Share

Part 6

Sean hanya bisa terbelalak mendengar apa yang baru saja Vee katakan.

"Rupanya kalian dari London, kalian sedang berbulan madu?" Pegawai Kantor Pos bertanya lagi, dan Vee hanya mengangguk sambil tersenyum simpul. "Suratmu akan segera dikirimkan Nyonya."

"Terima kasih," kata Sean pada pegawai itu, kemudian dia segera keluar setelah urusannya selesai.

Vee mengikutiku Sean setelah dia membayar biaya pengiriman, dan setelah sampai di luar Sean menghentikan langkahnya lalu berbalik menghadap Vee.

"Kau gila? Kau bilang apa? Aku istrimu?" tanya Sean yang mulai mengomel.

"Harusnya kau berterima kasih padaku! Kalau begitu aku akan kembali ke dalam dan mengatakan jika kau bukan istriku, agar suratmu tidak jadi dikirim," ancam Vee seraya melangkah untuk kembali masuk ke dalam, namun Sean segera menahan langkahnya.

"Tidak perlu. Baiklah terima kasih," ujar Sean ketus.

"Bukan seperti itu wajah orang yang mengucapkan terima kasih." Vee mengkritik ekspresi datar Sean.

Sean menatap Vee kesal, memangnya Vee siapa? Berani sekali mengkritik eksepsinya. Menarik napas panjang, Sean pun menunjukan senyum terbaiknya pada Vee, "terima kasih, Tuan Vee," ujarnya dengan nada manis yang dibuat-buat.

"Rupanya kau penurut juga," celetuk Vee seraya melangkah pergi.

"Aku hanya ingin melakukannya, bukan menuruti perintahmu," bantah Sean yang sudah kembali mengikuti Vee.

"Jadi, karena aku sudah membantumu, bisakah kau pergi saja dan kembali ke penginapan?" tanya Vee yang kesal karena Sean terus saja mengekor dan membuatnya tidak leluasa untuk melakukan apa pun.

"Tidak bisa. Kau bisa saja kabur jika aku tidak mengikutimu. Bagaimana jika ternyata kau menjualku lagi pada pemilik penginapan di sini?" tanya Sean dengan mata yang menyipit dan menatap Vee penuh rasa curiga.

"Aku hanya melakukan itu sekali, kau pikir aku akan melakukannya lagi?" Vee menoleh pada Sean, dan matanya tak sengaja menangkap mata Sean yang sedang menatapnya dengan sorot aneh. Ini bukan kali pertama, Vee kembali tenggelam ke dalam mata itu. Sean benar-benar memiliki mata hijau yang cantik dan berkilau. "Go away!" seru Vee ketus.

"Silahkan lanjutkan perjalananmu, anggap saja aku tidak ada!" balas Sean enteng.

"Ya, baiklah." Vee mengangguk lalu melanjutkan langkahnya. Kali ini dia benar-benar mengabaikan Sean, bahkan saat Sean berusaha untuk bicara padanya pun, Vee tidak pernah menjawab dan seolah tidak mendengar apa pun.

Langit mulai gelap saat Vee memasuki sebuah rumah makan. Berkeliling kota itu membuatnya lelah dan lapar, sekarang dia butuh makan.

Sementara itu, Sean yang mengikuti Vee, dibuat terkagum-kagum dengan desain interior rumah makan mewah itu. Matanya sibuk memandangi ukiran indah kayu jati hampir di semua sisi dinding.

Bukan hanya dindingnya yang indah, tapi langit-langit tempat itu juga memiliki motif bunga dan daun yang tampaknya dibuat dengan tangan secara teliti dan rapi. Semua kursi dan mejanya tampak mahal, begitupun dengan lantainya yang mengkilap, membuat Sean merasa canggung untuk menginjaknya.

"Selamat datang Tuan, Nona, kalian ingin memesan apa?" Seorang pelayan wanita datang menghampiri Sean dan Vee yang baru saja duduk.

"Aku pesan Roast Meat, dan sebotol bir jika kalian punya," ujar Vee pada pelayan itu.

"Kau mau mabuk?" Tiba-tiba Sean bertanya, namun tidak digubris sedikitpun oleh Vee. Sean sendiri yang menyuruh Vee untuk tidak menghiraukan keberadaannya, jadi Vee benar-benar melakukannya.

