“Berperanlah, sampai semua nyata dengan sendirinya.” —The Endless Love
—
Satu minggu kemudian ...
Malam ini, Deana dan Delta kini sudah resmi bertunangan. Senyum dari semua orang yang mengikuti acara tersebut pun terpancar, menandakan mereka ikut bahagia atas pertunangan tersebut termasuk kedua orangtua Delta. Senyum mereka seolah tidak ada habisnya melihat Delta dan Deana kini sudah berada dalam sebuah ikatan pertunangan.
"Aku akan sangat bahagia jika pada akhirnya nanti mereka akan bersama," bisik Altheraldo pada istrinya.
"Aku akan lebih bahagia, sayang. Mungkin setelah ini kita harus membicaran soal rencana pernikahan mereka," usulnya dan langsung diangguki oleh Altheraldo.
Tapi kebahagiaan yang di maksud itu ternyata tidak sampai ke hati tiga orang yang kini sedang sama-sama berpikir keras. Pertama ada Delta. Di otaknya, Delta sudah menyiapkan beberapa rencana untuk membuat Kenara cemburu dan dipastikan akan berhasil. Gadis itu akan kembali padanya karena murni menginginkannya. Delta tersenyum, bukan sebuah senyum yang ia hadirkan sebagai sebuah ungkapan kebahagiaan. Melainkan karena susuan rencana yang sudah ada dalam otaknya.
Orang kedua adalah Deana, ia juga sibuk memikirkan cara agar hidupnya tetap baik-baik saja. Karena mulai besok, ia sudah menebak bahwa hidupnya tidak akan setenang sebelumnya. Akan ada banyak cacian yang mengusik telinganya. Akan ada banyak bibir yang membicarakan tentang acara malam ini yang seharusnya adalah acara Delta dengan Kennara, bukan dengannya.
Mungkin kalau isi pembicaraan itu positif, Deana akan memaklumninya. Tapi, itu hanya sebuah omong kosong semata. Kenyataannya mereka pasti akan membicarakan ketidakcocokan antara Dirinya dan Delta.
Tapi tunggu, sejak kapan Deana peduli pada semua itu? Bukankah dia sendiri menyadari ketidakcocokannya dengan Delta? Harusnya ia cuek, bukan?
Dan orang terakhir ... adalah seorang gadis yang berdiri di sudut ruangan dengan segelas minuman di tangannya. Siapa lagi kalau bukan Kennara. Gadis itu tentu saja datang karena undangan resmi yang diberikan langsung oleh ibunya Delta. Ini adalah sebuah sindiran yang luar biasa untuk dirinya. Tapi, ia sudah menduga bahwa mantan calon ibu mertuanya itu pasti sudah tahu perihal kandasnya hubungan anaknya dengan dirinya.
Well, Kenara mengaku menyesal karena permintaan bodohnya yang tempo hari itu. Tapi, mulai detik ini, ia sudah bertekad untuk mendapatkan pria itu kembali apapun caranya. Kenara sangat menginginkan Delta lebih dari apapun. Ia tidak ingin pria itu bersanding dengan gadis selain dirinya sekalipun itu Deana. Tidak, Deana bukan tandingannya.
—
Delta dan Deana berjalan memasuki kampus dengan bergandengan tangan. Sebenarnya Deana sangat tidak menyukai hal itu karena terlalu berlebihan dan membuatnya merasa tidak nyaman. Tapi, mau bagaimana lagi? Mulai hari ini ia harus terbiasa menjalankan peran sebagai tunangan Delta sebaik mungkin layaknya pemeran utama sesungguhnya. Deana sama sekali bukan tipikal cewek yang jago akting, tapi demi membalas budi pada keluarga Altheraldo, ia akan melakukannya dengan semaksimal mungkin.
Kabar tentang pertunangan Delta dengan Deana sangat cepat tersebar ke seluruh penjuru kampus khusunya di gedung fakultas mereka. Tentu saja kabar tersebut sangat mengejutkan karena yang bertunangan dengan Delta adalah Deana, bukan Kennara. Bersamaan dengan itu, gosip-gosip yang tidak sedap mulai bermunculan dan menciptakan spekulasi-spekulasi yang menempatkan Deana pada posisi orang ketiga. Mereka beranggapan bahwa Delta selingkuh dengan Deana yang merupakan sahabatnya sendiri karena mereka percaya jika persahabatan murni antara lawan jenis itu tidak pernah ada. Sering bersama kemana-mana dan sangat dekat pasti memunculkan rasa cinta juga. Hal itu pula yang disinyalir menjadi pemicu kandasnya hubungan Delta dan Kennara.
