Share

Part 3

“Aku bukan gay. Sekali lagi aku mendengar kata itu, aku akan menendangmu dari sini,” ancam Vee dengan sorot mata tajam, seperti macan yang siap menerkam kelinci di hadapannya.

“Ya. Maaf,” balas Sean seraya tersenyum kikuk. Kenapa jadi dia yang salah? Vee sendiri yang mengatakan hal ambigu. Tidak tertarik? Bukankah itu sangat aneh? Jadi, wajar saja jika dia mengira Vee menyukai sesama jenis.

“Istirahatlah, ini sudah malam!” seru Vee seraya berjalan menuju pintu keluar kamar itu.

“Tunggu, em ...!” Sean memanggil Vee dan membuat pria itu menahan langkahnya.

“Kenapa?” Vee berbalik lalu bertanya.

“Apa semua barangku dirampok? Apa tidak ada yang tersisa?” tanya Sean penasaran, dan Vee langsung menggeleng.

“Tidak ada yang tersisa selain pakaian yang kau kenakan,” ujar Vee.

“Oh sial!”

“Kau mengumpat padaku?” Vee bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri, dan Sean langsung menggeleng.

“Kau mudah tersinggung,” celetuk Sean yang tidak peduli dengan ekspresi kesal Vee.

“Dan kau tidak sopan. Istirahatlah, kau harus cepat sembuh dan segera pergi dari rumahku!”

“Dasar kejam,” gumam Sean yang tidak menyadari jika Vee masih memperhatikannya.

“Kau bilang apa?”

“Tidak. Aku tidak mengatakan apa pun.”

“Iya, kau mengatakan sesuatu.”

“Tidak.” Sean terus membantah dan menggeleng kuat. Saat ini dia masih membutuhkan bantuan Vee, jadi dia tidak boleh macam-macam atau akan benar-benar ditendang dari rumah itu.

.

.

.

Hari masih sangat pagi, tapi matahari sudah bersinar terang di peradabannya.

Di depan sebuah halaman rumah di pinggir desa, Vee tengah memberi makan kuda-kudanya. Dia memiliki lima ekor kuda, dan empat di antaranya dia sewakan pada penduduk sekitar, terkadang anak-anak di tempat itu memintanya untuk mengajari mereka berkuda, dan orang tua mereka memberikan bayaran yang cukup besar untuk itu.

Sudah hampir enam bulan sejak dia melarikan diri dari istana, dan saat itu dia tidak membawa banyak harta. Dia membeli rumah dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Selain itu, dia juga harus menghabiskan banyak uang untuk membayar orang-orang yang dia suruh untuk menyelidiki kasus pembantaian keluarga Smith, keluarga dari kekasihnya yang sudah meninggal.

Mereka salah satu keluarga bangsawan di kota itu, namun kini tak tersisa satu pun karena pembantaian oleh sekelompok orang tidak dikenal. Tidak ada yang tahu pula motif dari pembantaian itu, jika itu kawanan perampok harusnya ada barang yang hilang, namun semua barang di rumah itu masih utuh. Mereka hanya mengambil nyawa.

Masih sulit bagi Vee untuk menerima kenyataan itu. Siapa yang tidak sedih saat kehilangan kekasih hanya dalam waktu satu minggu sebelum hari pernikahan? Vee sangat kehilangan, namun keluarganya seolah tidak peduli.

Tidak ada satu pun yang menghargai perasaan Vee, mereka hanya menekan Vee untuk segera menikahi gadis lain. Sangat mudah untuk diucapkan, tapi Vee tidak pernah bisa melakukannya. Baginya mendiang Irene adalah satu-satunya perempuan yang ia cintai, tidak ada yang lain.

“Semua kuda ini milikmu?”

Vee tersadar dari lamunan panjangnya saat dia mendengar suara seorang gadis dari arah belakang. Dia lantas menoleh dan menemukan Sean sudah berdiri tak jauh darinya.

“Tentu saja,” jawab Vee sambil mengangguk. “Kenapa kau bangun? Kau baik-baik saja?”

“Aku baik-baik saja. Sepertinya kau orang kaya, kudamu banyak,” ujar Sean sambil menatap kagum kuda-kuda itu.

