Share

Luapan emosi

 “Bisakah hubungan kita berdua usia tanpa ada pertemuan atau pertanyaan dari siapapun lagi?” tanya Nuri begitu tenaganya terkumpul. Ia berucap dengan hati yang sangat berat. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya menyakitkan bagi orang yang ditanya dan bagi yang bertanya.

 “Bisakah orang-orang terdekatku melupakanmu dengan mudah layaknya kau yang melupakanku dalam jangka waktu yang lama. Tak bisakah ingatan tetangmu terhapus begitu saja dari pikiran orang-orang tersayangku?” tanya Nuri dengan air mata yang sudah menggenang di kelopak mata.

 Orang yang diberikan pertanyaan tersebut hanya diam terpaku mendengar Nuri melemparkan pertanyaan yang sangat sulit untuk di jawab. Waktu serasa berhenti dan hanya menyisakan mereka berdua di tengah suasana yang menyayat hati.

 “Tidakkah kau memikirkan tentang perasaan orang-orang tersayangku begitu mengetahui kenyataan yang sebenarnya? Tidakkah kau mengetahui seberapa hancurnya perasaan mereka saat mengetahui aku begitu tersiksa karena ulahmu?”

 “Haruskah aku mengatakan pada mereka mengenai kebenaran tentangmu? Akankah mereka menahan rasa marah seperti yang aku lakukan hingga detik ini?” pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan oleh Nuri.

 Cuaca yang saat itu sedang cerah dan terasa hangat tak mampu membuat kebekuan di hati Nuri mencair. Yang ada malah air mata yang mulai turun ke pipinya. Orang-orang yang berlalu lalang melirik pada Nuri dan orang di depannya.

 Tak sedikit dari mereka menghentikan langkahnya untuk memperhatikan keadaan Nuri lalu sesaat kemudian berjalan kembali. 

 Nuri yang saat itu tidak dapat mengendalikan emosinya hanya bisa berkata sesuai dengan dorongan hati. Kedua kakinya tak mampu diajak berlari dari situasi yang seperti ini. Situasi yang memang tidak bisa dihindari untuk hari ini.

 Sosok pria yang berdiri di depan Nuri tidak bisa berkata-kata. Pertanyaan yang dilontarkan padanya sangat menghantam hati. Kenangan masa lalu mulai datang menghantui. Ia yang memang telah melakukan kesalahan di masa lalu benar-benar merasa menyesal.

 Entah harus bagaimana dirinya menjawab semua pertanyaan Nuri dan meminta maaf untuk hati yang telah ia lukai. Kini, dirinya merasa tidak pantas untuk berdiri di hadapan Nuri. Rasanya ia lebih pantas untuk hilang dari pandang Nuri. Meskipun hal tersebut akan menyiksa hatinya, tapi itu akan lebih baik daripada dihantui oleh rasa bersalah yang tiada ujungnya.

 “Nuy…” ia tidak sanggup meneruskan kata-katanya. Baru menyebut namanya saja sudah membuat ia kehilangan segala kata-kata yang sejak tadi dirangkainya dalam hati.

 “Nuri!” panggil seseorang dari dalam gedung megah dihadapannya. Ia kemudian berlari mendekati Nuri tanpa memerhatikan ekspresi wajah Nuri. 

 Nuri yang melihat sahabatnya itu akan mendekat, segera saja menghapus sisa-sisa air mata yang tadi jatuh ke pipi. Ia tidak ingin ditanya segala hal tentang kejadian hari ini. Ia tidak ingin jika masalahnya itu diketahui oleh sahabatnya. Jika hal itu sampai terjadi, mungkin sahabatnya itu tidak akan tinggal diam dan akan melakukan segala cara dan membawa dirinya pergi kemana saja hingga membuat Nuri lupa bahwa ia sedang tidak baik-baik saja. Tapi saat ini, Nuri hanya ingin menyendiri sehingga menyembunyikan kesedihannya dari sahabatnya tersebut.

 “Apa kau baru saja menangis Nuy?” tanya sahabatnya itu.

 “Tidak,” jawab Nuri singkat.

 “Lalu mengapa matamu merah?”

 “Ah tadi saat aku turun dari ojeg, ada debu yang tiba-tiba masuk ke dalam mataku. Terus karena rasa gatal, aku menguceknya dan jadilah mataku merah begini,” tutur Nuri seraya memaksakan senyuman.

  “Apakah Rendi membuatmu menangis?” tanyanya.

