Share

Part 2

“Gadis batu! Ah, maksudku Jade.”

Sean baru saja keluar dari dalam kastil saat seseorang memanggil namanya, dia lantas menoleh dan menemukan Pangeran Jonathan berjalan ke arahnya.

Sean pun menunduk untuk menunjukan rasa hormatnya dan tidak berani mengangkat wajah, apa lagi sampai menatap wajah Joe.

“Kudengar kau akan pergi ke Inggris untuk menjalankan misi,” ujar Joe dengan ekspresi yang biasa ia tunjukan pada semua orang.

Ekspresi terlalu ramah yang sangat jauh berbeda dengan sang kakak, Pangeran Kai. Pangeran Kai yang juga seorang putra mahkota sangat mirip dengan Raja, dingin dan tegas, sementara Pangeran Joe lebih mirip dengan Ratu.

“Iya,” jawab Sean disertai anggukan singkat.

“Kapan?” tanya Joe lagi.

“Sekarang.”

“Kau baru saja berpamitan pada Ibu?”

“Iya.”

“Sekarang kau akan langsung pergi?”

“Iya.” Jawaban andalan yang selalu Sean lontarkan setiap kali Joe bertanya.

Sudah sangat lama sejak Joe mulai berbicara dan mengganggu Sean, sejak Sean masih menjadi prajurit biasa. Setidaknya sudah empat tahun, mungkin lebih, dan 90 persen kata yang pernah Sean katakan pada Joe adalah ‘iya’ dan ‘tidak’. Berharap Joe akan berhenti menganggu pekerjaannya, tapi itu tidak berhasil.

“Kenapa kau sangat membosankan? Kau tahu, pangeran tidak bicara dengan sembarang gadis. Seharusnya kau senang karena aku banyak bicara padamu,” ujar Joe seraya melipat tangannya di depan dada, memperhatikan Sean dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Ini masalah. Jika kau pergi, siapa yang akan aku ganggu?”

Sean tetap dengan sikap sopannya walaupun dalam hati dia mulai mengomel. Joe dengan terang-terangan mengatakan jika Sean hanyalah objek yang bisa dia ganggu? Menyebalkan.

“Aku sudah terlambat,” ujar Sean yang berusaha pergi, namun itu tidak akan mudah.

“Baiklah. Tapi, kau harus tahu, aku akan menunggumu. Kau pasti berpikir aku akan menganggu pengawal baru itu, tidak akan, dia jelek.”

“Bagus kalau begitu.”

“Apa kau tidak sadar, aku baru saja memujimu cantik.”

“Terima kasih, tapi aku harus pergi.”

Joe menghela napas, jadi gadis itu benar-benar akan pergi jauh dan mungkin untuk waktu yang panjang. Dia hanya seorang pengawal, tapi Joe sudah terlalu biasa mengganggunya.

Setiap hari Joe akan diam-diam memeriksa jadwal ratu hanya untuk menemui Sean di jalan. Tidak banyak yang akan Joe lakukan, hanya mengganggunya sebentar untuk melihat senyuman gadis bermata hijau itu.

Sebagai seorang pangeran, tidak banyak hal yang bisa Joe lakukan, dia hanya melakukan hal sederhana untuk mencari kesenangan.

“Baiklah, ambil ini! Nenek bilang benda ini akan menjauhkanmu dari bahaya.” Joe memberikan sebuah kalung buatan tangan yang tampaknya terbuat dari batang kayu.

“Aku tidak percaya takhayul,” ujar Sean tanpa mau mengambil kalung itu.

“Ini perintah! Kau akan mati jika ketahuan membuangnya,” ancam Joe yang terdengar serius.

Sean tidak mau berdebat dan mendapatkan masalah, jadi dia pun mengambil kalung itu.

“Terima kasih,” ujar Sean.

“Tersenyum sekali saja sebelum kau pergi!”

Joe tidak berharap banyak, dia tahu sikap dingin Sean dan hanya ratu yang bisa membuatnya tersenyum. Tapi, tanpa diduga, Sean mengangkat wajahnya lalu tersenyum sebelum berbalik dan pergi.

“Sepertinya dia senang karena aku tidak akan mengganggunya untuk waktu yang lama,” gumam Joe seraya tersenyum simpul. Dia menatap punggung Sean yang semakin menjauh dan dia sangat sedih.

.

.

.

