Share

Part 4

Vee melompat ke atas punggung kudanya dan langsung pergi meninggalkan penginapan tanpa menoleh lagi ke belakang. Dia tidak peduli lagi pada gadis yang baru saja ditinggalkannya di dalam sana, toh mereka tidak saling mengenal.

Impas bukan? Vee sudah menyelamatkan hidupnya, dan sekarang dia mendapatkan banyak uang berkat gadis itu.

Kejam? Memang kejam.

Orang-orang terdekatnya saja bisa berlaku kejam pada Vee, jadi kenapa Vee tidak boleh melakukan hal yang sama pada Sean, seorang gadis asing yang tidak jelas asal usulnya? Bukannya Vee tidak punya hati, hanya saja sikap kejam itu telah mengakar di dalam dirinya.

Pria itu tidak kembali ke rumahnya setalah dari penginapan, tapi pergi menuju pusat kota di mana semua kegiatan berlangsung . Perdagangan, sekolah, bahkan pencurian dan pembunuhan bisa terjadi di tempat itu.

Semua orang dengan latar belakang yang berbeda berbaur di sana, mulai dari orang dengan kasta tertinggi hingga gelandangan yang tidak memiliki rumah dan pekerjaan.

Di dekat pasar di tengah kota, ada sebuah bangunan tua tersembunyi yang digunakan sebagai markas oleh sekelompok preman kejam yang mau melakukan apa saja jika dibayar.

Mereka bisa menjadi baik atau jahat, tergantung dari perintah orang yang membayar mereka. Ke tempat itulah Vee datang, tentunya karena ada sesuatu yang harus para preman itu lakukan untuknya.

"Kau datang lagi, Tuan Muda," ujar salah satu pria berbadan tinggi kurus yang merupakan pemimpin dari kelompoknya.

"Aku punya pekerjaan untuk kalian.” Vee duduk di atas kursi tamu lalu menyilangkan kakinya dengan angkuh. Ditatapnya pemimpin kelompok itu dengan mata dinginnya yang biasa.

"Apa itu, Tuan?" tanya Jack, pria pemimpin kelompok. Dia menyeringai karena Vee pasti punya pekerjaan bagus untuknya.

"Bisakah kau mencari informasi seseorang? Namanya Kris" balas Vee tanpa berbasa basi.

"Tentu saja, kami punya informasi semua orang di kota ini. Tapi, Kris mana yang kau maksud?"

Jack menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi lalu menghisap rokoknya, asap putih mengepul di udara. "Ada tiga orang dengan nama Kris di kota ini."

"Dia seorang pandai besi," jawab Vee seraya melihat Jack dengan malas dan sedikit jijik.

"Ah, Kris Brown, aku tahu orangnya. Dia punya istri, dua orang anak dan ibunya yang lumpuh. Kenapa? Kau ingin aku membunuhnya?" tanya Jack dengan seringaian jahat yang kembali mendominasi wajahnya.

Vee menggeleng dan memberikan jeda sebelum dia berujar. "Bukan dia, tapi semua keluarganya. Habisi semua anggota keluarganya!" seru Vee dingin. Ucapan sarat perintah disertai tatapan tajam dari mata elangnya.

"Kau harus membayar cukup jika ingin membunuh banyak orang," ujar Jack meremehkan.

Vee menyunggingkan senyumannya, kemudian membuka tas dan menaruhnya di atas meja. Tas itu penuh dengan uang yang ia dapat dari Monica.

"Akan kulakukan."

Jack hampir menyentuh uang-uang itu, namun Vee segera menarik tasnya.

"Semua ini milikmu jika kau berhasil."

"Besok pagi kau akan mendengar kabar kematian mereka."

"Bagus, kau bergerak cepat."

"Kau bisa mengandalkan kami."

.

.

.

Pintu kayu itu terbuka, memperlihatkan pemandangan sebuah ruangan dengan pencahayaan minim dan tanpa ventilasi karena letaknya yang berada di bawah tanah gedung penginapan.