“Ladang coklat yang di sana milikku juga.” Vee menunjuk sebuah ladang luas yang tak jauh dari rumahnya.

“Wow. Kau pamer?” tanya Sean yang membuat ekspresi Vee berubah kesal.

“Hanya menunjukkan apa yang aku punya,” ketus pria itu.

“Ah, begitu,” kata Sean sambil mengangguk pelan. “Ngomong-ngomong, aku sangat berterima kasih karena kau sudah menolongku, aku berhutang padamu.”

“Jadi mau membayar hutangmu padaku?” tanya Vee seraya melihat Sean dengan tatapan aneh.

“Tentu saja, hutang harus dibayar,” jawab Sean yakin.

“Kalah begitu, mari kita lakukan cara yang mudah saja. Aku sudah menolongku, dan sebagai gantinya kau bisa membantuku,” jelas Vee seraya melipat kedua tangannya di depan dada, dan matanya masih menatap aneh gadis di hadapannya.

“Apa yang bisa kulakukan untuk membantumu?” tanya Sean penasaran.

“Memandikan kuda-kudaku,” jawab Vee santai.

“Apa? Kau bercanda?” Sean melebarkan matanya. Dia memang pernah bekerja sebagai prajurit dan pengawal. Pekerjaaan yang lebih umum dilakukan oleh pria, tapi dia tidak pernah memandikan sendiri kudanya, oh, itu agak menjijikkan.

“Tidak mau? Kau boleh pergi dari rumahku!” seru Vee tanpa belas kasihan, dia tegas dan angkuh.

“Akh! Perutku ....” tiba-tiba Sean merintih sambil memegangi perut sebelah kanannya. Tidak serius, dia hanya mencoba berakting untuk menghindari tuntutan.

“Oh astaga, kau tertusuk di bagian kiri perutmu,” ujar Vee sambil menatap Sean datar, dia tidak cukup bodoh untuk bisa dibohongi.

“Ah, aku lupa.” Sean kembali menegakkan tubuhnya, dia tidak berhasil dan malah terlihat bodoh di depan Vee.

“Ck, sudahlah! Sebaiknya kau mandi dan ganti bajumu! Baju itu sudah kau pakai selama 12 hari,” seru Vee yang menyadari penampilan Sean yang sangat berantakan.

Sean menunduk untuk melihat dirinya sendiri, dia memang sangat berantakan. 12 hari, ugh.

“Tapi aku tidak punya baju. Seperti yang kau tahu, semua barang milikku diambil pencuri ....”

Vee berjalan menuju sebuah gerobak milik salah satu kudanya, mengambil sesuatu dari sana dan melemparkannya pada Sean bahkan saat gadis itu masih asyik berkicau.

“Pakai itu!” seru Vee dengan wajah dingin yang selalu dia tunjukan.

Sean menangkap apa yang Vee lemparkan, dan saat diperiksa ternyata itu beberapa potong pakaian, gaun lebih tepatnya. Tapi, sepertinya gaun itu terlalu bagus untuk dipakai sehari-hari.

“Apa tidak ada pakaian yang lebih biasa?” tanya Sean yang sangat menyayangkan jika dia menggunakan gaun-gaun itu hanya untuk berada di rumah.

“Aku tidak membeli pakaian murah. Pakai saja yang ada!” seru Vee malas.

“Ya, ya terserah!” Sean hanya mengangguk-anggukkan kepalanya menghadapi sikap angkuh Vee. Setelah itu dia pergi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Vee sangat menyebalkan, tapi Sean tidak boleh melakukan sesuatu yang bisa menimbulkan kecurigaan.

‘Di Inggris tidak ada prajurit apa lagi pengawal perempuan, perempuan Inggris terkesan lebih anggun dan feminim. Jadi jangan melakukan hal-hal yang membuatmu terlihat cukup pintar, jangan menggunakan pedang dan memanah jika tidak dalam kondisi darurat. Jangan berkelahi! Kau harus menjadi perempuan Inggris!’

