Share

CHAPTER 9: NATHANIEL'S CONFESSION

Klara POV

Jarum jam di pergelangan tanganku sudah berada di angka delapan malam, artinya waktuku  untuk pulang sebelum bus selesai beroperasi.

Aku meminta Jacob untuk membujuk Gavin pulang, karena berhubung besok masih hari kerja. Tapi sepertinya dia sudah mabuk berat, pria itu bahkan tidak bergeming sama sekali dan memilih untuk tidur di atas meja.

Aku pun akhirnya ikut membantu membangunkannya. Percobaan pertama dan kedua gagal total. Pada percobaan ketiga, sepertinya berhasil, namun, tiba-tiba saja dia menerjangku sampai membuatku hampir terjengkang.

Aku membelakakan mataku saat Gavin tiba-tiba memelukku dengan erat dan mengatakan sesuatu. Tapi, sayangnya tidak begitu terdengar olehku.

Tampak sekilas dari kejauhan, Kak Nathaniel menyaksikan kami berdua. Ekspresinya berubah seketika, seperti akan menerkamku.

“He-heii! Lepasin aku, Gavin! Aku sesak nihh!” protesku sambil meronta-ronta.

Tak ingin jadi pusat perhatian, Jacob dengan sigap menarik tubuh Gavin agar melepas pelukannya. Setelah beberapa saat, Jacob berhasil melepaskannya dariku dan langsung bergegas menuntunnya berjalan keluar dari kafe secepatnya. 

Aku langsung mengikutinya dari belakang, setelah sebelumnya membayar makanan kami tadi di kasir. 

.

.

Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya ada taksi yang lewat. Akupun langsung menghentikannya.

“Untuk hari ini aku dan Gavin akan naik taksi saja. Terima kasih ya, Klara ... uangnya besok akan kuganti. Maaf kami tak bisa menemanimu menunggu bus,” ucapnya saat mereka berdua sudah memasuki taksi. “See you tomorrow!” sambungnya lagi sesaat sebelum taksinya berangkat.

It’s okay, sampai jumpa besok!” seruku pada mereka sambil melambaikan tanganku. Setelah taksinya sudah cukup jauh, aku langsung berjalan ke arah halte bus. 

Setibanya di halte, tidak ada seorang pun di situ, jadi aku memutuskan untuk duduk di kursi sambil mendengarkan musik di MP3 Playerku. Sembari mendengarkan musik, aku mengamati ada beberapa butiran berwarna putih yang jatuh di aspal. Aku mendongakan sedikit kepalaku dan betapa senang hatiku saat melihat butiran salju turun secara perlahan dan jatuh di atas aspal. Melihat begitu banyak salju yang turun, membuatku tertarik untuk mencoba menangkap salah satu butiran saljunya.

Tanpa membuang banyak waktu, aku langsung bangkit dari kursi dan berjalan keluar dari halte. Aku membuka salah satu sarung tanganku dan mengulurkannya sedikit untuk menangkap butiran saljunya. Butiran salju yang mengenai telapak tanganku, memberiku sensasi dingin yang sedikit tajam.

Meskipun salju turun tiap tahun, aku tidak pernah merasa bosan. Sejujurnya, musim salju merupakan musim kesukaanku, karena menurutku sangat menyenangkan bisa bermain lempar bola salju dan berlomba membuat boneka salju.

—Tiiiiiiiiiinnn—

Suara klakson mobil membuatku melonjak kaget hingga reflek berlari mundur ke arah halte.

Tampilan mobilnya mirip seperti mobil Kak Nathaniel. Dan benar saja, aku mengerjap kaget saat melihat sosok pengemudinya yang tak lain memang dia.

Mau apa dia kemari? Bukankah dia sedang bersama dengan Kak Stefani tadi? Tidak mungkin, aku pasti sedang berhalusinasi sekarang!

End POV

.

.

