Share

Part 1

Waktu terus berjalan tanpa mengenal kata istirahat, dan sebenarnya hari tak lagi pagi walaupun sang mentari tampak malu-malu untuk keluar dari persembunyiannya. Meski begitu, walaupun langit ditutupi awam hitam yang bergumpal, air langit masih enggan untuk menjatuhkan dirinya, menolak untuk menyapa hamparan bumi dengan lapisan tanah gersang yang begitu merindukan hujan.

Sebuah rumah berdiri di pinggiran desa, dan dari balik salah satu jendela rumah itu seorang gadis mengintip keluar, mencoba memeriksa apakah hujan sudah turun atau belum. Ditangannya, dia memegang sebuah stoples kaca transparan dengan bibit bunga matahari di dalamnya. Dia tak sabar untuk menanam bibit yang didapatnya sebagai hadiah ulang tahun yang ke-16, namun bibit itu tak akan tumbuh jika hujan tidak turun.

“Sean Sayang.”

Seseorang membuka pintu kayu kamar, dan seketika aroma manis dari roti yang sedang dipanggang menyusup ke dalam ruangan dengan nuansa putih dan merah muda itu.

“Bibi?”

Sean, gadis muda pemilik kamar itu menoleh saat sang bibi menjulurkan kepalanya ke dalam. Luna, perempuan berusia 37 tahun yang Sean panggil dengan sebutan bibi itu tersenyum.

“Sayang, bisakah kau pergi ke pasar? Kita kehabisan tepung dan gula untuk membuat roti,” ujar Luna dengan nada lembut seperti biasa.

“Bukankah hari ini toko kita tutup?” tanya Sean dengan raut wajah heran. Dia memang terbiasa membantu paman dan bibinya mengelola toko roti, tapi kemarin Luna bilang jika hari ini mereka akan tutup.

“Tuan Marco tiba-tiba membuat pesanan untuk ulang tahun putrinya.”

“Baiklah, aku akan pergi.”

Sean bangkit dari kursi kayu coklat dengan bantalan kuning itu, kemudian dia mengambil mantelnya karena udara di luar sedang cukup dingin.

“Bolehkah aku membeli klip rambut?” Senyumnya merekah dan matanya menatap sang bibi dengan mata anak anjing yang begitu polos dan menggemaskan. Klip rambut warna warni adalah hal favoritnya, Sean memiliki rambut pirang panjang yang cantik, dan dia begitu suka menghias rambutnya sendiri.

“Baiklah, kau boleh membelinya,” jawab Luna seraya mengelus rambut Sean yang berkilau.

“Terima kasih bibi.”

Kecupan singkat mendarat di pipi Luna, dan gadis remaja itu langsung pergi keluar rumah seraya berlari kecil, menghentakkan kaki jenjangnya ke atas tanah dan memulai perjalanan menuju pasar, tempat favoritnya.

Sean sampai di pasar dan matanya sibuk melihat semua hal menarik yang bisa dilihatnya. Dibalik gaun pastel kesukaannya, tubuh itu berjalan ke sana ke mari menjelajahi setiap sudut tempat di mana orang-orang bertransaksi.

“Hai Sean,” sapa penjual tepung saat Sean mendatangi kiosnya.

“Hai Sarah,” balas Sean seraya menunjukan senyum merekah.

“Seperti biasa?”

“Ya, tepung dan gula untuk Bibi.”

“Rambut baru?” tanya Sarah yang mulai membungkus pesanan Sean.

“Aku memotongnya sedikit. Apa terlihat buruk?”

“Tidak sama sekali, tetap cantik seperti biasa.”

***

Gadis yang mengharapkan hujan harus merengut kesal karena langit tiba-tiba saja cerah saat dia kembali dari pasar. Sedikit kecewa karena harus menunda lagi keinginannya untuk menanam bunga matahari. Tapi, sang bibi selalu mengajarkannya agar tidak mengeluh terhadap cuaca, jadi Sean cukup bersyukur karena setidaknya matahari muncul dan udara dingin mulai berkurang.

“Astaga, lama sekali,” kata Luna saat Sean tiba di rumah bersama barang belanjaannya.

Sean meringis lebar, tersenyum semanis mungkin untuk menghindari omelan sang bibi. Dia memang sering lupa waktu jika sudah pergi ke pasar dan akan berakhir dengan mendengar ceramah Luna seharian penuh.

