Pagi berikutnya, tepat pukul 09.00, Carmen berdiri di depan ruang kerja Sunrise dengan raut yang berbeda dari biasanya. Tak ada senyum cerah atau sapaan riang.
Di tangannya, tablet kerja dan secangkir kopi hangat yang biasa ia bawa untuk atasan sekaligus sahabatnya itu terasa lebih berat hari ini.Setelah mengetuk pelan, Carmen melangkah masuk. Sunrise tengah menatap layar besar berisi blueprint digital, matanya fokus, tampak serius.“Sunrise.” panggil Carmen hati-hati. “Aku, baru dapat email dari Nick semalam.”Sunrise menoleh, mengernyit heran. Riasannya rapi, tapi tak mampu sepenuhnya menyamarkan sembab di matanya. “Email apa?”Carmen meletakkan kopi di meja, lalu menatapnya ragu. “Aku ditunjuk untuk mendampingi tim merger. Briefing langsung dari Nick. Pagi ini, pukul sembilan.”Alis Sunrise terangkat pelan. “Langsung oleh Nick? Tanpa konfirmasi padaku dulu?”“Ya.” Jawaban itu menggantung. “Aku juga tidak mengerti.”Sunrise terdiam, menatap bluepriJamuan makan malam akhirnya selesai. Denting gelas terakhir mengalun sebelum para pelayan datang mengganti alat makan dengan nampan-nampan kecil berisi minuman ringan dan camilan penutup. Namun, suasana belum selesai. Musik orkestra kini berubah lebih ringan, dan lampu ruangan perlahan diredupkan. Semua tamu tahu, acara inti baru saja dimulai. Seorang anggota keluarga berdiri di depan, memberikan sambutan singkat sebelum memperkenalkan acara berikutnya. "Tradisi turun-temurun keluarga Crown's pemberian hadiah pernikahan kepada menantu baru." Sunrise membeku di tempat duduknya. Ia tak tahu. Tidak ada yang pernah memberitahunya tentang ini. Para tamu mulai bersorak pelan, memberikan selamat dalam irama yang menggelegak dari atas panggung. Orang pertama yang berdiri adalah Magnus Crown. Ayah mertua itu melangkah perlahan, mengenakan tuksedo abu gelap dengan dasi hitam satin. Wajahnya tak menunjukkan senyum, hanya ketegasan yang tak pernah pudar meski usianya telah lewat enam puluh
Ruang panel server sore itu dipenuhi pantulan cahaya biru dari layar raksasa dan indikator sistem. Suasana hening hanya diisi oleh denting keyboard."Bisa kita mulai." Sunrise memberikan instruksi. Para teknisi mulai beroperasi.Sunrise berdiri di depan layar utama bersama Carmen, sementara beberapa teknisi berdiri di sisi ruangan.“Sinkronisasi antar server sudah stabil.” ujar Carmen sambil menatap monitor dengan seksama.Sunrise mengangguk. “Benar. Bagaimana dengan uji coba respon daruratnya?”“Berhasil 100%. Tapi kita masih butuh satu sesi lagi untuk validasi sebelum demo besok.” Carmen menambahkan.Baru saja Sunrise akan memberi instruksi lanjutan, suara pintu otomatis terdengar. Keduanya menoleh. Nick masuk lebih dulu, lalu diikuti oleh Khairen."Tuan Khairen..." Carmen spontan menegakkan tubuh seperti para staf lainnya. Mereka mengangguk hormat.Sedangkan Sunrise tetap tenang, walau ada jeda sepersekian detik saat matanya bertemu dengan mat
Mobil sedan hitam berhenti perlahan di basement apartemen. Sopir segera turun, membukakan pintu belakang. Summer melangkah keluar, lalu menoleh ke dalam mobil."Kak!" panggilnya lirih.Sunrise duduk diam di sana. Wajahnya teduh tapi beku. Ia keluar tanpa banyak kata. Langkahnya ringan namun tak bertenaga. Aroma rumah sakit masih menempel di kulitnya, meski kini telah berganti dengan mantel wol dan syal tipis.Selama perjalanan dari rumah sakit ke apartemen, tak ada satu kalimat pun yang terucap. Sunyi, bahkan Summer memilih untuk tak memecahkannya. Ia tahu, kakaknya menyimpan terlalu banyak luka yang tak bisa sembuh hanya dengan kata-kata.Begitu sampai di kamarnya, Sunrise membuka tas yang ia bawa saat kecelakaan. Dokumen-dokumen yang telah ia revisi berkali-kali masih tersusun rapi di dalamnya. Laptop dan ponselnya mati total. Ia mencolokkan charger, lalu menunggu sambil duduk di ujung ranjang.Saat layar menyala, ratusan notifikasi membanjiri layar ponselnya.