Kata-kata jendral kembali terlintas di benak Sean. Menjadi perempuan anggun, itu sudah lama tidak pernah Sean lakukan. Tapi semoga saja dia masih ingat bagaimana caranya.

.

.

.

Sean telah selesai mandi, dia juga memeriksa luka di perutnya yang ternyata sudah mulai mengering, dan kini dia telah memakai pakaian baru yang Vee berikan. Sebuah gaun putih di bawah lutut, dengan lengan panjang dan terlihat sangat mahal. Sebelumnya Sean tidak pernah mengenakan gaun semahal itu, dan dia pikir dia menyukainya.

Setelah mengeringkan rambut, Sean mengikat sebagian rambut pirangnya ke belakang dan sebagian lagi ia biarkan tergerai, jatuh di atas gaun putihnya.

Sementara itu, di luar Vee sedang berbicara dengan Jay yang baru saja datang untuk memberikan beberapa informasi soal kasus pembantaian satu tahun yang lalu.

Jay adalah mantan pengawal Vee saat Vee masih tinggal di istana, tapi walaupun Vee melarikan diri, tapi Jay tetap setia melayani Vee sampai sekarang. Setiap hari Jay sangat bekerja keras untuk mencari informasi yang Vee butuhkan.

“Hanya itu saja? Tidak ada informasi lain?” tanya Vee pada Jay.

“Tidak ada Tuan. Ada satu nama yang aku temukan, tapi saat kuperiksa ternyata dia sudah meninggal.”

“Begitu. Kerja bagus Jay.”

“Kau juga sudah bekerja keras. Eh, kau bangun?” Jay terkejut saat dia melihat Sean keluar dari dalam rumah dengan penampilan yang sudah sangat bersih dan cantik.

Vee langsung menoleh saat mendengar suara Jay, dan seketika dia tertegun melihat penampilan Sean yang sangat berbeda dari sebelumnya. Terpesona? Mungkin iya.

Sean berlumuran darah saat pertama kali Vee menemukannya, dan selama dua minggu ini Sean tampak begitu pucat dan berantakan. Tapi, sekarang gadis itu benar-benar berbeda.

“Wow, aku tidak percaya kau akhirnya bangun. Lukamu cukup parah,” kata Jay pada Sean yang sedang berjalan menghampirinya dan Vee. “Ah iya, aku Jay, aku bekerja untuk Tuan Vee.” Jay memperkenalkan dirinya.

“Senang bertemu denganmu. Aku Sean,” balas Sean seraya tersenyum ramah dan menjabat tangan Jay.

“Senang bertemu denganmu juga, Nona Sean. Tuan, aku akan pergi, jika ada informasi baru akan segera kukabari.” Setelah berkenalan dengan Sean, Jay berpamitan pada Vee dan dia pun pergi.

Vee kembali menyibukkan dirinya dengan memberi makan seekor kelinci yang telah menjadi peliharaannya selama dua bulan. Kelinci putih yang sangat gemuk dan lucu.

“Dia kelincimu? Astaga, lucu sekali.” Sean tampak kegirangan saat dia melihat kelinci yang sedang makan, kemudian dia berjongkok di depan Vee dan mulai mengelus punggung kelinci itu dengan lembut. “Siapa namanya?” tanya Sean dengan senyum merekah karena sangat senang melihat hewan kesukaannya itu.

“Dia tidak punya nama,” jawab Vee seraya menyodorkan sebuah wortel lagi pada kelincinya.

“Kenapa tidak diberi nama? Bagaimana kau memanggilnya?” Sean bertanya, tapi tidak mendapat jawaban.

Alih-alih mendengarkan pertanyaan Sean, Vee malah fokus pada wajah gadis itu. Matanya, Vee tidak pernah melihat gadis dengan mata hijau seindah itu, berkilau dan polos, benar-benar terlihat seperti permata giok.

Vee juga tahu, Sean tidak menggunakan sedikit pun riasan di wajahnya, Sean telah kehilangan semua benda miliknya dan Vee tidak pernah punya benda-benda semacam itu. Tapi, tanpa riasan pun, wajahnya sudah sangat cantik secara alami. Kulitnya putih bersih, pipinya sedikit merona dan bibirnya berwarna kemerahan.