Meski banyak juga yang ikut bahagia atas pertunangan mereka, tapi sepertinya tidak sebanyak mereka yang tidak suka.
Seperti sekarang ini, banyak pasang mata yang menatapnya dengan tatapan sinis, horror, bahkan membunuh. Harusnya Deana tidak peduli, sama sekali! Tapi, apa yang mereka lakukan itu bagi Deana adalah keterlaluan. Mereka tidak tahu apapun dan seharusnya diam saja karena pada akhirnya nanti mereka akan berterimakasih pada Deana perihal kembalinya pangeran mereka bersama Kenara. Cewek paling cantik yang katanya serasi dengan Delta. Terserah, Deana tidak peduli.
"Nggak usah peduliin apa kata mereka dan tatapan nggak jelas itu, Okay?" bisik Delta seolah mengerti apa yang dipikirkan oleh Deana.
"Gue emang nggak peduli. Lo juga kan tahu kalau gue bukan tipe pedulian apalagi sama hal yang nggak penting," kilah Deana ketus.
Delta tersenyum paham. Padahal terlihat sangat jelas dari wajah gadis itu kalau dirinya sangat risih dan mulai tidak nyaman.
"Tahan, ya. Cuman sebulan, kok. Dan abis itu lo bakal bebas sebebas-bebasnya."
"Of course! Dan lo bakal dapetin kembali Kenara."
"Alright!"
—
Mata kuliah CCU adalah favorite Deana. Apalagi tema yang di sajikan Mrs. Lindy adalah 4 season yang ada di benua eropa. Sejak kecil dirinya selalu bisa membayangkan bisa pergi Amerika. Tinggal di sana untuk waktu yang lama dan menikmati musim gugur. Satu-satunya musim yang sangat Deana ingin lewati. Entahlah ... tapi ketika ia berselancar di internet dan mencari tahu hal hal yang berhubungan dengan musim gugur, ia langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.
Ponselnya tiba-tiba menyala dan menampilkan pesan dari Delta. Padahal, jelas-jelas cowok itu duduk di sampingnya.
Δ : Lagi mikirin bisa pergi ke Amerika dan ngerasain musim semi, right?
Deana seketika tersenyum. Pria itu selalu tahu apa yang di pikirkannya. Wajar, mereka kan sudah berteman sejak kecil. Jadi saling mengerti dan memahami pun sudah sangat baik tentunya.
Ia tidak membalas pesan itu, melaikan menulis sebuah kalimat di catatan kecilnya dan memberikannya pada Delta.
Iya, tapi nggak pernah kesampean. Mungkin nanti, kalau gue udah lulus, udah kerja, dan uang gue cukup baru bisa pergi ke sana. Doain gue ya, Ta. :)
Delta ikut tersenyum membaca kalimat Deana. Diambilnya buku cacatan kecil itu dan mulai menuliskan sesuatu.
Gue doa'in selalu yang terbaik buat lo. Syukur-syukur kalau kita bisa pergi bareng.
Deana kembali tersenyum. Liburan bareng, ya? Boleh juga.
Delta tidak membalasnya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Deana. "Ok," katanya.
Kata Ok itu, adalah sebuah persetujuan menurut pengertian Delta dan ia sudah merencanakan semuanya. Bagian dari misi mendapatkan Kenara? Tentu saja tidak. Ia ingin setidaknya sekali dalam hidupnya membahagiakan Deana, orang terdekatnya sejak jecil dan sudah ia anggap seperti adiknya sendiri.
Tapi, kata itu bukan apa-apa bagi Deana. Delta tidak akan pernah melakukannya. Toh 2 atau 3 tahun lagi semuanya bakal berubah. Bahkan mungkin sebulan yang akan datang juga sudah berbeda keadaannya saat Delta mendapatkan Kenara kembali.
Lagipula bersama terus dengan pria itu juga membosankan. Deana akan pergi sendiri. Syukur-syukur saat itu tiba, ia sudah memiliki seseorang sebagai pendampingnya.
Suami, ya? Jangankan suami, pacar atau gebetan aja gue nggak punya. Belum kepikiran punya malah, kekehnya dalam hati.
—
Jam istirahat dihabiskan Deana di kantin sambil memakan makanannya tidak selera. Rasanya jadi aneh duduk sendirian di kantin. Biasanya Mauren akan selalu menemaninya, tapi hari ini gadis itu mendadak tidak masuk dan membuat Deana bosan setengah mati.
