Kemarin, aku sampai buang kue oleh-oleh yang diberi dia. Aku parno sendiri," kisahku.
"Iya, enggak apa-apa, Na. Lebih baik jaga-jaga."
Kami menghentikan obrolan saat pesanan kami diantar. Sembari sesekali melirik Siska dan Pak Abas, aku menikmati makan siang.
Tak bisa kubayangkan saat istri Pak Abas tahu kelakuan suaminya. Tak disangka sama sekali, lelaki sopan dan berwibawa seperti dia, ternyata berselingkuh juga di usia yang sudah tidak lagi muda.
Aku berinisiatif mengabadikan momen kemesraan mereka. Kuvideo beberapa menit dan kufoto juga. Kebetulan sekali pas kuvideo dapat momen yang pas. Pak Abas mengelap sebelah bibir Siska dengan jempolnya. Romantis pokoknya.
"Iseng banget, kamu, Na!" tegur Lisa sambil tersenyum saat tahu aku mengambil foto mereka.
"Biarin, siapa tahu suatu saat ini berguna," ucapku asal.
"Iya, sih. Apalagi dia ngincer suamimu juga. Emang suaminya kerja apa, sih? Kok sampai dia gitu sama suami orang?"
"Entah. Aku juga baru semingguan di sana, jadi cuma sekedar kenal biasa aja sama orang-orangnya."
"Ngeri ya, ada perempuan kayak gitu?"
"Huum."
***
Sore ini seperti biasa Mas Adrian menjemputku. Kali ini dia datang sebelum jam kerjaku selesai. Jadi kurang lebih sepuluh menitan dia menunggu di depan.
"Maaf, ya, lama!" ucapku saat memasuki mobil.
"Enggak nerima kata maaf! Harus ada ganti rugi!" sahutnya.
"Yaelah, mau diganti rugi apa? Aku traktir makan?"
"Cium!" titahnya sambil menunjuk pipi kirinya dengan wajah serius.
"Ih, banyak orang tahu!" sungutku.
"Enggak peduli! Kalau perlu aku mau keluar, biar semua orang lihat!"
"Gila, ih!"
"Ya udah, ayo, cium!" titahnya masih dengan posisi yang sama.
"Aduh, suamiku gini banget, sih!" kelakarku.
"Hitungan ketiga, kalau enggak cium juga aku keluar!" ancamnya.
"Ish! Mana banyak banget orang lewat lagi! Ih, Mas, ini jam pulang kantor. Bakal jadi bahan bulian teman-teman nanti!"
"Enggak peduli! Cium!"
"Hih!"
Akhirnya aku mengalah. Dengan cepat aku mencium pipi kiri Mas Adrian. Membuat lelaki itu tersenyum lebar sembari menatapku.
"Apa liat-liat gitu?" Aku berlagak galak.
"Enggak, cuma ...." Mas Adrian menggantung kalimatnya.
"Apa?"
"Owh, rahasia!"
"Tuh, kan!" rajukku.
"Tunggu aja nanti di rumah!"
Mas Adrian mulai menjalankan mobilnya. Sekitar setengah jam kemudian, kami tiba di rumah.
Segera aku mandi dan berganti baju. Sementara Mas Adrian, sibuk dengan ponselnya.
"Ibu besok ke sini sore, Mbem!" ucapnya saat aku menyisir rambut.
"Kok enggak dari pagi, Mas?" tanyaku. Karena kemarin ibu mertuaku bilang mau ke sini paginya biar bisa ikutan bantu persiapan tasyakuran.
"Siangnya mau besuk Om Seno. Katanya masuk rumah sakit."
"Sakit apa?"
"Jantung."
"Aduh, mudah-mudahan cepat sembuh."
"Mbem!"
"Hm."
"Mau tahu enggak tadi aku mau ngomong apa pas di mobil?"
"Apa emangnya?"
"Sini!" Dia menepuk ranjang.
Setelah memakai krim wajah dan lips care, aku mendekati Mas Adrian. "Apaan?"
Tanpa kata-kata lagi, lelaki itu langsung menyerangku penuh cinta.
"Aah, Mas! Geli!" protesku sambil tertawa.
Namun, aku tetap menerimanya dengan suka cita.
"Yah, mandi lagi, deh!" candaku setelah sukses Mas Adrian memberikan surga dunianya.
"Ayo, aku mandiin, Mbem!"
