Share

BAYANGAN SEMU

"Wih ... sudah belaga kuat ya? kamu pikir dengan membengkokan sendok, aku jadi takut?" pekik Steve.

Tubuhnya perlahan bangit dari meja makan, satu sisi bibirnya terangkat sinis. Mata bulatnya menyipit melirik naik turun di samping Anjani. Ia melangkah dengan santai tak bergeming sedikit pun.

"Sekali lagi kamu bilang ingin cerai, kamu bakal menyesal! bersyukur kamu tidak aku buang, semua itu berkat Kenzie." Tegas Steve.

Tubuh Anjani bergetar saat Steve mendekatinya dengan penuh ancaman. Ia membuat sebuah pertahanan dengan menyiapkan kepalan tangan dan mengumpulkan kekuatannya.

"Kalau kita bercerai, jangan harap kamu bisa melihat Kenzie lagi!" Lanjut Ancam sambil mencubit sisi dangu istrinya genit, dan pergi meninggalkan Anjani.

Dengan semua kata-kata yang di ucapkan oleh suaminya, Anjani merasa sangat terancam. Ia hidup bersama pasangannya bukan satu atau dua hari saja. Sudah melewatkan 8 tahun masa perkawinan yang membuatnya tahu watak asli pasangannya.

Anjani tahu semua ucapan Steve tidak main-main. 

Getaran di tubuhnya berkurang saat suaminya pergi ke ruangan lain, tapi ketakutan di hatinya malah makin bertambah, mengingat kata-kata Steve bukan hanya candaan semata.

Malam yang semakin larut membuat Anjani lebih memilih tidur bersama dengan Kenzie anaknya.

Ia memeluk erat Ken, sambil berlinang air mata. Tangannya mengelus lembut rambut Ken yang sudah tertidur lelap sekali.

Hingga waktu mengalir tak terasa beberapa jam terasa beberapa menit saja saat Anjani berada di samping Kenzie anaknya. Ia pun sedikit terlelap di samping Kenzie karena lelahnya kehidupan.

***

Di Kasur yang cukup lebar dan mewah, Zero pun tertidur di kediamannya.

Dengan gelisah ia tidur berbolak balik ke kanan dan ke kiri.

Tubuhnya masih tetap di selimutkan keringan kecil dengan tubuh kekar terlentang dan mata tertutup di atas ranjang yang nyaman.

'Ibu ... Ibu ... Ibu ...!' gumamnya saat tidur.

Dalam bayangannya nampak jelas wajah Ibunya dengan kepala menunduk, lidah menjulur dan tubuh tergantung.

Zero meraung-raung dengan suara samar.

Tak sadar ia meneteskan air mata dengan impiannya yang sangat menyayat hati.

Sela impiannya, Zero melihat senyum dan tawa lepas dari sang Ayah bersama seorang wanita yang samar tak jelas.

Tangannya mengepal kuat, seolah ingin menghantam ke arah Ayahnya kuat-kuat. Namun saat ia berusaha melempar tinjuan, semua bayangan itu pudar.

Ia lari ke arah bayangan Ibunya yang masih tergantung, kini ia tersenyum dengan mata tertutup seolah telah damai di alamnya. Lalu semua itu perlahan mulai hilang, dan setitik demi setitik mulai melebur tak nampak lagi.

"BU ... IBU ... IBU ... ARRRGGGHH!" Teriaknya kencang terengah-engah mulai bangkit dari tidurnya.

"Huft, ini ternyata mimpi."

"Uk! uk! uk!" Melihat majikannya terbangun, Echo anjing pintar peliharaanya pun ikut menggonggong seperti menggatikan alarm-nya.

Pagi menyongsong dengan cerah. Situasi Mataram terlihat sangat normal. Hilir mudik mobil mulai terdengar beraktifitas.

Zero yang baru saja terbangun karena mimpinya masih bermalasan di atas ranjang, menarik selimutnya kembali semakin tinggi.

Walau matahari mulai masuk melalui celah jendela, ia tetap  mengabaikannya. Zero menjulurkan tangan kosongnya ke arah sebuah jam weker, dan mulai meraba mencari tombol off agar suara jam yang sudah di atur tidak berdering mengganggunya.

Ya, memang wekernya tidak berdering, namun Echo seperti tak bisa melihat majikannya sedikit berleha-leha.

"Guk! guk ...!"

Anjing berbulu lembut dengan moncong sedikit kecil itu dengan cerdik menggigit selimut Zero dan menariknya jauhjauh dari ranjang, hingga tubuh Zero yang telanjang dada mulai merasakan sentuhan udara segar.

Lepas itu, Echo kembali menaiki dada majikannya dan menjilati pipinya seolah membangunkannya.

"Uk ...! eokk!" suaranya mulai manja.

"Iya! iya! iya! aku bangun nih. Hoammz!" Zero meregangkan tubuhnya dan membuka jendela kamarnya yang sangat lebar membentuk dinding-dinding kaca.

Kemana pun Zero melangkah, Echo selalu mengiringinya. Zero tahu jelas kenapa dia terus di kuntit oleh anak anjing itu.

Bukan semata karena tunduk, namun rasa lapar karena belum di berikan kudapan menjadi alasan tertentu, menjadikan anak anjing itu terus menggigit-gigit celana kain yang ia kenakan.

