Kepalanya masih terasa sakit. Namun tidur terus-terusan bukanlah hal baik.
“Maaf mengganggu Tuanku.” Suara khas Samuel dan ucapan ‘tuan’ kembali mengganggu Druf.“Paman, bisa tidak kalau cuma berdua panggil aku seperti sebelumnya. Seperti dulu,” ucapnya kesal.“Anda harus terbiasa Tuan.”Druf memoncongkan bibirnya. Ekspresinya sungguh lucu sekali.“Ada perlu apa Paman? Sepertinya ada hal penting yang mau dibicarakan.”Samuel mengambil nafas sejenak kemudian berkata, “Tuan sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku. Beberapa hari ini pergerakan Tuan seperti diluar kendali.”“Apa maksud Paman?”Samuel menceritakan semuanya seperti seorang detektif. Sejak Elena jatuh dan ia hendak menciumnya. Kemudian mengganggunya di koridor kampus secara detail. Bahkan, menunjukkan video ketika Druf membunuh vampir liar dan menyelamatkan Elena. Saat ia memeluknya kemudian Elena mengisap darah ditelunjuknya. Sesaat setelah itu tampak Elena seperti melamun agak lama hingga ia menyuruhnya pulang.“Sudah kubilang Tuanku, bahwa semua kontak fisik dengan manusia akan membuat mereka ketagihan. Anda candu bagi manusia Tuanku.”“Tapi, aku kan tidak menciumnya. Hanya memeluknya dan sedikit kecupan di ujung kepalanya,” ucap Druf membela diri. Pikirnya, apa yang Druf perbuat tidak berlebihan. Bisa dibilang normal layaknya kebiasaan manusia pada umumnya. Terutama ketika mereka mengungkapkan perasaan kepada gadis yang mereka suka.“Tidak Tuanku. Gadis itu menelan darahmu. Lihat dia melamun. Itu tandanya dia sedang berhalusinasi melakukan sesuatu yang intim dengan Tuanku.”“Apa maksudmu Paman, dengan kata intim,” tanya Druf tak mengerti. Intim merupakan kata yang susah dicerna karena jarang Druf gunakan.“Merasa di perlakukan intim. Bahkan terburuknya merasa kau tiduri.”“What?? Unbeliafable. Tidak mungkin paman. Masa sebegitu nya, sih. Brian bahkan Frans bisa seenaknya gonta ganti pasangan tidak ada masalah. Tapi diriku....” Druf menggantung kalimatnya karena menahan perasaan tidak nyaman dalam dirinya.“Tuan, kau itu prince. Kau itu tuan bagi kami. Kau itu terjaga kesuciannya. Kau hanya mempunyai satu pasangan. Satu ratu. Dan tidak boleh menyentuh yang lain. Kau terpelihara. Karena itulah mate-mu harus wanita pilihan.”Mendengar semua itu Druf merasa stress dan tertekan.“Dan sekarang darahmu sudah diminum gadis itu. Mau tak mau dia harus sesuai dengan kualifikasi kriteria ratumu. Jika tidak.....” Samuel menggantung kalimatnya.“Jika tidak sesuai, maka dia akan mati,” lanjutnya.Kata terakhir itu menjadi horor bagi Druf.“Ya, jika satu hari saja dia tidak bersentuhan fisik denganmu dia akan demam tinggi. Kemudian besoknya mati.”Mata Druf terbelalak. Ada rasa sesal yang mendera di hatinya. Apa Samuel hanya menakut-nakutinya. Tapi bagaimana jika cerita Samuel itu benar.‘Elena.......’ bisik hatinya pelan. Ia tak akan pernah rela jika Elena dalam bahaya.***Risma kini mengacuhkannya. Bahkan dia tak menyapanya sama sekali. Okelah, Elena memang marah, tapi jika Risma meminta maaf dia pasti akan memaafkannya. Tapi jangankan meminta maaf, menyapanya saja dia enggan. Ah, sudahlah.