Share

Karena dibuntuti

 Sejak siang tadi, hati Nuri merasa tidak enak. Rasanya hati Nuri sangat berat namun entah apa yang membuatnya terasa seperti itu. Dorongan kuat dalam hatinya untuk menghubungi sang kekasih begitu menyiksanya. Isi hati Nuri menyuruhnya untuk menelpon Mas Dendi. Tapi pikirannya mencegah ia untuk melakukan hal tersebut dengan alasan ia harus membiarkan kekasihnya itu beristirahat supaya cepat pulih.

 Karena tidak ingin terus burung saat memikirkan kekasihnya, Nuri berniat untuk mencari udara segar dengan berjalan-jalan di luar sembari menikmati senja dan keindahan matahari yang sebentar lagi akan terbenam. 

 Langkah kaki Nuri membawanya pada sebuah tempat yang tidak jauh dari rumah. Sebuah alun-alun kecil yang terletak di tengah-tengah perumahan tersebut terlihat begitu ramai oleh anak-anak kecil yang sedang bermain dengan teman-temannya. 

 Sinar jingga kekuningan dapat dinikmati dengan jelas dari tempat tersebut. Nuri yang memang berniat untuk melihat matahari terbenam segera saja duduk di salah satu tempat di taman tersebut. 

 Mata Nuri melirik ke kanan kiri melihat anak-anak yang tertawa riang menikmati masa kecil mereka yang penuh dengan kebahagiaan tanpa terlihat banyak beban. Melihat keceriaan dari anak-anak tersebut senyuman Nuri tiba-tiba saja terlukis di bibirnya. Perasaan yang tadi murung dan terus gelisah kini menghilang dan tergantikan dengan rasa bahagia.

 Waktu terus beranjak dan sinar mentari sudah mulai memudar serta langit sudah memancarkan cahaya kemerahan. Anak-anak yang sejak tadi bermain satu persatu sudah membubarkan diri untuk pulang ke rumahnya. Karena tak mau melewatkan matahari terbenam, Nuri mengeluarkan ponselnya untuk memotret matahari tersebut. 

 Saat menengadahkan kepalanya untuk memotret matahari tersebut, seseorang datang ke hadapannya. Untuk beberapa detik Nuri terdiam menatap lekat pada sosok tersebut. Seperti biasa, orang tersebut selalu tersenyum pada Nuri.

 “Apa yang sedang kau lakukan di luar rumah pada jam segini?” tanyanya.

 “Kenapa kau ada disini?” tanya Nuri balik.

 “Aku ada urusan di daerah sini.”

 “Oh,” balas Nuri singkat. Karena malas bertemu dengan orang tersebut, Nuri akhirnya bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah rumahnya. Tanpa diberikan pemerintah, orang tersebut mengikuti Nuri berjalan dari belakangnya. Iya seperti seorang kakak yang sedang mengawasi adiknya dari belakang.

 Begitu Nuri sampai di depan rumahnya, pria tersebut berhenti berjalan dan diam beberapa langkah di belakang Nuri. Sebenarnya Nuri mengetahui bahwa pria tersebut mengikutinya, tapi ia tidak ingin banyak bicara dan mengomentari perilaku lelaki tersebut.

 “Dari mana saja kamu, Nak? Bunda khawatir cari kamu di kamar tidak ada, ucap sang bunda saat membuka pagar.

 “Tadi Nuri abis jalan-jalan di sekitaran rumah dan bermain sebentar di taman komplek untuk melihat matahari terbenam,” jawab Nuri.

 “Kenapa tidak bilang dulu Nuy?”

 “Heheh maaf Bunda.”

 “Ya sudah masuk yu,” ajak Bunda. Nuri menurut saja dan segera masuk ke rumahnya. Begitu Bunda akan menutup pagar rumahnya, ia melihat seorang pria yang sangat dikenalnya. Rendi.

 “Nak Rendi sedang apa disitu? Kemarilah,” ucap Bunda dengan setengah berteriak supaya bisa terdengar oleh Rendi. Orang yang dipanggil kemudian menghampiri. Ia menunjukkan senyumannya pada Bunda.

 “Ayo masuk. Sudah malam. Tidak baik diluar begitu,” kata Bunda seraya menarik tangan Rendi untuk masuk ke rumahnya. Rendi tidak bisa menolak dan hanya bisa berjalan mengkuti Bunda untuk masuk ke dalam rumah.

 Ia kemudian duduk di ruang tamu dengan perasaan sangat canggung. Ia tidak tahu harus berakata apa jika nanti Nuri melihat dirinya ada di dalam rumah. Mau pamit pulang pun ia tidak merasa enak karena sang bunda sudah menyuruhnya untuk menunggu di runga tamu. Menyesal Rendi, tadi tidak langsung berbalik untuk pulang saat sudah mengantar Nuri pulang ke rumahnya dengan selamat.