 “Ah tidak-tidak, kita baru saja bertemu barusan. Sesaat sebelum kau berlari ke arahku. Dan mataku memang sudah merah sejak tadi,” kata Nuri.

 “Rendi, benarkah yang dikatakan oleh Nuyku?” tanya wanita muda bernama Ashila.

 “Ah, jika Nuy mengatakan hal demikian, maka memang itu yang benar,” jawab Rendi yang masih diam terpaku di tempatnya. 

 “Baiklah jika begitu. Mari Nuy kita masuk ke tempat kerja. Biarkan saja buaya ini diluar. Jangan sampai kamu menangis karena buaya ini Nuy,” kata Arshila seraya mendelik tajam pada Rendi. Dan Nuri hanya bisa tersenyum kecil menanggapi perkataan Arsila. Ia kemudian berjalan mengikuti langkah Arshila menuju ruangan kerjanya.

 Begitu sampai di ruangannya, Nuri segara duduk di kursi yang setia menjadi temannya dalam melakukan pekerjaan. Ia kemudian mengeluarkan ponselnya yang disimpan di tas. Tangannya lincah memencet sebuah aplikasi berwarna hijau. 

 Terlihat sebuah pesan yang dikirin oleh kontak bernama Mas Dendi. Dia adalah orang yang sejak kemarin Nuri tunggu akan kabarnya. Orang yang dikhawatirkan oleh Nuri sepanjang malah hingga terbawa dalam tidurnya.

 [Maafkan aku baru membalas. Aku baru memegang ponsel. Aku baik-baik saja. Terimakasih telah menghawatirkan aku. Jaga dirimu baik-baik. Karena seharusnya kamu mengkhawatirkan dirimu sendiri.] Tulis Dendi pada pesan yang dikirim kepada Nuri pukul 07.15 pagi tadi.

 [Syukurlah jika Mas baik-baik saja. Aku ikut senang mendnegarnya. Nanti pulang kerja aku ke rumah ya Mas.] Balas Nuri dengan begitu cepat. Kini perasaannya mulai lega saat mengetahui orang yang dikhawatirkan olehnya ternyata baik-baik saja.

 Sebelumnya Nuri begitu khawatir jika sosok tersebut akan merasakan kesakitan selama proses pemerikasaan kesehatannya dan setelah proses pemeriksaan itu berlangsung. Tapi mengetahui keadaanya baik, maka hati Nuri sedikit tenang. Sebuah senyum pun sedikit terulas di wajah Nuri. Tapi entah itu senyum tulus, atau senyum yang dipaksakan. Tak ada yang tahu dengan hal tersebut. Yang mengetahui hanya hati Nuri sendiri.

 “Huft. Syukurlah jika kau memang baik-baik saja. Aku harus membawa makanan kesukaanmu sebagai hadiah untukmu yang telah kuat dalam menjalani proses pemeriksaan,” monolog Nuri setelah mengirim balasan pesan yang ditujukan kepada Dendi.

 Diam-diam seseorang memperhatika Nuri dari seberang meja. Ia merasa seperti dihantam ribuan pedang saat melihat Nuri meneteskan air matanya karena kesedihan yang dipendam. 

 Ia sebenanarnya tahu jika penyebab tangisnya Nuri adalah kesalahan dirinya yang dilakukan 2 tahun yang lalu. Kesalahahan yang mungkin akan membuat siapapun bertingkah seperti Nuri saat ini. Kesalahan yang mungkin tidak bisa dilupakan dalam sekejap mata ataupun selama mata terbuka.

 Meskipun dirinya sudah meminta maaf, tapi ia tahu jika maafnya saja tidak cukup untuk mengobati luka yang telah ia torehkan pada sosok wanita yang dulu sangat dicintainya. Bahkan hingga sekarang pun ia masih tetap menyimpan cintanya dengan sangat rapi pada sebuah tempat di ujung hatinya yang ia sembunyikan dari dirinya sendiri.

 ‘Maafkan aku. Aku memang salah karena telah menorehkan luka yang dalam pada hatimu. Penyesalanku mungkin tidak ada artinya jika dibandingkan dengan luka yang harus kau sembunyikan dari semua orang,’ kata seseroang tersebut di dalam hatinya.

 Ia tidak sanggup jika harus mengatakannya secara lantang kepada Nuri. Karena ia tahu jika setiap kata yang dilontarkan olehnya sebaik dan sebagus apapun serta setulus apapun, mungkin tidak akan bisa menjait sobekan luka yang mungkin sudah menganga.  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status