Share

Bab 6. Diculik

Mendengar nama Aaron saja, membuat kepala berdenyut nyeri. Apalagi ketika berhadapan dengannya. Rosene menghembuskan napas. Menata degup jantungnya yang tidak beraturan. 

Ini tidak semudah yang ia bayangkan. Tatapan pria itu sangat menakutkan. Ternyata apa yang ia dengar tentang Aaron bukan hanya rumor semata. 

Iblis berwajah malaikat. Perumpamaan itulah yang cocok buat Aaron. Rencana yang telah ia susun dengan matang, harus berjalan lancar. Dan semoga saja, Aaron memakan umpan yang ia berikan. 

Rosene memandang wajahnya sendiri di cermin. Tangannya meremas pinggiran westafel. Ini tidak seperti dirinya. Gugup dan takut. Tapi ia harus menyelamatkan Melanie. 

"Aku harus bersiap."

Rosene memasang kembali lensa kontak yang sudah ia lepas. Jangan sampai kelemahan yang satu ini terlihat oleh orang luar apalagi bila sampai ketahuan oleh anggota klan Dare Devil. 

Mobil berhenti. Ben turun terlebih dahulu lalu membukakan pintu untuk sang Tuan. Aaron menapakkan kaki ke tanah. Rumah sederhana terlihat oleh mata yang tertutup kacamata hitam. 

"Silakan, Tuan." Fabio menyambut kedatangan Aaron. Mucikari papan atas itu sangat senang saat Ben menghubunginya. Meski Fabio sedikit kesulitan karena kemauan Aaron kali ini yang menginginkan wanita biasa.

Begitu masuk, baik Aaron maupun Ben tidak  melihat adanya wanita. Malahan pria dengan rambut putih duduk di sigle sofa. 

"Di mana wanitanya?" tanya Aaron yang sudah tidak sabar. 

"Maaf, Tuan. Sudi kiranya Tuan menunggu sebentar, gadis itu masih berada di universitas." Fabio menjawab. 

"Dia masih bersekolah?" 

"Sesuai yang Anda inginkan, Tuan." Kemudian Ben mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga Aaron. Pria itu pun, menyunggingkan senyum lalu memandang pria tua di hadapannya. Itu pasti ayah dari anak gadis itu. 

"Selagi menunggu, silakan duduk dulu, Tuan. Mari bernegosiasi sebentar," ucap Fabio. Aaron duduk sementara Ben berdiri di dekatnya. 

"Berapa harga yang kau inginkan?" Aaron memulai percakapan. 

"Putri saya sangat berarti bagi saya. Jadi saya ingin nilai yang pantas." 

Aaron mendengkus mendengarnya. "Berarti, tapi dijual." Aaron menyindir. Pria itu malah terkekeh. Ia tahu, saat ini dirinya tengah berhadapan dengan pria mata duitan. 

"Saya dengar Anda salah satu pemilik kartu hitam terbanyak di negara ini, bagaimana jika salah satunya untuk saya. Sebagai gantinya, putri saya untuk Anda."  

Ben tidak percaya ini. Begitu juga dengan Aaron. Ini namanya pemerasan. Tak tahukah dia berapa nominal uang dalam satu kartu itu. Bisa untuk membeli satu buah pulau. 

Dan bila untuk membeli satu orang wanita, ia rasa itu sangat berlebihan. Lagipula wanita itu belum pasti sesuai dengan selera Aaron, tak peduli ia masih perawan. Tetapi Aaron tidak suka dilawan. 

"Ben," panggil Aaron. 

"Ya, Tuan." 

"Bereskan, buat seperti bunuh diri." 

Pria tua itu terkesiap. Fabio juga begitu. Ia sudah mewanti-wanti untuk menjaga cara bicaranya di depan Aaron. Sekarang pria itu sudah marah dan ini bahaya. 

"Tuan." Fabio menegur. "Tolong pertimbangan kembali, Tuan ini hanya salah bicara saja." Fabio mencoba membujuk Aaron. 

"Kau teledor." 

"Maafkan saya, Tuan." Fabio malah berlutut dan membuat pria tua itu kaget. Siapa Aaron ini sampai-sampai bangsawan seperti Fabio merendahkan dirinya di hadapan pria itu. Aaron merunduk, ia tepuk pundak pria usia empat puluh tahunan itu.

"Aku beri kesempatan, bawa gadis itu padaku dan bereskan pria mata duitan itu." 

Setelah mengatakan itu. Aaron berlalu dari hadapan Fabio. Ia tepuk pundak pria itu sekali. Kemudian memberikan kode pada Ben. Sang eksekutor bergerak maju. Senjata di balik jas ditarik. Pria tua itu melotot. 

