Share

Bab 6. Diculik

last update Last Updated: 2023-01-01 20:10:48

Mendengar nama Aaron saja, membuat kepala berdenyut nyeri. Apalagi ketika berhadapan dengannya. Rosene menghembuskan napas. Menata degup jantungnya yang tidak beraturan. 

Ini tidak semudah yang ia bayangkan. Tatapan pria itu sangat menakutkan. Ternyata apa yang ia dengar tentang Aaron bukan hanya rumor semata. 

Iblis berwajah malaikat. Perumpamaan itulah yang cocok buat Aaron. Rencana yang telah ia susun dengan matang, harus berjalan lancar. Dan semoga saja, Aaron memakan umpan yang ia berikan. 

Rosene memandang wajahnya sendiri di cermin. Tangannya meremas pinggiran westafel. Ini tidak seperti dirinya. Gugup dan takut. Tapi ia harus menyelamatkan Melanie. 

"Aku harus bersiap."

Rosene memasang kembali lensa kontak yang sudah ia lepas. Jangan sampai kelemahan yang satu ini terlihat oleh orang luar apalagi bila sampai ketahuan oleh anggota klan Dare Devil. 

Mobil berhenti. Ben turun terlebih dahulu lalu membukakan pintu untuk sang Tuan. Aaron menapakkan kaki ke tanah. Rumah sederhana terlihat oleh mata yang tertutup kacamata hitam. 

"Silakan, Tuan." Fabio menyambut kedatangan Aaron. Mucikari papan atas itu sangat senang saat Ben menghubunginya. Meski Fabio sedikit kesulitan karena kemauan Aaron kali ini yang menginginkan wanita biasa.

Begitu masuk, baik Aaron maupun Ben tidak  melihat adanya wanita. Malahan pria dengan rambut putih duduk di sigle sofa. 

"Di mana wanitanya?" tanya Aaron yang sudah tidak sabar. 

"Maaf, Tuan. Sudi kiranya Tuan menunggu sebentar, gadis itu masih berada di universitas." Fabio menjawab. 

"Dia masih bersekolah?" 

"Sesuai yang Anda inginkan, Tuan." Kemudian Ben mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga Aaron. Pria itu pun, menyunggingkan senyum lalu memandang pria tua di hadapannya. Itu pasti ayah dari anak gadis itu. 

"Selagi menunggu, silakan duduk dulu, Tuan. Mari bernegosiasi sebentar," ucap Fabio. Aaron duduk sementara Ben berdiri di dekatnya. 

"Berapa harga yang kau inginkan?" Aaron memulai percakapan. 

"Putri saya sangat berarti bagi saya. Jadi saya ingin nilai yang pantas." 

Aaron mendengkus mendengarnya. "Berarti, tapi dijual." Aaron menyindir. Pria itu malah terkekeh. Ia tahu, saat ini dirinya tengah berhadapan dengan pria mata duitan. 

"Saya dengar Anda salah satu pemilik kartu hitam terbanyak di negara ini, bagaimana jika salah satunya untuk saya. Sebagai gantinya, putri saya untuk Anda."  

Ben tidak percaya ini. Begitu juga dengan Aaron. Ini namanya pemerasan. Tak tahukah dia berapa nominal uang dalam satu kartu itu. Bisa untuk membeli satu buah pulau. 

Dan bila untuk membeli satu orang wanita, ia rasa itu sangat berlebihan. Lagipula wanita itu belum pasti sesuai dengan selera Aaron, tak peduli ia masih perawan. Tetapi Aaron tidak suka dilawan. 

"Ben," panggil Aaron. 

"Ya, Tuan." 

"Bereskan, buat seperti bunuh diri." 

Pria tua itu terkesiap. Fabio juga begitu. Ia sudah mewanti-wanti untuk menjaga cara bicaranya di depan Aaron. Sekarang pria itu sudah marah dan ini bahaya. 

"Tuan." Fabio menegur. "Tolong pertimbangan kembali, Tuan ini hanya salah bicara saja." Fabio mencoba membujuk Aaron. 

"Kau teledor." 

"Maafkan saya, Tuan." Fabio malah berlutut dan membuat pria tua itu kaget. Siapa Aaron ini sampai-sampai bangsawan seperti Fabio merendahkan dirinya di hadapan pria itu. Aaron merunduk, ia tepuk pundak pria usia empat puluh tahunan itu.

