Share

BAB 6 Mera

Kini aku membawa Ren ke dalam kamarku, lebih tepatnya kamar Geana dewi kesedihan.

“Kamu baik-baik saja?” Aku menopang Ren duduk di sofa kamarku.

Ren tersenyum padaku. “Ini hal yang biasa.”

“Biar aku obatin lenganmu,” gumamku mulai membuka tasku. Aku mempunyai obat merah dan juga pembalut luka, aku kira selamanya aku tidak mempunyai kesempatan untuk menggunakannya, ternyata kesempatan itu datang bukan untukku, melainkan Ren. Di tengah pengobatan ini mengingatkanku pada waktu terakhir aku bertemu dengan Ren, dia juga mengobatiku seperti ini. “Sudah.” Aku pun kembali duduk di tempatku.

“Mila, percayalah padaku, aku akan mengembalikan kekuatanku dan membawamu kembali ke alam di mana seharusnya kamu berada.”

Lagi-lagi kata-kata itu yang diucapkannya, aku pun tersenyum kecil membalasnya.

“Sebaiknya kamu beritahu pada Amor bagaimana cara membuka segelku, sebelum kamu mati dibunuhnya,” gumamku. Rasa takut menyelimutiku ketika Amor benar-benar ingin membunuh Ren, dia dapat dengan mudah mengambil nyawa seseorang, jika Ren masih tidak mengatakannya, aku takut akan terjadi hal yang tidak kuinginkan.

Ren mengeleng. “Aku tidak akan mengatakannya, itu akan membahayakanmu.”

“Menurutmu aku yang sekarang tidak berbahaya?”

“Setidaknya sekarang kamu aman di bumi.”

Aku menatap Ren dengan lekat, sepertinya dia masih belum mengerti, atau dia tidak pernah benar-benar memerhatikanku? “Ren, mau aku katakan berapa kali? Bumi bukanlah tempatku, aku tidak bahagia di sana, aku bahkan lebih menyedihkan dari seekor binatang, apakah kau tahu bagaimana aku harus melewati setiap hari, setiap jam, bahkan setiap detik di bumi? Setiap selesai dibully anak lain, aku harus berpura-pura bahagia di depanmu, aku lelah.. aku bahkan sudah mencoba beberapa kali bunuh diri, tetapi aku tidak bisa, aku tidak memiliki kekuatan itu! Kau mengerti?!”

“Maaf,” ucap Ren.

Aku pun mencoba mengendalikan emosiku. “Maaf aku tidak seharusnya berkata seperti itu padamu.”

Ren mengeleng pelan.

“Sebaiknya kamu beritahu aku bagaimana cara membuka segelku, sebelum Amor benar-benar membunuhmu, aku tidak akan selamanya bisa melindungimu seperti ini.”

“Aku tidak akan mengatakannya,” ulang Ren. Dia begitu keras kepala.

Aku pun menghela napas lelah. “Baiklah, aku berharap kamu segera mengubah pemikiranmu itu, malam ini kamu tidur di kasurku saja.”

“Kamu tidur di mana?”

Aku melihat kembali kasur yang membuatku tidak bisa tidur itu. “Aku tidur sofa saja.”

“Tidak boleh, aku yang tidur sofa saja.”

“Tanganmu terluka, sebaiknya kau cepat sembuhkan tanganmu sebelum menambah luka di bagian lain, aku sudah lelah, aku tidur dulu. Aku pun segera membalingkan tubuhku dan membelakanginya.

“Cepatlah tidur,” gumamku setelah menyadari dia masih belum pergi.

Aku berusaha untuk tidur, tetapi tidak bisa. Aku pun berjalan pergi melihat Ren yang sudah tertidur. Aku sungguh merindukannya, sejak meranjak dewasa, kami jadi jarang bertemu, sekolah kami juga sangat jauh, dan lagi.. jika teman-teman perempuan Ren mengetahui dia bertemu denganku, mereka akan datang ke sekolahku dan bersekongkol dengan kakak-kakak kelasku untuk mebullyku. “Ren, kamu yang sekarang sudah berubah, kamu menjadi begitu dingin dan asing,” gumamku.

“Sungguh menakjubkan bukan?” bisik Amor mengejutkanku, dia tiba-tiba muncul di belakangku, tidak heran, dia pasti sedang mendengar suara hatiku lagi. Aku pun langsung menariknya keluar balkon.

“Kenapa kau datang?”

“Melihat keadaanmu, membiarkanmu dengan dia di dalam satu kamar bukan hal yang baik,” gumamnya sambil menatap masuk ke arah Ren tidur.

Saat ini tatapan Amor sungguh berbeda, dia tidak lagi memakai tatapan membunuhnya. “Kau.. tidak akan benar-benar membunuhnyakan?” tanyaku memastikan.