Dorr! 

Mata Fabio terpejam. Ini bukan pertama kalinya harus mengurus permasalahan seperti ini. Semua gara-gara pria itu, andai bisa lebih menahan diri sedikit. Pasti tidak akan seperti ini. 

"Buang-buang waktu saja." Ben mendengkus kemudian pergi menyusul Aaron. Mesin dinyalakan. Mobil mewah itu kembali bergerak menjauhi bangunan rumah tua itu. 

Bangunan ini tidak luas, terdapat ruang tamu yang menyatu dengan ruang televisi, satu kamar dan dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi. Rosene tidak perlu rumah yang besar karena ia tidak akan lama. 

Ia sengaja tidak menyusun pakaian dalam lemari. Karena ia tidak butuh itu. Rumah sewa ini juga ia bayar untuk satu bulan. Tengah sendirian begini barulah ia merasakan sesuatu, perasaan yang tidak pernah ia rasa sebelumnya. 

"Melanie, apa yang tengah gadis bodoh itu lakukan sekarang." Tak pernah sebelumnya Rosene merasa kesal dan rindu secara bersamaan. Ia usap bingkai berisi potret dirinya dan Melanie. Benda itu ia ambil dari kamar Melanie secara diam-diam. 

"Semoga saja dia tidak bertindak gegabah."  

Tas ransel menjadi tempat penyimpanan bingkai itu. Rosene berusaha untuk terlelap. Baru saja tertidur, terdengar suara derap langkah sepatu boot di luar kamar. Ini tidak seperti dugaannya. Terlalu cepat. 

Brakkk! 

Rosene tersentak dan langsung terduduk di tepi ranjang. Satu orang bertopeng masuk disusul dua orang lainnya. Tidak, mereka ada banyak. Jantung Rosene berdetak kencang.  

Satu orang yang berada di depan, menggerakkan jarinya. Otomatis orang yang di belakangnya menyergap maju. Rosene hendak berteriak namun, satu orang langsung membekap mulutnya dengan sapu tangan. 

"Mmmpphh!" Rosene memukul tangan itu. Harusnya ia dengan mudah melakukan perlawanan, tetapi ini bukan peperangan jadi ia tidak akan melakukan itu. 

Ia justru menantikan ini. Rosene harus mengikuti alurnya. Aroma di terdapat di sapu tangan, membuat kepalanya seketika berputar. Pandangan mulai buram sebelum akhirnya gelap. 

Ketua dari kelompok itu membuka topeng. Berjalan maju mendekati Rosene yang tengah tak sadarkan diri. "Dia cantik, pasti Tuan akan suka, cepat bawa dia. Jangan berani sentuh. Dia milik Tuan." Diego memberikan perintah. 

"Baik, Tuan." 

Selesai memberi perintah, Diego merogoh saku jaket dan melakukan panggilan. Sebuah laporan diberikan. 

"Misi selesai." 

Ben mengangguk lalu mengakhiri panggilan. Ia menghampiri sang Tuan yang tengah berada di sebuah ruang VVIP sebuah restoran. Setelah mendapat bisikan dari Ben, Aaron segera mengakhiri pertemuannya dengan Vendor. 

Tidak sabar untuk melihat hasil buruan yang didapat anak buahnya. Aaron memberi perintah pada sopir untuk menambah kecepatan. Mobil melaju kencang.

 Sampai di Mansion. Diego menyambutnya. Pria itu memberikan sambutan. "Kerja bagus, kalian boleh bersenang-senang." 

"Terimakasih, Tuan." 

Aaron langsung masuk saja, ia tak butuh berbasa-basi karena ingin melihatnya secara langsung. 

"Di mana dia?" 

"Silakan, Tuan." Berta kepala pelayan memberi jalan pada Aaron untuk masuk ke dalam kamar di mana Rosene berada. Saat Aaron masuk, wanita itu belum juga sadar. Aaron berdecak sebal, karena ia tidak bisa langsung menikmatinya. 

Ia memandang orang kepercayaannya, "buat dia bangun!" titah Aaron. 

"Baik, Tuan." Ben memandang Berta, jelas wanita itu tahu apa yang harus ia lakukan, ia berjalan ke arah laci, sebuah alat kejut listrik dikeluarkan dari sana. 

Alih-alih menyiramnya dengan air. Aaron lebih suka menggunakan alat itu. Berta mendekati Rosene yang telah tertidur pulas. Tombol ditekan, kemudian ditempelkan ke pinggang. 

"Arrgghhh!" 

Ahza Rumaisha

Welcome to My book

| Like
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Azzam Ramadhan
waduh disetrum
goodnovel comment avatar
FeeatyNur
Ya ampun disetrum
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status