Mauren adalah sahabatnya sejak masuk kuliah. Gadis dengan sifat 100% berbanding terbalik dengannya itu, satu-satunya gadis yang bisa menerima Deana. Bukannya apa-apa, tapi semenjak orangtuanya meninggal dunia, ia berubah jadi gadis yang pendiam, tidak pedulian dan menutup diri dari semua orang. Tapi, Mauren seolah tidak peduli. Ia tetap berusaha ingin menjadi teman Deana dan sampai pada akhirnya Mauren menjadi tempat dirinya berbagi dan menjadi orang yang ia percaya selain Delta. Mauren sangat mengerti dirinya dan dewasa, mereka selalu berbagi apapun. Deana sangat bersyukur mempunyai sahabat seperti Mauren.
Sedang sibuk mengaduk gado-gadonya, tiba-tiba seseorang dengan seenak jidatnya duduk di depan Deana. Ia tahu betul bahwa itu bukan Delta karena Delta akan dengan senang hati mengagetkannya sebelum mengambil alih tempat duduk.
"De, Mauren kemana?" tanyanya to the point. Inilah salah satu alasan kenapa Deana tidak menjauhi cowok di depannya. Tidak pernah basa basi dan langsung nanya ke inti sehingga Deana pun bisa menjawabnya langsung ke inti.
"Nggak masuk. Izin mau nganter nyokapnya check up," jawabnya.
"Pantes muka lo suntuk gitu."
"Heem. Nggak ada yang cerewet."
Cowok itu terkekeh geli. "Delta mana? Nggak bareng sama lo?"
"Nggak tahu. Ya masa harus barengan terus? Kita bukan anak SMA lagi kali, Al."
"Ya kan biasanya cewek-cewek yang baru jadian sama Delta pasti selalu nyantol kemanapun tuh cowok pergi. Apalagi elo yang statusnya tunangan dia," celetuknya. Memang sih dari sekian banyak mantan Delta, sepertinya cuman Deana yang tidak bergelayut manja. Tapi apa pedulinya?
"Gue pengecualian, ya," katanya sambil menyipitkan mata. Seketika tawa Alden meledak. Ia benar-benar tidak bisa menahan tawanya. Gadis di depannya saat ini memang berbeda.
"Alden nggak lucu, ya! Nggak usah ketawa!" Deana refleks mendaratkan sendoknya di kepala Alden membuat cowok itu meringis seketika.
"Ya tuhan lo kejam amat sih, De. Sakit bego!"
Deana ikut meringis. "Sorry-sorry kelepasan."
"De, kalau kepala gue nambah satu lo tanggung jawab ya," katanya dengan tatapan serius yang dibuat-buat.
"Iya tenang aja. Entar gue penggal kepala kedua lo pake golok. Good idea, right?"
"Makin sadis," komentarnya sambil mendelikkan mata.
Deana tertawa. "Udah tahu gue sadis, masih aja mau minta tanggungjawab."
"Gue bercanda De ... ya Tuhan ...."
"I know," timpalnya sambil mendorong piring dan menutup acara makan siangnya.
"Kok makannya udah? Kan belum abis," komentarnya.
"Nggak selera gue. Udah kenyang duluan ngeliat lo."
"Sialan lo."
Deana kembali tertawa.
Tiba-tiba, seseorang langsung menghampiri keduanya. "Na, bangun!" perintahnya.
Deana yang sedang mengobrol dengan Alden pun sontak menoleh. "Delta?"
"Gue bilang bangun!" ulangnya dengan tegas dan wajah datar.
"Iya, tapi kenapa?" tanya Deana saat bangun dari duduknya.
"Ikut gue," katanya sambil menarik paksa tangan Deana. Membuat gadis itu terpontang-panting mengikuti langkah cepat Deana.
"Ta, lo kenapa, sih?" tanyanya ditengah jalan. Semua pasang mata kembali memperhatikan mereka.
Delta berhenti melangkah di depan sebuah gudang yang telihat sepi.
"Gue udah bilang kan sama lo buat nggak deket-deket sama Alden, terus kenapa lo malah ngobrol sama dia? Hah?" ujarnya dengan emosi.
"Jadi karena Alden, lo emosi nggak jelas kayak gini?" Deana balik bertanya.
Delta mengembuskan napasnya pelan. "Sorry ...."