Melihat respon Vee, Sean tampak kesal, tapi dia pun tidak mempedulikan pria itu, dan lebih memilih untuk bicara kada pelayan. "Aku mau pesan menu paling malah di sini, aku pesan dua, minumannya juga, aku mau yang paling mahal."

Pupil Vee melebar saat mendengar pesanan Sean. Menu paling mahal? Gadis itu memang gila, Vee saja hanya memesan makanan dengan harga standar. Niat Sean untuk menghabiskan uang Vee memang sangat besar, gadis itu akan menjadi masalah.

"Kenapa kau memesan menu paling mahal? Yang mahal belum tentu enak," ujar Vee seraya melihat Sean dengan mata elangnya. "Dan kau memesan dua? Perutmu tidak akan muat," lanjutnya seolah menegaskan bahwa Sean tidak boleh melakukan itu.

"Hanya itu saja, kau boleh pergi!" kata Sean seraya tersenyum pada sang pelayan. Dia mengabaikan Vee sama persis seperti bagaimana Vee mengabaikannya.

"Baik Tuan, Nona, harap untuk menunggu!" seru pelayan itu lalu segera pergi.

"Kau tidak dengar apa yang kukatakan? Kenapa kau memesan dua porsi menu paling mahal? Kau benar-benar ingin aku bangkrut?" Vee bertanya lagi, setiap katanya penuh dengan penekanan dan tuntutan yang mengharuskan Sean untuk menjawabnya.

Namun, Sean hanya meringis bodoh, seolah ingin menunjukan betapa menyebalkan dirinya.

"Aku baru menghbasikan uangmu sedikit. Belikan aku pakaian lebih banyak! Tadi aku melihat toko pakaian wanita saat dalam perjalanan ke sini," cerocos Sean tanpa mempedulikan Vee yang tengah melihatnya dengan tatapan datar.

"Kenapa kau berpikir aku akan membelikan semua yang kau inginkan?" tanya Vee ketus.

"Kau tidak mau? Kalau begitu berikan setengah uang yang kau dapat dari Monica! Jangan mencoba menipuku, aku tahu berapa jumlahnya," ujar Sean seraya menatap Vee dengan sebelah alis yang terangkat, sebuah ekspresi yang sangat menyebalkan bagi Vee.

"Lupakan soal uang itu! Aku akan membelikan apa yang kau butuhkan."

Vee tidak bisa memberi uang itu pada Sean, karena semuanya sudah habis. Uang yang Vee bawa sekarang tidak sebanyak uang pemberian Monica, tapi setidaknya cukup untuk biaya hidup beberapa minggu, menyewa penginapan dan membelikan Sean pakaian.

***

"Kenapa kau membeli gaun panjang? Kau terlihat seperti akan pergi ke pesta," cibir Vee saat mereka berada di perjalanan untuk kembali ke penginapan. Malam sudah cukup larut karena Sean memaksa untuk membeli pakaian terlebih dahulu. Namun, yang lebih parah, Sean memilih untuk langsung memakai sebuah gaun panjang berwarna peach untuk pulang ke penginapan. Sebenarnya gaun itu terlihat casual dan tidak masalah untuk dipakai sehari-hari, tapi Vee terus mengatakan itu berlebihan.

"Apa menurutmu seburuk itu?" Sean yang awalnya tidak peduli pun mulai terpengaruh karena ejekan Vee tidak hanya terlontar satu kali.

Vee menoleh pada Sean yang berjalan di belakangnya. Melihat gadis itu selama beberapa detik dengan tatapan aneh. Vee tidak bisa memungkiri jika gaun itu sangat cocok membalut tubuh ramping Sean, warnanya juga pas untuk kulit putihnya. Namun, Vee tidak bisa mengakui itu secara terang-terangan. 'Cantik' sudah seperti kata terkutuk yang tidak akan pernah Vee katakan pada gadis manapun, walaupun pada kenyataannya gadis yang sekarang ada di hadapannya bukan hanya sekedar cantik, tapi sangat cantik. "Ya, sangat buruk," ujar Vee singkat lalu melanjutkan langkahnya untuk masuk ke dalam gedung penginapan.

