Share

Zero Salah Kaprah

Pada detik yang sama, di bawah rembulan malam. Zero masih berdiri tegak sambil menutup mata dan sekujur tubuhnya terasa kaku.

Sisa keringat bekas bermain bola itu masih membuat tubuhnya basah.

Kemeja yang ia kenakan terlihat mencetak dada karena keringat yang menempel.

Satu rasa yang paling menggetarkan hati adalah sebuah desahan yang semakin jelas di telinganya.

Dada Zero terasa semakin memanas seolah terpompa kencang. Bagian ujung jari kaki yang mencengkram alas sepatu menandakan dia sedang berada dalam sebuah ketegangan.

Zero mempertahankan matanya tertutup dan merasakan gairah dari rabaan yang menggerayangi tubuhnya. Ia mulai pasrah setelah merasa ada sedikit sejuk dan basah menjilati telinganya.

Ia merasa melayang di angkat keudara, dan ada yang bangkit dari nalurinya yang semakin bergelora.

Setelah beberapa detik terasa lama, pikirannya mulai sadar.

Guk' guk' guk!

Suara desahan berubah jadi suara anak anjing yang menggonggong.

Perlahan matanya terbuka dan ia langsung terperanjat kaget setalah ia sadar yang menjilati telinganya adalah anak anjing yang merangkul dadanya.

Brught!

"Sial!" Sontak Zero melempar anak anjing itu secara reflek saking terkejutnya.

Rasa melayang seolah terbanting jatuh. kepalanya mendadak terasa pusing karena ia tak mendapatkan sebuah puncak dari rasa melayang itu.

Zero tertawa sendiri sambil duduk di pinggiran jalan di atas trotoar, dan mengabaikan bajunya yang mulai kotor.

"Hhhe ... hheehe ..., ternyata gua ngekhayal lagi." Zero selengean menertawakan dirinya sendiri.

Pada kenyataannya, Beberapa menit sebelumnya saat Anjani pamit ia langsung meninggalkan Zero dengan berbeda arah untuk pulang ke apartemennya masing-masing.

Namun karena khayalan Zero terlalu tinggi, ia merasa Anjani memintanya untuk tidur bersama.

Masih dalam rasa menyesal karena itu hanya khayalan, Zero akhirnya berdiri lemas setelah gairahnya naik dan tak tersalurkan.

Ia menendang kerikil kecil yang menghalangi langkahnya, dan mulai melanjutkan perjalannya.

Tapi ... Zero masih tetap merasa risih.

Karena si anak anjing terus mengintilnya sepanjang perjalanan.

"Hust ... hust ...! pergi sana!" Zero mengusir anak anjing itu. Tapi semakin di usir, anak anjing itu semakin menjulurkan lidahnya seolah sangat menyukai Zero dan ingin menjadikan Zero sebagai majikan barunya.

"Guk! guk! guk!" Ia menggonggong sangat merdu. Usiana yang masih sangat dini seolah meminta bantuan pada Zero.

Matanya berbinar, dan mengendus jalanan dan terus menjulurkan lidahnya manja.

Satu langkah Zero maju, Begitu pula anjing itu. Ia seperti memperagakan apa yang di lakukan Zero.

"Hah ... hari ini aku sudah banyak sial! kamu jangan ikutin aku, nanti kebawa sial! pergi sana!" 

Zero seperti orang gila berusaha berkomunikasi dengan hewan mamalia yang cukup ganas namun memiliki kecerdasan yang cukup tinggi.

Mengingat anjing mempunyai perilaku pengabdian dan kesetiaan, 

yang ditunjukkan anjing sangat mirip dengan konsep manusia tentang cinta dan persahabatan, makanya Zero berinisiatif untuk mengadopsi anak anjing jalanan itu.

"Baik kalau begitu, Ayo pulang!" ajak Zero membuka kedua tangannya lebar.

Dengan semangat Anak anjing itu menggukguk dan meloncat merangkul Zero.

Hampir tiga perempat malam ia berkeliaran di jalanan, akhirnya ia pulang bersama seorang teman.

Teman yang terlihat sangat bahagia mendapat majikan baru.

Tempat ternyaman yang di nantikan Zero akhirnnya terlihat juga.

Ia berlari secepat mungkin hingga berada di depan pintu apartemennya dengan tubuh berlumur keringat baju yang kotor dan menengkleng jas hitam yang ia kenakan pada saat pertemuan panas dengan kedua majikannya.

"Nah, di sini rumahku. Semoga kamu suka, dan bertingkahlah dengan baik maka kamu akan mendapatkan makanan jatahmu!" ucap Zero pada anak anjing itu sambil mengelus bulu halusnya.

"Uk! uk!"

"Aku kasih nama kamu Echo!" Ucap Zero tersenyum lebar.