Nathaniel POV

Dua minggu berlalu sejak kami membuat kesepakatan, aku menghabiskan waktuku dengan menyibukan diri mengerjakan pekerjaan kantorku. Begitupun dengan wanita itu, ia terlihat begitu bersemangat tiap kali mau berangkat kerja. Syukurlah, kehidupanku akan berjalan mulus seperti dulu lagi, begitu pikirku awalnya.

Namun, saat aku melihatnya di depan kafe bersama pria tua waktu itu, aku mulai merasakan perasaan aneh. Senyum tulus dan kebaikan yang dia berikan pada pria tua itu, seperti menimbulkan sesuatu di dalam dadaku.

Sejak itu, aku terus bertanya-tanya, kenapa dia mau berbaik hati pada orang yang bahkan dia tidak tahu asal usulnya. Aku bahkan hampir tertawa saat memikirkannya, karena tidak masuk akal sama sekali.

Apa yang akan dia dapat dengan melakukan hal itu? Dia hanya akan merugikan dirinya sendiri.

Ayah dan ibuku memang pernah menasihatiku, kalau kita harus membantu orang yang kurang mampu tanpa pilih-pilih. Awalnya kupikir memang sudah seharusnya membantu orang yang kesusahan.

Tapi, setelah mengetahui kenyataan kalau orang yang dibantu orang tuaku menyalahgunakan uangnya untuk berfoya-foya, aku sangat marah.

Sejak saat itu, aku memutuskan untuk tidak sembarangan membantu orang, apalagi yang tidak kuketahui asal usulnya.

Aku tidak ingin melakukan kesalahan yang sama seperti yang pernah dilakukan oleh kedua orang tuaku.

Awalnya, aku tidak ingin mempedulikannya, karena menurutku wanita itu hanya akan membuang-buang waktuku. Namun, seiring berjalannya waktu, aku sering melihatnya mengunjungi kafe tersebut bersama ketiga temannya. Melihatnya tertawa lepas sambil melempar canda ke teman-temannya membuatku jadi ingin terus mengamatinya dari kejauhan, kuakui senyumannya sangat manis.

Bahkan, aku pernah tak sengaja mendengar saat dia menjawab salah satu pertanyaan temannya perihal tipe kesukaannya. Wanita itu dengan polosnya bilang kalau dia suka pria yang gemar menolong sesama yang membutuhkan. Dia juga bilang, suka dengan pria yang apa adanya dan tidak jaim.

Setelah kupikir-pikir lagi, selama ini wanita itu memang tidak pernah jaga image di hadapanku, dia selalu menunjukan dirinya apa adanya, dan selalu bertingkah konyol. Selain itu, aku juga tidak pernah melihatnya memakai make up saat di rumah, wajahnya sangat polos tanpa polesan.

Mungkin secara tidak langsung dia ingin memberitahuku kalau tidak apa-apa menunjukan sisi burukku di hadapannya.  

Saat aku membuang access cardnya, dia sama sekali tidak mencoba untuk balas dendam padaku. Dia cuma marah sebentar, setelah itu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Wanita itu memang pernah mencoba untuk mencurinya, namun, itu karena dia ingin bertemu dengan anak-anak panti. Padahal bisa saja, dia diam-diam mengambil access cardku saat aku sedang terlelap dan membuangnya, aku tidak akan marah padanya, karena aku pikir kalau aku pantas mendapatkannya.

Tapi, wanita itu malah dengan ajaibnya mengajakku untuk berteman dengannya, karena dia tidak suka bermusuhan dengan orang lain.

Padahal, yang seharusnya dia lakukan itu marah dan balas dendam padaku, karena ulahku dia jadi kehilangan pekerjaan yang disukainya! Harusnya dia tidak mau berbicara lagi denganku, bahkan harusnya memusuhiku. Tapi dia tetap mau berbicara denganku dan memperlakukanku seolah aku ini tidak melakukan kesalahan apa-apa padanya.

Aku tidak mengerti kenapa dia melakukan itu, padahal aku selalu ingin membuatnya menderita. Kenapa dia tidak pernah membalasnya?