"Ta, serius ya gue nggak ngerti sama lo. Lo kenapa sih ngelarang gue deket sama Alden? Salah kalau gue temenan sama dia?"
"Nggak gitu, Na. Gue cuman nggak mau lo—"
"Nggak mau gue kenapa?" sergah Deana cepat dengan nada kesal.
Delta memegang kedua bahu Deana dan menatapnya lekat. "Anna please ... dengerin gue," katanya serius.
"Alden itu bukan orang yang tepat buat dijadiin temen, Ok? Semua orang tahu siapa dia. Dan gue nggak mau lo jadi korban dia selanjutnya. Dia udah cukup brengsek dan gue nggak akan pernah biarin lo deket sama dia apalagi punya hubungan khusus. Lo bisa pilih cowok manapun asal jangan dia," papar Delta.
"Ta ... gue udah gede. Gue bisa jaga diri sendiri. Lo nggak perlu khawatir, Okay? Lo berlebihan tahu, gak?!"
"Terserah! Gue nggak peduli mau lo anggap apa. Berlebihan sekalipun. Tapi lo temen gue, sahabat gue, keluarga gue, dan nggak akan pernah gue biarin Alden macem-macem sama lo apalagi kalau sampe renggut masa depan lo. Kalau sampe itu terjadi, bakal gue pastiin dia mati di tangan gue!" tegasnya.
"Astaga Ta, nyebut! Dia temen lo. Dan dia juga tahu siapa gue. Alden nggak bakal mungkin berani macem-macem sama gue." Deana berusaha menenangkan Delta.
"Persetan sama temen, Na. Pokoknya gue nggak mau lo deket-deket sama Alden lagi!" keukeuhnya.
"Kasih satu alasan kenapa gue harus nurut sama apa kata lo?"
"Karena lo tunangan gue dan gue sayang sama lo," jawabnya membuat mata Deana terbelalak tak percaya.
"Ta, kan kita—" belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Delta menarik gadis itu ke pelukannya.
"Ta, lepasin! Lo apa-apaan sih peluk gue kayak gini?"
"Diem aja napa?! Ada Kenna. Bales pelukan gue dong," katanya sambil berbisik.
Pantesan ... kenapa gue kecewa, ya? Batin Deana.
Deana melingkarkan tangannya di punggung lebar pria itu. Membuat Delta tersenyum puas melihat ekspresi shock Kenna. Gadis itu langsung melenggang pergi. Delta bersorak dalam hati. Permainan sepertinya baru saja di mulai.
Mereka pun saling melepas pelukan. "Lain kali kalau mau mulai sandiwara bilang-bilang dong! Gue kan kaget!" dumel Deana.
"Sorrry-sorry, gue juga kan nggak tahu kalau kalau Kenna bakal lewat sini."
Deana hanya memutar bola matanya malas. Hampir saja dirinya mengatakan bahwa mereka tunangan pura-pura. Yah, di mata keduanya pertunangan itu hanyalah sebuah kepura-puraan semata.
"Inget kata-kata gue ya, jangan deket-deket sama Alden," ujarnya lagi mengingatkan.
"Inget juga kata-kata gue yang bilang kalau gue bisa jaga diri," imbuh Deana.
"Na, please ... jangan mulai."
"Ok baik. Selama lo jadi tunangan pura-pura gue, gue bakal nurut apa kata lo dan lo juga sebaliknya. Tapi, setelah semua ini selesai kita sama-sama bebas. Deal?"
Delta mengernyitkan alisnya sedikit ragu tapi kemudian ia mengangguk. "Sepakat."
Deana tersenyum puas. Mungkin setelah semua ini selesai, ia akan mencari kehidupan sebenarnya sendiri. Sama seperti Delta. Ia juga butuh seseorang yang akan mendampinginya kelak, kan?