“Kelakuan anak kere, sukanya melamun saja terus..” ucap Kris yang berdiri dihadapannya.Elena tak menyahut. Dia memilih diam. Apalagi akhir-akhir ini ia sering merasa pusing dan kedinginan. Males rasanya jika berseteru dengan seseorang.“Ayo ikut aku!” bentaknya.“Kemana ?” tanya Elena bingung.“Ayo ikut saja, menurut kenapa, sih!” ucapnya sambil menyeret Elena keluar kelas.Dibelakang mereka tampak Misha dan Cloe turut serta. Siapa yang tidak kenal Trio Queena. Tiga cewek cantik dan modis. Tidak hanya cantik, mereka juga smart dan sedikit kejam. Begitulah info yang pernah ia dengar dari cerita Risma. Mendadak Elena merasa akan di bully. Seperti di film yang pernah di tontonnya. Oh, no..“Duduk!” Perintah Kris kasar.Mereka berada di dalam sebuah ruangan yang penuh dengan gambar-gambar fashion, mesin jahit dan beberapa laptop. Kris, Misha dan Cloe berdiri di hadapan Elena dengan bersedekap tangan di depan dada.“Kau yakin ini orangnya?” tanya Cloe pada Kris.“Ya, tentu saja. Aku tak pernah salah. Kenapa? Apa sekarang kau merasa takut tak bisa mengubah dia,” tantang Kris.“Jangan pernah remehkan aku, ya.”Kris hanya tersenyum sinis. Sementara Elena tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.“Plis, biarkan aku pergi,” pinta Elena dengan memelas.“Diam gadis bodoh. Ayo buka bajumu.” Kini Misha menjulurkan tangannya untuk membuka bajunya.“Ja... Jangan. Kumohon apa yang mau kalian lakukan!” teriak Elena sambil bangkit namun di dudukkan kembali oleh Kris dan Cloe.“Sudahlah, ikat saja dia. Pakaiannya nanti saja,” ucap Kris.Misha mengikat tangan dan badan Elena hingga tak bisa bergerak. Sementara Cloe menutup mulut Elena dengan perekat. Hingga hanya ada suara deheman yang terdengar dari mulutnya. Melihat hal itu ketiga cewek itu tertawa.Elena mulai menangis. Ia ketakutan. Ia menutup matanya dengan pasrah. Dan ketiga cewek itu melakukan sesuatu padanya. Ia merasakan tubuhnya digiring untuk berdiri. Tangan dan tubuhnya terasa longgar. Elena segera membuka mata. Dan meronta kembali agar bisa melarikan diri. Namun seseorang memukul bahunya hingga ia merasa pusing dan tak sadarkan diri.“Merepotkan saja,” ucap Kris. Itulah kata terakhir yang sempat didengarnya.Beberapa waktu pun berlalu. Elena mulai menemukan kesadarannya kembali. Ia meluruskan kaki dan menarik punggungnya. Menggeliat. Kemudian ia ingat sesuatu. Ia segera bangun dan mendapati ketiga gadis di depannya sedang duduk nyantai menikmati secangkir kopi.“Wah, kau sudah bangun rupanya,” sapa Cloe.“A..Apa yang kalian lakukan padaku?” tanya Elena dengan ketakutan.Bukannya menjawab Kris malah mendekatinya kemudian menarik lengannya. "Lihatlah dirimu di cermin."Betapa terkejutnya Elena saat melihat pantulan dirinya di cermin. Rambutnya lurus panjang tergerai. Wajahnya cantik dengan sapuan makeup natural. Dan tubuhnya dibalut rok mini yang dipadupadankan dengan model atasan yang sedang trend saat ini. Ia sungguh terlihat seksi.“Apa yang terjadi padaku?” ucap Elena takut.“Berterimakasihlah pada kami. Kami membuatmu cantik gadis bodoh,” ucap Misha.“Ayo, kami harus mengantarmu.”“Kemana?” tanya Elena ketakutan. Tapi ia tidak mendapat jawaban dari ketiganya sama sekali.Sepanjang jalan atau koridor kampus yang mereka lewati. Tak henti-hentinya para cowok kampus memandang Elena dengan takjub.Bahkan beberapa diantaranya ada yang jatuh keselokan saking terpananya.