Share

Part 5

"Kau... Keparat gila..."

"Hei... Hei jangan mati! Bangun!" Vee menepuk-nepuk pipi Sean yang baru saja tak sadarkan diri. Tubuh gadis itu terkulai lemah dengan kulit yang semakin pucat dan dingin. Vee langsung memeriksa denyut nadi Sean, dan ternyata sangat lemah. Jika pendarahannya tidak segera dihentikan, Sean bisa mati.

Vee berdiri lalu berjalan untuk mengintip keadaan diluar. Suara para penjaga semakin mendekat dan dari jauh sudah terlihat cahaya dari obor yang mereka bawa.

"Sial." Vee segera menuju sudut ruangan dan mematikan satu-satunya lilin yang menjadi sumber penerangan di tempat itu. Jika gubuk itu terlihat terang maka para penjaga akan curiga. Jadi Vee membuatnya seolah-olah tidak ada siapa pun di dalam.

Derap langkah terdengar tepat di samping gubuk, para penjaga itu mencari di sekitaran sana, tapi akhirnya mereka pergi tanpa memeriksa ke dalam.

Vee pun bisa menghembuskan napas lega setelah semua penjaga pergi. Dia memeriksa keluar, dan sudah tidak ada seorangpun di sana . Tidak ada cahaya dari obor yang menyala, hanya cahaya remang-remang bulan purnama yang menembus celah dedaunan dari pohon-pohon yang lebat.

Kembali ke dalam, Vee langsung menyalakan lilin dan menghampiri tubuh Sean yang terbaring di atas tanah beralaskan tikar tua. Tubuh gadis itu semakin dingin dan ketakutan tampak kentara di wajah Vee. Bagaimana jika Sean mati?

"Bertahanlah! Ku mohon!" Vee melepaskan jubah miliknya dan ditutupinya tubuh kurus Sean dengan itu. Vee tidak bisa membawa Sean ke rumah sakit atau pulang ke rumah. Orang-orang Monica pasti akan terus mencari Sean. Wanita pemilik penginapan itu telah mengeluarkan banyak sekali uang, jadi dia pasti akan terus mencari. Jika tidak menemukan Sean, Monica akan mencari Vee dan meminta uangnya dikembalikan. Sekarang, situasinya sangat tidak aman baik untuk Sean maupun Vee. Sepertinya Vee harus membawa Sean ke tempat lain.

"Bibi..." Tiba-tiba Sean mengigau, bibir pucat itu terbuka dan menyebutkan sebuah nama, "Bibi Luna," gumamnya pelan.

"Kau bangun? Hei..." Vee mencoba berkomunikasi dengan Sean. Tapi Sean tidak bangun, dia hanya mengigau tidak jelas.

"Ben..." Tangan Sean bergerak kemudian memegang pergelangan tangan Vee. Sementara Vee hanya diam memandang Sean iba, sepertinya rasa sakit membawa Sean ke alam bawah sadarnya. "Ben, aku mau pulang," ujar gadis itu dengan suara selirih angin, sangat pelan namun jelas.

"Baik. Ayo kita pulang," balas Vee seraya membungkus tubuh Sean dengan jubah miliknya, kemudian dia mengangkat tubuh Sean dan membawanya pergi dari tempat itu.

***

Matahari tampak bersemangat untuk menunjukan dirinya di pagi musim panas Kota Oxford. Di kota pelajar itu, sekolah-sekolah dan universitas berdiri dengan kokoh. Sementara orang-orang yang tinggal di sana mulai menyibukkan diri untuk pergi belajar. Bukan hanya penduduk setempat, tak sedikit orang tua yang tanggal di kota lain mengirim anak mereka untuk sekolah di Oxford, karena bidang pendidikan di sana bisa dibilang jauh lebih unggul dari kota-kota lainnya, bahkan dari ibu kota London sekalipun.