“Sarah memiliki banyak pelanggan, jadi aku harus mengantre.” Sean beralasan dan Luna hanya bisa geleng-geleng kepala karena dia tahu Sean berbohong.

“Sudah mendapatkan klip rambutmu?” tanya Luna seraya mengambil stoples berisi bini wijen dari dalam lemari kayu yang menempel di dinding dapur.

“Tentu saja, aku akan memakainya saat festival lentera nanti,” jawab Sean dengan wajah ceria, dia tidak sabar menunggu malam itu tiba, dia akan memakai gaun baru dan klip rambut barunya.

“Bagus, kalau begitu saatnya kau membantu Bibi!”

“Baiklah, apa yang harus aku lakukan?”

“Tolong saring tepungnya!”

“Oke. Tapi Bibi, saat di pasar tadi aku melihat beberapa orang yang terlihat seperti prajurit kerajaan, mereka membicarakan soal putri yang hilang.”

Sean bercerita namun tetap fokus pada pekerjaannya, dia tidak tahu jika Luna baru saja menoleh padanya dengan mata yang sudah nyaris membulat sempurna.

“Kau yakin mereka membicarakan itu? Apa warna seragam mereka?” tanya Luna dengan raut wajah cemas, keringat dingin tiba-tiba keluar dari pelipisnya, dan bibirnya sedikit memucat.

“Merah dan biru, seingatku.” Sean masih bersikap santai, hingga suara pecahan kaca mengejutkannya.

Luna menjatuhkan stoples wijennya dan membuat benda itu pecah berantakan di atas lantai.

“Astaga Bibi, ada apa? Aku akan membersihkannya,” ujar Sean seraya menghampiri Luna, berjongkok dan mencoba memungut pecahan kaca dari toples yang jatuh itu.

“Tidak, biarkan saja!”

Luna langsung menarik Sean ke dalam kamarnya kemudian mengemas beberapa potong pakaian.

“Bibi, ada apa?”

Kebingungan tampak jelas di wajah Sean, dia tidak mengerti dengan apa yang Luna lakukan, bibinya itu terlihat sangat panik dan terburu-buru.

“Sayang, tolong jangan bertanya! Kita harus pergi dari sini sekarang juga,” ujar Luna dengan kecemasan yang semakin membara di dalam dirinya.

“Kenapa?”

“Sudah kukatakan, jangan bertanya!”

BRAK

Sean dan Luna tersentak saat terdengar suara dobrakan pintu dari luar.

“Luna, kami tahu kau di dalam,” ujar sebuah suara yang membuat kecemasan Luna semakin menjadi. Hari ini akhirnya tiba, dia tahu suatu hari dia akan ketahuan dan sekaranglah hari itu.

Sean tampak takut, tapi rasa penasaran menuntunnya untuk mendekat ke arah pintu kamar, lalu mengintip lewat celah pintu kayu. Matanya seketika membulat dan mulutnya nyaris menjerit jika saja Luna tidak segera membekapnya.

Pemandangan yang sangat mengerikan untuk Sean. Dari celah kecil itu, Sean melihat tiga orang pria menerobos masuk ke dalam rumah. Mereka membawa pedang dan salah satunya membawa sesuatu di tangannya. Kepala seseorang yang dipenuhi dengan darah, ya, hanya kepala tanpa tubuh.

“Luna, lihatlah! Aku membawa kepala suamimu ke sini. Sebaiknya kau keluar jika tidak ingin berakhir sama dengan El!” Suara pria itu kembali terdengar, dan kini tubuh Sean gemetar dibuatnya.

Luna menelan ludahnya dengan paksa. Tidak! Tidak mungkin, suaminya mati di tangan orang-orang itu? Sebuah pukulan yang amat keras untuk perasaannya, tapi hal utama yang harus dia lakukan adalah membawa Sean pergi dari tempat itu, bagaimanapun caranya dia harus menyelamatkan Sean, itulah janjinya pada sang ratu.

“Sean. Kita harus pergi, ayo!” bisik Luna seraya menarik tangan Sean. Dia mengambil sebuah pedang lalu membawa Sean keluar melewati jendela.

BRAK

Pintu kamar berhasil didobrak, namun Sean dan Luna telah kabur, barlari sekuat yang mereka bisa menuju tempat yang sangat jauh.

“Mereka lari. Cepat temukan mereka!”

Dua orang perempuan itu terus berlari, masuk ke dalam hutan, menaiki dan menuruni bukit, menyebrangi sungai hingga rasa lelah membuat mereka merasa akan mati. Tapi, selelah apapun, mereka tidak boleh berhenti musuh terus mengejar mereka dan kematian sudah di depan mata.

