Share

Janji untuk mentraktir kopi

 Jam yang terpampang jelas di dinding ruangan tersebut sudah menunjukkan pukul 15. 00 atau pukul 3 sore yang berarti sudah waktunya untuk para pekerja menghentikan aktivitasnya dan pulang untuk beristirahat dari segala pekerjaan yang telah dilakukannya hari ini.

 Sambil membereskan beberapa file yang berada di mejanya, TV melirik sedikit-sedikit pada layar ponsel yang berada di sebelah kiri tangan Nuri. Sebuah kabar Yang dinanti oleh Nuri meskipun pada kenyataannya mungkin pesan itu tidak akan masuk kedalam aplikasi yang berada dalam ponsel Nuri. Sampai file yang dibereskannya pun rapi, tidak ada tanda-tanda bahwa pesan tersebut akan diterima oleh Nuri. 

 Saat orang lain sudah membubarkan diri dari ruangan tersebut, Nuri masih saja duduk di kursinya dan melamun sejenak. Sosok pria yang dicintainya terus saja membayangi pikiran Nuri sehingga ia tidak bisa tenang sedikitpun.

 Tanpa Nuri sadari, seseorang diam-diam memperhatikannya dari jarak yang tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat. Saat semua orang sudah pergi meninggalkan tipis seorang diri, pria itu masih tetap duduk di kursinya dan berniat untuk menemani Nuri hingga ia benar-benar keluar dari ruangan tersebut.

 Sudah sekitar 5 menit lebih Nuri melamun dan tidak melakukan apapun. Hal itu membuat seseorang yang memperhatikannya merasakan khawatir jika Nuri sedang mengalami masalah yang berat. Segera saja ia berjalan mendekat pada Nuri. 

 “Hei! Apa yang sedang kau pikirkan dari tadi?” tanyanya dengan raut wajah yang sangat penasaran. Sebuah tepukan pelan dari orang tersebut mampu membuat Nuri sadar dari lamunannya.

 “EH? Apa yang sedang kau lakukan disini? Bukankah waktu bekerja telah usai?” tanya Nuri pada orang tersebut.

 “Hei harusnya aku yang bertanya seperti itu padamu. Apa yang sedang kamu lakukan di sini sedangkan waktu bekerja telah usai?” tanyanya pada Nuri dengan menyebutkan kata yang tadi dilontarkan oleh Nuri.

 “Aku tidak melakukan apapun. Sekarang aku akan segera pulang,” jawab Nuri seraya bangkit dari kursinya.

 “Kau belum membayar hutang untuk mentraktir kopi,” kata pria tersebut saat Nuri baru menggerakkan kakinya sebanyak dua langkah. Mendengar penuturan orang tersebut, Nuri Menghentikan langkahnya dan berbalik untuk melihat kepada orang tersebut.

 “Kopi?” tanya Nuri merasa sedikit heran.

 “Ya kopi. Kau sudah berjanji untuk membelikanku kopi karena aku sudah melindungimu dari amarah Bos,” katanya.

 “Ah iya itu. Aku hampir lupa,” ujar Nuri.

 “Untung saja aku ingatkan kalau tidak mungkin kamu tidak akan mentraktir kopi.”

 “Baiklah, baiklah. Mari sekarang kita ke kedai kopi kemudian aku akan pulang dan beristirahat,” kata Nuri seraya melangkahkan kakinya keluar dari ruangan tersebut dan menuju lift untuk turun ke lantai 1. Orang yang tadi berbincang dengan Nuri mengikutinya dari arah belakang dan bergegas masuk ke dalam lift saat pintunya sudah tertutup setengah. Beruntung saja orang tersebut bergerak dengan cepat, Jika ia sedikit lambat maka Nuri tidak akan mau menunggunya dan sudah pasti meninggalkannya ke lantai bawah.

 Sesampai di lantai 1, Nuri segera melangkahkan kaki keluar dari gedung tersebut dan berjalan ke arah kiri untuk mencari kedai kopi yang katanya terkenal enak dan ramai oleh pengunjung. Dengan langkah yang sedikit cepat, Nuri masuk ke dalam kafe yang tidak terlalu ramai oleh pengunjung karena jam tersebut belum banyak perkantoran yang bubar untuk pulang.