"Selamat menikmati, Tuan," ujar seorang pedagang roti sambil memberikan bungkusan roti yang Vee pesan. Roti hangat untuk sarapan adalah yang terbaik, cuaca baik, dan semuanya tampak baik, kecuali gadis yang belum kunjung bangun sejak beberapa hari yang lalu.

Vee benar-benar membawa Sean pergi jauh. Tak tanggung-tanggung, dia menempuh perjalanan sepanjang 200 kilo meter dari London menuju Oxford untuk menghindari Monica. Wanita itu pasti akan meminta Vee mengembalikan uangnya, tapi Vee sudah menghabiskan uang itu untuk membayar Jack dan kelompoknya. Kris telah mendapatkan balasan yang setimpal, semua keluarganya dibantai habis, sama seperti bagaimana dia terlibat dalam pembantai keluarga Smith. Vee sudah mengatakannya, jika dia akan memberikan balasan yang lebih, dan itu baru permulaan. Kris hanyalah satu dari banyak kaki tangan dari dalang yang sebenarnya. Sampai saat ini, Vee belum tahu siapa yang bertanggung jawab atas semua itu, dan dia tidak akan berhenti sampai menemukan siapa pelaku yang sesungguhnya.

Sambil menikmati sarapan paginya, sesekali Vee melihat ke arah tempat tidur di mana Sean terbaring. Dia menyewa sebuah kamar penginapan untuk bisa tinggal di Oxford. Hanya satu kamar karena menyewa dua kamar akan menghabiskan lebih banyak uang. Selain itu, Vee harus sering-sering memeriksa keadaan Sean, jadi sangat merepotkan jika kamar mereka terpisah.

Luka Sean sudah membaik, tapi sampai sekarang dia belum juga bangun. Vee tidak bisa membawa Sean ke rumah sakit kare Sean tidak punya tanda pengenal, jadi dia merawatnya sendiri.

"Brengsek. Kau masih bisa makan hah?"

Vee terkejut saat dia mendengar suara Sean. Dia menoleh dan melihat Sean sudah membuka matanya walaupun masih berbaring.

"Kau bangun?" tanya Vee yang segera menghampiri Sean.

"Keparat," umpat Sean seraya menarik punggungnya lalu duduk di tepi ranjang.

"Aku tidak percaya kata pertamamu saat bangun adalah umpatan. Kenapa seorang gadis bisa berbicara kasar?" Alih-alih bertanya soal keadaan Sean, Vee malah mempertanyakan ucapan kasar Sean.

"Kenapa kau menolongku?" tanya Sean dingin.

"Aku hanya kebetulan lewat," jawab Vee yang enggan mengakui jika sebenarnya malam itu dia mencari Sean ke penginapan, tapi Sean sudah kabur.

"Kenapa tidak menyerahkanku pada Monika?" tanya Sean lagi, sebenarnya hanya buang-buang waktu saja. Tapi Sean benar-benar tidak mengerti dengan apa yang ada di dalam kepala Vee. Dia menjual Sean kemudian menolongnya lagi, untuk apa?

"Kenapa kau kabur?" Bukannya menjawab, Vee malah balik bertanya. Pertanyaan yang tidak perlu dipertanyakan, sudah jelas jika Sean tidak mau berada di tempat itu, karenanya Sean kabur.

BUG.

Tiba-tiba sebuah tinjauan mendarat di wajah Vee. Pria itu terbelalak seraya memegangi pipinya yang memerah, sementara sang pelaku hanya menatap tajam ke arahnya.

"Apa yang kau lakukan?" marah Vee yang balik menatap Sean tak kalah tajam.

"Itu balasan karena kau berbohong," jawab Sean.

"Berbohong? Kapan?" tanya Vee yang masih sangat kesal. Jika saja Sean bukan seorang wanita, dan jika Sean tidak sedang sakit, Vee pasti sudah membalasnya.

"Kapan kau bilang? Kau berlagak memberiku pekerjaan," ujar Sean dengan kekesalan yang semakin mencuat.

"Aku memang memberimu pekerjaan."