Mendengar jawaban Vee, Sean hanya mendelik malas, dia percaya jika dia memang terlihat buruk. Ucapan Vee benar-benar mempengaruhinya.

"Selamat malam Tuan, rupanya kalian pergi keluar untuk jalan-jalan. Senang melihat istrimu sehat kembali," ujar pemilik penginapan saat Sean dan Vee masuk.

Vee hanya mengguk seraya tersenyum tipis, sementara itu, Sean kembali dibuat ternganga. Rupanya Vee mengatakan itu bukan hanya kepada pegawai kantor Pos, tapi pada pemilik hotel juga. Pantas saja dia bisa memesan satu kamar untuk ditempati dua orang, karena pemilik penginapan mengira mereka sebagai pasangan suami istri.

"Selamat beristirahat."

Setelah mendapat sapaan hangat dari pemilik penginapan, Sean dan Vee pun segera pergi menuju kamar mereka, dan begitu sampai, Sean langsung menyerang Vee dengan protesannya.

"Kau benar-benar sudah gila? Kau mengatakan jika aku istrimu pada pemilik penginapan juga?" tanya Sean dengan kekesalan yang sudah berada di ubun-ubun.

"Ya." Vee mengangguk santai lalu melemparkan mantelnya ke atas sofa. "Kau masih berpikir aku menjualmu pada pemilik penginapan ini?"

"Jangan mengalihkan pembicaraan! Kenapa kau seenaknya mengakuiku sebagai istrimu?"

"Apa kau masih tidak mengerti Nona Sean? Aku melakukannya untuk membantumu, kau tidak akan bisa tinggal di sini ataupun mengirim surat tanpa aku," jelas Vee tak kalah kesal. Ya, dia hanya mencoba melakukan yang dia bisa lakukan untuk membantu Sean, tapi sepertinya Sean menanggapi itu dengan sinis.

"Tetap saja, itu agak..."

"Kau kira aku melakukannya karena aku mau? Jangan mengira aku membawamu ke sini dan membiarkanmu mengikutiku karena aku menyukaimu! Itu hanya karena rasa tanggung jawabku, kau mengerti kan, Nona? Jadi berhenti bertingkah! Kau menjijikan."

Sean diam saat mendengar ucapan Vee, dari pada peringatan, kata-kata itu lebih terdengar seperti sebuah penghinaan, dan Sean membencinya.

"Aku bahkan tidak pernah berharap kau akan menyukaiku. Apa kau tidak tahu? Aku berdiri di sini sebagai musuhmu, kau tahu," ujar Sean tegas, kemudian dia berbalik dan melangkah menuju lemari untuk menaruh pakaiannya. Namun, baru tiga langkah, kaki Sean tersandung oleh gaunnya sendiri hingga dia terjatuh ke atas lantai.

BRUG.

Sean terduduk di atas lantai, sementara tawa Vee hampir saja pecah melihat pemandangan yang sangat menggelikan itu.

"Sial." Sean mengumpat di dalam hati. Bagus, dia baru saja mempermalukan dirinya di depan musuh setelah mendeklarasikan perang. Dengan sigap, Sean segera bangkit lalu menoleh pada Vee yang sedang menahan tawanya dengan susah payah, "jangan tertawa!" seru Sean tegas.

"Dasar bodoh," cibir Vee seraya berjalan menuju tempat tidur dan menjatuhkan dirinya di sana. "Aku sudah mengizinkanmu untuk tidur di kasur selama kau tidak sadarkan diri. Jadi sekarang kau tidur di sofa saja, karena tempat tidur ini milikku!" seru Vee yang sukses membuat Sean menoleh.

"Apa? Tidur di sofa?"

"Ya, kita hanya punya satu kasur."

"Kalau begitu sewa kamar lain untukku!"

"Aku harus menghemat uang. Kau boleh pergi jika tidak mau tidur di sofa, aku tidak peduli!"

"Kau mengusirku?"

"Hanya memberi pilihan.".

Sean memutar bola matanya dengan malas. Sebenarnya dia juga sangat ingin pergi dari tempat itu, dia harus kembali ke London agar bisa segera menjalankan misinya. Tapi semua barang telah hilang dan tidak ada sepeserpun uang yang ia punya, jadi dia masih membutuhkan bantuan Vee.

