Share

CHAPTER 8: KLARA'S DAILY LIFE

Klara POV

Di hari Selasa pagi yang dingin ini, aku sudah bersiap-siap untuk berangkat karena mulai hari ini aku sudah menjadi salah satu staf divisi 3D Animator resmi di salah satu studio ternama bernama Animotion Studio. Sejujurnya, aku sangat gugup dan juga khawatir apakah aku akan mendapatkan teman di sana. Tapi aku berusaha untuk mengusir pikiran negatifku dan menggantinya dengan pikiran positif, pasti aku akan dapat teman di sana.

Tanpa berlama-lama lagi, aku bergegas ke sana dengan menaiki bus seperti biasa. Cuaca hari ini sepertinya terasa lebih dingin dari kemarin, aku bahkan sengaja memakai pakaian tebal plus jaket yang tebal juga, sampai-sampai aku terlihat seperti penguin raksasa. Tapi aku tidak mempedulikannya, karena yang terpenting aku tidak kedinginan dan bisa fokus untuk menjalani hari pertamaku bekerja.

Setibanya aku di tempat kerja, aku langsung menemui Mr. Albert untuk tanda tangan kontrak kerja.

“Selamat pagi, Mr. Albert. Saya Graciana Klara Hamilton, saya diminta untuk menemui anda hari ini,” ucapku dengan nada lugas, sembari berjabatan tangan dengannya.

“Selamat pagi, Ms- I mean Mrs. Hamilton. Baik, anda boleh duduk sekarang,” sahutnya sembari melirik ke arah cincin yang terpasang di jari manis tangan kiriku. “Ehem ... mohon dibaca terlebih dahulu dengan teliti, bila sudah tolong segera ditanda tangani,” lanjutnya sembari memberikanku selembar kertas berisikan kontrak kerja.

“Sudah saya tanda tangani,” ucapku seusai membaca dan menandatangani kontrak kerja, aku langsung menyerahkan selembar kertas itu padanya.

“Baiklah, terima kasih. Mulai hari ini, anda diterima bekerja di studio Animotion. Selamat bekerja, Mrs. Hamilton. Untuk saat ini, kamu bisa bertemu dengan ketua divisi, Mr. David,” ucapnya dengan senyum formal sembari berjabatan tangan denganku lagi.

Setelah itu, aku keluar dari ruang HRD lalu bergegas menuju ke ruang kerja Mr. David.

Tok tok tok— Aku mengetuk pintunya beberapa kali, dan terdengar suara dari dalam mengijinkanku masuk.

“Selamat pagi, saya Graciana Klara Hamilton, hari ini merupakan hari pertama saya bekerja, dan Mr. Albert meminta saya untuk menemui anda, Mr.  David,” ucapku dengan cukup cepat.

Bagaimana tidak? Aku merasa sangat gugup sekarang karena pria yang bernama David ini memiliki aura yang cukup mengintimidasi. Aku seperti melihat ada aura-aura hitam di sekitar tubuhnya, sampai membuatku reflek menundukan kepalaku, bermaksud menghindari tatapannya. Aku tahu, hal itu tidak sopan, tapi aku benar-benar tidak tahan kalau harus bertatapan mata dengannya.

“Ooh, halo selamat pagi. Senang bertemu denganmu, Mrs. Hamilton. Seperti yang sudah kamu tahu, saya merupakan ketua divisi animator. Jadi, selama beberapa bulan ke depan, saya yang akan melatihmu sampai kamu bisa beradaptasi di sini. Jadi  santai saja, tidak perlu gugup. Oiya, saat keluar dari sini, kamu tinggal belok kanan dan kamu akan menemukan pintu bertuliskan staf animator. Ruanganmu di situ, okay?” sahutnya padaku sambil memasang senyum ramahnya.

Entah kenapa, aura hitam tadi langsung berubah menjadi cahaya yang berkelap kelip di mataku. Syukurlah, kukira dia orang yang galak, ternyata hanya firasatku saja. Dasar Klara, kamu selalu saja main judge orang duluan!

“Baik, Mr.  David ... mohon bantuannya,” ucapku kemudian pamit untuk keluar dari ruang kerjanya dan bergegas ke ruang kerjaku.

Ini merupakan pengalaman pertamaku bekerja di studio sebesar ini dengan tata letak yang keren dan minimalis. Kuakui, perpaduan warna aquamarine dan carnation pink untuk dinding dan lantai terlihat lembut dan menenangkan.