***

Sean menghela nafas berat saat ingatan itu kembali berputar di dalam kepalanya. Dari semua kejadian yang pernah ia alami dalam 22 tahun hidupnya, hari di mana dia melarikan diri adalah saat yang paling tidak bisa dilupakan. Rasa lelah dan ketakutan itu masih teringat jelas, bagaimana dia dan Luna bersembunyi selama berhari-hari, mereka kedinginan dan kelaparan. Namun, seperti sebuah keajaiban, seorang pria Amerika bernama Ben menolong mereka. Menyembunyikan mereka ke dalam kapal dan membawa mereka ke daratan Amerika.

Di tempatnya yang sekarang, Sean memulai hidup baru dengan identitas palsu yang didapat dari Ben. Pria itu seorang kapten dari prajurit keamanan istana, dari Ben Sean mulai belajar bela diri dan ilmu pedang.

Sean tidak tahu jika dirinya berbakat dalam hal itu, dan di usianya yang ke 17 dia mengikuti ujian masuk sekolah militer. Walau pada awalnya ditentang oleh Ben dan Luna, tapi mereka tidak bisa berkata-kata setelah Sean lulus dengan nilai terbaik dari semua peserta perempuan, dan prestasi itulah yang mengantarkannya menjadi prajurit istana hingga naik jabatan menjadi pengawal pribadi Ratu.

“Jade, berisaplah! Yang Mulia Ratu akan pergi ke luar!” seru pelayan pribadi ratu pada Sean yang telah berdiri di depan pintu kamar Ratu Clarissa sejak tadi pagi. Pekerjaannya memang seperti itu, dia mengawal ratu ke mana pun ratu pergi, dan jika ratu tidak keluar dari kamarnya seharian, maka Sean juga akan berdiri di depan pintu seharian. Ratu adalah ibu dari negeri itu, dan bahaya selalu mengintainya kapan pun dan di mana pun. Jadi, Sean harus siap menghadapi apapun untuk melindungi ratu, karena keselamatan ratu di atas segalanya.

“Baik, Nyonya.” Sean mengangguk dan menunggu beberapa menit sebelum ratu akhirnya keluar dari dalam kamar.

“Jade, Sofia, aku akan pergi ke pasar untuk melihat rakyat-rakyatku,” ujar Ratu Clarissa pada Sean dan pengawal perempuannya yang lain. Ratu Clarissa berumur sekitar 40-an, dia berwajah cantik dengan perawakan tinggi kurus.

Jade memang menjadi nama panggilan yang melekat padanya di tempat itu, hanya Luna dan Ben yang memanggilnya dengan sebutan Sean.

Sean dan Sofia mengangguk, karena tidak ada yang boleh bicara pada ratu selain dalam keadaan mendesak. Bagaimanapun kepribadianmu, saat menjadi pengawal pribadi keluarga kerajaan, maka kau harus berubah menjadi orang yang tegas dan dingin. Tidak boleh bicara dan tidak boleh tersenyum, bahkan pada Ratu Clarissa yang ramah dan baik hati sekalipun.

Ratu keluar dari dalam kastil bersama dua orang pelayan di samping kiri dan kanannya, sementara Sean dan Sofia berjalan di depan untuk melindungi ratu dari hadangan apapun. Di belakang ratu telah ada beberapa pelayan lain dan prajurit yang siap melindungi. Begitulah, setidaknya butuh satu pasukan saat ratu atau raja pergi keluar wilayah istana.

Dengan menunggangi kuda putih bangsawan, ratu pun pergi meninggalkan istana. Kuda coklat milik. Sean dan Sofia tentu berada di barisan paling depan, dan di belakang belasan kuda dengan masing-masing satu prajurit dan pelayanan mengikuti.

Sejauh ini perjalanan sangat lancar, hingga akhirnya kuda yang Sean tunggangi berhenti karena seseorang menghalangi jalan. Sofia ikut berhenti, begitupun dengan Ratu Clarissa dan semua orang di belakangnya.

Seorang pria berdiri di tengah jalan seraya menuntun kudanya. Walaupun dia menghentikan semua orang, sebenarnya tujuannya hanya ingin menghentikan seseorang.

