Xavion meregangkan tangan ke atas. Sekujur tubuh dirasa sangat lelah setelah seharian menghdiri dua persidangan dan tiga rapat bersama para petinggi di gedung kehakiman untuk tiga urusan yang berbeda.
Mengusap tengkuk, lalu ia menekuk leher ke kanan dan ke kiri. Melemaskan urat serta otot. Memandang jam tangan, sudah pukul sebelas malam. Waktunya untuk pulang. Cukup bekerja hari ini, saatnya mendatangi ranjang di rumah. “Aaah, fuck! Aku benar-benar lupa!” desisnya saat mengangkat ponsel dan melihat sebuah chat dari wanita bernama Pixie. [Lain kalau kalau memang tidak bisa datang tolong kabari aku, ya? Aku seperti orang tolol menantimu sendiri di sini.] Xavion mengurut kening. Bagaimana mungkin dia lupa ada janji untuk bertemu di pub dengan wanita seseksi dan secantik Pixie. Apalagi, ketika mereka berada di atas ranjang maka seisi dunia adalah tempat yang jauh lebih baik. “Aku harus membelikannya barang mahal besok supaya dia mau memaafkanku. Shit, aku ingin merasakan goyangannya kembali di atas tubuhku besok malam!” kekeh Xavion sangat yakin hadiah darinya akan membuat keadaan lebih baik. Bukan, Pixie bukanlah kekasihnya. Dia tidak punya keterikatan dengan siapa pun. Wanita hanyalah tempat untuk melepaskan hasrat terpendam serta lahar hangat dari dalam tubuh. Memiliki kekasih hanya membuang waktu, tenaga, serta pikiran. Dan yang lebih penting lagi, membuang uang. Lebih baik membeli satu barang branded untuk wanita yang berbeda-beda daripada harus menghabiskan uang untuk satu wanita yang sama. Prinsip yang aneh, tetapi begitulah Xavion. Ia merapikan berbagai barang pribadi, memasukkan ke dalam tas kerjanya, kemudian melangkah keluar. Saat hendak memasuki ruangan depan tempat timnya biasa bekerja, terlihat ada sebuah lampu masih menyala. ‘Siapa yang belum pulang di jam selarut ini?” tanyanya dalam hati. Seorang wanita terlihat sedang mengetik di depan layar komputer. Sesekali jemari menyugar rambut panjang ke belakang dan mengembus kasar. “Kenapa kamu belum pulang?” “Oh, my God!” Hanae berteriak terkejut saat mendengar suara Xavion hingga tanpa sengaja menyenggol gelas di sebelah tangannya. Dalam satu hari, sudah dua kali ia menumpahkan minuman ke atas lantai. Sang Prosecutor menggeleng jengah, mengembus kasar, dan membentak jengkel. “Ada apa denganmu? Kenapa bisa seceroboh itu! Bagaimana kalau airnya mengenai berkas penting!” “Kamu katanya sedang magang? Dari fakultas hukum universitas mana, hah! Aku tidak mengerti kenapa wanita seceroboh kamu bisa kuliah!” Omelan Xavion tidak dijawab oleh Hana. Dia cepat mengambil tissue dan mengelap mejanya, kemudian mengelap lantai yang basah. Untung saja gelasnya terbuat dari plastik sehingga tidak pecah. “Kenapa kamu belum pulang? Ini sudah jam sebelas malam! Apa kamu berencana tidur di kantor, hah?” desis Xavion bersiap melangkah pergi. Hanae menghela letih, “Nona Fanty memberikan saya tugas yang sangat banyak. Katanya semua data ini harus masuk di dalam komputer besok pagi karena akan digunakan oleh pengadilan.” Jarinya yang basah menunjuk setumpuk file yang masih terlihat sangat banyak. “Saya sudah mengerjakan separuhnya sejak jam 11 siang dan masih belum selesai. Padahal, saya tidak makan siang sama sekali untuk menghemat waktu.” “Kamu tidak makan mulai siang hingga sekarang gara-gara mengerjakan tugas dari Fanty?” Kening Xavion mengernyit dan matanya memicing tak percaya. Iya, dia tidak percaya kenapa bisa ada orang sebodoh Hanae yang mau saja dikerjai habis-habisan oleh senior. Ia melangkah mendekati meja pekerja magang yang culun dan berbusana sangat tidak stylish di mata semua orang. Satu buah