Setelah pembicaraan dengan Rosa berakhir, Katya segera berjalan menuju kamar Jevano. Ia membuka kembali buku catatan yang pernah ditemukannya di laci meja paling bawah Jevano."Sejak kecil, Jevano dan Julian sangat dekat. Meskipun mereka memiliki kepribadian yang berbeda, Jevano selalu memahami Julian begitu pun sebaliknya. Rachel, mungkin Jevano enggan membicarakan tentang Julian lagi. Entah karena dia marah, entah karena dia kecewa. Mereka memang menyukai satu perempuan yang sama saat itu. Tapi Jevano bukan menjadikan hal itu alasan untuk membunuh kakaknya sendiri. Nenek percaya itu."Katya tak menemukan foto wanita yang ia cari. Ia ingin tahu wajah wanita yang menjadi rebutan mereka berdua. Karena tiba-tiba saja Katya merasa, mungkin saja wanita itu adalah orang yang menerornya selama ini? Katya menahan napasnya. Ia harus melihat foto wanita itu. Tapi di mana ia akan menemukannya? "Jevano gak pernah menceritakan Kakaknya, Nek. Rachel penasaran, untuk lihat mereka.""Hmm... Nenek
Jevano masih berusaha mendobrak pintu. Ia menggedor-gedor pintu tersebut dan mencoba memanggil orang-orang."Jevan, mereka gak akan mendengar. Lebih baik kamu berhenti mendobrak pintu atau badan kamu akan sakit."Sayangnya Jevano tak menyahuti kalimat Katya. Tapi ia mencoba mencari cara lain dengan melihat-lihat ke sekitar pintu. Ia tak yakin, tapi ia berharap ada sesuatu yang bisa ia gunakan untuk membuka pintu ini.Katya juga berusaha mencari sesuatu yang mungkin bisa menghancurkan pintu itu. Namun, kemudian ia terkejut saat Jevano menendang pintu itu dengan kesal lalu menjatuhkan dirinya duduk di salah satu anak tangga.Awalnya, Katya merasa bingung. Aneh saja baginya, kenapa laki-laki seperti Jevano sepanik ini. Padahal basement ini masih berada di sekitar rumahnya sendiri. Mengenai celah ventilasi, ruangan ini memilikinya meskipun tak besar.Akan tetapi saat melihat Jevano gelisah dan seperti sulit bernapas, Katya buru-buru menghampirinya."Jev, kamu gak apa-apa?" tanya Katya.J
Sebenarnya, Jevano enggan memberitahu Katya mengenai rekaman CCTV tadi. Tapi ia pikir, bagaimana pun ia sudah berjanji pada Katya akan memberitahukan wanita ini apa saja yang ia temukan tentang si penguntit.Dan benar saja seperti dugaannya, reaksi Katya kelihatan panik. Ia mulai gelisah dengan menekan-nekan telapak tangannya sendiri. Tapi hingga kini, Katya belum mengatakan apa-apa sehingga membuat Jevano merasa bersalah."Kat, kamu harus ingat. Saya akan selalu buat kamu aman. Saya tahu kejadian tadi membuat saya lemah, tapi kamu harus percaya sama saya. Saya gak akan membiarkan mereka menyentuh kamu sedikit pun." Jevano menggenggam tangan Katya meskipun dirinya sendiri masih kelihatan belum tenang.Bukan sekali dua kali Jevano merasa diteror oleh seseorang. Tapi kali ini, entah kenapa ada sesuatu yang membuatnya jauh lebih takut, merasa memiliki kekhawatiran yang sebelumnya jarang ia rasakan."Sebaiknya kamu istirahat dulu. Semua ini biar saya yang urus.""Jevan, maafin saya. Saya
"Saat itu usia saya baru 7 tahun. Seseorang menyekap saya. Saya gak tahu itu di mana dan berapa lama. Yang pasti, kejadian itu yang membuat saya trauma sampai saat ini. Itu memang bukan kelemahan terbesar saya, sama halnya dengan teror yang dilakukan orang itu hari ini. Saya rasa hanya peringatan," ucap Jevano setengah memejamkan matanya.Jadi, maksud Jevano, kejadian di basement tadi bukanlah untuk menjebaknya? Melainkan Jevano? Katya pikir, si pelaku hanya tahu di basement itu Katya, karena Jevano pun masuk secara mendadak. Lalu dia mngunci pintu basement. Tapi dengan mengunci pintu, mematikan lampu, semua itu sudah sangat sempurna untuk membuat Jevano kelimpungan. Misi penjebakkan hari ini memang seolah sengaja membuat Jevano menderita."Jadi siapa yang memungkinkan melakukan ini semua menurut kamu?" tanya Katya pelan."Ada banyak kemungkinan, Kat... Pelakunya ... Bisa saudara saya, bahkan Ibu saya. Mereka semua tahu insiden itu.""Ibu kamu? Gak mungkin -""Dia yang melakukan itu s