"Hahahah, kamu dasar pintar ya! baik ...! baik ...! pagi ini kita ke pasar ya!"

Setelah melihat isi kulkas yang acak-acakan tak terurus, dan isinya kosong kerompong hanya menyisakan cangkang-cangkang bekas makanan siap saji saja, Zero pun memutuskan untuk bersiap diri hendak pergi ke pasar dengan peliharaannya.

Memakai kaos polos, lepas ke kamar mandi, Zero nampak segar dengan rambut basahnya. Wajahnya terlihat bersinar siap menyambut pagi.

Dengan di buntuti oleh Echo, Zero menaiki angkutan umum, dan sesisanya ia berjalan-jalan santai di samping kota untuk sampai di puncak pasar raya.

"Nah, karena ini daerah rawan, kamu pakai kalungmu! jangan jauh-jauh, jangan nakal!" perintahnya pada Echo si guguk kesayangan.

Mengingat banyak hal yang menggiurkan di pasar, ia pun mengikat Echo dengan tangannya.

Hampir sepertiga jalan, ia baru mendapatkan apa yang ia butuhkan.

Mulai dari sayuran, bahan makanan pokok untuknya, buah-buahan, dan tentunya ikan. Ia menyiapkan ikan segar dan beberapa daging bertitel super untuk sahabat kesayangannya itu.

Terlebih ia menyiapkan beberapa makanan siap lahap karena sesekali ia sering di kerubuni rasa malas untuk memasak. Wajar sekali pria muda tanpa seorang istri di rumah malas masak.

Isi apartemennya pun lumayan berantakan karena kurangnya sentuhan tangan wanita.

Ketika ia sedang menikmati perjalanannya, ia melihat seorang nenek tua duduk tergopoh-gopoh sambil mendorong-dorong gerobak bawaanya.

Selintas ia mengingat seorang nenek tua yang hampir saja ia tabrak saat berkendara dengan Bos Dady minggu lalu.

Ia tak ingin melakukan kesalahan yang sama, ia menarik anjing kecilnya agar berjalan lebih lamban. 

Ia menyidik si nenek tua itu. Tubuh lemahnya seolah sudah tak pantas mendorong gerobak yang jauh lebih besar dari tubuhnya. Keluh kesahnya seolah tak bisa tertahankan.

Wajah lemah itu membuat rasa empati Zero meronta.

Walau dia lelaki yang arogan, tapi ia masih memiliki hati. Saat malam hari ia seperti lelaki kejam, namun saat matahari masih menampakan dirinya, Zero hanyalah lelaki biasa yang memiliki hati nurani.

"Nek, mari saya bantu, Nek!" ucapnya menggantikan pegangan Nenek di daun gerobak itu.

"Ukhuuk! ukhuk! terimakasi anak muda, semoga niat baikmu membuat jodohmu semakin luas! bangga sekali wanita yang menjadi istrimu nanti!" gumam nenek tua itu menyeka keringatnya yang bercucuran.

Tubuh kekar Zero melanjutkan langkahnya dengan mendorong gerobak sambil tersenyum melayang dengan pujian nenek tua berkain samping dengan corak batik itu.

Echo mengiringi langkah keduanya dengan santai, sambil sesekali mengendus semua area jalanan di pasar.

Hampir beberama detik lagi sampai ke tujuan si nenek, Zero di kejutkan dengan keberadaan temannya yang berambut panjang, memakai wedges tinggi, dan bulu mata yang cetar badai. Tapi suara bulatnya tetap tak bisa di sembunyikan.

Monik, sahabat karibnya pun berada di pasar itu. Jelas ia berada di area pasar, karena tempat panti pijat yang menjadi markas utama anak buah Bos Dady.

"Woy! Mon!" teriak Zero sumringah.

Zero pun perlahan menyimpan gerobak dengan mengganjal rodanya menggunakan batu besar.

Lalu meninggalkan nenek tua itu hendak menghampiri Monika yang belum sempat menengok ke arahnya.

Senyuman lebarnya penuh semangat ingin segera menyapa sahabatnya, dan mengejutkannya dari arah belakang.

Ketika beberapa langkah hampir sampai, Monika menoleh dengan wajah tegang, lalu menaikan roknya. Dan tanpa aba-aba ia berlari tunggang langgang menjauhi dari tempat itu.

"Woy! Monik! mau kemana?"

"Zero?" matanya menegang penuh kebingungan.

Zero berjalan sambil tidak mengetahui apa situasi sebenarnya di tempat itu.

"Tunggu guw Mon!" teriak Zero mempercepat langkahnya.

Monika melambaikan tangannya, dan merapatkan bibiirnya sambil berlari semakin jauh dengan wajah penuh dnegan kecemasan.

'Kenapa?' bisik hati Zero.

"POLISI!" teriak Monika semakin terbirit-birit dan hendak hilang dari pandangannya.

Mendengar kata Polisi, entah apa yang ada dalam pikiran Zero, ia refleks ikutan melarikan diri dengan sangat kilat.

Cristhina

Zero ketangkap gak ya? ummmzzzz tegang uy! ikutin terus alur cerita Zero dan Anjani ya! Gemesh juga sama si Steve yang belaga.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status