Share

The Blue Blood
The Blue Blood
Penulis: Selfie Hurtness

Ch. 1 DAMN!

Elsa berlari terburu-buru setelah memarkirkan motornya di halaman parkir rumah sakit. Hari ini hari pertama dia koasisten, dan ia hampir terlambat.

Kau tahu apa itu koasisten? Koasisten adalah pendidikan klinik atau kepaniteraan klinik sebutannya, yang wajib dilakukan oleh para sarjana kedokteran guna kemudian bisa mendapatkan gelar dokternya. Koasisten biasanya satu setengah tahun atau sampai dua tahun lamanya, tergantung individu masing-masing. Dan sekarang, selepas mendapatkan gelar sarjana kedokterannya sebulan yang lalu, kini Elsa tengah menjalani pendidikan kepaniteraan klinik di sebuah RSUD paling besar di kota kelahirannya itu.

Menjadi dokter adalah cita-cita Elsa sejak kecil. Meskipun kondisi ekonomi keluarganya pas-pasan, tetapi Elsa bisa sukses masuk fakultas kedokteran universitas negeri di kota Solo dan bisa tetap lanjut berkuliah dengan modal beasiswa karena kecerdasannya. Dan inilah dia sekarang, menjadi dokter muda, calon dokter seperti cita-citanya.

Elsa terus berlari hingga di pintu masuk rumah sakit ia menabrak sosok dengan kemeja biru dan celana bahan itu.

"Heh, jalan pakai mata dong!" bentak laki-laki itu sambil menatap tajam ke arah Elsa.

"Bukannya situ juga nggak pakai mata? Jalan sambil mainan handphone!" salak Elsa galak, sosok itu terlihat makin kesal dan membelalakkan matanya, ia kemudian memasukkan iPhone miliknya ke dalam saku.

"Nggak diajari sopan-santun sama orang tua?" Sosok itu mendekat ke arah Elsa, matanya masih melotot tajam.

"Diajari, tapi aku juga diajari bagaimana caranya membela diri kalau berhadapan dengan orang menyebalkan macam kamu!"

Sosok itu tersenyum sinis, "Aku menyebalkan? Ngaca, kamu lebih menyebalkan, camkan itu!"

Sosok itu kembali menyeringai lalu berbalik dan meninggalkan Elsa seorang diri di depan pintu. Elsa hendak berteriak memaki laki-laki itu ketika sadar ia sudah ditunggu.

"Mampus, makin telat! Dasar laki-laki menyebalkan!" Elsa kembali berlari menuju ruangan yang sudah di kirim lokasinya oleh Yeyen. Hari pertama dan sudah hampir telat? Astaga, sungguh awalan yang buruk.

Elsa dengan nafas tersengal-sengal berhenti di depan pintu besar itu, ia mencoba menetralkan nafasnya sejenak, kemudian menekan knop pintu dan masuk ke dalam.

Klekk

Ruangan itu hampir penuh dengan teman-teman satu angkatannya, sebagian dari mereka di rolling ke rumah sakit pendidikan yang kampus miliki, RSUD lain dan beberapa rumah sakit yang bekerja sama dengan kampus mereka. Elsa menghela nafas panjang, kemudian melangkah dan duduk di bangku yang tersisa, yang sialnya ada di barisan paling depan.

"Kamu kemana aja sih, Sa? Untung dokter Burhan belum datang, kalau datang habis kau, hari pertama sudah telat!" Renita berbisik di telinga Elsa, membuat Elsa kembali menghela nafas panjang.

"Kesiangan, kemarin nggak bisa tidur," balas Elsa setengah berbisik.

"Ahh ... Kebiasaan, mumpung belum koas dipuas-puasin lah tidurnya, ntar koas mana sempat kita tidur," Renita mencibir, tepat saat yang bersamaan, pintu masuk kembali terbuka. Terdengar suara langkah sepatu yang begitu tegas beradu dengan lantai itu.

"Selamat pagi, mohon maaf acara hari ini sedikit terlambat," suara itu begitu tegas dan terdengar begitu berwibawa.

"Pagi," semua kompak menjawab, Elsa yang tengah men-silent iPhone sontak mengangkat wajahnya dan terkejut luar biasa melihat siapa yang ikut masuk bersama dengan sosok berkaca mata dan ber-snelli lengan panjang.

Elsa melongo, sosok itu kini ikut mengenakan snelli lengan panjang. Tampak sosok itu tersenyum sinis ketika menatap Elsa yang mulutnya menggangga saking terkejutnya. Jadi dia dokter juga? Dokter di sini? Dokter apa dia?