Sebelumnya aku bekerja di studio yang sama terkenalnya, desain interiornya bagus tapi tidak seminimalis ini. Jadi aku cukup terkesan saat memasuki ruang kerjaku, karena didesain senyaman dan se-simple mungkin. Selain itu, peletakan meja dan kursi PCnya ditata seperti ruangan untuk bersantai. Bahkan, terdapat kasur dan bantal kecil untuk bersantai di salah satu sudut ruangan. Bagian dinding digantungi beberapa tanaman hias yang dapat membuat mood seseorang bagus kembali. Kalau seperti ini suasanannya, aku akan betah masuk kerja setiap hari, meskipun harus lembur.

“Halo, apa kamu anak baru yang bernama Klara? Perkenalkan namaku Gavin dan pria yang sedang tidur di sana namanya Jacob,” ucapnya sembari menjabat tanganku lalu menunjuk ke arah pria berkacamata yang sedang tertidur lelap di kasur, “mulai hari ini kita akan bekerja dalam satu tim. Jadi mohon kerja samanya ya!” sambungnya dengan penuh antusias.

Tampaknya, pria yang bernama Gavin ini orang yang supel. Syukurlah, sambutan hangatnya padaku mampu menghilangkan rasa gugupku.

“Iya, salam kenal ya Gavin, senang bertemu denganmu. Mohon kerja samanya mulai sekarang,” balasku dengan memasang senyum seramah mungkin, menyembunyikan rasa gugupku.

Sejujurnya, aku selalu merasa gugup bila berbicara dengan orang yang baru kutemui. Setelah perkenalan, aku duduk di meja kerjaku dan membuka PCku untuk mempelajari terlebih dahulu aplikasi yang digunakan oleh studio ini dalam pembuatan animasi.

“Saat ini kami sedang dalam proses penyatuan adegan per adegan storyboard, jadi kami memakai aplikasi ini dulu untuk merancangnya. Kamu bisa membukanya dulu untuk mempelajari tools yang ada di aplikasi tersebut,” ucapnya sembari mengarahkan kursor PCku ke aplikasi yang dimaksud dan membukanya dengan mengklik dua kali tombol mousenya.

“Baiklah, aku akan mempelajarinya dulu hari ini. Terima kasih banyak ya,” ucapku lalu fokus ke layar PCku.

Setelah kuamati beberapa saat, aplikasi ini hampir mirip cara kerjanya dengan aplikasi yang pernah kugunakan saat kuliah dulu. Aku pun mencoba untuk membuka file storyboard. Tampaknya, proses pembuatannya akan membutuhkan waktu yang lumayan lama.

Di hari pertama aku bekerja, aku disibukkan dengan mempelajari aplikasi pembuatan animatic. Well, aku sangat menikmatinya karena memberiku wawasan baru. Sampai-sampai tidak terasa kalau langit sudah berganti warna menjadi jingga kemerahan.

Aku melihat jam di pergelangan tanganku, tepat menunjukan pukul lima sore lewat tiga puluh menit yang berarti waktunya untuk pulang. Sayang sekali, padahal aku ingin mempelajarinya lebih lama lagi, tapi tidak apa-apa, masih ada hari esok. Aku pun bersiap-siap untuk pulang, saat aku baru saja membuka pintu, Gavin memanggilku.

“Hei, apa kamu mau hangout sebentar bersama kami?” serunya padaku sambil tersenyum lebar.

Sepertinya tidak ada salahnya untuk mencari hiburan sebentar, kira-kira Dorothy mau ikut atau tidak ya? Sebenarnya aku tidak begitu nyaman kalau hangout bersama teman laki-laki. Tapi setelah kupikir-pikir, tidak ada salahnya sesekali mencoba untuk keluar dari zona nyaman.

Siapa tahu mereka teman yang baik dan bisa diandalkan. Ini kesempatanku untuk membangun relasi dengan orang lain selain keluargaku, jadi harus kumanfaatkan sebaik-baiknya. Ayo Klara, kamu pasti bisa!

“Baiklah, aku mau. Bolehkah aku mengajak satu temanku?” sahutku kemudian disahuti dengan anggukan kepala oleh mereka. Tanpa berlama-lama, aku langsung menghubungi Dorothy.

Beberapa detik kemudian, temanku yang cantik itu mengangkatnya, dan syukurlah dia mau ikut dengan kami. Setelah itu aku, Gavin dan Jacob bergegas menuju kafe yang kemarin  ku kunjungi bersama Dorothy.