"Terserah," ujar Sean malas. Gadis itu mulai memasukkan pakaian barunya ke dalam lemari saat tiba-tiba dia membungkukkan tubuhnya sambil memegangi perutnya. "Akh..." Sean merintih sambil berjongkok.

"Jangan pura-pura, aku tidak akan tertipu!" seru Vee malas, dia tahu Sean sangat suka berakting. Tapi kali ini Sean mengabaikan perkataan Vee, dia malah semakin merintih sambil menekan perutnya. Melihat itu, Vee menjadi panik dan langsung menghampiri Sean. "Apa yang terjadi?" tanya seraya berjongkok di samping Sean.

Sean masih diam saat Vee menghampirinya, namun sedetik kemudian dia bangkit dan langsung berlari menuju tempat tidur dan mengambil alihnya.

"Gadis gila," gumam Vee seraya memandang Sean dengan sorot kesal. Dia tidak percaya jika Sean baru saja berhasil membodohinya.

"Kau bisa tidur di sofa," celetuk Sean dengan begitu santai tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Minggir! Itu tempatku!!!" seru Vee nyaris berteriak.

"Kau kalah cepat. Aku tidak akan minggir, kau tidak akan bisa menyingkirkanku," ujar Sean seraya melihat Vee dengan tatapan puas penuh kemenangan.

"Oh, kau terlalu percaya diri." Vee menyeringai, berjalan mendekati tempat tidur lalu membungkuk mendekati Sean yang sudah berbaring.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Sean yang terkejut dengan apa yang Vee lakukan.

"Menyingkirkanmnu," bisik Vee tepat di samping telinga Sean. Setelah itu tiba-tiba Vee mengangkat tubuh Sean lalu memindahkannya ke atas sofa. "Semoga tidurmu nyenyak, Nona Bodoh."

"Kau..." Sean benar-benar dibuat terkejut oleh perbuatan Vee, bagaimana Vee bisa menggendong tubuhnya secara terang-terangan seperti itu? Tidakkah seharusnya Vee merasa agak canggung dan malu saat mencoba menyentuh tubuh seorang gadis? Sean mulai berpikir jika Vee benar-benar seorang gay.

"Apa yang kau lihat?" tanya pada Sean yang masih menatap tajam ke arahnya.

"Keparat gila," umpat Sean seraya berbalik untuk memunggungi Vee. Hari pertamanya di Oxford berlalu dan berakhir dengan menyebalkan. Hari esok tiba dan hari-hari berikutnya terus berlalu.

***

Sean terbangun karena suara pintu yang terbuka. "Pagi ke 20," batin Sean begitu dia sadar dari mimpinya. Setiap pagi, dia akan menghitung sudah berapa lama dia berada di kota itu, di penginapan itu dan bersama pria itu, pria yang ia anggap sebagai musuh.

Kondisinya kini sudah jauh lebih baik, tapi Sean tidak bisa pergi kemanapun karena dia tidak punya tempat tujuan, dan yang utama tidak punya uang.

"Apa ini hari spesial?" tanya Sean saat melihat Vee kembali dari luar dengan sebuah buket bunga di tangannya.

"Bukan urusanmu," jawab Vee ketus. Dia tidak menoleh sedikitpun pada Sean, hanya berjalan melewati gadis itu dengan acuh. Vee mengambil sebuah gelas tinggi yang sudah diisi dengan air lalu memasukkan beberapa tangkai bunga mawar itu ke dalamnya dan ditaruhnya di atas meja. Tujuannya sudah jelas, agar bunga itu bertahan lama. Setelah menaruh gelas berisi bunga, Vee kemudian menyalakan lilin di atas meja itu dan membiarkannya menyala di tengah ruangan pagi yang begitu terang.

"Apa yang kau lakukan? Kenapa menyalakan lilin di pagi hari?" tanya Sean yang heran atas apa yang Vee lakukan.

"Sudah ku bilang, bukan urusanmu," ketus Vee yang hanya melihat Sean singkat dengan kilatan tajam di matanya.

Sean mendelik kesal, padahal dia hanya bertanya, tapi Vee malah seperti itu.

"Sekarang dia jatuh cinta pada lilin?" Batin Sean yang melihat Vee terus menatap ke arah lilin yang menyala itu. Sean benar-benar tidak mengerti dengan apa yang terjadi.