berkas diambil, lalu membantingnya ke atas meja. Satu hentakkan yang membuat Hanae sampai melompat terkejut dan terengah. “Buka file itu dan lihat tanggal kasusnya!” desis Xavion ingin menyentil kepala karyawan barunya supaya segera tersadar. Hanae mengangguk, lalu memabacanya dengan suara bergetar. “27 Mei 2015.” “Sekarang tahun berapa?” “2025?” “Berarti itu file berapa tahun lalu?” “10 tahun lalu.” “Kalau itu file 10 tahun lalu, kenapa semua harus dimasukkan ke dalam komputer untuk digunakan besok pagi di pengadilan, hah!” kesal Xavion kembali melempar satu buah file ke atas meja Hanae. Terengah, wanita miskin itu berpikir kenapa Xavion begitu suka marah padanya? Magang adalah sebuah keharusan jika dia ingin lulus. Akan tetapi, haruskah dia berhenti saja jika akhirnya hanya menjadi derita berkepanjangan?Tepat saat dia berkata begitu, munculah dua orang polisi masuk ke dalam ruangan. “Selamat siang, saya adalah Letnan Jackman, dan ini Letnan Cruz. Kami yang menyelidiki pembunuhan Lilac Cheng.”“Atas dasar apa kepolisian menahan klien saya?” senyum Corry menghadapi polisi dengan tenang.Salah satu detektif berkata, “Kami berhasil menangkap pembunuh bayaran yan disewa oleh Gladys Young untuk membunuh Lilac Cheng. Dia sudah mengakui semuanya dan memberikan bukti-bukti berupa uang yang diserahkan oleh Nyonya Young di sini.”“Jadi, sepertinya Anda memilih pembunuh bayaran yang salah, Nyonya Young. Karena dia adalah pembunuh bayaran yang menyimpan semua bukti-bukti pembunuhan yang dia lakukan, serta siapa yang menyuruhnya.”Detektis satunya tertawa pelan, “Ya, dia sudah sedia payung sebelum hujan.”Xavion saling pandang dengan Corry sang pengacara. Di mana pembela tersebut merasa kasus ini akan menjadi kasus yang sulit.“Mom? Please, M
Mendengar ibunya ditangkap polisi atas kasus pembunuhan Lilac Cheng, betapa terkejut hati Xavion. Ia memang sudah menduga ibunya yang melakukan hal tersebut, hanya saja tidak menyangka akan sampai terungkap oleh polisi. Meninggalkan klinik tempatnya mengetes DNA dengan Hanae, mobil Bentley mewahnya segera meluncur ke kantor polisi tempat ibunya ditahan. Sempat berselisih paham dengan beberapa orang petugas polisi yang melarangnya menemui Gladys, tetapi akhirnya ia diijinkan. Mengingat yang datang adalah jaksa terbaik di Los Angeles, orang yang berjasa memenjarakan banyak tangkapan polisi, maka ia mendapatkan perlakukan khusus. “Jangan lama-lama. Maksimal 10 menit saja dan kamu sudah harus keluar. Dari apa yang aku dengar, ibumu sudah memanggil pengacara terbaik.” Mengangguk, Xavion kemudian bergegas menuju ruang interogasi di mana ibunya sedang disekap di sana. “Mommy!” engahnya saat melihat sang ibu duduk d
Ezra memandangi dengan gamang. Meski ada keraguan, tetapi dia juga tahu Xavion tidak segila itu merancang semua kebohongan ini hanya untuk bisa bersama Hanae. Tahu kalau sahabatnya tidak segila itu untuk meniduri adiknya sendiri.“Kita tes DNA siang ini saja. Aku ada sidang sebentar lagi, jadi sebaiknya kita bergegas,” ucap Ezra menghela pasrah. Baginya, kebahagiaan Hanae adalah yang terpenting. Kalau memang ternyata Xavion dan adik angkatnya tidak memiliki hubungan darah, apa haknya untuk melarang mereka bersatu?Bergandengan tangan, Hanae bergelayut mesra di lengan kekar mantan kekasih yang sebentar lagi akan kembali menjadi kekasih. “Xavion,” panggilnya manja.“Apa?” jawab jaksa tampan dengan gemas.“Selama tidak bersamaku, kamu tidak bersama wanita lain, ‘kan?” kikik Hanae berbisik.Tawa Xavion berderai. Tawa lepas pertama yang ia keluarkan dari bibir setelah hampir satu bulan terakhir didera berbagai rasa pilu menyayat.
