Share

BAB 2_Bekal Untuk Ari

"Elo udah gila ya, Pok?" Sahut Liana tak percaya menatap ke arah sahabatnya. Matanya mendelik kaget, sementara salah seorang murid bertanya penuh keheranan.

"Ada apaan, sih? Heboh banget keknya!"

"Biasalah, anak mami," Sheryl mencibir sambil memutar kedua bola matanya malas. "Jadi ya, agak dilebay-lebayin dikit lah."

"Ha-ha-ha." Tawa mereka terdengar riuh memecah keheningan ruangan itu. Sementara Liana hanya pasang wajah datar tanpa ekspresi mendengar sahutan teman sekelasnya yang sudah dianggap biasa.

Dia hanya menghela nafas panjang, mengelus dadanya pelan seraya mensupport dirinya sendiri. "Tenang, Li? Tenang..., kalau ada orang yang nyiyirin Elo. Itu artinya mereka iri sama Elo." Batin Liana.

Tak lama kemudian, sosok yang sejak tadi ditunggu pun datang. Liana menoleh ke arah pria itu singkat. Hal serupa juga dilakukan Ari. Alhasil, pandangan mereka bertemu. Meski dengan raut wajahnya yang tanpa ekspresi.

"Hussttt. Buruan!" Rifa menyenggol sikut Liana sambil melirik sekilas ke arah sahabatnya. Dia menginterupsi Liana untuk segera melakukan aksinya.

"Elo yakin ini bakalan berhasil?" Tanya Liana setengah ragu.

"Coba aja dulu, kalau enggak dicoba mana tau berhasil apa enggak." Ucapnya sambil tersenyum centil ke arah Liana. 

Gadis itu terdiam sambil menatap Ari dari jauh. Jantungnya seketika berdebar dengan kencang. Kemudian mengambil bekal makanannya dari dalam tas.

"Buruan, Li? Entar keburu masuk!" Rifa terus saja mendesak Liana supaya segera menemui Ari sekarang. Padahal jelas-jelas pria itu sedang membaca buku pelajaran Akuntansi. Sepertinya dia sedang belajar mempersiapkan evaluasi hari ini oleh Bu Dian. 

"Jangan sekarang deh, Pok? Dia lagi fokus belajar. Kalau Gue ganggu gimana?" Liana mengangkat kedua alisnya menatap ke arah Rifa. 

"Ah Elah, Li-Li...." Rifa menggelengkan kepala sambil menatap wajah sahabatnya kesal. "Oke! Jam istirahat. Elo enggak boleh bantah lagi," seru Rifa melotot ke arah Liana..

Gadis itu hanya mengangguk kecil sambil tersenyum tanpa dosa. Jangankan untuk menyapa, memandang dari jauh pun sudah membuat jantung Liana berdebar tak karuan. Senyumnya mengembang sempurna menatap wajah Ari yang begitu teduh. Walau dari jauh, namun tetap dekat dihati.

Serupa dengan lagu yang sedang ia dengarkan melalui headset.

"Oh Tuhan, katakan padanya, kumerindukannya. Oh cinta, katakan padanya, dia slalu dihatiku."

***

Bel istirahat pun berbunyi nyaring di seluruh penjuru sekolah SMK Tunas Bangsa. Seluruh siswa berhamburan keluar dari ruangannya. Ada yang pergi ke kantin untuk mengisi perutnya yang sudah keroncongan, ada juga yang ke perpustakaan sambil baca novel roman kesukaannya. 

Namun tidak bagi Ari. Dia selalu pergi menyendiri di belakang sekolah. Taman yang selalu digunakan murid untuk menghabiskan waktu istirahatnya tanpa uang.

Rifa menoleh ke arah Liana. Suasana kelas sudah tampak sepi. Hanya ada mereka berdua sekarang.

"Elo tau apa yang harus Elo lakukan kan, An?" Tanya Rifa.

Liana mengernyitkan alis bingung mendengar Rifa menyebutnya An. "Kok An?"

Rifa berdecap kesal. "Nama Elo Liana, cocoknya dipanggil Ana," ujar Rifa. "Biar inisialnya sama kayak Ari, jadinya Rian. Ari dan Ana. Hahaha," imbuhnya lagi sambil tertawa terpingkal-pingkal memegangi perutnya.

Sementara Liana hanya diam melihat sahabatnya yang terus tertawa. Alisnya berkerut dengan bibir yang sengaja dimanyunkan ke depan. 

"Cocok deh, An? Rian...? Hahahaaaa." Tawa Rifa semakin menjadi. Hal itu semakin membuatnya kesal. Sampai Liana harus menggeber meja sambil beranjak dari kursinya. Untung sepi, jadi tak sampai mengundang perhatian banyak orang.