“Apa dia hanya dipanggil kelinci saja?” tanya Sean lagi. Dia mengangkat wajahnya lalu melihat Vee. “Kau melihatku?”

“Apa? Tidak.”

Vee langsung menggeleng dan memalingkan matanya saat ketahuan oleh Sean. Tapi, Sean tidak mempercayainya begitu saja.

“Kau melihatku, aku yakin,” kata Sean keras kepala.

“Aku hanya ingin memastikan. Dari mana asalmu? Kenapa kulitmu pucat seperti mayat?” celetuk Vee yang membuat Sean menatapnya tak senang.

“Ini yang disebut putih, kau tidak tahu? Perempuan selalu mendambakan kulit seperti ini,” ujar Sean dengan begitu percaya diri.

“Benarkah? Aku lebih suka yang gelap dan eksotis,” balas Vee sambil menyunggingkan senyuman tipis mengejek.

“Ah, baguslah. Aku bersyukur karena kau tidak akan menyukaiku, jadi aku aman.”

“Memangnya aku orang jahat?” tanya Vee kesal.

“Aku tidak mengatakan itu.” Sean menggeleng dengan wajah polosnya.

Vee mulai mengelus punggung kelincinya saat dia menyadari Sean tengah menatapnya dengan jarak yang cukup dekat. Dia kemudian menoleh pada Sean den bertanya, “apa yang kau lihat?”

Sean mengerjap kaget saat Vee bertanya, tapi itu tidak membuatnya berhenti menatap wajah Vee dari dekat. “Um begini. Di wajahmu itu, apakah itu tato asli?” tanya Sean sambil menunjuk tato di bawah mata Vee.

“Apa ini terlihat palsu?” jawab Vee dengan nada kesal dan sedikit bentakan.

“Tidak, sangat bagus, di lehermu juga ada. Hei, matamu terlihat unik, apa itu warna amber? Tampak keemasan jika diperhatikan.”

“A-apa yang kau lakukan? Menjauh dariku!” seru Vee seraya mendorong wajah Sean agar menjauh. Vee tidak tahu kenapa dia merasa gugup karena tatapan Sean yang dalam.

“Ah, maaf,” ujar Sean yang tidak menyadari jika dia melihat terlalu dekat. “Aku hanya belum pernah melihat warna mata seperti itu sebelumnya.”

“Ya, aku tahu aku tampan,” ujar Vee dengan penuh percaya diri.

Namun, Sean menggeleng saat mendengar itu, “aku tidak bilang kau tampan, hanya matamu yang bagus.”.

“Terserah!” ujar Vee seraya berdiri dengan malas. “Hei Nona Sean, kau bilang ingin membayar hutangmu padaku?” tanya Vee yang mulai membahas masalah serius.

“Iya. Tapi, jangan menyruhku memandikan kudamu, aku tidak bisa!” jawab Sean yang membuat Vee tertawa geli.

“Tidak bukan itu. Aku bisa membantumu mendapatkan pekerjaan. Ada sebuah penginapan di sekitar sini, mereka membutuhkan pekerja baru.”

“Benarkah?”

“Aku bisa mengantarmu ke sana.”

“Sungguh? Bisakah kita pergi sekarang?” Sean tampak tidak sabar. Mendapat pekerjaan adalah hal wajib agar dia bisa bertahan hidup.

Sean butuh uang untuk makan dan membeli senjata. Walaupun dia harus menjadi gadis anggun, tapi dia tetap butuh setidaknya sebuah pedang untuk jaga-jaga.

“Tentu saja. Coba kulihat,” ujar Vee seraya merapikan beberapa anak rambut yang jatuh di wajah Sean, dia menyelipkan ke telinga Sean dan tersenyum simpul. “Mereka ingin pekerja yang cantik, kau akan langsung diterima.”

“Apa pakaianku baik-baik saja?” tanya Sean ragu. Itu sudah cukup mewah bagi Sean, tapi apakah standar mewah perempuan Inggris sama dengannya?

“Tidak masalah, gaunnya sangat cocok untukmu,” jawab Vee. “Kau bisa naik kuda?”