“Halo, namaku Dorothy. Nice to meet you, guys!” salamnya sembari berjabat tangan dengan Gavin dan Jacob. “Jadi, kita kangout lagi di kafe itu?” bisiknya lagi padaku.

Yup,” sahutku singkat. Mau bagaimana lagi, karena cuma kafe itu yang paling dekat dengan tempat kerja kita.

Come on guys! Aku sudah lapar nihh!” seru Gavin dengan semangat sembari menarik tanganku dan Dorothy agar berjalan lebih cepat lagi.

Tampaknya pria supel itu ingin cepat-cepat menghangatkan diri di kafe tersebut. Sementara Jacob cuma menghela napas pelan sambil terkekeh sedikit saat melihat tingkah teman akrabnya itu.

Setibanya di dalam kafe, Gavin dan Dorothy dengan semangat berlari menuju meja yang kosong. Aku dan Jacob mengikuti dari belakang dengan berjalan santai. Saat sampai di meja tersebut, aku menaruh tas ranselku di atasnya dan duduk dengan nyaman di kursi sofa. Aku membuka tasku untuk mengambil buku yang kupinjam dari Dorothy.

“Kalian mau pesan apa? Aku dan Jacob cuma mau pesan hot cappuccino dan cheese hamburger,” seru Gavin sembari menyodorkan buku menu padaku dan Dorothy.

“Aku ingin hot apple cinnamon tea dan cheese hamburger juga,” ucapku setelah membaca buku menu.

“Kamu tidak mau pesan kopi saja?” tanya wanita berparas cantik tersebut padaku. Aku langsung menggeleng pelan.

“Aku menderita maag akut, jadi aku tidak bisa minum kopi,” sahutku kemudian.

“Aaw... kamu pasti merasa tidak enak, karena tidak bisa minum sesuatu yang lezat. Oke, kalau begitu, aku pesan teh lemon panas saja dan burger daging sapi bacon,” ucapnya lagi, lalu memanggil pelayan untuk memesannya.

Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, pesanan kami tiba. Kami berempat pun menyantap makanan dalam hening, sampai suara Gavin memecah keheningan.

“Maaf, aku hanya ingin tahu tentang sesuatu. Apakah itu cincin kawin di jari manismu?” tanyanya sembari menatap cincin yang tersemat di jari manis tangan kiriku.

“Eh? Oh ini ... iya ini cincin nikahku,” sahutku setelah hening sesaat. Tanpa sadar aku menyentuhnya dengan jari telunjukku.

“Oow, jadi kamu sudah menikah,” ujarnya. Mungkin ini hanya perasaanku saja, tapi ekspresinya terlihat sedikit kecewa.

“Hmm ... iya, sebenarnya aku baru menikah selama dua bulan ...,” sahutku dengan nada pelan.

“Waah, kata kebanyakan orang yang sudah menikah, masa-masa awal pernikahan adalah masa-masa terindah. Kamu pasti sekarang sedang bahagia-bahagianya yaa? Ciee, aku turut bahagia!” seru Dorothy dengan semangat bermaksud menggodaku sedikit.

“Hmmm, iya ...,” sahutku singkat, mendengarnya berbicara seperti itu membuat dadaku sesak.

Seandainya pernikahanku seperti yang kebanyakan orang bilang, mungkin aku akan menjadi wanita yang paling bahagia di dunia ini. Seandainya ...

“Oh iya, apa aku boleh tahu nomor ponselmu? Pasti nanti kita akan sering saling contact untuk urusan pekerjaan. Kalau kamu juga punya akun i*******m, boleh juga ... hehe,” ucap Gavin dengan senyum lebarnya, sembari menyodoriku ponselnya

“Baiklah, ini nomor ponsel dan akun i*******mku,” sahutku setelah memasukkan nomorku dan mengetik akun instagramku diponselnya.

“Aku follow yaa, jangan lupa di follow back hehe ...,” sahutnya dengan sedikit bercanda.

Di hari pertama kami hangout bersama, kami berempat saling tukar nomor ponsel dan follow akun stargram. Itu berarti mulai hari ini kami berempat menjalin hubungan pertemanan.

Sekitar pukul delapan malam, kami akhirnya pulang ke rumah masing-masing karena berhubung besok masih hari kerja. Seperti biasa, aku dan Dorothy naik bus di halte yang sama, begitupun dengan Gavin dan Jacob yang juga menaiki bus namun di halte yang berbeda.