“Sebentar lagi ada mobil yang datang menjemputmu. Naiklah mobil itu. Dan ingat jangan keman-mana. Kalau lu pergi dari sini dan tidak mengikuti perintah kami. Jangan salahkan kami, kalo nanti kami menyiksamu. Mengerti!” bentak Kris yang langsung mendapat anggukan dari Elena.Dalam hati ia bertanya, siapa yang akan membawanya dan kemana. Namun tiba-tiba ingatannya jatuh pada Dr. Frans. Seperti pesan yang disampaikannya. Mungkinkah ia akan pergi makan bersama Druf.Sebuah mobil berhenti tepat dihadapannya. Elena segera masuk setelah mendapat kode dari seseorang yang menyuruhnya untuk masukPesawat yang membawa Elena tiba di Sydney. Mereka di jemput seorang lelaki setengah baya ber-jas rapi yang tak lain bawahan Druf di perusahaan Sydney Blue Sky. Selama perjalanan Samuel tidak banyak bicara. Sebenarnya ia sudah mengetahui kabar Druf yang sedang koma. Ia chattingan dengan William. Membantunya melakukan penyelamatan darurat sebisa mungkin. Ia mengirim pesan-pesan yang harus William lakukan. Andaikan Frans ada di sana ia tidak akan sehawatir ini. Samuel mendesah. Pikirannya kalut. Wajahnya tampak muram dan kusut. Elena yang melihat hal itu memandangnya dengan curiga. “Apa kau sudah mendapat kabar dari William?” Tanyanya antusias. “Eh, belum.” Kejut Samuel. Dengan cepat ia menyembunyikan ponselnya di saku jasnya. Elena melihat gerakan Samuel yang menurutnya mencurigakan. “Tolong, jangan sembunyikan apapun dariku.” Ucap Elena dengan mata berkaca-kaca memandang Samuel.”Aku akan lebih menderita jika kau menyembunyikan sesuatu dariku. Aku berjanji akan tangguh dan siap
“Sebelum kau melawan tuanku. Hadapi kami dulu!!” Teriak Brian dan Frans bersamaan. Ratu Victoria menyeringai. “Kalian bukanlah tandinganku HUH!!”Gertaknya. Druf memegang satu bahu Frans dan satu bahu Brian. Keduanya menoleh. “Kalian..Pergilah susul Samuel dan Elena.” Ucap Druf dalam mindline. “Tapi tuan.” Ucap Brian dan Frans bersamaan. “Ini perintah... Aku titipkan Elena dan anakku.”Mata Druf terlihat sendu. “...........” Frans dan Brian saling pandang, menunduk lalu mundur. Mata Druf bertemu dengan mata ibunya. Dua bola mata yang dulu pernah berwarna sama kini telah berubah. Druf memandang dengan iba sedangkan ibunya memandangnya penuh gairah. Ia tidak tahu mengapa harus seperti ini. Apakah ia sanggup melawan ibunya sendiri. “Seraaaang!!!!!” Perintahnya kepada setiap yang hadir. William langsung mengambil alih. Sebagai jenderal ia langsung memimpin para vampir melawan makhluk berjubah hitam. Sedangkan Druf fokus pada ibunya. “Pangeranku yang tampan. Aku tidak tahu a
Seorang wanita cantik berdiri menatap Elena lekat. Matanya merah menyala di penuhi kemarahan. Elena ketakutan. Diliriknya Druf yang tengah memandang wanita itu dengan waspada. “Itu siapa?” Bisik Elena di telinga Druf. Kemunculannya yang diawali dengan makhluk berjubah hitam yang kini sedang menawan para undangan. Membuat Elena yakin, jika wanita itu bukan teman. “My Mom.” Ucap Druf datar. Elena terkejut mendengar jawaban itu. Bukan karena usia wanita cantik itu yang tampak muda. Melainkan ia masih mengingat ucapan Frans tempo hari untuk tidak mendekati wanita itu, meski dia ibu Druf sekalipun. “Paman Sam, keluarlah!!!” Teriak Druf. Seorang pemuda muncul dari balik kursi yang Druf duduki. Brian dan Frans terkejut mengetahui keberadaannya. Bahkan keduanya yakin jika tuannya sengaja menyembunyikan keberadaannya. “Heh, mau apa kau Sam!!” Ucap wanita itu lantang. Para undangan menahan nafas. Mereka kenal betul siapa wanita ini. Dia adalah Ratu Victoria, ratu kegelapan. Seolah