"Kau menjualku," tegas Sean yang sukses membuat Vee terdiam. "Karena kau sudah menolongku, jadi kau berhak melakukan itu? Memangnya kau siapa? Kau kakakku? Orang tuaku?" Kemarahan Sean semakin menggebu-gebu. Jika saja kondisinya sedang baik, dia pasti sudah melakukan hal yang lebih ekstrim lagi dari pada sekedar memukul wajah Vee. Sayangnya luka di perutnya masih terasa sakit jika Sean banyak bergerak.

Vee menghela napas mendengar itu, dia tidak bisa melawan karena sangat sadar akan kesalahannya. Tapi Sean baru saja memukulnya? Sebagai seorang pangeran, sejak kecil tidak ada siapa pun yang berani menyentuh wajahnya, tapi Sean? Seharusnya Sean mendapatkan hukuman berat jika menuruti hukum yang berlaku. Tapi siapa yang tahu jika Vee ternyata seorang pangeran? Pangeran Victor yang melarikan diri dari istana, dan siapa juga yang tahu jika Sean terlahir sebagai putri kerajaan Spanyol? Tidak ada yang tahu bahkan dirinya sendiri, hanya Luna lah satu-satunya manusia di bumi ini yang tahu soal rahasia besar itu.

"Dengar! Aku tidak pernah mengatakan ini pada siapa pun, tidak sekalipun. Aku minta maaf," ujar Vee seraya melihat wajah Sean yang masih pucat. Dia tidak percaya jika dia melontarkan kata itu. Sebelumnya Vee tidak pernah meminta maaf walau dia bersalah. Setidaknya itu kata yang hanya pernah Vee ucapakan pada ibunya, bahkan tidak pernah pada ayahnya sendiri.

"Aku tidak menerima permintaan maaf. Dengar ya! Jika kau berpikir aku akan pergi meninggalkanmu yang telah menjualku, kau salah besar. Berapa banyak uang yang kau terima dari Monica? Aku akan mengikutimu dan menghabsikan semua uangmu. Aku akan membuatmu jatuh miskin." Sean masih tidak punya banyak tenaga, tapi tenaganya cukup untuk mengomeli Vee panjang lebar, bahkan untuk mengancam pria itu.

"Kau gila? Aku bahkan sudah menyelamatkan hidupmu dua kali," ujar Vee kesal. Dia benar-benar berpikir jika Sean itu gadis yang sangat aneh. Orang lain akan lari dari orang jahat, tapi Sean malah berpikir untuk memerasnya.

"Kau tidak harus melakukannya dua kali jika kau tidak menjualku. Jika bukan karena ulahmu, aku tidak perlu melarikan diri dan hampir mati," balas Sean.

"Tapi sekarang kau hidup. Aku terkejut melihat ketahanan tubuhmu, kau juga sangat cepat pulih." Tiba-tiba Vee berdecak kagum mengingat bagaimana Sean bisa bertahan dengan luka separah itu.

Mendengar itu Sean hanya mendelik kesal. Tentu saja tubuh Sean lebih kuat, dia telah menjadi murid sekolah militer sejak umur 17 tahun, dan selama itu dia mendapat berbagai macam latihan yang lebih mirip penyiksaan. Jadi tubuhnya telah terbiasa dengan kekerasan. Setidaknya dia lebih kuat menghadapi serangan dibanding dengan perempuan pada umumnya.

"Itu tidak penting. Belikan aku pakaian!" seru Sean seenaknya, dan itu semakin membuat Vee berdecak kagum dengan kelakuan aneh gadis itu.

"Apa kau baru saja memerintahku?" tanya Vee sambil menyunggingkan senyuman kesal.

"Aku masih sakit, bagaimana ini?" ujar Sean dengan nada sedih yang sangat dibuat-buat. "Sudah ku bilang, aku akan menghabiskan uangmu."

"Gadis gila."