Ezra merasa heran dengan permintaan Xavion. Apalagi, sahabatnya itu memintanya untuk mengajak Hanae dalam pertemuan mereka. Namun, karena terdengar sangat penting dan mengingat situasi saat ini tidak setenang serta seaman sebelumnya, tidak ada salahnya jika dia memenuhi keinginan tersebut, bukan?Duduk berdampingan dengan adik angkatnya di sebuah meja restoran, Ezra melihat bagaimana wajah Hanae nampak tegang. Tahu kalau sang wanita pasti gugup akan bertemu dengan lelaki yang dicintai.“Itu dia datang,” gumam Ezra menunjuk ke arah pintu masuk.Mata Hanae mengikuti gerakan telunjuk sang kakak. Dari pintu masuk restoran nampak seorang lelaki tinggi besar dan gagah sedang berjalan menggunakan longcoat ke arah meja mereka.‘Tuhan, kenapa dia terlihat semakin tampan?’ engah Hanae menahan rasa pedih dalam hati. Ia remas jemarinya yang ada di bawah meja. Kegugupan melanda, bingung harus bersikap apa.Xavion segera duduk di kursi yang b
“Bagaimana caramu tes DNA? Ayahmu sudah meninggal dan dikubur selama 22 tahun. Hasil tes DNA ini pasti palsu. Siapa yang memberikannya padamu? Kamu tidak boleh percaya berita bohong seperti ini, Xavion!” engah Nyonya Besar Young masih mencoba keberuntungan di detik-detik terakhir.“What do you think I am, Mom? Stupid? Aku tidak bodoh, Mommy!” kekeh Xavion menatap kian tajam dan benci pada ibunya. “Aku menggali makam Daddy dan melakukan tes DNA sendiri. Hasilnya, sangat akurat dengan semua yang kuketahui akhir-akhir ini!”Gladys terengah. Jika ada pepatah mati kutu, itulah yang dia rasakan sekarang ini. Tidak bisa menjawab apa pun, tak mau mengakui apa pun.“Aku anak siapa, Mommy?” seringai Xavion, meski ia sudah tahu jawabannya. Sunyi, ibunya menunduk dan terdiam.Ejekan Xavion kembali terdengr, “Ironis sekali, bukan? Aku yang biasa disebut Tuan Muda Young ternyata bukanlah putra kandung Billy Young.”“Justru Hanae yang dari pan
“Hemofilia adalah kelainan yang terjadi akibat keturunan. Orang dengan hemofilia tidak memiliki zat tertentu secara cukup untuk bisa membuat darah beku dan berhenti menetes saat luka,” terang dokter pada Xavion. “Ayah atau ibumu tidak pernah mengatakan ini padamu? Apa sejak kecil kamu tidak pernah terluka?”Xavion terengah mendengar hal itu. Batin sontak mengorek kenangan, mencari apakah ia pernah terluka dan mengalami kondisi hemofilia seperti sekarang.“Aku ... uhm, tergores pisau atau pinggiran kaleng tajam sepertinya pernah. Hanya luka kecil? Aku tidak tahu, aku tidak ingat,” gelengnya bingung. Dokter kemudian menunjuk keningnya. “Bagaimana dengan luka di pojok dahi Anda? Itu seperti bekas jahitan. Mungkin dulu saat kecil Anda pernah mengalami kepala bocor?”Secara reflek, Xavion mengusap kepalanya. Ia rasakan di pojok dahi bahwa memang ada seperti bekas jahitan di mana kulit terasa bergelombang. “Kalau tidak salah, saat usiaku 11 tahun ... a