Beberapa minggu berlalu dan akhirnya Sean berhasil menginjakan kaki di daratan Inggris. Sebuah perasaan yang sangat akrab saat dia melangkah keluar dari pelabuhan, perasaan seperti saat dia pertama kali datang ke Amerika enam tahun yang lalu. Sangat asing, namun sekarang dia tidak takut seperti saat itu. Waktu telah mengubah Sean, gadis feminim yang begitu penakut itu sudah tidak ada lagi. Bukan berarti Sean tidak takut pada apapun, tapi setidaknya dia menjadi gadis pemberani yang akan lebih memilih untuk melawan dari pada lari, karena mengambil risiko itu terkadang diperlukan.

Sean akan pergi ke ibukota untuk mencari tempat tinggal dan mulai menjalankan misinya memata-matai pergerakan pasukan perang kerajaan Inggris.

“Terima kasih,” ujar Sean pada seorang pria yang baru saja menjual kudanya pada Sean. Ya, Sean sangat membutuhkan tunggangan untuk mempermudahnya saat bepergian, lagi pula jarak dari pelabuhan menuju ibu kota sepertinya cukup jauh dan Sean bisa kemalaman di jalan jika hanya berjalan kaki.

“Kau harus melewati jalan mengelilingi bukit untuk sampai di ibu kota, tapi jika menaiki bukit akan lebih dekat dan lebih cepat sampai,” ujar pria yang menjual kudanya itu.

“Benarkah? Apa ada jalan di atas bukit?”

“Tentu saja ada. Para pemburu membuat jalur yang membelah bukit.”

“Hm, baiklah. Terima kasih.”

Sean akhirnya pergi, dan dia memutuskan untuk menaiki bukit seperti yang pria paruh baya itu katakan. Selain jaraknya yang lebih dekat, sepertinya menaiki bukit lebih menantang, dia juga ingin mengetahui sebaik apa kemampuan kuda barunya.

Matahari sudah condong ke arah barat saat Sean dan kudanya hampir berada di puncak bukit. Sean berencana untuk istirahat sejenak saat mereka sampai di puncak karena kudanya juga sudah kelelahan.

Tapi, sebelum sampai di puncak, tiba-tiba saja kuda yang Sean tunggangi berhenti karena sekelompok orang menghalangi jalannya.

“Lihat siapa yang datang! Gadis pemberani, dia sendirian,” ujar salah satu dari gerombolan pria yang berjumlah lebih dari sepuluh orang itu.

“Siapa kalian? Minggir!” seru Sean tegas, namun orang-orang di depannya malah tertawa.

“Ini wilayah kami, kau tidak bisa melewati bukit ini dengan selamat, Nona Muda.”

“Kalian mau main-main denganku? Hah?” Sean melompat dari atas kuda dan langsung mengeluarkan pedang andalannya. Tampaknya dia akan dirampok dan tidak ada jalan untuk lari.

Pertarungan pun tidak bisa dihindari saat orang-orang itu mulai menyerang Sean dengan brutal. Awalnya berjalan cukup baik, walaupun Sean dalam kondisi lelah tapi dia berhasil melumpuhkan setengah dari semua musuhnya.

Namun, dia mulai terluka, tubuhnya sangat lelah dan tanpa diduga sebuah pedang berhasil menembus perutnya.

“Akh!”

Seanmerintih kesakitan bersama darah yang mengucur dari perutnya, tapi dia tidak menyerah begitu saja, dia menancapkan pedangnya ke tanah dan mencoba untuk bangkit.

Namun, sebelum dia berhasil bangkit, pukulan dan tendangan bertubi-tubi mulai menghujani tubuhnya. Kemudian dia mendapat tusukan lagi di perutnya sebanyak dua kali.

Sean terkapar di atas tanah, dia kesakitan dan tidak berdaya. Matanya terpejam walaupun kesadarannya masih bertahan. Kuda, uang, makanan, dan semua barang yang Sean bawa diambil oleh gerombolan perampok itu.

Setelah mengambil semua harta milik Sean, para perampok itu pergi meninggalkan korban mereka di tengah bukit. Dengan kondisinya yang seperti itu, mereka yakin Sean akan segera mati kehabisan darah.

Waktu terus berlalu, Sean sempat pingsan dan kembali bangun, namun dia tetap tidak bisa bergerak walaupun dia sadar. Telinganya bisa mendengar apapun yang ada di sekitar, tapi membuka mata sangatlah sulit.

Samar-samar Sean mendengar suara derap langkah di sekitarnya, juga suara pria yang berbicara.