—
Tiga hari pasca jebakan, Kenna mendatangi apartemen Delta dengan mimik wajah yang tidak bisa dibilang santai. Ya, wanita itu tidak terima dan sangat marah pada Delta atas apa yang lelaki itu lakukan pada Arash. Kenna menggedor-gedor pintu apartemen tersebut beberapa kali sampai akhirnya orang yang ia inginkan muncul dibalik pintu. “Jahat lo, Ta! Jahat! Keterlaluan! Gak punya hati!” protes Kennara yang langsung menyerang dada bidang Delta berkali-kali. Membuat Delta yang berdiri di pintu refleks melangkah mundur kembali ke dalam. Delta tidak menggubris sama sekali dan memilih membiarkan Kennara melampiaskan segala amarahnya. “Apa yang lo lakuin ke Arash? Hah? Kenapa lo buat dia masuk penjara? Kenapa Delta? Kenapaaaaa?!” “Lo jahat! Lo jahat Deltaaaaa!” Pukulan Kennara mulai melemah, sepertinya energi gadis itu sudah mulai habis, menyisakan isak tangis dan punggung yang
Delta langsung mendatangi rumah Kennara diikuti oleh Alden. Emosinya benar-benar ada dipuncak kemarahan sekarang. Delta tahu, menghadapi seorang wanita bukan sesuatu yang gentle, tapi ini bukan soal tantang menantang, ini soal kemunafikan yang selama ini gadis itu perlihatkan.Setelah mengetahui di mana Kenna berada dari asisten rumah tangganya, Delta dan Alden langsung menaiki anak tangga menuju lantai dua. Tujuannya memang bukan Kennara namun gadis itu pasti tahu di mana orang tersebut."Kenna buka Ken! Gua tahu lu di dalam!""Lo buka atau gue dobrak nih pintu?!" Delta memberi penawaran.Tak berselang lama, gadis itu pun keluar dari kamarnya. "Apa sih, Ta? Gue abis dari-""Gak penting lo abis dari mana! Gua cuman pengen lo jawab pertanyaan gue dengan sejujur jujurnya!"Delta menatap gadis dihadapannya lekat. Kennara tampak ketakutan namun Delta ti
Mulai hari ini dan beberapa waktu ke depan sampai batas yang tidak ditentukan, Delta memutuskan agar Deana tinggal di rumah. Itu jauh lebih aman mengingat penjaan rumah yang ketat daripada di apartemen.Delta tidak ingin diam saja dan menunggu. Ia sudah lelah dan harus menyelesaikan semua masalahnya. Apapun tujuan peneror yang mengaku-ngaku sebagai Sherine itu, Delta tidak akan pernah membiarkannya menang dan mendapatkan apa yang diinginkannya.Setelah mengantar Deana pulang ke rumah yang disambut hangat oleh sang Papa, Delta pamit untuk menelusuri tentang Sherine. Hal Yang akan Delta lakukan pertama kali adalah mengunjungi sekolah SMAnya dan meminta data serta alamat atas nama Sherine.Sekitar satu jam mengemudi, akhirnya ia sampai di SMAnya. Delta memarkirkan mobilnya di tempat parkir khusus tamu kemudian keluar dari mobilnya menuju lobi.Saat di lobi, ia di sambut oleh guru semasa SMA nya du
Semenjak Delta dan Deana memutuskan untuk kembali memulai segalanya dengan cara yang benar, keduanya seperti menemukan kehidupan baru yang lebih berwarna. Saling mengisi, berbagi hati, dan terutama belajar menjadi calon orang tua yang baik. Delta—lelaki itu benar-benar memperlihatkan kesungguhannya pada Deana dan berubah menjadi sangat posesif.Contohnya saja ketika Deana membereskan apartemen mereka, Delta pasti akan ngomel-ngomel dan menyuruh Deana untuk berhenti dari aktivitasnya seperti menyapu, mengepel lantai, dan lainya. Delta bahkan memilih untuk mempekerjakan pembantu agar Deana tidak melakukan aktivitas yang bisa membahayakan calon anaknya. Padahal yang dilakukan Deana bukan aktivitas berat tapi Delta mendadak berubah menjadi lelaki yang keras kepala dan tidak mau di debat.Deana hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Delta yang menurutnya berlebihan itu. Tapi disamping itu, Ia sangat-sangat bersyukur karena semua kini kemba
