Share

Pendekatan

"Kamu di sini?" tanya Zero dingin.

Matanya berkeling liar seolah tak ingin fokus memandangi Anjani. Ia berusaha menyembunyikan rasa perdulinya sambil memasukan kedua tangan kedalam kantung celananya.

Anjani senyum manisdan mengangguk pelan. 

Kantong kresek hitam yang di pegang Anjani jadi jawaban pertanyaan Zero. Makanya ia tak mengajukan pertanyaan lainnya.

Dalam suasana kaku, Ken menarik-narik ujung baju yang di kenakan oleh oleh Zero sambil bertingkah manja.

"Paman ... Ayo kita main!"

"Hust! Kenzie ...!" mata Anjani membulat memberi peringatan pada anak sematawayangnya.

"Tidak apa-apa, ayo kita main di sana!" ajak Zero pada Ken.

Keduanya berjalan sambil bergenggam tangan mengarah ke sebuah lapangan sepak bola yang lenglang karena malam sudah mulai larut.

Sedangkan Anjani hanya bisa pasrah mengikuti langkah keduanya dari arah belakang.

Hari yang semakin gelap sudah tak pantas untuk beraktifitas, namun mereka malah lebih semangat menikmati kegiatannya.

Satu bola bercorak orange hitam di tendang pelan mengarah pada Kenzie si anak kecil yang cekatan itu.

Dengan sigap Kenzie menendang bola dengan sangat kencang  menuju ke arah gawang.

"Yeeeyyy gool!!!" teriakkan Kenzie sangat lepas.

Zero bertepuk tangan sambil memberikan selebrasi menaikan kedua tangannya dan tertawa lepas bersama Kenzie.

Pemandangan itu terpampang nyata di depan mata Anjani.

Tak sadar ia yang duduk di samping lapangan ikut tersenyum bahagia.

Karena baru kali ini Anjani melihat anaknya tersenyum bahagia lagi.

"Dah, dulu ah! paman cape, kamu main bola sendiri dulu ya!" sahut Zero pada Ken sambil mengelus keringat yang mengguyur badannya.

Wajah ceria Zero mendadak diam terpaku dan menatap dalam anjani yang duduk sambil menikmati roti sobek dengan lahap seperti orang yang sedang kelaparan.

Ukhuk! ukhuk!

Seketika Zero berjalan dengan cepan menghampiri Anjani dan menepuknepuk punggung Anjani.

"Minum!" Zero menyodorkan air mineral yang ada dalam kresek Anjani.

'Glek! glek! glek!'

"Akhem ... terimakasih!"

"Makanya ... kalau makan hati-hati!" Zero memasang wajah cuek namun perhatiannya jelas nampak.

Anjani yang sempat malu lalu melipat klip roti hingga tertutup rapat.

"Kenapa gak di lanjut makannya?" tanya Zero melirik roti di samping Anjani.

"Gak! aku sudah kenyang. Terimakasih ya paman!" ucap Anjani yang terdengar sangat mengganjal.

"Hemmh, Paman? emang aku setua itu?" mata Zero membulat.

"Terus?"

"Panggil aku Zero! kamu?"

"Aku Anjani!" sambil tersipu malu.

Zero yang dengan awal duduk berjauhan, kini mendekat dan duduk saling bergandengan di bibir lapang sambil melihat permainan sepak bola Kenzie yang cukup mahir di usianya.

"Sepertinya Kenzie ada bakat juga ya? kenapa gak di masukan sekolah sepak bola?" tanya Zero sedikit mengorek kehidupan Anjani dengan sedikit ragu.

"Hemmh, emang dia suka main sepak bola. Tapi ... entahlah. Beberapa bulan ini dia terlihat tak ingin bergaul, bahkan ia tak mau lagi masuk sekola,"

"Hah? kenapa?"

"Mungkin itu salahku juga."

Zero semakin tidak mengerti dengan penjelasan Anjani yang sangat kabur. Ia pun memutar otak untuk mencari pertanyaan lainnya.

"Trus? ayahnya dimana?" tanya Zero mencairkan suasana.

"Dia punya ayah! tapi merasa tak punya. Begitu pun aku. Punya suami, Tapi aku tak merasakannya."

"Hah? maaf! aku tidak bermaksud untuk ikut campur,"

"Tidak apa-apa, emang lama sekali aku ingin mengucapkan kata-kata itu. Dan sekarang rasanya sudah cukup lega!"

Zero menyidik wajah Anjani yang semakin menunduk. Rasa kekatukatnya terhadap perempuan sedikit hilang. Entah apa yang ia rasakan sekarang ini, malah semakin nyaman. Zero melupakan masalah pekerjaannya, dan menikmati waktu yang berjalan.