"Siapa yang lebih gila? Cepat belikan! Sudah berapa hari aku memakai baju ini?" tanya Sean sambil menunduk untuk melihat pakaiannya. Tapi matanya tiba-tiba menyipit, seingatnya dia tidak memakai baju seperti itu saat kabar, dan seharusnya ada noda darah di bagian perutnya. "Siapa yang mengganti bajuku?" tanya Sean lagi sambil melihat Vee dengan tatapan menuntut. "Jangan bilang kau melakukannya lagi!!!"

"Bajumu kotor, dan aku tidak suka melihat darah," balas Vee santai.

"Kau melakukannya lagi?" Suara Sean meninggi, dia benar-benar dibuat kesal oleh Vee yang selalu berbuat seenaknya.

"Aku menyuruh pegawai di sini untuk melakukannya. Kenapa? Kau berharap itu aku? Haha, jangan terlalu berharap, kau kurus dan tidak menarik sama sekali!"

"APA?" Sean semakin kesal, namun dia berusaha untuk menahan diri untuk tidak berteriak. Sangat percuma jika dia membuang-buang tenaganya hanya untuk mengomeli Vee. "Tapi pegawai? Apa maksudmu? Memangnya ini di mana?" tanya Sean yang baru saja menyadari jika ruangan itu memang terasa sangat asing. Bentuk dan suasananya tidak terlihat seperti rumah Vee.

"Penginapan?" jawab Vee singkat.

"Apa?" Sean terbelalak, dia langsung turun dari atas tempat tidur dan melihat ke luar jendela. "Ini di mana?" tanyanya bingung karena pemandangan di luar pun sangat asing dan tidak terlihat seperti Kota London.

"Oxford. Apa kau tidak tahu jika aku menghabiskan dua hari untuk bisa sampai ke sini, dan betapa sulitnya menjagamu untuk tetap hidup. Kau bisa aman di sini karena aku. Harusnya kau berterima kasih!"

"Tapi itu salahmu sendiri."

"Terserah! Ada beberapa pakaian di dalam lemari, kau bisa memakainya. Aku akan pergi."

***

Sore akhirnya tiba, Vee kembali ke penginapan kemudian pergi lagi keluar. Tapi kali ini dia tidak keluar sendirian, Sean mengikutinya walaupun sudah dilarang.

Sambil berjalan mengikuti Vee, Sean sibuk melihat keadaan sekitar, mengagumi semua hal yang bisa dilihatnya. Bangunan-bangunan di sana memiliki gaya yang khas dan berbeda dari bangunan di kota lain. Selain itu terdapat banyak sekolah dan perpustakaan di mana-mana, orang-orang di sana juga tampak seperti orang-orang pintar.

"Berhenti mengikutiku! Pergilah!" Seru Vee yang merasa sangat terganggu karena Sean terus mengekornya sejak tadi.

"Jangan hiraukan aku! Aku hanya perlu memeriksa apa yang bisa kulakukan di sini untuk menghabiskan uangmu," ujar Sean sambil tersenyum tipis, senyuman yang lebih terlihat seperti ejekan bagi Vee.

"Sial," umpat Vee yang kembali melanjutkan langkahnya. Namun kembali terhenti saat suara Sean terdengar.

"Apa itu Kantor Pos?" tanya Sean sambil menunjuk sebuah bangunan di pinggir gedung universitas.

"Ya," jawab Vee singkat dan malas.

"Aku ingin ke sana," ujar Sean seraya menatap Vee datar.

"Pergilah!" Seru Vee acuh.

"Kau harus ikuti denganku? Aku tidak punya uang untuk membayar biaya pengiriman."

"Kenapa aku?" tanya Vee kesal. Dia mendelik tajam ke arah Sean sambil menahan diri agar tidak menendang Sean saat itu juga.

"Aku di sini untuk uangmu," jawab Sean enteng, dan tanpa mempedulikan ekspresi Vee dia langsung menyeret Vee untuk masuk ke dalam Kantor Pos itu.