“Yang Mul .... Maksudku Tuan Vee .... Lihat ini, ada seseorang!”

“Apa?”

“Sepertinya korban perampokan. Mungkin dia sudah mati, perutnya ditusuk beberapa kali.”

“Biarkan saja, kita tidak usah ikut campur!”

Sean mendapat sedikit harapan karena ada orang yang menemukannya, tapi orang itu menganggapnya sudah mati.

Sean sangat ingin bangun dan berteriak bahwa dia masih hidup, dia butuh bantuan. Tapi, tubuhnya benar-benar tidak bisa digerakkan, semuanya membeku. Namun, Sean tidak menyerah, dia ingin hidup, walaupun mati setidaknya tidak dengan cara seperti itu.

Setelah berusaha sangat keras, akhirnya Sean berhasil mendapatkan sedikit tenaga, tangannya terulur dan mencengkram kaki seseorang yang hampir saja pergi. Kemudian matanya pun terbuka, dan seolah mendapat kekuatan lebih, Sean mulai bisa bersuara.

“Astaga, dia masih hidup.”

Sean melihat ke atas dan melihat sang pemilik kaki sedang menatapnya. Seorang pria yang tidak begitu jelas seperti apa wajahnya. Tapi Sean bisa melihat mata coklat keemasan miliki pria itu, warna mata yang langka, dan sebuah tato di bawah mata sebelah kanan. Seolah memang sengaja dibuat seperti itu agar Sean bisa mengenalinya dengan mudah jika mereka bertemu kembali.

“T-tolong ....  Tolong aku ....”

Suara lirih terdengar samar di antara helaan napas berat dan dangkal. Namun, pria itu masih tidak bergerak dan hanya tertegun menatap Sean.

“Tolong! Kumohon ...”

.

.

.

Mata itu terbuka, diam lalu mulai berputar, menjelajahi langit-langit yang berada tepat di atasnya. Ruangan itu cukup luas, namun terasa asing dengan penerangan minim dari beberapa lilin yang ditaruh di salah satu sudut. Sean ingat kejadian terakhir yang ia alami, namun dia tidak tahu sekarang ada di mana, dan berapa lama dia tidak sadarkan diri? Rasanya begitu lama karena Sean telah melewati mimpi yang begitu panjang.

“Kau bangun?” Suara berat seorang pria terdengar, membuat Sean langsung menoleh pada sumber suara. Tampak seorang pria berperawakan tinggi tegap memasuki ruangan itu lalu berjalan menghampirinya.

'Pria itu?' batin Sean yang langsung mengenali pria itu dari tato di wajahnya. Sangat disayangkan karena tato itu mengotori wajahnya yang tampan.

Sean lantas menarik punggungnya dari atas tempat tidur, mencoba untuk duduk, namun rasa sakit itu seketika menyerang perutnya dan menjalar ke seluruh tubuh.

“Berbaring saja! Lukamu belum pulih!” seru pria itu seraya memegang kedua bahu Sean dan membantunya untuk kembali berbaring. “Aku bukan orang jahat. Tidak perlu takut.”

“Terima kasih,” ujar Sean singkat karena dia tidak tahu apa yang harus dikatakan pada orang yang telah menolongnya.

“Aku Vee,” pria itu memperkenal diri.

“Aku Jade. Maksudku Sean ....” Sean bingung harus memperkenalkan dirinya dengan nama apa. Dia terbiasa menyebut dirinya sebagai Jade pada orang asing, tapi apa sebaiknya dia gunakan nama Sean saja di tempat itu?

“Jadi, Jade atau Sean?” tanya Vee penasaran.

“Sean,” jawab Sean dengan yakin. “Ngomong-ngomong, berapa lama aku tidak sadarkan diri?” Sean mulai bertanya untuk menjawab rasa penasarannya.

“Dua minggu?”

“APA?” Sean memekik, itu waktu yang sangat lama. Separah itukah kondisinya?

“Suaramu lantang juga, padahal kau tidak makan selama dua minggu,” ujar Vee seraya melirik Sean sekilas, kemudian dia berjalan menuju meja tempat lilin-lilin berada. Dia mengambil sebuah mangkuk lalu kembali menghampiri Sean. “Aku menyiapkan ini tiga kali sehari, untuk jaga-jaga jika kau tiba-tiba bangun,” ujarnya seraya menunjukkan mangkuk berisi bubur itu pada Sean. Kemudian dia membantu Sean untuk duduk agar Sean bisa makan.