Jantung Elsa rasanya hendak lepas, sebuah kesialan yang tidak bisa dia hindari jika memang dia adalah salah seorang dokter yang dinas di sini.

"Baik, perkenalkan saya Burhanuddin Septiandi, kebetulan saya yang dipercaya untuk menjabat sebagai direktur utama di RSUD ini, dan yang berdiri di samping saya ini adalah salah satu residen saya, yang nantinya akan membantu adik-adik semua selama masa kepaniteraan klinik."

'Mampus, dokter residen?' keringat dingin langsung mengucur di dahi Elsa. Petaka! Ini petaka! Baru hari pengenalan dan hari ini Elsa sudah cari ribut dengan dokter residen di rumah sakit ini?

"Selamat pagi semuanya, perkenalkan saya Wiliam Kendra Wijaya, saya kebetulan salah satu residen obsgyn. Nanti yang dapat jatah stase obsgyn berarti ada di bawah bimbingan saya dan dokter Burhan."

Tidak ada senyum di wajah itu, wajahnya benar-benar datar dan terkesan angkuh, namun kenapa itu malah membuat setiap mata yang menatapnya malah terbius dengan begitu luar biasa?

Elsa menelan saliva-nya, stase obsgyn terkenal tidak pernah ramah pada koas wanita. Para bidan, bidan magang, bahkan perawatnya terkenal tidak pernah ramah dan welcome pada koas wanita, terlebih jika koasnya good looking, cantik dan banyak disukai dokter senior. Dan sekarang, stase obsgyn yang dalam bayangannya sudah begitu mengerikan itu akan makin mengerikan dengan residen seperti William? Yang benar saja!

Elsa sontak memijit keningnya dengan gemas, bagaimana nasibnya nanti? Semoga ia dapat jatah terakhir stase itu.

Sepanjang acara pengenalan dan briefing, Elsa benar-benar risau setengah mati, ia tidak fokus dengan penjelasan-penjelasan yang dipaparkan dokter Burhan dan beberapa kepala bagian rumah sakit. Matanya tertuju pada sosok itu yang sejak tadi menatapnya dengan seringai tajam. Membuat Elsa makin tidak enak hati dan takut setengah mati.

Sorot mata itu sangat tidak bersahabat, begitu angkuh dan dingin. Apa yang hendak dilakukan laki-laki itu pada Elsa? Elsa menghela nafas panjang, keringatnya sudah mengucur deras. Rasanya ia ingin lari pulang dan banting setir melamar kerja di bank saja!

Tapi cita-citanya ingin menjadi dokter, bukan banker! Elsa makin tidak karu-karuan, perutnya mendadak mulas, ya Tuhan, kenapa masa koasnya jadi begitu horor macam ini?

***

"Hai Nona pembela diri, selamat datang di stase obsgyn," sosok itu tersenyum sinis, matanya tidak henti menatap Elsa dengan tatapan tajam.

"Sa-saya minta maaf dokter Wi-,"

"Panggil saya Ken, dokter Ken!" ralat sosok itu dengan suara yang ditekan.

Elsa mendengus, iya-iya ... Elsa tahu kalau dia sudah menjadi dokter, bahkan hampir dokter spesialis, jadi tidak perlu ditekan kan seperti itu lagi posisi Elsa sekarang hanya sebagai keset rumah sakit selama dia menjalani kepaniteraan klinik.

"Ma-maaf dokter Ken, saya tidak bermaksud ...."

"Saya bukan tipe orang yang mudah memberi maaf pada orang, terlebih jika orang itu sudah kurang ajar pada saya!" kembali sosok itu memotong kalimat Elsa, membuat Elsa makin kesal setengah mata pada dokter residen itu.

"Ikut saya ke ruang residen, saja jelaskan apa yang harus kamu lakukan supaya bisa mendapatkan maaf dari saya, paham?"

Sosok itu membalikkan badannya, membuat Elsa sontak misuh-misuh dalam hati, kenapa harus stase obsgyn yang harus ia jalani di awal kepaniteraan klinik nya? Kenapa bukan stase lain? Kenapa dari sekian banyak stase harus obsgyn yang pertama harus Elsa jalani?

Dengan lunglai Elsa melangkah mengikuti dokter Ken pergi ke ruang residen. Teman-teman satu grup di stase obsgyn hanya menatap heran kepergian keduanya. Apa yang sudah terjadi? Elsa bikin kesalahan apa sampai-sampai dokter residen itu hendak menghukumnya?

"Kenapa sih? Ada masalah apa Elsa sama residen ganteng itu?" tanya Gilang pada Renita yang tadi duduk bersebelahan dengan Elsa.

"Entah, aku juga nggak tahu." Renita mengangkat bahunya sambil menatap teman-teman dengan bingung.