“Kamu itu Nathaniel yang terkenal dengan kejeniusannya dalam memecahkan masalah dengan merancang program 'kan? Tapi, untuk hal semudah itu saja kamu tidak bisa memecahkannya sama sekali?" balas Alex lalu mengembuskan napas sejenak, "Itu artinya Klara mencintaimu tanpa syarat! Dia memaafkan semua kesalahanmu, karena dia menerima dirimu seutuhnya!” sambungnya lagi dengan tegas.

“Cinta tanpa syarat? Bukankah hal seperti itu cuma ada di cerita dongeng?” sahutku masih tidak mengerti.

“Tidak juga, aku pernah menyaksikannya sendiri, kok. Kalau kamu mau tahu, saat SMA dulu, aku pernah beberapa kali tak sengaja memergokinya sedang memberi makan siangnya pada seorang anak gelandangan,” sambungnya lagi.

“Oke, aku paham. Tapi, kenapa dia harus melakukan itu?” Aku masih benar-benar tidak mengerti kenapa wanita itu bisa begitu baik pada orang asing.

“Tentu saja karena dia memiliki rasa empati yang besar, itu sebabnya dia peduli dengan masalah kemanusiaan! Apa yang salah denganmu, bung? Dalam hal ini, dia tidak perlu mengenal orang yang dia bantu secara pribadi. Dia melakukannya karena rasa kemanusiaan, mengerti? Pikirkan baik-baik, dia bisa memberikan begitu banyak cinta kepada orang asing, apalagi kepadamu, suaminya. Mungkin dia akan memberikan seluruh hidupnya untukmu! Kamu harus bersyukur memiliki istri yang bisa memberi cinta tanpa syarat dan peduli tentang masalah sosial. Saat ini, orang jarang peduli pada orang miskin, mungkin satu dari seribu orang. Dan dia adalah salah satu dari orang-orang itu. Kamu harus merawat istrimu dengan baik! sahutnya panjang lebar dengan nada kesal.

Tapi, kata-katanya mulai menyadarkanku akan sesuatu.

“Cinta tanpa syarat? Empati? Rasa kemanusiaan?”

Aahh, sekarang aku paham kenapa aku sering merasakan perasaan aneh itu.

Ya, aku sadar kebaikan hatinya telah berhasil menyentuh hatiku dan memberiku perasaan hangat. Oleh karena itu, secara perlahan aku mulai terbiasa dengan kehadirannya, dia telah mengajariku tentang cinta tanpa syarat dan rasa empati pada orang lain.

Mungkin itu sebabnya kenapa aku merasa kesepian saat dia menjaga jarak denganku, usai kesepakatan yang kami buat. Tapi perasaan ini, entah mengapa aku rasa lebih dari sekedar kesepian. Lebih ke rasa— cinta—

Ya, cinta ... sepertinya aku telah jatuh cinta padanya.

“Sepertinya aku mulai jatuh cinta padanya ...,”ucapku setelah beberapa saat terdiam. Ya, perasaan hangat ini muncul lagi, ada sedikit perasaan menggelitik di perutku.

Itu alasannya kenapa aku kesal saat Klara dipeluk oleh teman prianya di kafe, kusadari kalau aku cemburu. Rasanya aku ingin sekali memukul pria itu karena telah berani menyentuhnya. Tapi, aku menahan diri karena tidak ingin membuat keributan di tempat umum.

Oleh karena itu, aku memutuskan untuk mengantar Stefani pulang terlebih dahulu lalu kembali lagi untuk menjemput Klara di sini. Dan benar saja, saat aku hampir tiba di halte bus yang biasa dia tumpangi. Lagi-lagi tanpa ia sadari, dia memperlihatkan kepolosannya padaku.

Wanita itu terlihat begitu gembira saat mencoba mengulurkan tangannya untuk menangkap beberapa butiran salju yang turun secara perlahan. Rasanya aku ingin sekali menarik tubuh mungilnya ke dalam pelukanku sembari menciumnya sampai dia kehabisan napas.