“Hai, Moli,” sapa pria itu pada kuda Sean, mengelus kuda itu dan tersenyum. “Hai, Jade,” sapanya pada Sean juga, namun yang disapa hanya diam, menatapnya dengan ekspresi datar yang sudah seharusnya.

“Pangeran, apa yang kau lakukan di sana?” tanya Ratu Clarissa pada putra bungsunya. Pangeran Jonathan, pria yang baru saja menghentikan perjalanan sang ibu. Pangeran sudah berusia 23 tahun, tapi masih saja bersikap nakal dan sulit diatur. Berkeliaran setiap hari dan membuat pengawalnya kewalahan.

“Ah. Hanya melihat gadis batu, apa dia benar-benar tidak bisa tersenyum?” tanya Joe seraya menunjuk Sean yang masih berada di atas kuda. “Dia hanya seperti ini setiap kali aku melihatnya,” lanjutnya seraya menirukan ekspresi datar Sean yang sangat dilebih-lebihkan.

Sean nyaris habis kesabaran, dia ingin marah dan tertawa di saat yang bersamaan. Tapi, tidak ada yang bisa ditunjukkan selain wajah dingin.

“Joe, tolong minggir! Kau menjalani jalan Ibu,” ujar ratu pada sang pangeran.

“Jade, coba tersenyum dan aku akan minggir!” seru Joe yang memerintah Sean seenaknya. Namun, Sean tidak mengindahkan perintah itu, dia hanya menerima perintah ratu, tidak siapapun bahkan raja.

“Kau membuang waktu Ibu, Nak. Berhenti menganggu Jade!” Ratu Clarissa tampak agak jengkel, tapi tetap saja dia tidak bisa memarahi putra kesayangannya itu.

“Kalau begitu suruh dia senyum! Apa itu sulit?” Joe membalas perkataan Ratu dan semua orang hanya bisa menghela napas melihat kelakuannya.

Ratu Clarissa menggeleng pelan, jengah dengan ulah pangeran, dan akhirnya dia menyerah. “Jade, tersenyumlah pada pangeran!”

Satu perintah dari ratu, dan Sean tidak mungkin menolak. Kedua sudut bibir itu pun tertarik ke atas, menciptakan lengkungan indah di antara ranum merah yang tampak cantik.

“Yeah!” Joe mengangguk dengan senyum puas. Baiklah sudah cukup bermain-mainnya, saatnya membiarkan ratu pergi. “Silakan lanjutkan perjalanannya, Ibu,” ujar Joe seraya berjalan ke samping, memberikan jalan untuk semua orang, Sean terutama.

“Pangeran Joe, sebaiknya kau pulang. Ayah akan mencarimu!” seru Ratu Clarissa sebelum melanjutkan perjalanan yang tertunda karena ulah konyol sang putra.

***

Secangkir coklat panas menemani malam Sean yang sepi dan tenang. Tidak ada siapa pun di rumah karena Ben hanya pulang dua hari sekali, sementara Luna mendapat giliran kerja malam di minggu ini.

“Kenapa belum tidur?”

Sosok tegap itu menghampiri Sean, Ben, pria yang telah berbaik hati menampung Sean dan Luna di rumahnya.

“Ini baru jam tujuh, Ben,” sahut Sean seraya melirik sekilas pada pria yang enam tahun lebih tua darinya itu.

“Benarkah? Apa aku yang pulang terlalu cepat?” tanya Ben seraya menjatuhkan dirinya di samping Sean.

“Mungkin.” Sean mengangkat bahu kemudian kembali fokus pada cangkir putihnya. Sesuatu mengusik pikirannya dan membuatnya tidak ingin banyak bicara.

“Terjadi sesuatu? Bagaimana pekerjaanmu?”

Seolah mengerti dengan yang Sean pikirkan, Ben lantas bertanya. Tidak pernah ada satu hal pun yang menganggu Sean selain masalah pekerjaan.

“Membosankan seperti biasa,” jawab Sean lagi, sedikit tundukan pada kepalanya dan ekspresi cemas terlihat jelas di wajahnya.

“Pangeran Joe mengganggumu lagi?”

“Seperti biasa.”

“Hei. Ada apa?”

Ben mulai mengerti jika bukan itu penyebab kegusaran yang Sean tunjukkan. Sean memang sering mengeluh dan kesal karena pangeran bungsu negeri itu selalu menganggunya, tapi itu tidak akan sampai membuat Sean secemas itu.

“Jendral menyuruhku untuk pergi ke Inggris. Mereka butuh mata-mata untuk mengetahui rencana penyerangan,” jelas Sean dengan kecemasan yang tak kunjung hilang dari wajahnya.