Sean hampir saja mengangguk, tapi dia ingat jika tidak boleh tampak terlalu pintar. Perempuan Inggris jarang menunggangi kuda sendirian. “Tidak bisa,” jawab Sean seraya menggeleng.

“Baiklah, aku akan memberimu tumpangan,” ujar Vee seraya berjalan menghampiri kuda-kudanya. “Aku memilihmu.” Dia mengambil seekor kuda hitam dan membawanya ke samping Sean. “Aku akan membantumu naik.”

Sean mengangguk, dan Vee Langsung mengangkat tubuh rampingnya untuk naik ke atas punggung kuda. Sean berhasil naik, kemudian Vee duduk di belakangnya. Vee menggerakkan tali kekang dan kuda itu pun berjalan membawa dua orang penumpangnya menuju penginapan yang dimaksud.

Selama di perjalanan Sean hanya diam. Dia tidak terbiasa menunggangi kuda seperti itu, biasanya dia menungganginya sendirian dan dia yang mengendalikan, bukan berada dalam posisi seperti itu.

Sean sangat canggung karena Vee tampak sedang memeluknya dari belakang dan gadis itu harus membungkuk untuk menjaga jarak.

Menghabiskan waktu dua puluh menit untuk sampai di penginapan itu, dan setelah sampai Vee kembali membantu Sean untuk turun. Kemudian mereka pun masuk ke dalam bersama.

“Hai Monica, aku membawa seseorang untukmu,” ujar Vee pada perempuan pemilik penginapan.

“Wow, dia cantik.”

“Tentu saja.”

Vee menyuruh Sean untuk berkeliling melihat-lihat tempat itu, sementara dia berbicara dengan pemiliknya.

Hampir lima belas menit Sean berkeliling, dia bahkan sampai ke lantai atas, kemudian kembali menghampiri Vee.

“Kau sudah melihat-lihat? Bagaimana, kau suka?” tanya Monica saat Sean kembali.

“Ya, aku suka,” jawab Sean seraya mengangguk senang.

“Kalau begitu aku harus pergi. Monica akan menjelaskannya padamu,” ujar Vee seraya bangkit dari kursinya, dia tersenyum singkat pada Sean lalu pergi meninggalkan gadis itu bersama Monica.

Sean menatap punggung Vee yang semakin menjauh lalu menghilang di belokan.

“Duduklah! Aku akan menjelaskan bagaimana kau harus bekerja.” Monica menyuruh Sean duduk, dan Sean langsung menuruti permintaan calon bos-nya itu.

“Terima kasih.”

“Pekerjaanmu sangat mudah, hanya melayani tamu-tamu di tempat ini.”

“Maksudnya, aku jadi pelayan?” Sean menebak, itu pekerjaan paling umum di tempat seperti itu.

“Mungkin bisa dibilang begitu,” jawab Monica sambil mengangguk pelan.

“Aku mulai kerja jam berapa dan pulang jam berapa?” tanya Sean lagi, dia memang sangat teliti dan penuh rasa ingin tahu.

“Kau tidak akan pulang, kau harus menginap di sini!”

“Kenapa?”

“Karena Tuan Vee sudah memberikanmu padaku, dan aku sudah membayar sangat mahal padanya.”

Mata Sean menyipit sambil menatap Monica heran, “apa maksudnya? Kenapa kau membayar Tuan Vee?”

“Kasarnya, Tuan Vee menjualmu padaku. Jadi, mulai sekarang kau tidak bisa pergi dari tempat ini, kau harus menuruti semua perintahku.”

“APA?” Sean memekik dan matanya membulat. Apa dia tidak salah dengar. Vee menjualnya? Serius?

“Sudah kubilang, pekerjaanmu sangat mudah. Kau hanya harus menemani tamuku, dan melakukan apa saja yang mereka mau,” ujar Monika seraya melihat ke arah ruang tamu di mana para pria yang tampaknya sangat kaya berkumpul untuk minum dan bersenang-senang.

“M-maksudmu?”

“Kau pernah dengar istilah wanita penghibur kan?”

“Sialan. Vee!”

.

.

.

To be continued

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status