Amor tersenyum meledek. “Dia hanyalah manusia biasa sekarang, aku sudah pernah bilang, jika dewa kematian tidak boleh sembarangan membunuh manusia.”

Aku pun menghela napas lega. “Jadi tadi kamu hanya mempermainkan kami?”

Amor pun terdiam, wajahnya seketika menjadi serius menatap langit. “Lain kali sebaiknya kamu jangan memeluk laki-laki lain, atau tidak aku akan benar-benar membunuhnya.. walaupun dia seorang manusia.”

Apakah Amor marah? Tetapi kenapa dia marah? Aku pun segera mengalihkan pembicaraan. “Bagaimana? Kamu sudah menemukan orang yang menyegel kekuatan Ren?”

Amor menyandarkan tubuhnya di perbatasan. “Mir bilang, hanya ada satu cara.”

Sebuah harapan kembali menemuiku. “Apa?”

“Pintu dimensi, kita bisa menggunakan pintu dimensi untuk melakukan transposisi ke waktu di mana bocah itu disegel.”

“Pintu dimensi? Ke mana kita menemukannya?”

“Mir memilikinya, besok kita akan pergi menemuinya.”

“Baiklah,” anggukku mengerti. “Apakah..” Aku dikejutkan oleh seekor binatang buas putih yang terbang menghampiri kami, aku segera mengumpat di belakang Amor. Seekor panther putih bersayap melandas di balkon, wajahnya begitu galak. “Amor,” panggilku memegang bajunya dengan erat.

Amor tersenyum melihat tingkahku. “Dia peliharanmu, Geana,” jelasnya. Aku pun mengintip sedikit, ternyata aku yang dulu sudah gila, memelihara binatang sebesar ini.

“Mera,” panggil Amor mengusap-usap kepala panther itu, wajah panther bernama Mera itu seketika berubah menjadi manja.

“Dia tidak akan melukaimu,” gumam Amor.

Jika dilihat-lihat lagi, dia memang mengemaskan, aku pun mengulurkan tangan kananku untuk ikut mengusapnya, tidak disangka dia begitu manja, aku pelan-pelan melepaskan tangan kiriku dari baju Amor dan mulai mendekati Mera.

“Kamu lucu sekali.” Dia sangat mengemaskan, ketika aku mengelus-ngelusnya, dia langsung berbaring membiarkanku bermain dengannya.

“Mila,” panggil Ren berlari keluar, dia mungkin terkejut melihat Mera.

Melihat Ren, wajah Mera kembali menjadi galak, dia bahkan megeluarkan suara yang mengemparkan. “Mera, dia temanku,” ucapku menenangkannya.

“Mila ke sini, dia akan melukaimu.” Ren begitu panik.

Amor hanya tertawa meledek menontoni kami.

“Ren, dia Mera, peliharaanku, dia tidak akan melukaiku,” jelasku.

“Sudah, Mera, sana pulang istirahat,” ucap Amor.

Mera dengan senang mengelilingku dan ingin masuk ke kamar, tetapi ketika melihat Ren, dia pun terhenti dan mengaum di depan Ren, setelah itu dia lanjut berjalan masuk ke dekat kasur dan tidur di sana.

Aku pun mengerti kenapa ruang kamarku begitu luas, ternyata hewan bongsor itu juga tidur di dalam.

“Ren, kamu baik-baik saja?” tanyaku menghampirinya.

“Aku tidak apa-apa.”

“Kamu kembali tidur dulu, besok kita akan pergi mencari pintu dimensi.”

“Pintu dimensi?”

Aku mengangguk-angguk sambil menoleh ke arah Amor. “Amor bilang setelah masuk ke pintu dimensi kita akan menemukan siapa pelaku yang menyegelmu.”

“Tetapi pintu itu sudah hilang ratusan tahun lalu,”

“Mir memilikinya,” ucapku membuat Ren terkejut juga tidak begitu mengerti.

“Ternyata kalian dewa kematian juga hobi menjadi pencuri,” ucap Ren tersenyum meledek.

Amor pun menatap Ren dengan ketus, “Jika memiliki kemampuan, maka tidak akan dengan mudah diambil orang bukan,” sindir Amor kembali.

Aku tidak mengerti apa yang dikatakan mereka, namun setiap kali bertemu mereka selalu seperti itu.

“Aku tidur dulu,” gumamku berjalan pergi meninggalkan mereka.

Melihat Mera tertidur pulas di samping kasurku, aku pun menghentikan langkahku, aku sedang membayangkan bagaimana kehidupanku dulu dengan hewan bongsor nan imut itu, mungkin sangat bahagia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status