Setelah solat isya dan makan malam, kami berdua bersilaturahmi ke rumah Bu Pur. Wanita paruh baya yang terkenal bijaksana di komplek ini.
Mas Adrian menyampaikan maksud kedatangannya. Tak kusangka, ternyata Bu Pur menyambut dengan antusias. Ternyata yang diceritakan orang benar adanya. Keluarga ini baik sekali.
Bu Pur bersedia membantuku mengatur persiapan serta jalannya acara tasyakuran kami. Ia bahkan yang akan mencarikan orang yang sekiranya bisa membantuku mempersiapkan makanan untuk takjil. Karena makanan yang dijadikan berkat, sudah aku pesan.
Akhirnya Sabtu pagi aku berangkat lembur dengan perasaan tenang. Mas Ardian di rumah nanti dibantu para tetangga.
Di kantor aku fokus menyelesaikan pekerjaan. Sampai-sampai tak ikut menanggapi obrolan Lisa dan teman-teman lainnya. Aku ingin segera bisa pulang.
Sekitar pukul dua, tugasku beres semua. Aku langsung pamit pada teman-teman dan juga Pak Ganesha tentunya. Kemudian aku memesan taksi online. Karena tadi berangkatnya diantar Mas Ardian.
Tak berselang lama, taksi yang kupesan datang. Kami segera meluncur ke komplek perumahanku. Untuk ukuran sebuah perumahan lumayan elit, simpati dan empati warganya cukup tinggi. Terbukti hari ini. Mereka mau membantuku mempersiapkan acara seperti ini.
Begitu tiba aku langsung bergegas masuk lewat pintu garasi yang terhubung dengan dapur. Terlihat ada dua orang ibu-ibu bersama Bu Pur di dapur membuat soto.
Aku menyapa mereka dan ngobrol sebentar. Kemudian aku pamit untuk berganti baju terlebih dahulu.
Aku berjalan menuju ruang keluarga, ruangan itu hanya disekat oleh lemari kaca besar yang berisi aneka pernak-pernik dengan ruang tamu. Jadi aku bisa melihat orang yang ada di ruang tamu.
Aku tertegun saat melihat Siska berjalan membawa mangkuk. Mungkin dia akan menyuapi anaknya. Sengaja aku diam mengamati. Ternyata, dia menghampiri Mas Adrian yang sedang membuka plastik karpet.
"Mas, cobain, deh, sotonya! Aku sendiri yang racik bumbunya, loh!"
Telingaku panas mendengar suara mendayunya.
Awas kamu, Siska!
Bara api di dapur, seolah kini pindah di dadaku. Darahku bahkan seperti mendidih melihat tingkah Siska pada Mas Adrian. Namun, aku masih menahan diri. Aku ingin tahu bagaimana respon Mas Adrian. Secara, dia tidak tahu kalau aku sudah pulang.Mas Adrian tampak menoleh setengah terkejut ke arah Siska. Lalu, lelaki itu menggaruk tengkuknya."Emh, maaf, Bu, saya nanti makan bareng istri saya saja," tolak Mas Adrian.Ternyata Mas Adrian jujur, dia benar-benar panggil Siska Bu."Aduh, Mas, panggil Siska aja!" pinta Siska dengan suara manja. "Kita juga kayaknya seumuran," ucapnya.Mas Adrian terlihat tersenyum kaku. Lucu sekali suamiku itu."Iya, kan, Mas?" ucap Siska lagi."Mungkin," jawab Mas Adrian."Mbak Nana pulangnya masih lama, kan?" tanya Siska lagi."Enggak, kok, paling sebentar lagi pulang," jawab Mas Adrian."Ah, masa, sih? Biasanya sampai rumah sore, kan? Mending Mas makan dulu aja! Siapa tahu Mbak Nana sampai sore.""Maaf, ya, Bu, saya makan nanti aja!" tolak Mas Adrian.Tampak
Mas Adrian langsung berdiri. Matanya nyalang menatap Siska. Seakan hendak memakannya hidup-hidup. Hidungnya kembang-kempis, wajahnya pun merah padam. Namun, yang ditatap tampak biasa saja."Benar-benar kamu, ya!" hardik Mas Adrian. "Apa kamu enggak bisa mikir dulu sebelum ngomong, hah?""Yan! Sudah, jangan begitu! Malu banyak orang!" tegur ibu mertua.Dahiku mengernyit menatap ibu mertua. Entah mengapa, aku jadi merasa ibu mertua seperti tidak memihakku."Enggak, Bu! Aku enggak terima ada yang ngata-ngatain Nana seperti itu," bantah Mas Adrian. Kemudian kembali menatap tajam pada Siska. "Aku benar-benar enggak habis pikir, ada manusia seperti kamu, ya!" hardik Mas Adrian. "Apa kamu enggak takut, ucapanmu itu akan berbalik pada keluargamu?""Ya, jelas enggak, lah, Mas," jawab Siska dengan santai. "Kan, udah jelas, aku udah punya anak.""Hah?" Mas Adrian tertawa getir. "Kamu enggak mikir itu bisa berbalik ke anakmu?" cecar Mas Adrian.Siska membuka mulutnya, kemudian mengatup kembali."