"Ini kamarmu. Tamu baru akan berdatangan pada sore hingga malam hari, jadi kau harus keluar saat aku memanggilmu!" seru Monica saat dia membuka pintu kamar itu dan menyuruh Sean untuk masuk.

Sean tidak masuk ke dalam dan hanya berdiri di ambang pintu seraya melihat Monica dengan tatapan tajam dan marah. Dia telah bicara baik-baik dan meminta untuk pergi dari tempat itu, tapi Monica tidak mau melepaskannya karena telah mengeluarkan banyak uang untuk membeli Sean.

"Apa yang kau lihat?" tanya Monica sinis, Sean masih terus melihat perempuan muda itu dengan sorot tajam penuh amarah.

PLAK

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Sean, membuat Sean merasakan sensasi nyeri dan panas di wajahnya.

"Berhenti berlagak. Aku memberimu tempat tinggal, pakaian bagus dan riasan wajah. Jadi, buatlah dirimu lebih cantik dan hasilkan banyak uang!" seru Monica seraya mendorong Sean masuk ke dalam kamar itu.

"Biarkan aku pergi!" Sean berteriak sambil menggedor-gedor pintu, tapi Monica tidak menghiraukannya dan pergi begitu saja, dia kembali ke atas untuk megurus tamu-tamu dan para pegawainya.

"Hei! Buka!"

Sean terus menggedor pintu kayu itu, tapi dia sadar jika tidak akan ada siapa pun yang mendengarnya.

"Arghh! Shit!" Sean memgumpat sambil menendang pintu itu dengan kasar, kemudian setelah itu dia membanting dirinya ke atas kasur.

"Pria gila itu. Dia menjualku untuk menjadi pelacur? Karena sudah menolongku, jadi dia boleh melakukan ini. Sialan, kupikir dia orang baik. Aku akan membunuhmu, Vee!"

Sean menarik punggungnya dan mengubah posisinya menjadi duduk. Sesaat dia terdiam kemudian mulai memperhatikan keadaan sekitar, mencari celah yang bisa membawanya keluar dari ruangan itu.

Bagaimanapun caranya dia harus kabur secepatnya, tapi tidak ada jalan keluar lagi selain pintu kayu yang dikunci dengan rapat itu.

"Sial." Lagi-lagi Sean mengumpat, kenapa dia berakhir seperti itu? Dia datang ke tempat asing, dan tidak akan ada satu orang pun yang menolongnya.

Sebanyak apa pun dia berpikir, dia hanya menganggap jika Vee adalah pria yang sangat berengsek. Keparat gila.

Amarah Sean begitu menggebu-gebu, tapi pada akhirnya dia berkahir di sudut ruangan dengan menyedihkan.

Hidup tidak pernah terasa mudah untuk Sean, dia telah melewati banyak kesulitan, tapi dia selalu tidak punya cara yang tepat untuk keluar dari dalam masalahnya.

Sean tidak sepintar dan sekuat itu, dia bukan seseorang yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Sejak kecil dia selalu bergantung pada paman dan bibinya. Setelah datang ke Amerika, dia terus mengandalkan Ben, penyelamat dan pria yang membuat Sean berdebar-debar.

Tapi, sekarang, Sean benar-benar sendirian, kebingungan dan ketakutan.

"Ben, Bibi Luna, kalian sedang apa? Apa kalian baik-baik saja? Aku baik-baik saja," gumam Sean sambil memeluk lututnya dan menenggelamkan wajahnya di sana.

"Tidak." Tiba-tiba Sean menggeleng, "aku tidak baik-baik saja," lirihnya bersama dengan cairan bening yang berlinang di matanya yang cantik. "Ben, apa kau sedang tertawa? Aku berakhir menyedihkan seperti ini karena tidak mendengarkanmu. Aku ingin pulang, aku merindukanmu," ujar Sean pelan dan dia mulai terisak di sudut ruangan gelap itu.

.

.

.

Pria itu terduduk di depan sebuah makam menatap ke arah sosok indah yang tak lagi bisa dilihat. Sang gadis telah terbaring di bawah tanah yang dingin dan gelap, sendirian. Tidak ada yang menemaninya selain sebuah batu nisan dengan ukiran namanya.