"Aku beri kesempatan, bawa gadis itu padaku dan bereskan pria mata duitan itu." 

Setelah mengatakan itu. Aaron berlalu dari hadapan Fabio. Ia tepuk pundak pria itu sekali. Kemudian memberikan kode pada Ben. Sang eksekutor bergerak maju. Senjata di balik jas ditarik. Pria tua itu melotot. 

Dorr! 

Mata Fabio terpejam. Ini bukan pertama kalinya harus mengurus permasalahan seperti ini. Semua gara-gara pria itu, andai bisa lebih menahan diri sedikit. Pasti tidak akan seperti ini. 

"Buang-buang waktu saja." Ben mendengkus kemudian pergi menyusul Aaron. Mesin dinyalakan. Mobil mewah itu kembali bergerak menjauhi bangunan rumah tua itu. 

Bangunan ini tidak luas, terdapat ruang tamu yang menyatu dengan ruang televisi, satu kamar dan dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi. Rosene tidak perlu rumah yang besar karena ia tidak akan lama. 

Ia sengaja tidak menyusun pakaian dalam lemari. Karena ia tidak butuh itu. Rumah sewa ini juga ia bayar untuk satu bulan. Tengah sendirian begini barulah ia merasakan sesuatu, perasaan yang tidak pernah ia rasa sebelumnya. 

"Melanie, apa yang tengah gadis bodoh itu lakukan sekarang." Tak pernah sebelumnya Rosene merasa kesal dan rindu secara bersamaan. Ia usap bingkai berisi potret dirinya dan Melanie. Benda itu ia ambil dari kamar Melanie secara diam-diam. 

"Semoga saja dia tidak bertindak gegabah."  

Tas ransel menjadi tempat penyimpanan bingkai itu. Rosene berusaha untuk terlelap. Baru saja tertidur, terdengar suara derap langkah sepatu boot di luar kamar. Ini tidak seperti dugaannya. Terlalu cepat. 

Brakkk! 

Rosene tersentak dan langsung terduduk di tepi ranjang. Satu orang bertopeng masuk disusul dua orang lainnya. Tidak, mereka ada banyak. Jantung Rosene berdetak kencang.  

Satu orang yang berada di depan, menggerakkan jarinya. Otomatis orang yang di belakangnya menyergap maju. Rosene hendak berteriak namun, satu orang langsung membekap mulutnya dengan sapu tangan. 

"Mmmpphh!" Rosene memukul tangan itu. Harusnya ia dengan mudah melakukan perlawanan, tetapi ini bukan peperangan jadi ia tidak akan melakukan itu. 

Ia justru menantikan ini. Rosene harus mengikuti alurnya. Aroma di terdapat di sapu tangan, membuat kepalanya seketika berputar. Pandangan mulai buram sebelum akhirnya gelap. 

Ketua dari kelompok itu membuka topeng. Berjalan maju mendekati Rosene yang tengah tak sadarkan diri. "Dia cantik, pasti Tuan akan suka, cepat bawa dia. Jangan berani sentuh. Dia milik Tuan." Diego memberikan perintah. 

"Baik, Tuan." 

Selesai memberi perintah, Diego merogoh saku jaket dan melakukan panggilan. Sebuah laporan diberikan. 

"Misi selesai." 

Ben mengangguk lalu mengakhiri panggilan. Ia menghampiri sang Tuan yang tengah berada di sebuah ruang VVIP sebuah restoran. Setelah mendapat bisikan dari Ben, Aaron segera mengakhiri pertemuannya dengan Vendor. 

Tidak sabar untuk melihat hasil buruan yang didapat anak buahnya. Aaron memberi perintah pada sopir untuk menambah kecepatan. Mobil melaju kencang.

 Sampai di Mansion. Diego menyambutnya. Pria itu memberikan sambutan. "Kerja bagus, kalian boleh bersenang-senang." 

"Terimakasih, Tuan." 

Aaron langsung masuk saja, ia tak butuh berbasa-basi karena ingin melihatnya secara langsung. 

"Di mana dia?" 

"Silakan, Tuan." Berta kepala pelayan memberi jalan pada Aaron untuk masuk ke dalam kamar di mana Rosene berada. Saat Aaron masuk, wanita itu belum juga sadar. Aaron berdecak sebal, karena ia tidak bisa langsung menikmatinya. 