Deru mobil Brian terdengar. Druf yang sedari tadi menunggu dalam diam masih mematung. Tiga jam ia duduk di sana. Dengan wajah datar tanpa bicara sepatah kata pun. Elena gelisah menatapnya. Sementara David duduk dengan lesu di dekat pintu yang mengunci Anggelica. Kadang-kadang gadis itu masih berteriak. Pintu terbuka. Brian muncul di sana dengan wajah muram. Tak lama setelahnya muncul seorang gadis cantik berambut pendek. Matanya berbinar melihat ke arah Druf yang masih tidak menatapnya. “Druf.” Gadis itu berlari dengan riangnya. Ditangkupnya wajah Druf dengan kedua tangannya.”Lama sekali kita tidak berjumpa.” Ucapnya tersenyum. Brian menatap frustasi ke arah Dilara. Bagaimanapun ia sudah sangat mencintai gadis itu. Hatinya sedikit sakit melihat gadisnya begitu memuja tuannya. Druf yang tidak merespon apapun berdiri. Bahkan ia sama sekali tidak melihat ke arah Dilara. “Brian, bawa dia ke kamarmu.” Ucap Druf. “Tidak. Aku tidak mau. Aku masih ingin bicara denganmu.” Teriak D
Nafas berat Druf semakin terasa. Elena tak dapat lagi menutupi kegeliannya. Bahkan nafasnya memburu. Ia merasa sesuatu yang nyaman dan geli bersamaan. Hingga tanpa sadar ia mencengkram rambut Druf kuat. Dan mulutnya tanpa sengaja mengeluarkan erangan yang kemudian ia tahan. Druf bergerak. Mungkin ia terjaga karena cengkraman tangannya. Elena menatap Druf yang tengah menatapnya sayu. Dan entah atas dorongan apa. Elena mencium bibir Druf. Mengulumnya. Ia merasakan kenikmatan luar biasa saat melakukannya. “Jangan Elena. Aku akan menikahimu sesuai adat bangsamu.” Ucap Druf saat bisa menghindar. Elena menatapnya dengan nafas yang semakin memburu. “Ta..Tapi.” Elena menyatukan dahinya dengan dahi Druf. Hidungnya mencium wangi nafas Druf yang menggoda. Ia kembali kehilangan akal sehatnya. Mengecup bibir Druf kembali dan merasakan kenikmatan yang mungkin tak banyak orang tahu. Tanpa sengaja tangannya menyentuh dada Druf yang bidang dan berotot. Tangannya mengusapnya dan memainkannya. Druf
Elena tersadar. Dirabanya lengannya yang masih perih. Ia melihat sekeliling. Ini kamar Druf, batinnya. Peristiwa memalukan itu kembali terbayang di matanya. Saat ia melihat handuk yang dipakai Druf terjatuh. Seketika wajah Elena memerah. Dihapusnya segera bayangan itu dari ingatannya saat ini. Pikirannya kembali mengingat peristiwa sebelumnya. Tapi, bagaimana ia bisa ada di sini. Seingatnya malam itu ia hendak dibawa wanita cantik namun ia melihat paman Samuel. Setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi. Krieeeettttt. Elena terkejut. Terdengar bunyi engsel pintu yang dibuka paksa. Elena mematung. Ia seperti melihat bayangan seseorang yang bungkuk mendekat ke arahnya. Elena tidak bisa bernapas. Tubuhnya juga tidak bisa bergerak. Ia shock. Melihat bayangan itu samar-samar telah mendekati tepian kasurnya. Ia mendongak menatap Elena di kegelapan. Sepasang matanya hitam pekat. Elena sangat ketakutan luar biasa. Ia ingin lari tapi tak bisa. Ia juga ingin teriak tapi tenggorokannya terceka