Irene Smith, nama itu terukir indah di atas batu yang tengah Vee pegang, dan sebuah buket bunga mawar telah bersandar cantik di samping nisan itu.

Hati itu meraung-raung kesakitan karena kenyataan yang mengikis lubuknya dengan begitu kasar dan keras, meninggalkan luka yang meradang dan sulit untuk sembuh.

Fakta yang tidak bisa diterima itu menghancurkan jiwanya, merobek semua belas dan kasih dalam dirinya. Kini dia hanya seorang manusia haus dendam yang akan melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya.

Karena dalam prinsip hidupnya, dia harus membayar lebih atas apa yang orang lain berikan. Jika dia mendapat luka, maka dia akan memberi luka yang lebih sebagai balasan.

"Lihat aku! Aku akan membalaskan semua rasa sakitmu. Mereka akan merasakan lebih dari apa yang kau rasakan. Aku pastikan itu."

Vee mengusap lembut batu nisan milik Irene, kemudian setelah itu dia termenung seorang diri. Benar-benar sendirian, hanya senja dan rasa hampa yang bisa menemani jiwa yang terluka dan kesepian.

Menyadari senja telah pergi disingkirkan malam, Vee pun bangkit dan memutuskan untuk pulang. "Selamat malam, aku akan datang lagi," ujarnya sebelum melangkah meninggalkan makam yang selalu dipenuhi bunga-bunga cantik itu.

Langkah gontai tanpa semangat itu membawanya kembali ke rumah hangat di pinggir desa, dan di sana Jay tengah duduk di kursi kayu yang ada di halaman, menunggu sang tuan yang sudah pasti baru akan pulang saat langit mulai gelap.

"Kau kembali, Tuan," sapa Jay pada Vee yang berjalan melewatinya.

"Ada informasi baru?" tanya Vee seraya berjongkok untuk meraih kelinci putih yang baru saja berlari ke arahnya. "Kau lapar?"

"Ya, sedikit," sahut Jay yang membuat Vee langsung menoleh.

"Aku bicara pada kelinci," ujar Vee dengan tatapan datar.

"Ah, benarkah?" Jay sedikit tidak senang dan malu, dia pikir Vee bertanya padanya. Ternyata Vee lebih memperhatikan kelinci itu dari pada Jay yang sudah setia padanya sejak kecil.

"Aku punya daging di dapur, ambilah dan bakar di luar!" seru Vee tanpa menoleh pada Jay. Tapi, Jay hanya diam karena tidak berpikir Vee sedang bicara padanya. "Hei aku bicara padamu, Jay," ujar Vee.

"Aku? Kupikir Tuan bicara pada kelinci lagi."

"Kau kira kelinci bisa pergi mengambil daging? Kupikir kau pintar."

"Segera, Tuan," Jay bangkit lalu berdiri tegak dan sedikit membusungkan dadanya, lalu memberikan gerakan hormat ala militer pada Vee.

Sikap berlebihan yang menggelikan dan sukses membuat Vee terkekeh geli. Sebagai mantan pengawal pangeran, sebenarnya sikap Jay terlalu humoris dan hyper aktif.

Jay masuk ke dalam rumah dan tak lama dia kembali dengan beberapa bungkus daging segar di tangannya. Vee mendapatkan daging itu sore ini sebelum dia pergi ke makam, jadi masih sangat baru.

"Kau duduk saja, Tuan! Aku akan melakukan segalanya," ujar Jay yang mulai mengumpulkan kayu bakar untuk membuat api unggun.

"Aku tidak akan membantu walaupun kau memintanya," balas Vee acuh, dia masih sibuk memberi makan kelincinya dan membiarkan Jay bekerja sendirian.

"Ngomong-ngomong, apa Sean tidur? Kenapa aku tidak melihatnya sejak tadi? Kupikir Tuan yang membawanya, tapi Tuan pulang sendirian." Jay yang penasaran mulai membicarakan soal Sean. Dia hanya berpikir mungkin Sean tidur karena lukanya belum pulih.

"Dia tidak di sini lagi," jawab Vee singkat.