“Apa? Kau serius?” Mata Ben membulat menatap Sean.

“Apa wajah ini tampak bercanda?” Sean menunjuk wajahnya sendiri seraya melemparkan tatapan datar pada Ben.

“Ah. Itu terlalu serius, Nona Jade.”

“Kau mulai mirip dengan orang-orang. Jangan panggil aku seperti itu!”

“Itu namamu.”

“Terserah!”

“Hei. Jendral benar-benar menyuruhmu menjadi mata-mata? Bagaimana dengan Ratu?”

“Sudah ada pengawal baru yang akan menggantikanku. Kau tahu kan, kita tidak bisa menolak perintah. Menolak berarti menjadi penghianat, dan hukuman untuk penghianat ....”

“Hukuman penggal.” Ben memotong ucapan Sean, dia tahu itu, Sean tidak perlu menjelaskannya lebih jauh.

“Ya, kau tahu itu,” ujar Sean seraya meletakkan cangkirnya di atas meja.

“Jadi kau akan pergi?” tanya Ben yang mulai menatap lekat wajah Sean.

“Tidak.” Sean menggeleng, “jika aku boleh menolak. Sayangnya aku aku harus pergi bagaimanapun situasinya.”

“Ya. Kau bukan tipe yang suka mencari masalah.”

“Aku mencemaskan Bibi Luna. Kerajaan sudah tahu identitas kami dan orang-orang dari Spanyol akan terus mencari kami. Kami bisa saja mati jika pihak kerajaan Amerika tidak mau lagi melindungi kami. Aku takut jika meninggalkan Bibi sendirian. Tidak masalah denganku, karena prajurit Spanyol tidak tahu wajahku, tapi mereka mengenali wajah Bibi,” jelas Sean cukup panjang, mengutarakan semua kegelisahan yang selama ini selalu menghantuinya.

Dia berani menceritakannya karena itu Ben, Sean tidak pernah berani mengeluh dan membagi kecemasannya pada siapa pun, termasuk bibinya.

Tapi, Ben berbeda, tempat ternyaman untuk mencurahkan segalanya. Sean selalu menceritakan banyak hal walaupun dia tidak tahu siapa dirinya, alasannya kabur dan kenapa prajurit Spanyol mengejar mereka.

“Tidak akan seperti ini jika kau mendengarkanku, Sean. Tahun lalu aku sudah menyuruhmu untuk tidak memperpanjang masa kerjamu, tapi kau tidak mendengar.”

“Ben, aku butuh uang untuk hidup. Bagaimana bisa aku terus mengandalkanmu? Aku dan Bibi menumpang di rumahmu, kami tidak bisa hanya berdiam diri dan meminta makan darimu.”

“Kenapa bicara seperti itu? Gajiku lebih dari cukup untuk menghidupi kalian berdua."

“Ben...”

“Aku sudah menyuruhmu untuk jadi ibu rumah tangga sejak dua tahun yang lalu tapi kau selalu beralasan. Apa menjadi istriku sesulit itu? Aku hanya ingin kau istirahat.”

Sean memalingkan wajahnya dari Ben untuk menyembunyikan rasa canggung yang menyergapnya begitu saja.

“Ah, jangan-jangan kau jatuh cinta pada pangeran yang selalu mengganggumu dan menyuruhmu tersenyum itu? Pantas saja.”

“Hei!” Suara Sean meninggi karena Ben yang tiba-tiba saja berprasangka buruk padanya.

“Lalu kenapa? Kau sudah dewasa Sean.”

“Bukan begitu,” ujar Sean seraya menjatuhkan kepalanya ke atas bahu Ben. Seharusnya itu cukup membuat Ben tahu jika Sean tidak menyukai pria lain. Hanya saja, Sean merasa belum bisa memposisikan dirinya sebagai seorang istri. Dia masih takut tidak bisa menjadi yang terbaik untuk Ben.

“Lalu kenapa? Hmmm?” Ben melontarkan pertanyaan yang sama. Kali ini dengan suara yang lebih lembut, tangannya kemudian merangkul hangat pundak Sean.

“Tidak sekarang, Ben.” Sean mendongak menatap Ben lalu tersenyum simpul.

“Tentu saja, sekarang tidak bisa karena kau sudah mendapat tugas. Aku tidak punya kuasa untuk menahanmu walau aku tidak mau kau pergi.”