Ia memandang orang kepercayaannya, "buat dia bangun!" titah Aaron. 

"Baik, Tuan." Ben memandang Berta, jelas wanita itu tahu apa yang harus ia lakukan, ia berjalan ke arah laci, sebuah alat kejut listrik dikeluarkan dari sana. 

Alih-alih menyiramnya dengan air. Aaron lebih suka menggunakan alat itu. Berta mendekati Rosene yang telah tertidur pulas. Tombol ditekan, kemudian ditempelkan ke pinggang. 

"Arrgghhh!" 

Ahza Rumaisha

Welcome to My book

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Azzam Ramadhan
waduh disetrum
goodnovel comment avatar
FeeatyNur
Ya ampun disetrum
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • The Mafia: Last Mission    Bab 117. Sumpah Rosene

    Seorang pria botak dengan gambar ular melingkar di lehernya tengah menatap penuh kemenangan. Rosene pernah melihat wajah itu beberapa kali karena dia cukup terkenal di dunia bawah. Frank–tangan kanan sekaligus orang kepercayaan Luis–pemimpin Black Devil. Pria dengan sejuta talenta dan pandai mengendalikan berbagai macam senjata. Didukung oleh kemampuan beladiri yang cukup tinggi. Dia setara dengan Ben yang dimiliki Dare Devil. Sial sekali, Rosene bertemu pria ini di sini. "Siapa mereka, Tuan?" tanya salah satu anak buah. "Dasar bodoh, kalian tidak lihat. Mereka wanita. Selama ini Tuan selalu membutuhkan wanita. Karena di sini tidak ada wanita cantik sebaiknya kita bawa mereka." "Tapi, Tuan. Mereka sedang mengandung." Si pria botak mengalihkan pandangan pada perut kedua wanita di hadapannya. "Itu bukan masalah besar, bukankah wanita hamil memiliki rasa yang sedikit berbeda. Aku rasa Tuan tidak masalah." Telinga Rosene memanas, begitu juga hati dan pikirannya seolah terbakar amara

  • The Mafia: Last Mission    Bab 116. Penguasa Pulau

    Lupakan sejenak soal pencarian calon mempelai pengantin yang hilang. Kini saat Aaron kembali fokus pada tujuan klan yaitu, menjadi penguasa dunia bawah. Sudah tidak diragukan lagi. Informasi yang Nick berikan memang sangat akurat. Aaron cukup puas dengan kinerja anak buahnya yang satu ini. Dan menurut Aaron, Nick adalah salah satu bawahan yang paling berpengaruh besar terhadap stabilitas wilayah kekuasaan Dare Devil karena posisinya sebagai agen rahasia. "Kerja bagus, Nick," kata Aaron dengan kedua tangan memegangi teropong yang dia tempelkan di dekat kedua mata. Nampak aktifitas yang dilaporkan Nick tengah berlangsung saat ini. Dan Aaron sangat benci dengan para penghianat. "Jadi apa kita langsung serang saja, Tuan?" Ben meminta persetujuan dari atasannya. "Kita bagi dua tim," kata Aaron. "Bukankah Nick bilang mereka memiliki markas rahasia di Pulau Lemnos? Kita harus serang secara bersamaan. Dan buat mereka terkejut dengan aksi kita." "Baik, Tuan." Mendapat perintah begitu, Be

  • The Mafia: Last Mission    Bab 115. Sebuah Pulau

    Ini pertama kalinya Janeth berkunjung di kediaman resmi seorang Aaron Salvatore. Janeth jelas tidak tahu alasannya dipanggil kemari. Namun, saat di perjalanan Ben melakukan sesuatu yang perlahan mulai membuatnya mengerti. Dari memerintahkan dirinya untuk berganti pakaian dan berias. Jelas saja pikiran Janeth tidak jauh-jauh soal itu. Dan benar saja. Begitu sampai, Ben langsung menggiringnya menuju kamar pribadi pria itu. Namun, sebelum itu Ben harus memberikan peringatan kepada wanita itu. "Aku peringatkan, sebaiknya jangan mengeluarkan kata-kata apapun." Janeth melihat Ben. Tatapannya menyiratkan sebuah pertanyaan. Dan Ben perlu menjawab itu. "Kau akan tahu setelah berada di dalam. Terakhir kali aku mengingatkanmu, jaga bicaramu." "Ya baiklah." Pintu dibuka, Janeth melangkah memasuki kamar sang Tuan. Aroma maskulin seketika menguar. Aroma yang sedikit asing bagi Janeth, atau karena ia terlalu terobsesi dengan aroma parfum Jack. Hanya sekedar mengingatkan kalau Janeth belum bisa

