Share

Bab 6. Arga yang Baru

"Seringkali kekuatan terbesar justru malah datang dari sebongkah dendam yang tak kunjung mendapat perhatian."

Mereka lupa dan sudah bersikap lengah  bahwa orang-orang korban mati dahulu, ataupun keturunannya, bisa saja membalas dendam sewaktu-waktu.

Arga dan Maya diantaranya!  

Kini Arga jauh lebih muda dan kuat. Dia menelusuri masa lalu dengan perlahan di kediamannya yang kini besar dan mewah.  Arga menyadari satu keuntungan yang dia dapat, karena akibat proses reinkarnasi yang dia alami sekarang. 

"Barangkali ... hmm enggak,  ini pasti  ... Ya pasti adalah takdir dari-Nya.  Jalan dari Allah SWT untuk membalaskan dendam bangsa Bumintara ini!" Arga tersenyum getir.  

Arga memandangi perawakannya yang kini sempurna di cermin besar di kamarnya.  Sementara itu buku yang anehnya tidak rusak dan hanya berjamur parah,  tapi tulisannya masih bisa terbaca itu, ada di tangan kirinya. 

"Bagaimana bisa,  rumah Ayah ibuku yang terbuat dari bahan pilihan yang kuat malah rusak,  sedangkan buku yang rapuh ini justru masih utuh? Dia berada dalam perlindungan genggaman kerangka tanganku sendiri selama lima tahun.  Ya Alloh, terimakasih,  semua ini pasti terjadi atas ijin-Mu."

Arga tersenyum terharu.  Hatinya menghangat,  mengingat kasih Dia kepadanya.  Dipandanginya buku itu sekali lagi.  Dilihatnya tubuh dan wajahnya sendiri di cermin.  Arga merasakan air mata hangat menuruni pipi mulusnya. 

Arga kembali mengingat pesan terakhir ayahnya dahulu sebelum meninggal.  Deraian air mata membasahi mata dan hati pemuda yang kini bertubuh jangkung ini.  Mengingat betapa ayahnya dulu sangat kesakitan saat akhir menjelang nyawanya menghilang.  

("Arga,  bertahanlah hidup,  Nak.  Coba kau pakai masker pelindung rancangan ayah seadanya di kamar kerja.  BALASKAN DENDAM masyarakat sesama kita yang miskin dan terbunuh ini,  Arga!  Jangan me...  nye... rah! Ibu ...  Arga. Maaf ...  kan ayah,  tak bisa melindungi kita semua ya?" 

Tubuh pria tua itu menggelepar,  seperti mendapat serangan jantung hebat. Lalu tubuhnya semakin berkurang getarannya, sampai akhirnya benar-benar terdiam untuk selamanya.)

'Ayah, Arga akan membalaskan semua rasa sakit hati keluarga kita dan semua tetangga juga bangsa Bumintara. Arga akan kasih pelajaran ke orang-orang kaya yang tak bermoral dan tidak mempunyai hati itu.  Harga paham bahwa Allah ada di pihak kita Ayah.  Buktinya Arga dikasih kesempatan untuk hidup sekali lagi. Alloh Huakbar! Alloh Huakbar!'

Arga mengusap kembali air matanya yang tak henti menetes di pipinya yang putih mulus. Air mata yang selama lima tahun tertahan karena ketiadaan nyawanya sendiri. Kepergian nyawa dari raga yang sama sekali tak diinginkannya. Miris!  

'Ibu!  Arga mohon restumu.  Apa yang ibu katakan dahulu selalu benar. Kaulah inti dari kebenaran semua kehidupan Ibu.'

Arga jadi teringat kisah  pilu itu kembali. Kisah tentang wanita kesayangan, cinta pertama dalam hidup seorang anak lelaki sulung. Kisah horor yang paling menakutkan sekaligus menyedihkan, kembali mengoyak hati dan pikirannya. Kenangan sedih saat wanita yang  paling disayanginya itu tersiksa meregang nyawa.  

("Pergilah,  Arga huhuhu.  Ambil masker pelindung yang ayahmu buat. Tunaikan rasa dendam kita semua.  Huhuhuhu hiks.")

Arga memukul-mukul dadanya sendiri, berharap rasa sesak itu segera pergi melenyap.  Tetapi justru perasaannya terasa makin kalut. Rasa marah,  bingung, sedih,  kangen pada bapak ibu dan adik,  bercampur jadi satu.  

Ada satu nasehat dari ibu Arga yang begitu membekas di benak pemuda, yang sekarang  menghuni tubuh bagus berparas tampan ini. Yaitu 'Tidak ada yang benar-benar berakhir sampai semua memang sudah berakhir'. Arga kini memahaminya dengan sangat jelas dan bersyukur. Ini saatnya dia 'memulai'nya lagi, hal yang belum benar-benar berakhir itu. Arga akan mengakhirinya sekuat jiwa dan raga. 