Sambungan telepon Bu Mirna dan Pak Abas terputus begitu saja. Aku melihat ada sorot kesedihan di mata Bu Mirna. Apa sebenarnya dia tahu yang dilakukan suaminya?"Dimatiin, Mbak," ucapnya.Aku mengelus lengan Bu Mirna. Tak tahu harus berkata apa. Rasanya tak tega melihat wanita seusia dia terluka."Em, apa Ibu mau cek ke rumah?" tawarku.Kebetulan kalau dari rumahku ke rumah Bu Mirna, melewati rumah Siska. Feelingku Pak Abas di rumah Siska.Bu Mirna menatapku ragu. Mungkinkah dia takut memergoki suaminya bermain gila? Atau ingin menutupi aib suaminya dari orang lain sepertiku?Ah, lelaki, kenapa tak kau pikirkan perasaan istrimu saat bermain gila? Tahukah kamu jika istrimu begitu takut aibmu akan terbongkar?"Ya udah, yuk, Mbak temani aku!" ajak Bu Mirna.Kami pun segera berpamitan kepada Bu Pur dan ibu mertua.Baru saja kami tiba di halaman rumahku, Pak Abas tergopoh-gopoh datang."Loh, Ibu mau kemana?" tanyanya pada Bu Mirna."Mau cari Bapak," jawab Bu Mirna. Kemudian menoleh kepadak
Sambungan telepon Bu Mirna dan Pak Abas terputus begitu saja. Aku melihat ada sorot kesedihan di mata Bu Mirna. Apa sebenarnya dia tahu yang dilakukan suaminya?"Dimatiin, Mbak," ucapnya.Aku mengelus lengan Bu Mirna. Tak tahu harus berkata apa. Rasanya tak tega melihat wanita seusia dia terluka."Em, apa Ibu mau cek ke rumah?" tawarku.Kebetulan kalau dari rumahku ke rumah Bu Mirna, melewati rumah Siska. Feelingku Pak Abas di rumah Siska.Bu Mirna menatapku ragu. Mungkinkah dia takut memergoki suaminya bermain gila? Atau ingin menutupi aib suaminya dari orang lain sepertiku?Ah, lelaki, kenapa tak kau pikirkan perasaan istrimu saat bermain gila? Tahukah kamu jika istrimu begitu takut aibmu akan terbongkar?"Ya udah, yuk, Mbak temani aku!" ajak Bu Mirna.Kami pun segera berpamitan kepada Bu Pur dan ibu mertua.Baru saja kami tiba di halaman rumahku, Pak Abas tergopoh-gopoh datang."Loh, Ibu mau kemana?" tanyanya pada Bu Mirna."Mau cari Bapak," jawab Bu Mirna. Kemudian menoleh kepadak
"Emang sebagus apa akhlak Mbak Nana sampai disandingin sama Aisyah?" ketus Siska.Ya Allah, masih jawab juga!"Walaupun istriku enggak semulia Aisyah, seenggaknya dia enggak pernah ngurusin urusan orang lain. Apalagi sampai nyakitin perasaannya!" ketus Mas Adrian. "Kamu pikir Nana enggak sakit hati kamu ungkit-ungkit masalah dia belun hamil?" geram Mas Adrian."Ya aku, kan, cuma ngomong biasa aja," kilah Siska."Udah, udah, Yan! Enggak baik sama tetangga begitu!" lerai ibu mertua."Mbak Siska, maaf, kami mau keluar sekarang." Aku mengusirnya dengan halus. Karena orang baru di sini, aku tak mau bersikap terlalu frontal. Aku juga belum tahu watak orang-orang di sini seperti apa. Salah langkah, malah bisa-bisa aku yang dimusuhi semua orang."Iya, deh, silahkan! Yang bawa-bawa anakku ke sini juga bukan aku!" ketus Siska kemudian pergi dengan wajah kesal sembari menggendong anaknya.Aku menghela napas panjang setelah mendengar suara pintu depan ditutup. Kemudian duduk di sofa."Bu, besok-b