Katya melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 03:00 sore, ketika dia tiba di Hotel Larrote kota Paris. Tempat di mana Bagaskara, sang tunangannya berada. Jauh-jauh Katya pergi ke negeri ini dari Indonesia untuk bertemu Bagas. Namun, alih-alih menemukan Bagas berada di kantornya, Katya malah diarahkan ke gedung hotel ini. Awalnya, Katya sungguh-sungguh berpikir bahwa Bagas sedang menghadiri sebuah meeting di hotel ini. Sebagai seorang pelayan di restoran hotel di Jakarta, Katya tahu betul hotel bukan hanya dijadikan tempat bagi orang-orang untuk menginap. Begitu juga dengan Bagas. Katya menunggu dengan cemas dan penuh keraguan di lobby hotel. Dia tak memiliki akses untuk menghampiri tempat Bagas berada saat ini. Ia hanya menunggu penuh harap bahwa sang kekasih akan terkejut melihat kedatangannya yang mendadak menyusulnya.Setelah sekitar setengah jam, Katya hendak menghubungi Bagas lagi. Namun suara pintu lift yang terbuka mengalihkan perhatiannya. Ia tercengang melihat rombonga
Katya membuka matanya pelan-pelan, tubuhnya terhuyung ke sana kemari saat dua orang laki-laki membawanya keluar mobil. Masih dengan tangan diikat dan mulut yang disumpal kain, langkah Katya terseok-seok memasuki lift. Sebenarnya, Katya biisa saja menendang salah satu dari mereka dan kabur. Tapi kedua kakinya terasa kebas, entah karena aksi kejar-kejaran tadi, atau karena posisi kakinya tertekuk di dalam mobil, atau mungkin karena keduanya.Begitu salah satu laki-laki itu melepaskan pegangannya pada Katya, gadis itu jatuh dan mereka menekan kedua bahu Katya hingga ia benar-benar bersimpuh di atas lantai. Mereka semua berbicara bahasa Prancis. Dan layaknya di film-film aksi, Katya merasa dirinya di ambang kematian. Mungkin yang sedang menculiknya adalah perkumpulan gangster, atau penjual organ tubuh manusia. Yang pasti, Katya hanya bisa menunduk ketakutan. Dalam hati, Katya terus berdoa untuk keselamatannya. Ia benar-benar hanya berdoa agar dia tak dibunuh. Hanya itu.Suara pintu terbuk
Katya diam termenung di atas tempat tidur empuk milik orang asing ini. Meskipun kedua tangannya tak diikat lagi, Katya enggan bergerak untuk mengganti bajunya. Meskipun mulutnya sudah tak lagi disumpal, ia enggan mencicipi segala hidangan yang memenuhi meja kamar itu.Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah menangis. Meratapi semua yang telah terjadi padanya. Semua kesialannya sejak menginjakkan kaki di negeri orang. Entah apa yang lebih buruk dari ini. Apakah hidupnya akan selamat atau tidak.Pernikahan Bagas dengan perempuan lain saja sudah cukup memukul hatinya. Sekarang, ia malah terjebak di tempat asing ini. Apakah memang seharusnya ia menerima Bagas lagi? Meskipun ia harus menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang lain. Tidak, Katya lebih memilih mati dibunuh oleh orang-orang asing ini daripada menjadi perempuan simpanan Bagas. Ia memang hanyalah perempuan biasa yang hidup di panti asuhan, tapi apakah ia begitu rendah sampai seorang laki-laki hanya menjadikannya seorang wani
Berpura-pura menjadi istri orang asing ini? Gagasan macam apa itu? Katya benar-benar merasa dunianya porak-poranda. Bagaimana mungkin ia mendapatkan masalah bertubi-tubi? Selain fisik, perasaan serta pikirannya pun diaduk-aduk dalam rentang waktu dua hari."Oke, sebaiknya kita sarapan dulu. Baru bicarakan lebih lanjut-""Enggak. Saya akan langsung cari tas saya dan pergi ke KBRI.""Apa kamu yakin? Saya akan bantu kamu ..."Katya menggelengkan kepalanya, ia melepaskan sepatu yang semula dipakaikan oleh Jevano kemudian mengembalikannya lagi pada Jevano."Terima kasih atas tawarannya. Saya bisa urus diri saya sendiri," ucap Katya berusaha keras menahan air matanya. Jevano sempat tertegun melihat raut wajah Katya yang memprihatinkan dan ia refleks menahan tangan gadis itu. Sayangnya, refleks Katya juga yang membuat gadis itu melepaskan tangannya dari Jevano sesegera mungkin."Biar Martin anter kamu ke kantor polisi untuk melaporkan kehilangan tas kamu.""Oh, dan mengatakan kalau tas saya