"Apa dia melarikan diri?" Jay menoleh pada Vee dan menunjukka ekspresi penasaran.

"Tidak. Aku memberikannya pada Monica untuk bekerja di penginapan."

"APA?" Jay memekik seraya menoleh dan melihat Vee dengan tatapan heran dan tak percaya. "Kau menjualnya pada Monica?"

"Memangnya kenapa?" tanya Vee santai, dia tidak menghiraukan ekspresi terkejut Jay.

"Kenapa kau begitu tega? Dia baru saja bangun?."

"Kenapa kau peduli pada orang asing? Jika aku bisa mendapatkan uang dengan menjualnya, kenapa tidak?"

"Tuan, aku mengerti ketakutanmu, tapi tidak dengan melakukan hal kejam seperti itu." Sura Jay merendah, dia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang tuannya lakukan.

"Ketakutan apa yang kau maksud?" tanya Vee dingin dan sinis.

"Kita sudah memeriksa tanda pengenalannya bukan? Dia seorang warga Amerika, dan kemungkinan datang ke sini untuk bekerja. Tapi, dia kehilangan semua harta bendanya, dan kau tidak punya pilihan selain mengizinkannya tinggal bersamamu, tapi kau tiada bisa tinggal bersamanya, jadi kau menjualnya kepada Monica agar dia bisa tinggal di sana," jelas Jay cukup panjang dan Vee hanya berekspresi datar mendengar teori yang Jay lontarkan.

"Jadi, apa yang aku takutkan?" tanya Vee yang masih belum mendapat inti dari apa yang Jay bicarakan.

"Bukankah kau takut jatuh cinta pada Sean? Dia cantik dan kelihatannya dia seorang gadis baik-baik. Jadi, kau menolak untuk melihatnya lebih lama, apa aku salah?"

Vee diam setelah mendengar pernyataan Jay yang cukup menohok. Ya, tepat sekali, Vee terlalu takut untuk melihat Sean lebih lama. Karena dia tidak bisa mencintai gadis lain. Vee begitu marah pada dirinya sendiri saat dia melihat Sean dan dengan bodohnya terpesona dengan kecantikan gadis itu.

Bukan. Bukan karena Vee takut mengkhianati Irene, karena Vee tahu seseorang yang sudah mati tidak akan kembali. Vee hanya tidak ingin jatuh cinta dan memiliki seseorang seperti itu di dalam hidupnya. Vee sangat sadar jika setiap pertemuan akan menciptakan perpisahan, dan setiap perasaan cinta akan berakhir dengan rasa sakit dari kehilangan. Rasa itu telah terpahat di dalam hatinya, dan dia tidak ingin merasakanya lagi. Tidak untuk kedua kalinya.

"Aku hanya membangun benteng pertahananku."

"Tidak, Tuan. Kau hanya egois dan menolak kenyataan."

.

.

.

"Kau orang baru? Aku penasaran dari mana Monica mendapatkan gadis sepertimu. Kau tampak berbeda dari gadis-gadis lain di tempat ini, kau sangat unik."

Sean mendelik malas pada pria yang sedang bicara padanya. Pada akhirnya malam ini Monica benar-benar menyeret Sean ke sebuah kamar VIP untuk menemani seorang pria muda yang tampaknya sangat kaya.

"Aku Jhonny. Siapa namamu?" tanya pria bernama Jhonny itu sambil menyentuh dagu Sean, namun Sean segera menepisnya. "Sepertinya kau pemalu."

"Sebaiknya kau hati-hati denganku!" seru Sean dengan tatapan mengancam, namun Jhonny hanya tertawa melihat itu.

"Memangnya apa yang bisa gadis kecil sepertimu lakukan, hah? Aku sudah membayar mahal untuk bersenang-senang denganmu, jadi kemarilah!" seru Jhonny seraya menarik Sean menuju tempat tidur, namun tiba-tiba saja Sean memberontak dan menendang wajah Jhonny dengan kencang.

BRUG

Tubuh Jhonny jatuh ke lantai saat Sean menendang kakinya.