Ditempat yang sama namun dengan hari dan suasana yang baru Delta berdiri tepat di anak tangga ke tiga. Tak henti-hentinya ia menarik sudut bibirnya dan mengucap syukur pada Tuhan yang sebesar-besarnya atas kembalinya Deana ke rumah. Ia menjewer kupingnya sendiri dan terasa sakit, menandakan jika yang berdiri di dapurnya saat ini benar-benar Deana.Ia kemudian menuruni anak tangga yang tersisa dan berjalan menghampiri gadis itu yang tengah sibuk dengan kompor dan teflonnya. Delta memeluknya dari belakang, melingkarkan tangannya pada perut Deana yang mulai nembesar."Ta ... apasih? Lepasin, gak? Gue susah gerak kalau lo peluk kayak gini," protesnya.Delta kembali tersenyum. Kepalanya yang bersandar di bahu Deana terlihat begitu nyaman. Mulai hari ini ia tidak akan menakan apapun lagi yang ingin berkembang di dalam hatinya. Ia akan membiarkan perasaan itu lepas dan tumbuh bersamaan dengan kebersamaannya dengan D
Deana duduk di sofa sambil menatap pemandangan ibu kota di malam hari dari jendela apartemen Alden. Pikirannya melayang pada banyak hal, salah satunya pada Delta.Deana tidak ingin berharap lebih namun perasaannya tak bisa dibohongi. Semakin ia menyangkalnya, semakin perasaan itu tumbuh lebih besar. Jika ditanya sejak kapan, Deana sendiri tidak tahu pasti. Mungkin sudah lama, mungkin juga baru-baru ini atau mungkin setelah malam itu. Entahlah...“Mikirin Delta lagi, eh?” celetuk Alden dari arah tangga.Lelaki itu berjalan santai mendekatinya, kemudian bersandar pada jendela tepat du hadapan Deana.“Kalo lu kangen sama dia, temui dia lah, De,” saran Alden kemudian.“Gue emang kangen sama Delta. Banget, malah. Tapi kalau gue nemuin Delta, kemungkinan besarnya adalah kita balik dengan posisi Delta yang cuman anggap gue sebagai ad
Kennara cepat-cepat menuju apartemen tepat setelah Delta menelponnya untuk datang. Ketika sampai, apartemen tersebut ternyata tidak dikunci yang membuat Kennara bisa leluasa masuk tanpa perlu memencet bel atau mengetuk terlebih dulu.Terlihat Delta sedang menunggunya di sofa. Kenara berjalan mendekati Delta dan duduk tepat disampingnya. "Sayang, ada apa? Apa sesuatu terjadi?" tanyanya dengan wajah cemas.Delta mengeluarkan sesuatu dari samping kirinya dan memperlihatkan benda tersebut ke hadapan Kena. "Jelasin, apa ini?"Kenara jelas shock ketika melihat botol yang dicarinya selama ini, kini berada ditangan Delta. Bagaimana bisa botol pil itu ada ditangannya? batinnya bertanya."Delta-""Aku bisa jelasin ini, okay?" ujar Kennara berusaha setenang mungkin."Aku harus nemuin alasan yang masuk akal agar Delta percaya. Jika sampai dia curiga, hancur s
Arash menengadah, menatap rintik hujan yang mulai membasahi jaketnya. Memasuki musim penghujan, awan mendung mulai aktif mengeluarkan isinya, membuat sebagian orang kembali mengingat kenangan, merasa de javu, bahkan bisa menghadirkan kembali luka di masa lalu. Percaya atau tidak, hujan menang sangat identik dengan hal-hal tersebut sama seperti Arash.Kenangan menyakitkan itu menyapanya. Menyibak luka yang sama sekali belum kering. Mengingatkannya pada kejadian dimana gadis itu mati di pelukannya. Arash menyaksikannya, bagaimana bibir mungil itu masih sempat-sempatnya mengucap nama lelaki tersebut di detik-detik kepergiannya. Tangannya mengepal, menatap nama yang tertera pada papan berwarna putih di hadapannya.“Aku akan membalaskan semua rasa sakitmu. Aku akan membuatnya merasakan pedihnya setiap air mata yang jatuh dari matamu,” ucapnya parau.“Aku akan—” Arash tidak melanjutkan kalimatnya. Mulutny
Liburan semester memasuki bulan kedua. Disaat mahasiswa lain sedang asyik menikmati liburan, Delta malah sebaliknya. Ia semakin kacau dan frustrasi dengan semua terror yang diterimanya. Siapa yang peneror itu maksud sebenarnya? Singguh, Delta sama sekali tidak bisa mengingat yang peneror maksud di masa dulu.Ingin rasanya Delta menelpon sang Papa, meminta bantuan beliau namun diurungkannya. Delta merasa ia sudah dewasa dan harus menyelesaikan setiap masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain sekalipun itu papanya.Delta menatap setiap celah di sekeliling ruang tamu apartemennya. Satu kata: Sunyi. Daripada dibilang rumah, apartemen Delta lebih mirip kuburan atau desa tak berpenghuni. Ia tersenyum miris, mengejek dirinya sendiri. Merasa begitu menyedihkan dengan takdir yang Tuhan gariskan padanya.Bersamaan dengan itu, suara bel berbunyi. Fokus Delta langsung teralihkan namun ia tidak langsung beranjak dari so