 Seorang pelayan mendekati meja Nuri dan pria tersebut. Ya menyerahkan sebuah buku menu yang berisi tentang beberapa minuman dan makanan yang disediakan oleh cafe tersebut. Karena tidak ingin ditunggu oleh pelayannya, Nuri kemudian menyuruh orang tersebut untuk menunggunya dipanggil.

 “Kau mau pesan apa?” tanya Nuri pada pria yang duduk di seberangnya.

 “Aku pesan menu yang dipesan olehmu,” jawabnya.

 “Baiklah.” Nuri kemudian mengangkat tangan kanannya untuk memberikan isyarat kepada pelayan bahwa ia memanggilnya. Beberapa saat kemudian pria tersebut datang ke meja Nuri dan menuliskan beberapa menu yang disebutkan oleh Nuri sebagai pesanannya.

3 menit sudah berlalu, tapi keduanya masih diam membisu. Nuri yang sibuk melihat ponselnya, dan saya di seberangnya yang sibuk memperhatikan Nuri. Sepertinya banyak yang ingin disampaikan oleh lelaki tersebut pada Nuri. Tapi a menahan diri untuk tidak banyak omong di tempat umum seperti ini apalagi pada saat mood kurang baik seperti saat itu karena terpancar jelas dari raut wajahnya Nuri bahwa ia tidak bersemangat.

 “Vi, apa Nanti hari Minggu kau ada waktu luang?” tanya pria tersebut seraya menatap pada wajah Nuri.

 “Entahlah,” jawab Nuri singkat. Ia seperti tidak mempunyai semangat untuk mengobrol dengan siapapun. 

 Pria di seberangnya itu kemudian menutup mulut dan tidak ingin banyak berbicara yang kiranya akan membuat Nuri semakin badmood dan akhirnya pasti pergi begitu saja. Pria tersebut ingin memanfaatkan momen bersama Nuri meskipun tidak banyak omongan yang mereka bicarakan. Baginya, duduk berdua bersama Nuri seperti itu bisa menjadi hal yang membahagiakannya. 

 Setelah sekian lama mereka terdiam dan terkunci dengan suasana canggung, akhirnya suasana tersebut dapat terpecahkan dengan datangnya pesanan yang diantar oleh pelayanan. Saya meminum kopinya, Nuri memandang keluar jendela dance antar hati kan setiap orang-orang yang berlalu lalang di depan cafe tersebut. Ada yang duduk di seberangnya pun mengikuti arah pandangan Nuri.

 “Vi, bagiamana mungkin aku bisa bahagia saat melihatmu terus murung seperti ini?” celetuk pria di seberang Nuri. Matanya menatap lekat pada wajah Nuri. Mendengar pertanyaan seperti itu, Fifi menolehkan wajahnya dan membalas tatapannya.

 “Kenapa kau mengatakan hal itu?” tanya Nuri.

 “Karena aku ingin bahagia meskipun sumber bahagiaku tidak berada di pihakku. Jadi di manapun dan dengan siapa pun dirimu, Jika kamu bahagia maka aku pun bahagia. Dan saat kamu murung, mana mungkin aku bisa bahagia?” 

 “Aku bukan sumber bahagiamu.”

 “Tapi bagiku, sumber bahagiaku adalah kamu.” Tatapan mata mereka beradu dengan sangat dalam. Keduanya seperti menyampaikan kata-kata tersendiri lewat pandangannya itu. Mungkin kata-kata yang dilontarkan oleh pria tersebut tidak sama dengan yang dilontarkan oleh Nuri pada pandangan tersebut.

 “Jangan mengharapkan kebahagiaan dariku.” Nuri melontarkan kata tersebut dengan tatapan mata yang tajam. Ia kemudian memalingkan wajahnya dan kembali melihat pada jalanan. Seperti jarum suntik yang menusuk kulit dengan perlahan tapi memberi sedikit kesakitan yang sebenarnya tidak berefek besar.

 Diberikan perkataan yang seperti itu, Rendi, pria yang duduk di seberang Nuri, tidak bisa berkata-kata lagi. Wajahnya itu terlihat murung namun seperti ingin disembunyikan dari pandangan Nuri. Meskipun kata-kata yang sering dilontarkan oleh Nuri membuat hatinya resah, tapi ia tidak pernah menyimpan rasa benci sedikitpun pada Nuri.

Setiap kata-kata tajam yang dilontarkan oleh Nuri tidak pernah membuat dirinya lelah untuk berdiri di samping Nuri bagaimanapun keadaannya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status