 Rendi menarik nafasnya dengan panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia mencba mnacri alasan yang tepat jika nanti dilontarkan pertanyaan pedas oleh Nuri. Ia tidak sebenarnya tidak ingin mengganggu Nuri pada hari itu. Tapi karena rasa khawatirnya lebih tinggi dari rasa rasionalnya, akhirnya ia menjaga Nuri secara diam-diam pada hari itu.

 “Nak Rendi,” suara berat milik seorang pria yang sangat dikenalnya, membuat Rendi kaget. Mata yang sejak tadi dipejamkan, kini terbuka secara refleks karena suara tersebut. Suara itu, suara khas milik ayah Nuri.

 “Ayah,” sapa Rendi dengan suara yang sedikit grogi. Hatinya benar-benar was-was. Jantungnya berdebar lebih kencang. Udara di sana terasa sangat panas meskipun hari sudah malam dan meskipun AC sudah menyala tidak membuat Rendi merasa dingin.

 “Apa kabar Nak Rendi? Sudah lama tidak bertemu ya,” kata Ayah seraya duduk di kursi tepat di hadapan Rendi.

 “Baik Ayah. Ayah apa kabar? Apa sedang libur bekerja?”

 “Iya Nak Rendi. Dapat kesempatan untuk bekerja di rumah untuk beberapa minggu ke depan. Lumayan punya jatah waktu untuk berkumpul dengan anak dan istri.”

 “Enak dong Yah.”

 “Iya betul Nak. Sekarang kerja di mana Nak Rendi?”

 “Kerja? Saya kerja di kantor yang sama dengan Nuri, Ayah.”

 “Wah bisa kebetulan sekali barengan begitu. Atau kalian memang janjian bekerja di sana?”

 “Ah tidak Ayah. Kita memang tidak sengaja bertemu di tempat bekerja. Awalnya saya juga kaget ketika melihat Nuri bekerja.”

 “Saya juga sama kagetnya Nak Rendi. Tapi jika memang anaknya mau bekerja ya sudah saya tidak akan melarang. Selama pekerjaan menjadi aktivitas yang menyenangkan bagi Nuri, maka saya akan mendukungnya.”

 Sedang asik mengobrol, tiba-tiba saja Nuri datang ke ruang tamu. Wajah kagetnya terpancar sangat jelas begitu melihat Rendi sedang duduk manis di runag tamu dengan sang ayah. Ia yang tadinya berniat untuk mengambil seseuatu di teras, tidak meanjutkan niatnya itu. Nuri diam terpaku di belakang kursi yang sedang di duduki sang ayah.

 Melihat kedatangan Nuri, Rendi semakin bertambah berdebar. Sudah jelas jika Nuri tidak menyukai keberadaan Rendi di rumahnya. Dengan terpaksa, Rendi melontarkan senyum kecut pada Nuri. Ia tidak tahu harus bagaimana nantinya menjelaskan pada Nuri terkait kondisi tersebut.

 “Ayo Sayang kita ikut mengobrol bersama Ayah dan Nak Rendi,” celetuk Bunda dari arah belakang yang membuat sang ayah menolehkan wajah pada Nuri.

 “Nuy sedang apa kau di sana? Duduk di sini kita mengobrol bareng,” ucap sang ayah. Nuri tak berdaya untuk menolak perintahh tersebut. Akhirnya ia berjalan menuju sofa dan duduk di sebelah sang bunda.

 “Nuy, benarkah kamu satu tempat pekerjaan dengan Nak Rendi?” tanya Ayah seraya menatap pada wajah Nuri. 

 “Iya benar Ayah,” jawab Nuri seraya tertunduk. Ia tidak ingin mendapat banyak pertanyaan yang berkaitan dengan Rendi dari sang ayah.

 “Kalau begitu kenapa kalian tidak berangkat bersama saja saat bekerja? Kalau bareng Rendi mungkin kamu tidak akan kena macet di jalan dan pastinya akan lebih cepat dan aman juga bukan?” Ayah memandang pada Rendi dan Nuri secara bergantian.

 Pertanyaan tersebut, adalah salah satu pertanyaan yang benar-benar ingin Nuri hindari. Ia tidak ingin menjawab pertanyaan tersebut. Seketika semuanya diam. Baik Nuri, Rendi, ataupun Bunda tidak ada berkutik terkait pertanyaan yang dilontarkan kepala keluarga tersebut. Entah harus mulai berbicara dari mana jikalau Nuri ingin berbicara terkait Rendi pada sang ayah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status