"Sialan! Apa yang kau lakukan, dasar jalang," umpat Jhonny seraya bangkit dengan wajah murkanya. "Kau mau mati?"

"Sudah kubilang jangan macam-macam denganku!" seru Sean tegas.

"Sial." Jhonny melayangkan kepalanya tangannya untuk memukul Sean, tapi sayangnya gadis itu segera menghindar dan balik memukuli wajah Jhonny secara beruntun.

Tidak mau kalah oleh seorang gadis, Jhonny pun mencoba menghindar lalu menyerang Sean. Dia menendang Sean di bagian perut dan sukses membuat gadis itu terhuyung mundur.

Rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuhnya. Sean memiliki luka parah di perutnya dan sekarang dia mendapatkan tendangan keras di area itu. Benar-benar sakit dan Sean pikir di hampir sekarat.

BRAK

Punggung Jhonny menabrak ranjang dengan keras saat Sean kembali menendangnya. Itu perlawanan terakhir Sean sebelum dia kabur melalui jendela kamar.

Sean sudah tidak sanggup lagi untuk melawan, luka di perutnya kembali terbuka dan darah segar mengalir dari sana, membasahi gaun putih yang sejak pagi ia kenakan.

Tertatih-tatih, Sean berusaha berlari meninggalkan penginapan. Kakinya semakin melemah dan para penjaga mulai mengejarnya. Sean sangat lelah, tapi dia tidak boleh sampai tertangkap. Baginya mati lebih baik dari pada harus berakhir di tempat menjijikan itu.

"Akh! Sial ...." Sean berhenti dan berpegangan pada sebuah pohon. Napasnya tersengal dan rasa sakit yang luar biasa telah menguasai tubuhnya. Dia benar-benar tidak kuat lagi untuk berlari, tubuhnya lemas karena telah kehilangan banyak darah.

"Cepat temukan gadis itu!" Terdengar suara teriakan seorang penjaga dan Sean kembali berusaha untuk lari. Dia benar-benar tidak ingin tertangkap, tapi tubuhnya sudah tidak sanggup lagi untuk pergi lebih jauh.

Dengan wajah pucat dan napas yang terengah-engah, Sean kembali berhenti di bawah sebuah pohon. Haruskah dia pasrah saja dan membiarkan dirinya ditemukan oleh para penjaga?

Sean harap malaikat akan datang menolongnya, atau setidaknya ada orang baik yang bisa membawanya pergi dari tempat itu.

Sean nyaris kehilangan kesadaran saat seseorang tiba-tiba memangku tubuh lemahnya dan menaikannya ke atas kuda.

Selanjutnya, kuda berlari kencang memasuki hutan bersama seseorang yang menopang tubuh Sean dari belakang. Sean menoleh ke belakang, namun dia tidak bisa melihat wajah orang itu. Seorang pria atau wanita? Yang jelas pakaiannya serba hitam dan mengenakan penutup wajah dengan warna sama.

Sean tidak tahu pasti berapa lama dia berada di atas kuda, hingga akhirnya kuda itu berhenti di tengah hutan, dan sang pemilik kuda menggendong Sean untuk membawanya masuk ke dalam sebuah gubuk kecil.

Kesadaran Sean semakin melemah, namun matanya masih terbuka dan dia tahu seseorang itu mendudukan Sean di sudut ruangan dan menyandarkan punggungnya ke dinding kayu yang masih cukup kokoh.

Sean melihat orang itu dengan pandangan yang mulai kabur. Dia tidak tahu siapa orang itu, tapi semoga saja bukan orang jahat, atau mungkin malaikat maut?

Perlahan orang itu melepaskan kain hitam yang menutupi wajahnya, lalu menggunakan benda itu untuk mengikat perut Sean agar pendarahannya tidak semakin parah.

"Kau? Keparat gila ...." Suara Sean terdengar pelan dengan napas berat dan dangkal. Dia baru saja mengenali siapa orang yang membawanya, namun tidak bisa berbuat apa pun karena akhirnya Sean pingsan setelah bertarung dengan rasa sakit yang luar biasa.

.

.

.

To be continued

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status