Rifa berjingkat kaget dan langsung diam menatap wajah Liana. "Santai, An?" Sahabatnya masih memanggil dengan sebutan baru itu. "Elo mau ke mana?" Teriak Rifa saat melihat sahabatnya berjalan meninggalkannya membawa bekal nasi di tangannya.

Satu alis Rifa terangkat, setelah teriakannya tak dipedulikan lagi.

"Apa mungkin dia mau nemuin Ari?" Ucapnya membatin. 

Gadis itu berlari kecil hendak menemui Ari di taman. Meski dengan jantung yang terus memompa darahnya dengan cepat, tak menyurutkan niatnya untuk memberikan bekal ini kepada Ari.

Berdiri di balik dinding pembatas, Liana menatap Ari yang sedang duduk bersandar di bawah pohon mangga. Matanya fokus menatap sebuah benda yang sedang dipegang Ari. Sebuah novel karya penulis ternama - Tere Liye. Ada di genggamannya sekarang. 

"Sejak kapan dia menyukai baca novel?" Alis Liana berkerut memikirkan hal itu. Saat yang bersamaan, seseorang tiba-tiba mendorongnya keluar dari tempat itu.

"Aww," pekik Liana yang hampir terjatuh. Untung bekal yang dibawanya tidak tumpah. Gadis itu menengok ke belakang. "Sialan!" Umpatnya kesal mendapati Rifa yang sedang berdiri menampakkan senyum tak berdosanya. 

"Liana?" Panggilan Ari membuatnya terkejut. Dia menoleh, lantas meringis menunjukkan sikap malunya. Posisi mereka sekarang berhadapan meski tak dekat. "Elo kok tiba-tiba muncul di situ?" Tanyanya penasaran dengan kedua alis terangkat ke atas. Pria itu menutup bukunya. Memperhatikan dengan seksama sosok Liana yang masih membuatnya bingung.

"Gu-gue...," Liana begitu gugup. Hingga membuat bekal nasi yang sejak tadi dipegangnya hampir jatuh karena gemetar. "Gue mau kasih ini buat Elo," ucapnya kemudian memberikan bekal makan siangnya untuk Ari.

Pria itu tak langsung menerimanya. Melainkan menatap sekilas kotak makan berwarna biru muda di tangan Liana. "Enggak Elo kasih racun, kan?" 

Deg! Seketika mata Liana melebar mendengar ucapan Ari. Bibirnya sedikit menganga keheranan. "Ya enggaklah, Ri? Ya kali Gue mau kasih racun di makanan Gue sendiri."

"Jadi itu makanan Elo? Ya udah makan, gih!" Perintah lelaki itu membuatnya bingung.

"Ar? Ini buat Elo?" Liana memperjelas kalimatnya seraya menyerahkan kotak makan itu di depan Ari. "Kenapa?" Tanya Liana ketika Ari tak kunjung menerimanya. "Elo enggak percaya kalau makanan ini bebas racun?"

Pertanyaan itu sukses membuat Ari tersenyum kecil. Meski sambil menundukkan kepala, tapi Liana tau bagaimana ekspresi wajahnya sekarang.

Karena malu atas sikapnya, Liana pun memutuskan pergi begitu saja meninggalkan tempat. Namun, baru selangkah dia berjalan, sahutan pria itu terdengar jelas di telinganya.

"Liana?" Panggil Ari. Sontak membuat gadis itu langsung menghentikan langkah dan memutar tubuhnya menghadap pria itu.

"Iya," jawabnya singkat. Tak lama kemudian Ari mendekati Liana sambil tangannya meraih kotak berisi makanan di tangannya. 

"Kebetulan dari pagi Gue belum makan. Thank's ya?" Ucapnya singkat.

Liana mengangguk kecil tanpa keluar sepatah katapun dari mulutnya. Dia terus menatap sosok Ari yang kembali duduk bersandar di bawah pohon sambil menyantap makanan pemberiannya. 

Saat hendak memasukkan satu suapan ke mulutnya, dia menatap Liana sambil berkata, "Elo ngapain masih disitu?" Tanyanya datar tanpa ekspresi.

"Ehm...."

Gumaman Liana membuat Ari sadar. Pria itu meletakkan kembali sendoknya lalu berkata, "Duduk sini!" Perintahnya cepat. Dia lantas membersihkan dedaunan kering yang ada di sebelahnya sebelum ditempati Liana.

Gadis itu melongo tak percaya mendengar ucapan Ari. Dia terus menatapnya tanpa berkedip. Tubuhnya terasa dilambungkan ke atas. Terbang menari bersama awan. "Tuhan, apakah ini mimpi?" 

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status