  • The Mafia: Last Mission    Bab 114. Bermain Dengan Janeth

    Secara pribadi, Aaron memang tidak membenci pria ini. Hanya saja ia enggan saling berhadapan seperti ini. Terlebih mengingat apa yang pernah dia lakukan terhadap dirinya dan ibunya. Aaron tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata. Terlalu panjang dan rumit. Dan semua terjadi begitu saja tanpa bisa dicegah. Aaron tumbuh tanpa sosok seorang ayah. Wajar kalau dia jadi membenci sosok itu karena kejadian di masalalu. "Aaron, aku dengar Mommymu sakit. Jadi aku datang kemari." "Bagaimana kau bisa tahu." Aaron mendengkus. Ini pasti karena si mulut ember Markus. "Dia bukan hanya sakit, tapi tengah koma." Mathius menutup mulutnya yang terbuka. Ia memang telah mendengar tentang penyakit istri pertamanya. Dan ia turut prihatin atas hal itu, bagaimanapun ia pernah menjalin kasih dengan wanita itu. Terlebih telah diberi anak bersama. "Nak, izinkan aku melihatnya?" "Kami tidak ada lagi hubungan denganmu."Mathius sudah menduga ia akan mengalami penolakan. Tetapi ia tidak akan menerimanya begitu s

  • The Mafia: Last Mission    Bab 113. Koma

    Aaron melepaskan tembakan sebanyak dua kali dan membuat sang wanita terkapar dengan luka tembak di perut. Ia benci wanita yang lebih banyak bicara dari pada kerja, tidak tahu diri, dan juga serakah. Mendengar suara tembakan, Ben segera melesat masuk dan seketika terdiam melihat pemandangan yang tersedia di depan mata. Aroma anyir darah menyeruak memasuki indera penciumannya. Tak perlu bertanya mengapa Aaron melakukannya. Rupanya sang wanita panggilan telah mengabaikan peringatannya dan membuat Aaron kesal. Sudah dia bilang kalau Aaron tengah sensitif saat ini. "Lain kali, cari tahu dulu sebelum mencari wanita. Aku benci wanita yang suka menjelekkan wanita lain. Ckkk beraninya dia menghina kekasihku." Aaron melemparkan senjata apinya di sofa lalu ia kembali menjatuhkan diri di sana. "Kalian cepat bereskan ini. Buang mayatnya di tempat biasa." Ben memberi perintah pada bawahannya. Dua orang penjaga yang siap siaga di depan kamar Aaron segera masuk setelah mendapat perintah. "Aku bu

  • The Mafia: Last Mission    Bab 112. Kebiasaan Lama

    Kebiasaan lama itu kambuh. Semenjak ada Rosene, Aaron bahkan tidak pernah menginginkan wanita lain di ranjangnya. Cukup dengan Rosene yang bisa memuaskannya. Aaron tidak butuh wanita lain lagi. Bahkan karena saking cintanya, ia menuruti perintah wanita itu membubarkan haremnya. Sejak saat itu, Aaron mulai serius terhadap hubungannya dengan Rosene. Ia mulai memberikan perhatian yang tak biasa ia berikan pada wanita lain. Mencintai, menyayangi dan untuk pertama kalinya jantung Aaron berdebar saat sedang bersama wanita, yaitu Rosene. Itu sebabnya ia yakin untuk memperistri wanita itu. Namun, lihatlah apa yang dia perbuat. Wanita itu justru mempermainkannya, membuatnya malu dan juga marah. Dengan cara lari dari pernikahan. Hidupnya kacau setelah wanita itu pergi. Tidak peduli soal klan, dan mengabaikan masalah pekerjaan. Aaron terlihat sangat prustasi. Kini Ben dan yang lain mengerti, begitu besar pengaruh Rosene bagi kehidupan pemimpin mereka. Dan ini pertama kali mereka melihat tuann

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status