"Selamat datang, ada yang bisa kubantu?" tanya seorang pegawai saat Sean dan Vee masuk.

"Aku ingin menulis dan mengirim surat," jawab Sean sambil tersenyum ramah pada pegawai itu.

"Silahkan, kami menyiapkan kertas dan pena gratis untuk menulis."

"Benarkah?" Sean terlihat senang saat mendengar kabar baik itu.

"Tentu saja."

"Tapi, ada yang ingin kutanyakan," kata Sean sambil lebih mendekat pada si pegawai.

"Apa itu? Aku akan memberitahumu jika aku tahu."

"Kemari!" seru Sean seraya memberi isyarat agar pegawai wanita itu mendekat, kemudian Sean membisikkan sesuatu. "Berapa lama suratku akan sampai ke Amerika?"

Itulah yang Sean tanyakan, dan karena Vee tidak boleh tahu, jadi dia berbisik. Jika Vee Mendengarnya pasti pria itu akan curiga dan bertanya. Untuk apa Sean mengirim surat ke Amerika? Sementara itu, di tempatnya, Vee hanya melihat Sean dengan tatapan aneh, lagi pula dia tidak penasaran.

"Ah itu, biasanya satu bulan, bisa satu minggu saja jika menggunakan layanan express, tapi biayanya tiga kali lipat," jawab pegawai Kantor Pos.

"Kalau begitu aku akan menggunakan layanan express," ujar Sean sambil mengangguk mantap, lalu mulai menulis surat.

"Kenapa kau memilih yang mahal?" Omel Vee setelah mendengar ucapan Sean.

"Aku tidak suka yang lambat," jawab Sean seraya menunjukan senyum menyebalkan.

"Terserah!" Vee mendelik tajam, sepertinya tidak ada cara untuk menghentikan Sean.

Sean kembali melanjutkan kegiatan menulisnya, dan saat Vee melihat dia langsung menutupi kertasnya dan menulis dengan sembunyi-sembunyi. Sama persis seperti seorang murid Sekolah Dasar yang sendang mengerjakan soal ujian dan tidak mau dicontek oleh temannya.

Tidak ada habisnya, Vee terus saja dibuat berdecak oleh kelakuan aneh Sean. Antara menyebalkan dan konyol, Sean benar-benar memiliki perilaku unik yang sulit ditebak.

Setelah selesai, Sean langsung memasukkan suratnya ke dalam amplop lalu memberikannya pada si pegawai.

"Kau harus menunjukan tanda pengenal jika ingin mengirim surat!" seru pegawai itu, dan ekspresi Sean berubah. Gawat, dia tidak punya kartu identitas, karena setahunya benda itu hilang bersama barang-barang lainnya saat dia dirampok. Walaupun pada kenyataannya Vee lah yang mengambil benda itu, dan sekarang berada di London, di rumah Vee lebih tepatnya. Vee sudah tahu dari mana Sean berasal, namun Sean masih menganggap jika tidak ada satu orang pun di sana yang tahu jika dia dari Amerika.

"Aku, tidak membawanya. Memangnya tidak bisa tanpa tanda pengenal?" tanya Sean dengan wajah memelas.

"Tidak bisa, kami membutuhkannya untuk keamanan."

"Kau bisa memakai punyaku," ujar Vee yang tiba-tiba mengeluarkan tanda pengenalannya dan memperlihatkannya pada pegawai Kantor Pos.

"Tapi Tuan, harus kartu identitas milik sendiri."

"Dia istriku. Seharusnya tidak masalah kan jika aku menggunakan tanda pengenalku atas namanya?"

"Ah, iya. Maaf, aku tidak tahu jika kalian sudah menikah " Pegawai itu tersenyum canggung lalu menerima tanda pengenal milik Vee. "Sepertinya kalian pasangan baru."

"Iya, kami baru saja menikah," jawab Vee enteng, sementara Sean hanya bisa terbelalak mendengar apa yang baru saja Vee katakan.

***

To be continued

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status