Echo mengandung arti gema atau gelombang suara yang memantul kearah lawan.

Karena suaranya membangunkan Zero dalam khayalan, makanya Zero semangat memberi nama anak anjing itu Echo.

Sambil melepaskan dahaganya, Zero melepas semua pakaiannya dan menyisakan celana pendeknya, ia menarik handuk dan melakukan mandi malam membersihkan badannya dari setiap kotoran yang menempel.

"Kamu diam cantik di sini! aku mandi dulu ya!" ucapnya.

Zero pada anak anjing itu sambil menaikan alisnya tersenyum melihat anjingnya duduk dengan dada membusung menuruti sang majikan.

Sedangkan di tempat lain ...

Anjani yang sampai terlambat di bandingkan suaminya, mendapatkan tamparan keras.

Wajah yang lebam karena ulah berandalan pagi hari, di tambah lagi oleh Steve karena mereka pulang lambat.

Kenzie si anak kecil hanya bisa sembunyi di dalam lemari bajunya sambil ketakutan. 

Mendengar rintihan kesakitan dari suara ibunya, Kenji ikut menangis merangkul boneka bola yang paling ia sukai.

"Arrgghh! Mas! aku mohon hentikan!" teriak Anjani kesakitan.

"Apa? hentikan? perempuan macam apa kamu? pulang semalam inii di sela suami bekerja?" gertak Steve sambil menjambak rambut Anjani.

"Mas ...! maafkan aku! aku hanya membeli makanan saja," Anjani berusaha membela diri.

"Semudah itu kamu minta maaf? bagaimana aku bisa percaya sama kamu? hah?"

"Baiklah! aku gak akan mengulanginya lagi mas! lepaskan! ini sangat sakit mas!" raungnya sambil meremas ujung rambut yang menempel dengan kulit agar tidak terlalu tertarik.

"Sekali lagi kamu seperti ini, aku gak akan memaafkanmu! kamu akan merasakan yang lebih sakit dari ini!" peringatan dari Steve sangat menekan.

Perlahan tangan Steve melepaskan rambut Anjani, dan pergi menyicikan satu gelas minuman segar yang ada di dalam kulkas.

Anjani sesenggukan tak bisa menahan lagi tangisannya.

Ia merangkak menuju lemari yang terdapat Kenzie di dalamnya.

"Ken ...," bisiknya mengayunkan tangan seolah ingin meraih Kenzie.

Segera mungkin Kenzie keluar dan merangkul ibunya ikut menangis sesenggukan.

"Ibu tidak apa-apa Nak, kamu jangan nangis!"

"Ibu ... baik-baik saja 'kan?"

Anjani menganggukkan kepalanya perlahan menatap nanar wajah Kenzie.

Keharuan ini seketika hilang. Saat meja makan di dobrak keras oleh Steve sang suami.

BRAKKK!

"Mana makanannya? jangan menangis saja! aku pusing mendengarnya!" teriak Steve marah.

"Kamu tidur di kamarmu! Ibu nanti nyusul ya Nak'!" bisik Anjani mengelus pipi Kenzie sambil menyeka air matanya.

Dengan tubuh yang sudah sedikit lemas, Anjani pun perlahan berjalan kedapur. Ia menyiapkan beberapa makanan instan seadanya.

Walau di luar ia di sebutsebut sebagai Tuan Kaya Raya, di rumahnya Steve berbohong hanya pekerja swasta biasa. Uang yang mengalir ke tangan Anjani hanya setetesnya saja.

Dengan pemberian alakadarnya dari Steve, ia  bertahan hidup sambil mencari sampingan lain di pasar.

Lima menit selesai menyiapkan makanan, Anjani menguatkan hatinya agar tetap bisa berdiri tegak di hadapan Steve.

"Ini makanannya!" ucapnya dingin dengan mata tajam.

"Apa yang kamu lihat?" tanya Steve melayani tatapan Anjani.

"Aku lelah! sampai kapan aku harus melayanimu? sedang kamu tak pernah melayaniku?" papar Anjani memberanikan dirinya.

"Hmmh, berani ya?"

"Aku bukan boneka! yang seenaknya kamu permainkan! aku butuh kasih sayang, anakmu juga!"

"Kasih sayang? kamu pikir kerja seharian gak cape?" sentak Steve sambil menyuapkan beberapa makanan kedalam mulutnya.

Anjani menahan amarahnya, dengan sedikit menarik nafas.

Matanya semakin meruncing, dan kekesalannya semakin membukit.

"Ceraikan aku sekarang juga!" pinta Anjani menyambar sendok yang hendak masuk kedalam mulut Steve.

Lalu meremas sendok itu hingga bengkok.

Cristhina

Berani banget Anjani kaya gitu sama suaminya, Kira-kira bakalan jadi cerai gak ya? buka bab selanjutnya ya readersku...

| 1

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status