Sementara Sean tengah menatapnya aneh, Vee masih saja sibuk melihat Lilin yang terus meleleh terbakar api. Hari ini, Vee tidak tahu harus merasa senang atau sedih. Ini adalah hari ulang tahun Irene, namun Irene tak lagi berada di sana untuk merayakannya bersama Vee. Sangat miris, bahkan Vee tetap membeli bunga mawar kesukaan Irene walaupun gadis itu sudah tidak ada lagi di dunia.

Di sisi lain, Sean pun mulai sibuk menatap bunga mawar yang masih tampak baru itu. Menyingkirkan rasa penasarannya Sean kini memikirkan sesuatu yang berkaitan dengan bunga mawar. Karena namanya Rosean, jadi Sean selalu mendapatkan bunga mawar sebagai hadiah ulang tahun dari mendiang pamannya, El. Hanya bunga mawar dan tidak ada yang lain, hingga Sean muak dengan bunga itu. Tapi, kini Sean sangat menginginkannya, Sean berharap pamannya masih hidup dan memberinya bunga mawar sebagai hadiah ulang tahun. Sean sangat merindukan sosok itu, dan kejadian hari itu kembali terbayang di kepalanya. Saat seorang prajurit Spanyol itu mencengkram rambut El dengan kepala penuh darah yang telah terpisah dari tubuhnya. Kejadian hari itu benar-benar memberi Sean trauma.

Tok tok tok~

Suara ketukan pintu menyadarkan dua orang itu dari lamunan panjang. Sean hampir berdiri untuk membuka pintu, namun Vee telah lebih dulu pergi untuk membukanya.

Tak lama Vee kembali setelah menutup pintu, lalu melemparkan sebuah amplop ke atas meja. "Milikmu," ujarnya pada Sean.

Sean melihat amplop itu, kemudian segera mengambilnya saat dia sadar ada tanda Kantor Pos Amerika di salah satu sudut. Pasti itu surat balasan dari Luna, akhirnya setelah menunggu lama, Sean mendapat balasan juga.

Dengan semangat Sean membuka amplop itu lalu mengambil kertas di dalamnya. Senyum tipis menembang si wajahnya, dia mulai membaca isi suratnya, tanpa mempedulikan Vee yang tengah melihatnya dengan tatapan aneh.

Untuk keponakanku tersayang, Sean.

Aku sangat senang mendengar kabar jika kau sampai dengan selamat dan baik-baik saja. Aku pun baik-baik saja di sini. Sean, kau harus mengingat kata-kataku! Jangan melakukan hal-hal yang berbahaya, harus makan tiga kali sehari dan jangan tidur terlalu larut! Kau juga harus sering mengirim surat padaku dan juga jendralmu agar dia segera menyuruhmu kembali jika tugasmu sudah selesai.

Semuanya baik-baik saja di sini. Tapi ada kabar buruk, ku harap kau siap mendengar ini. Amerika baru saja diserang oleh Spanyol. Ben terluka parah saat pergi berperang, Ben sudah tidak ada, dia terbunuh. Kuharap kau bisa tabah menerima ini. Aku berniat untuk merahasiakan ini sampai kau kembali, tapi itu akan membuatmu lebih sedih. Sean, kumohon kau harus baik-baik saja, dan segera kembali karena aku sangat merindukanmu.

Dari Bibi Luna.

Surat itu terlepas dari tangan Sean setelah dia selesai membacanya. Semua hal yang ada di sekitarnya seperti telah berputar dan hancur, termasuk dirinya sendiri. Rasa bahagia atas surat balasan yang didapatnya itu sirna tak tersisa. Itu bukan hanya kabar buruk, tapi sesuatu yang menghancurkan hatinya hingga menjadi abu. Ben tidak mungkin mati, tidak mungkin. Ben itu kapten yang kuat, bagaimana dia bisa terbunuh? Sean terus membantah fakta itu, Ben tidak mungkin mati, mereka telah berjanji akan menikah saat Sean kembali.

Vee mengerutkan keningnya bingung saat Sean tiba-tiba bangkit dan berjalan ke arah pintu keluar. "Kau mau ke mana?" tanya Vee.

"Aku ingin sendiri, jangan ikuti aku dan jangan bertanya!"

***

To be continued

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status