Sinar matahari siang mulai menyusup melalui tirai jendela rumah sakit. Burung-burung berkicau pelan di luar, memberi kontras damai pada sisa-sisa malam penuh kekacauan.Sunrise perlahan membuka matanya. Pandangannya buram, samar, dan langit-langit putih rumah sakit menyambutnya dalam sunyi yang asing. Beberapa detik ia terdiam, tubuhnya masih berat, napasnya pelan, dan kepala terasa berdenyut.Satu suara memecah kesunyiannya.“Kakak, kamu sadar?” suara lembut itu familiar. Hangat. Dan penuh kekhawatiran yang tak disembunyikan.Sunrise mengerjapkan mata, dan saat pandangannya mulai jelas, ia melihat sosok Summer duduk di sisi ranjang. Wajah adiknya pucat dan mata bengkak, jelas telah menangis."Summer…?" bisiknya, suara serak dan lemah.Summer langsung memeluknya perlahan, hati-hati agar tidak menyentuh luka di pelipisnya. “Astaga, Kak aku benar-benar takut kau tak bangun,” suaranya bergetar. “Kalau Nick tidak meneleponku kalau mereka datangnya telat sedikit a
Setibanya di ruangannya, Sunrise membuka laci. Tangannya gemetar saat meraih dokumen, ponsel, dan kunci mobil. Ia menjejalkan semuanya ke dalam tas, lalu menyambar mantel hitam dari sandaran kursi.Jantungnya masih berdentum keras. Bukan karena takut. Tapi karena kesakitan. Emosinya tak lagi terbendung, ia butuh pergi. Sekarang juga.Matanya masih merah, dadanya sesak oleh gejolak yang belum reda. Ia keluar dari ruangannya dengan langkah cepat, menyambar setiap napas yang tertinggal di lorong lantai CNC.Basement kantor hampir kosong ketika Sunrise membuka mobil putih miliknya. Malam Zurich masih berselimut kabut tipis, menyelimuti kota seperti selimut dingin yang menusuk hingga tulang.Mesin mobil meraung saat ia menekan pedal gas. Ia ingin pergi sejauh mungkin dari kantor, dari Khairen, dari kontrak yang menyeret harga dirinya ke dasar.Ia mengemudi menuruni jalanan berliku menuju pegunungan kecil di pinggiran kota. Langit di atasnya kelabu. Lampu jalan temaram
Sunrise membuka pintu ruang CEO tanpa mengetuk. Amarahnya membakar batas-batas sopan santun yang biasanya ia junjung tinggi. Nafasnya memburu, bola matanya menyala oleh kemarahan dan kelelahan yang telah mencapai titik didih.Khairen duduk di balik mejanya, masih mengenakan kemeja hitam yang tergulung sampai siku. Gelap, dingin, dan dominan. Ia menatap wanita di depannya sejenak, seolah tak peduli, lalu kembali ke monitornya dengan gerakan santai.“Kau cepat juga merespon revisiku.” ucapnya ringan tanpa rasa bersalah. Dan kalimat ini seakan sudah ia siapkan untuk menyambut kedatangan Sunrise.“Ini bukan tentang revisi, Khairen,” suara Sunrise terdengar tajam, nyaris bergetar. “Ini penyiksaan.”Khairen menatapnya datar. “Kau terlalu sensitif, Sunrise.”“Jangan putar balikkan semua ini!” seru Sunrise. “Aku tahu kau sengaja mengulur waktu. Kau sengaja menolaknya berkali-kali. Ini bukan koreksi. Ini penghinaan!” Napasnya terdengar memburu.Khairen berdiri, melang