Kuminta sopir taksi online yang kupesan untuk mengebut. Aku tak mau sampai terlambat tiba di rumah. Bisa panjang urusannya kalau sampai Mas Adrian tidak kuat iman.Mas Adrian lelaki normal, tentu tak mudah menghindari penggoda nekat macam Siska. Beli sayur saja berani memakai baju tidur seksi, apalagi ini di rumahnya sendiri.Aduh, aku enggak bisa bayangin!"Pak, bisa lebih cepat lagi enggak?" tanyaku pada sopir taksiku."Jalanan padat, Mbak. Aku enggak berani terlalu ngebut," jawabnya.Memang hari minggu begini jalanan padat merayap. Orang-orang pasti banyak yang jalan menghabiskan waktu bersama keluarganya."Aduh, tapi aku buru-buru banget, Pak!""Iya, Mbak. Sabar dulu, ya!"Aduh, harusnya aku pakai ojek saja. Kenapa malah pesannya taksi? Aduh!"Pak, maaf, nih," ucapku tak enak."Iya, Mbak, gimana?" tanya sopir tersebut."Kalau aku pesan ojek aja, gimana? Bapak tetap antar belanjaanku sampai titik, kok," ucapku dengan perasaan tidak enak. "Soalnya aku buru-buru.""Oh, iya, enggak ap
Mas Adrian terperangah melihatku dan Mas Guntur. Ia sampai mematung cukup lama."Ya ampun, Mas! Kamu!" seruku.Mas Adrian malah tersenyum lebar ke arahku. Sembari melambaikan tangannya yang memegang pipa dan pemotongnya."Kamu mau bantuin aku, Mbem?" tanyanya masih sambil tersenyum lebar."Ish!"Tiba-tiba kami dikejutkan oleh pekikan Siska. "Loh, kalian ngapain di sini?"Kontan aku langsung menoleh ke asal suara. Istri Mas Guntur tersebut berdiri di belakangku dan Mas Guntur. Ia membawa segelas besar teh panas dengan asap masih mengepul.Namun, yang membuat kedua bola mataku hendak keluar dari tempatnya, ia mengenakan kaos lengan pendek cukup tipis dalam kondisi basah kuyup. Sehingga memperlihatkan apa yang tak seharusnya ia tunjukkan pada orang lain. Apalagi sepertinya ia tidak mengenakan pakaian dalam. Jadi terlihat jelas bagian yang seharusnya ditutupinya.Celananya pun tak kalah luar biasa. Ia mengenakan hot pants sangat pendek dan basah juga. Sehingga paha basahnya terekspos mema
Aku menatap rendang yang seharusnya menggugah selera itu dengan perasaan ngeri. Aku benar-benar jadi parno sendiri.Apalagi selain perkataan Lisa, aku juga pernah menonton acara talk show yang membahas seorang artis yang berhasil merebut suami orang. Konon, ia menggunakan bantuan paranormal untuk memikat lelaki idamannya itu.Ih, mengerikan!"Kenapa, Mbem?" tanya Mas Adrian.Aku terkejut karena sejak tadi pikiranku melayang-layang membayangkan yang bukan-bukan."Oh, enggak apa-apa, Mas," jawabku."Kamu mau makan sekarang, Yan?" tanya ibu mertua pada Mas Adrian setelah selesai menyiapkan makanan dari Siska tersebut.Jantungku jadi berdegup tak karuan mendengar pertanyaan ibu mertua. Aku takut Mas Adrian mau makan makanan dari Siska itu. Pikiran buruk semakin penuh di kepalaku. Aku benar-benar takut.Lelaki yang ditanya ibunya itu malah menoleh kepadaku dengan tatapan meminta pendapat. Mungkin Mas Adrian ingat kue yang sampai aku hancurkan gara-gara takut diguna-guna Siska."Yan!" pangg