("Tak apa-apa, Nak. Tidak ada yang benar-benar berakhir sampai semua memang sudah berakhir.  Ada kesempatan membalikkan keadaan dalam setiap detik.  Berusahalah keras sampai detik akhir dalam hidup ... mu. Sel ... lamat ting ...  nggal anakku,  Arga, keep fighting! Allohu Akbar!")

("Ibuuuuuu! Maafkan Arga Ibu! Andai ada kesempatan, aku akan balaskan dendam ini. Sayangnya Arga juga merasa nyawa ini segera meninggalkan raga. Andai keajaiban terjadi, Arga akan membalaskan dendam kita semua.") 

Itu dahulu saat Arga makin melemah dan kehilangan nyawa juga akhirnya. 

Kini semua akan dibalaskan, dituntaskan dendam dan  dijungkirbalikkan, oleh Arga. Siapapun dan setangguh apapun si tujuh penguasa itu, Arga tak akan gentar. 

'Rawe-rawe rantas. Malang-malang putung. Vini vidi vici! Yeah, semangat Arga!' Arga mengacungkan tangan kanannya ke atas dengan jemari yang terkepal erat. Seulas senyum manis menghiasi bibirnya yang tipis indah sempurna.

***

Hari-hari penuh harapan kini pun mulai dianyam si anak manusia bernama Arga ini. Dia bersemangat sekali, seakan waktu sedetikpun tak akan dibuangnya percuma.

 

Arga juga uniknya mempunyai hobi baru yang bisa dibilang orang-orang lain yang melabelinya  sebagai perilaku narcis, alias kagum pada penampilannya sendiri. Padahal bukan begitu maksud Arga sesungguhnya. 

Seperti sekarang, lagi dan lagi, setelah asyik merenung, Arga  memandangi wajah dan tubuhnya lagi.  Dia diam-diam merasa kagum. Betapa keajaiban itu benar-benar terjadi nyata di dunianya kini. Tubuh tegap tinggi sempurna, tulang yang besar dan kuat, dan wajah setampan ini, benarkah kini jadi miliknya?

Bersyukur tiada habis atas kesempatan kedua dan anugerah-Nya dan dia sungguh berniat menggunakannya secara optimal, itulah sesungguhnya isi hati Arga. Dia takjub dengan karunia-Nya yang dulu dipikirnya mustahil akan terjadi.

"Terima kasih ya Alloh,  kau telah memberikanku satu kesempatan melalui tubuh baru dan menawan ini. Aku tahu ... mungkin aku akan terlalu serakah ke depan. Salahkah aku? Ah lagi-lagi aku serakah berani meminta kepada-Mu. Restui aku, bimbing dan mudahkan jalanku, untuk berjuang mendapatkan hak keadilan atas nama orang-orang yang tersia-sia nyawanya. Ampuni rasa dendamku, ya Alloh. Aku tak kuasa mengenyahkannya, tak rela rasanya melihat tujuh penguasa tertawa dalam kejayaan selama bertahun-tahun belakangan ini. Meninggalkan berjuta nyawa yang tak tahu apa-apa sebagai tumbalnya."

Arga mengangguk tegas sambil tersenyum getir.  Dia bertekad akan menuntaskan dendam ini. Tak akan ditundanya lagi. Dia akan segera bergerak!

"Hai ... tujuh penguasa. Para manusia  laknat! Segera tunggu   kedatangan Arga ini dan jangan jumawa terus menikmati harta penuh darah itu! Ada saatnya kau tertawa tapi kini akan kubuat kau menangis darah di bawah kakiku! Tunggu tanggal mainnya!" 

***

Di tempat yang berbeda, Maya nampak seperti biasa.  Cantik, cerdas, energik, penuh pemikiran dan konsentrasi pada apa yang sedang dicarinya. Dia tetap berpendirian teguh menumbuhkan dendam atas kematian Sando kekasihnya pada tujuh penguasa.

Dia tetap tak bisa mengenyahkan rasa cinta remajanya dulu. Cinta pertama pada kak Sando yang sangat manis dan berharga. Waktu lima tahun tak juga mampu membuat Maya beralih hati meski belasan lelaki menawan mendekatinya.

Maya hanya ingin kekasihnya meninggal dengan tenang di sana. Bagaimanapun caranya, dia akan membalaskan ini semua, walaupun artinya itu juga akan melawan papanya sendiri. 

"Sayangku, Maya. Kenapa kau begini terus, Nak? Apa yang merisaukan hatimu? Pilih salah satu pria itu dan menikahlah, ya?" 

***

riwidy

Wah Arga mulai mengagumi dirinya yang beraga baru.

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status