Blum! blum! blum! Prak!

Suara itu seolah menghentikan tatapannya. 

"Paman! lempar bolanya!" teriak Kenzie mencairkan suasana.

"Ini tangkap!" teriak Zero melemparkan bola yang memantul hingga berhenti tepat di pangkuannya.

"Ken! ini sudah malam! istirahat dulu yuk!"

"Ach .. ibu ...!" rengek Ken.

"Nak! ayok!"

Anak lelaki itu tidak bisa mengelak lagi setelah melihat bola mata Anjani yang sangat meyakinkannya.

Berjalan menyeret kakinya, Ken seolah menolak berhenti bermain.

"Ibu ... aku masih mau bermain! iya 'kan paman?"

"Lihat keringatmu! kamu terlihat sudah lelah sekali!"

"Tidak ... aku masih semangat bu! apa lagi kalau ada paman ini di sini!"

Zero bangkit dari duduknya dan mengacak-ngacak rambut Kenzie seolah sudah kenal lama. Ia pun mengambil lagi bolanya dan melanjutkan main berdua bersama dengan semangat yang lebih lagi.

Dua lawan satu, jelas Anjanilah yang mengalah.

Ia kembali duduk menunggu santai di tengah tawa lepas keduanya.

Setelah beberapa detik bermain ...

"Haahaa! paman nanti ajari aku tekhnik itu ya!" teriak Ken semangat.

"Kamu jangan minta paman yang ajari, kamu cukup ikut sekolah sepak bola saja!" anjur Zero pada Ken secara reflek.

Ken yang semangat mulai surut dan menghentikan permainannya setelah mendengar kata sekolah.

"Paman! aku capek! aku mau pulang saja!" ucap Kenzie membiarkan bolanya menggelinding begitu saja.

Zero memikirkan kembali kata-katanya yang salah.

Setelah ia mengingat, barulah ia sadar bahwa kalimat yang ia ucapkan untuk Kenzie salah. "Huf!"

Keduanya membiarkan Kenzie berlari lebih dahulu untuk melepas kekesalannya.

Sedang Zero dan Anjani berjalan santai di pinggiran trotoar dengan penyinaran lampu jalan yang berwarna keemasan. Situasi sepi membuatnya lebih leluasa untuk berbincang lebih dalam.

Anjani yang memiliki beban di pundak yang sangat besar merasa ringan setelah saling berbincang walau hanya kalimat-kalimat yang sangat receh.

Ia segan pulang karena kenyamanan itu. Tapi melihat Kenzie yang sudah tak terlihat lagi, mereka hendak akan berjalan berbeda arah untuk pergi ke apartemen masing-masing.

"Sampai di sini saja ya! ucapkan permohonan maaf saya untuk Ken!"

"Ah tidak usah minta maaf. Emang kamu tidak salah."

Sebelum Zero dan Anjani berpisah arah, rasa canggung semakin menggelayuti keduanya.

Anjani yang hendak melangkah ke kanan, refleks terhalang oleh Zero yang terlihat kompak melangkah ke arah yang sama. Begitu pun Zero. ketika ia kan melangkah ke arah lain, Anjani tak sengaja melangkah ke arah yang sama pula.

Keduanya tersenyum dan saling beradu pandangan.

"Ma--af!" ucap Anjani dengan mata yang tak bergeming.

"Silahkan! kamu duluan yang jalan!" balas Zero melemparkan pandangan ke arah yang lain.

"Kamu saja!" balas Anjani.

Zero tak ingin berlama-lama berdua dengan perempuan. Karena pada dasarnya, setiap kali dia bersama dengan wanita, rasa ragunya semakin bergemuruh. Antara suka dan tak suka.

Zero pun segera mendahului melangkah meninggalkan Anjani yang berdiri tegak tepan di samping tiang listrik yang meneranginya.

Ketika Zero baru beberapa langkah menjauh, Anjani memalingkan badannya memunggungi Zero dengan menahan nafas dan menghempaskannya bersamaan dengan satu kalimat.

"Zero! maukah kamu tidur bersamaku malam ini?" ucap Anjani memberanikan diri dengan helaan nafas yang panjang.

Langkah Zero sontak berhenti.

"APA?"

Zero berdiri kaku. Keringat dingin menyelimuti tubuhnya. Mata dan mulutnya seolah terkunci.

Ketakutan semakin mengerubuni hati Zero. Ia takut kalau-kalau Anjani tahu pekerjaan dia sebenarnya.

'Apa dia tahu?' bisik hati Zero.

***

Apa Anjani dan Zero akan bermalam berdua?

buka bab selanjutnya.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status