“Terima kasih.” Lagi-lagi hanya itu yang Sean katakan. Apa lagi? Apa ada kalimat yang lebih baik?

“Tanganmu baik-baik saja, jadi kau bisa makan sendiri!” seru Vee seraya menyodorkan mangkuk itu ke hadapan Sean.

“Em, ya, aku akan makan sendiri,” balas Sean yang merasa canggung dan tidak nyaman. Dia berada di dalam satu ruangan bersama seorang pria, hanya ada mereka berdua. Sean tidak bermaksud membayangkan yang tidak-tidak, tapi sebagai perempuan dia tetap merasa cemas. Apa lagi dengan kondisinya yang sekarang, dia tidak mungkin bisa melawan jika Vee melakukan sesuatu yang buruk.

“Kenapa melihatku seperti itu?” tanya Vee yang menyadari tatapan aneh Sean padanya.

“Ah, tidak.” Sean menggeleng cepat. “Maaf, aku pasti merepotkan.”

“Sangat. Aku jadi tidak bisa pergi kemanap gara-gara harus merawatmu,” omel Vee seraya mendelik tajam pada Sean.

“Begitu ya,” ujar Sean yang merasa tidak enak. Pada akhirnya dia hanya bisa menunduk dan melanjutkan kegiatan makan malamnya, karena jujur saja dia sangat lapar. Namun, tiba-tiba dia berhenti saat melihat lengan baju yang dikenakannya. Seingatnya dia tidak punya baju dengan motif seperti itu, dan dia memakai baju berwarna putih saat datang ke Inggris. Mengobati rasa penasarannya, Sean pun menyingkap selimut yang menutupi sebagian tubuhnya lalu memeriksa bagian perut. Bersih, tidak ada darah ataupun robekan di sana. Jelas, baju itu bukan miliknya, berarti seseorang telah mengganti pakaiannya.

“Kenapa? Sepertinya kau bingung?” tanya Vee yang menyadari gelagat aneh Sean.

“Siapa yang mengganti pakaianku?” Sean balik bertanya, melihat Vee dengan tatapan berharap, semoga bukan Vee atau seorang pria yang melakukan itu. Sean ingin mati saja jika itu terjadi. Bahkan Ben, calon suaminya pun tidak pernah melihat tubuhnya.

“Aku,” jawab Vee santai, tidak peduli dengan Sean yang terbelalak ke arahnya.

“APA?” Sean melebarkan tatapannya, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dia langsung bergeser sedikit dan memeluk dirinya sendiri.

“Salahnya kau pingsan sangat lama. Aku sangat terganggu melihat bajumu yang dipenuhi darah itu.” Vee masih bersikap santai, seolah itu bukan apa-apa.

“Jadi kau menggantinya?” Sean terdengar seperti sedang mengomel, matanya menatap Vee tajam dan dia sangat kesal sekaligus malu.

“Mau bagaimana lagi?”

“Kau mengganti semuanya?”

“Ya, semuanya.”

“KAU GILA HAH? APA KAU TIDAK TAHU JIKA AKU SEORANG PEREMPUAN?” Sean benar-benar mengomel dan berteriak, sikap santai Vee membuatnya semakin naik darah.

“Aku sempat ragu apakah kau seorang gadis atau bukan, tapi aku sudah memastikannya, jadi sekarang aku tahu,” celetuk Vee dengan begitu entengnya, dia tidak peduli dengan wajah Sean yang sudah merah padam karena malu dan kesal.

“APA? KAU GILA?”

“Berhenti berteriak! Jangan salah paham, kau tidak perlu khawatir! Lagi pula aku tidak tertarik,” ujar Vee masih dengan nada santai seolah tidak terjadi apa-apa. Sikap teramat tenang yang membuat Sean semakin ingin memakannya hidup-hidup.

“Kau tidak tertarik? Sungguh?” tanya Sean besar harapan.

“Ya,” Vee mengangguk mantap, tapi itu membuat Sean heran.

“Kau gay?” ceplos Sean yang membuat Vee langsung memelototinya.

“Apa? Kau bilang apa?” teriak Vee marah.

“Kau gay?” Namun, dengan polosnya Sean mengulangi pertanyaannya, dia sangat tidak peka jika Vee sedang marah.

“AKU SUDAH MENOLONGMU DAN KAU MALAH MENGATAIKU GAY?”

“Ah? Tidak tidak ... aku  tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya ... tidak tidak! Jangan usir aku!”

.

.

.

To be continued

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status