Saat tiba di unit apartemen, aku menempelkan access cardku di alat sensor dan membuka pintunya. Aku melihat sosok Kak Nathaniel sedang duduk di ruang tengah, tampaknya ia sedang sibuk mengerjakan pekerjaan kantornya. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk langsung masuk ke kamarku agar tidak mengganggunya.

Sejak kami sepakat untuk menjalani hidup masing-masing, aku terus berusaha untuk jaga jarak dengannya,  begitupun sebaliknya. Jadi, kupikir dengan tetap seperti ini, semuanya akan baik-baik saja, tidak akan ada yang tersakiti.

Keesokan harinya, aku kembali disibukkan dengan pekerjaanku mempelajari alur storyboard agar aku bisa segera membuat modellingnya. Kulalui hariku dengan sibuk mengerjakan pekerjaan yang kusenangi, bahkan sampai tak terasa sudah sebulan berlalu sejak kesepakatan itu. Kuakui, aku juga cukup menikmati keseharianku bersama dengan teman-temanku, bertukar pendapat tentang banyak hal, membuatku jadi belajar melihat dunia dari berbagai perspektif.

Aku bersyukur karena saat ini dapat merasakan serunya memiliki teman yang bisa kuajak ngobrol tentang apa saja tanpa rasa sungkan dan gengsi. Mungkin, cuma beberapa hal yang bersifat privasi saja yang tetap kusimpan di dalam lubuk hatiku, menunggu saat yang tepat untuk mengatakannya.

“Huwaaa ... tidak terasa sepuluh hari lagi hari natal! Padahal aku ingin sekali berkencan dihari natal, tapi tidak ada wanita yang ingin kuajak kencan! Aku kesaaal! Huufft ...,” teriaknya saat melihat kalender digital di meja kerjanya.

Sudah sejak seminggu yang lalu pria yang bernama Gavin itu terus mengeluh perihal kegiatan kencannya dengan wanita yang selalu gagal total. Well, bagaimana tidak? Dia selalu bersikap agresif ke setiap wanita yang ia kencani. Padahal aku sudah sering menasihatinya untuk mendekatinya secara perlahan. Jujur saja, bila aku ada di posisi wanita yang ia kencani, maka aku juga akan pergi meninggakannya.

“Tentu saja mereka akan meninggalkanmu, bodoh! Kamu selalu agresif terhadap setiap wanita yang kamu kencani, meskipun kalian berdua baru saja bertemu. Sekarang lebih baik berhenti mengeluh dan selesaikan pekerjaanmu dulu! Karena sebelum Natal, proses animatik harus selesai!” seru Jacob dari meja kerjanya.

Sayang sekali Dorothy berada di divisi Concept Art, pasti akan seru sekali melihat Dorothy ikut mengomelinya habis-habisan saat jam kerja seperti ini.

Jam digital di meja kerjaku sudah menunjukan pukul lima sore lewat tiga puluh menit. Artinya sudah waktunya untuk menghentikan pekerjaanku sementara waktu dan pulang ke rumah. Tapi sepertinya, hari ini aku tidak akan pulang tepat waktu seperti biasanya.

Kalau kalian tanya kenapa, jawabannya tak lain karena Gavin memintaku dan Jacob untuk menemaninya melepas penat di kafe yang biasa kami kunjungi untuk hangout. Kebetulan Dorothy sudah pulang duluan karena ada urusan penting, jadi cuma kita bertiga yang akan hangout di kafe tersebut. 

Setibanya di kafe, kami duduk di tempat biasa, karena kebetulan meja itu masih kosong. Saat aku duduk dan menaruh tasku di meja, aku baru sadar kalau Kak Nathaniel dan Kak Stefani juga sedang makan bersama di sini. Untung saja tempat mereka duduk agak jauh dari kami, jadi setidaknya aku tidak akan begitu canggung.

“Huwaaaa ... aku sebal! Kenapa tidak ada satu pun wanita yang mau berkencan denganku!! Padahal aku ingin sekali memiliki kekasih sejati! Please help me, guys!” serunya sembari memasang wajah memelas padaku dan Jacob, dengan sebotol beer di genggamannya.

Tampaknya Gavin sudah mulai mabuk, dia terus mengoceh hal-hal yang tidak masuk akal. Entah sudah yang ke berapa kalinya ia mengatakan kalimat itu. Aku dan Jacob bahkan sampai bosan mendengarkan keluh kesahnya berulang kali, dia terus mengulanginya selama hampir satu setengah jam.

“Kamu pikir saja sendiri!” sahutku dan Jacob bersamaan saking jengkelnya.

End POV

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status