"Daebak bener anak itu, baru hari pertama sudah bikin gara-gara?"

"Mending kalau dia full blood, Elsa bukan full blood dan dia sudah cari masalah sama residen?" Angela menatap trenyuh Elsa yang melangkah sambil menundukkan kepala itu.

Semua hanya saling pandang dan kompak menghela nafas panjang, selesai koas tepat waktu, ikut UKMPPD dan lolos adalah target mereka saat ini, tanpa hal-hal itu mereka tidak bisa mendapatkan gelar dokternya, tidak sampai kapanpun.

***

"Duduk!" titah Ken tegas dan dingin pada Elsa yang tidak berani mengangkat wajahnya itu.

Elsa tidak membantah, tidak berkata-kata apapun. Apa yang hendak dokter residen itu lakukan kepadanya?

"Kenapa cuma diam? Sini angkat wajah kamu dan liat saya!" suara itu begitu dingin dan menusuk, membuat Elsa perlahan-lahan mengangkat wajahnya dan menatap sorot mata tajam itu.

"Hah, sekarang saja lembek! Mana garang mu tadi? Yang katanya membela diri?" sindir Ken pedas, membuat mata Elsa memerah.

"Saya minta maaf, Dokter."

Hanya itu yang bisa Elsa katakan, kamus wajib para koas yang harus selalu diingat adalah ; maaf Dok, baik Dok, terima kasih, Dok, intinya seperti itu lah. Membantah apalagi melawan? Sudah dipastikan koas itu akan habis, apalagi jika dia bukan berasal dari keturunan dokter darah biru, sebutan untuk dokter yang berasal dari keluarga dokter, bapak-ibu atau bahkan kakek dan neneknya dokter juga.

"Saya akan kasih kamu hukuman, siap?" Ken kembali bersuara, sorot mata itu masih begitu tajam.

Elsa menelan saliva-nya dengan susah payah, "Si-siap, Dokter."

"Bagus!" Ia bergegas bangkit, melangkah dengan tegap mendekati Elsa yang makin tidak nyaman di tempatnya duduk.

"Selama koas di stase ini, kamu harus jadi assiten pribadi saya. Saya butuh jurnal ya tolong carikan, butuh terjemahan ya tolong terjemahkan. Misal saya butuh bantuan bersih-bersih apartemen saya, ya kamu datang. Siap?"

Elsa sontak melotot, gila apa! Ia kesini guna mendapatkan gelar dokter, bukan malah jadi pembantu residen macam ini! Namun mau bagaimana lagi? Daripada masa koasnya dipersulit residen satu ini, dia bisa apa?

"Baik, Dokter!"

"Bagus! Sini nomor handphone kamu, kalau saya waktu-waktu butuh kamu jadi bisa gampang hubunginya!" Ken menyodorkan iPhone-nya, Elsa menatapnya sekilas, lalu menerima ponsel itu dan mengetikkan nomor Wh*tsApp miliknya ke dalam ponsel residen songgong itu.

Setelah selesai ia kembali menyodorkan ponsel itu kembali pada sang pemilik.

"Siapa namamu?"

"Elsa, Dokter."

"Nama lengkap?" Ken mengangkat wajahnya, kembali menatap Elsa dengan seksama. Sorot mata itu masih begitu tajam.

"Elsa Belvania Setiawan, Dokter."

Ken mengetikkan nama itu dan menyimpan kontak itu di iPhone-nya. Setelah memasukkan ponsel itu ke dalam saku snelli-nya, Ken kembali menatap Elsa dengan seksama.

"Pulang nanti saya ikut dokter Hendratmo sectio caesarea, kamu wajib ikut asistensi, paham?"

"Paham, Dok." Hanya itu yang bisa Elsa jawab, memang mau apa lagi? Menolak? Membantah? Gila apa!

"Bagus, saya tunggu di OK!" Ken kembali duduk di kursinya, "Kamu bisa kembali ke ruang koas, silahkan!"

"Baik, terima kasih banyak, Dok."

Elsa bergegas bangkit, ia melangkah keluar dengan sedikit terburu dari ruangan itu, begitu sampai di luar air matanya sontak menitik, kenapa harus seperti ini masa koasistenya?

Komen (7)
goodnovel comment avatar
dr.wadda school
serasa kembali ke fk uns, tp beda suasana ya, maklum sdh beda puluhan taun
goodnovel comment avatar
dr.wadda school
secara kmbali ke fk uns 30 taun yg lalu
goodnovel comment avatar
Andi Andriani
kak di Stase Bedah ada dokter Adnan sm dokter Reditanya ga ??? ... miss them
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status