“Tuan, kita tidak bisa menemukannya. Tapi dari baunya. Sepertinya Elena lari ke arah sini.” Frans menyisir tempat itu dengan teliti. Druf membenarkan hal itu. Ia bisa mencium wangi bunga Levender. “Tuan, ada dua mayat vampir.” Ucap Frans. Druf mendekat. Ia yakin itu prajurit ibunya. Bahkan hidungnya pun bisa mencium wangi wanita itu. Wanita yang telah melahirkannya sekaligus membuat hidupnya lebih menderita dari kematian. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari sikap ibunya yang ingin menikahi putranya sendiri. Druf memegang dadanya. Ia merasakan luka yang luar biasa sakit. Ia tidak ingat sama sekali mengapa ibunya bersikap seperti itu. Kehidupan macam apa ini. Walaupun manusia biasa menganggapnya iblis. Tapi Druf masih punya hati nurani. Virus vampir sama sekali tidak akan mengubah hatinya menjadi iblis. Mana ada seorang ibu yang mencintai anaknya sendiri seperti seorang kekasih. “Sudah paman katakan kan Druf, apapun yang ada di dirimu adalah candu. Siapa yang pernah bersent
Secantik apapun cewek yang berdiri telanjang di hadapan. Takkan bergairah tanpa adanya rasa suka. Itupun kalo jiwa elo masih waras. Alexandru Cezar. *** “FRAAAANNNNNNSSSS.” Teriaknya. Ia meraih handuknya cepat. Memakainya sekenanya kemudian keluar dari kamar itu. Frans yang tadinya masih nyantai, sampai tersedak melihat tuannya keluar dari kamar dengan kondisi yang bisa dibilang me-nak-jub-kan. “W- o -w.” Ucap frans. Yang diikuti anggukan Brian. Druf mendelik melihat kedua penjaganya malah mematung memerhatikannya. “Jangan bengung aja lu. Cepat bius tuh gadis gila biar tiduRrr.” Bentaknya. Bukannya segera melaksanakan apa yang diperintahkan, Frans malah ngomong ngelantur. “Perasaan staminanya dan bodynya yang hot gak bakalan kalah kan naklukin tuh cewek. Iya nggak Brian?” Ucap Frans masih sempat menyeruput tehnya dan diikuti anggukan Brian.”Trus kenapa dia melarikan diri, padahal anunya kenceng gitu.” Pletakk. Pletakk. “Auu!!” Teriak Brian dan Frans bersamaan. Kepal
Dalam perjalanan tak satupun ada yang bicara. Baik Elena maupun Druf. Mereka berdua sama-sama canggung. Di benak Elena kini ada perasaan takut. Mengingat kejadian tadi siang di sekolah. Mungkin kali ini rasa takutnya lebih besar dari perasaan sukanya pada Druf. Cowok di sampingnya itu tidak mudah di tebak. Kadang baik, kadang kejam. Berbeda dengan Brian maupun Frans, mereka ramah. Jangan-jangan mereka bertiga bukan bersaudara seperti yang dikatakan Druf. Tapi Elena mana tahu selama kerumahnya ia belum pernah bertemu dengan orang tua Druf. “Turun.” Ucap Druf singkat. Elena kebingungan. Andaikan ia tidak melihat keluar mungkin ia tak paham dengan maksud Druf. Mereka telah sampai. Sepatu hak tinggi Elena menyentuh karpet merah. Aula sekolah sudah berubah jadi ruangan pesta kelas elit. Bahkan ada karpet merah segala. Sejenak Elena merasa malu. Baru kali ini ia memakai gaun sebagus ini. Itupun di pinjamkan Brian, katanya ia punya butik merek sendiri. Syukurlah gaun itu pas di tubuhnya.