Sean menarik kepalanya lalu menegakkan tubuhnya, “aku akan segera kembali,” ujarnya seraya tersenyum lembut.

“Berapa lama kau akan pergi?”

“Mungkin hanya beberapa bulan. Tapi bisa jadi itu satu tahun bahkan lebih.”

Ben menghembuskan nafas kasar, kenapa harus selama itu? Dia akan sangat merindukan Sean. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Tidak ada. Mengabdi pada negara adalah pekerjaan Sean, jadi apapun yang terjadi Sean akan tetap menomorsatukan negaranya. Karena itulah Ben ingin Sean berhenti.

“Berhentilah bekerja setelah kau kembali nanti! Kau mau jadi perawan tua, hah?” omel Ben yang membuat Sean terkekeh geli.

“Baiklah. Aku akan menjadi ibu rumah tangga seperti yang kau mau.”

“Bagus.”

Ben tersenyum tipis, dia mendekat dan mencium kening Sean, kemudian menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Pada akhirnya malam ini menjadi malam terakhir mereka bisa bersama sebelum berpisah untuk waktu yang sangat lama. Meraka akan dipisahkan oleh gunung dan lautan, tapi semoga itu tidak membuat perasaan mereka merenggang. Karena sejauh apapun raga dipisahkan, hati tetap akan tetap bersama, memeluk satu sama lain bersama kerinduan yang mungkin sedikit menyiksa.

***

“Yang mulia, tunggu aku!”

Jay berlari menaiki bukit menyusul sang tuan yang terus saja meninggalkannya sejak tadi. Namun matanya langsung membulat sempurna saat sampai di atas bukit dan sebuah pedang menodong ke arah lehernya.

“Sudah kubilang. Kau mati jika memanggilku seperti itu.”

“Tapi, Pangeran ...?”

“Panggil aku Vee! Namaku Vee, dengar!”

“B-baiklah Pange ... maksudku Tuan Vee.”

“Kau yang memutuskan untuk mengikutiku, dan kau tidak akan bisa kembali ke istana. Jadi, tutup mulutmu atau aku akan memotong lehermu!”

“Ya, aku tahu.” Jay memukul mulutnya sendiri karena selalu saja salah memanggil pria itu dengan sebutan Pangeran atau Yang mulia.

Sebenarnya tidak salah, karena Victor memang seorang pangeran, tapi sekarang dia tidak lagi menjadi Victor, dia hanya Vee. Dia bahkan mentato wajah dan lehernya agar tidak ada lagi yang mengenalinya.

Walaupun sejak dahulu rakyat biasa tidak pernah diizinkan untuk melihat wajah pangeran, tapi tetap saja, mungkin ada satu atau dua orang yang pernah melihatnya.

Hari sudah sore, namun Vee belum memutuskan untuk pulang karena belum ada sesuatu yang didapat dari perburuannya hari ini.

“Yang Mul .... Maksudku Tuan Vee. Lihat ini, ada seseorang!” Jay tiba-tiba berteriak saat dia menemukan sesuatu.

“Apa?”

Dengan malas Vee menghampiri Jay dan langsung terbelalak saat melihat sesosok manusia bersimbah darah tergeletak di atas tanah. Jelas, seorang perempuan berambut pirang panjang dengan kulit putih dipenuhi luka goresan.

“Sepertinya korban perampokan. Mungkin dia sudah mati, perutnya ditusuk beberapa kali,” ujar Jay saat mencoba melihat lebih dekat.

“Biarkan saja, kita tidak usah ikut campur!” seru Vee seraya melangkah pergi, namun dia tersentak saat sebuah tangan menahan kalinya.

Vee menoleh dan melihat perempuan asing itu yang baru saja memegang kalinya.

“Astaga, dia masih hidup,” pekik Jay yang memang tidak pernah bisa tenang. Sementara Vee hanya diam memandang mata yang mulai terbuka itu. Tidak terbuka sepenuhnya, namun Vee bisa melihat manik hijau yang berkilau karena pantulan mentari senja.

“T-tolong .... Tolong aku ....”

Suara lirih terdengar samar di antara helaan napas berat dan dangkal. Orang itu benar-benar masih hidup, dan kini tengah memohon pertolongan pada Vee.

“Tolong! Kumohon ... t-tolong ....”

Suara lembutnya terdengar lagi sebelum mata itu tertutup kembali bersamaan dengan cekalan yang melemah.

.

.

.

To be continued

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status