—Tiiiiiiiiiinnn—

Suara klakson mobilku membuatnya melonjak kaget hingga reflek berlari mundur ke arah halte.

Ku akui, aku suka sekali mengerjainya, karena reaksinya sangat lucu. Terlihat jelas sekali dari raut mukanya kalau ia tak menyangka akan melihatku di sini. Wanita itu bahkan tidak bergerak sama sekali, ia hanya menatapku dalam diam. Kami berdua saling bertatapan selama beberapa saat, tapi dia malah membuang pandangannya ke sembarang tempat lagi seperti waktu itu.

Sepertinya aku harus memaksanya sedikit agar mau pulang denganku. Oleh karena itu, aku berinisiatif untuk membukakan pintu mobil untuknya. Saat aku keluar dari mobilku untuk membuka pintu sebelahnya, ia sedikit membelakakan matanya.

“Hei, masuklah ...,” ucapku setelah membukakan pintunya, sembari menahannya agar tetap terbuka. Dia tampak bingung, mungkin dipikirnya bukan dia yang sedang kuajak bicara. Terlihat jelas saat dia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri seolah mencari orang yang kuajak bicara.

“Klara, masuklah, malam mulai terasa dingin,” sambungku lagi. Tampaknya, sekarang ia yakin kalau dia orang yang sedang kuajak bicara.

“Tidak perlu repot-repot, aku bisa naik bus,” sahutnya singkat. Sepertinya wanita itu masih berusaha jaga jarak denganku. Well, aku tidak bisa menyalahkannya, hal ini terjadi karena usulku.

Please, ada yang ingin kusampaikan padamu ...,” sahutku lagi, agak memohon kali ini.

Well, katakan sekarang,” ujarnya dengan ekspresi datar. Ia tetap berdiri di posisi semula.

“Aku tidak bisa bilang di sini. Masuklah ke mobilku sebentar,” ucapku setengah memohon padanya. Sampai-sampai tanpa sadar, aku melangkahkan kakiku ke arahnya.

Okay,” sahutnya setelah berpikir sejenak.

Wanita itu akhirnya berjalan melewatiku dan masuk ke mobilku, diam tanpa kata. Aku pun berbalik ke arah mobilku dan ikut masuk ke dalamnya. Seketika itu juga suasana menjadi canggung, selama beberapa menit tidak ada dari kami yang membuka suara. Sampai—

“Ba-baiklah aku ketahuan sekarang!” seruannya secara tiba-tiba sukses mengejutkanku.

“Aku mengaku salah karena memakai sabunmu diam-diam selama dua hari berturut-turut. Aku terpaksa melakukannya karena aku baru tahu kalau sabunku sudah habis saat itu juga! Kumohon jangan denda aku, aku tidak punya uang sebanyak itu, jadi-jadi a-aku janji akan menggantinya dengan merek yang sama, bila Kakak mau memaafkanku! Aku tidak akan mengulanginya lagi! Aku janji!” pengakuannya yang panjang lebar membuatku tertegun sesaat lalu tertawa pelan.

“Ke-kenapa tertawa?? Aku serius tahu!” protesnya dengan wajah cemberut.

Well, haha ... sorry. Hanya saja bukan itu yang ingin kukatakan padamu,“ ujarku sembari menghentikan tawaku dan kembali memposisikan diriku bersandar di kursi pengemudi.

“Bukan itu? Lalu apa?” tanyanya dengan ekspresi bingung.

“Aku ... sudah mengakhiri hubunganku dengannya,” sahutku sembari menatapnya dengan lekat.

“Hah? Benarkah?? Kenapa? Kalian bertengkar??” tanyanya bertubi-tubi dengan ekspresi kaget dan sedikit khawatir.

Aku tidak tahu hatinya terbuat dari apa. Kenapa dia bisa-bisanya malah mengkhawatirkan hubunganku dan Stefani? Apa dia tidak pernah memikirkan dirinya sendiri?

“Hmm, tidak ... kami berpisah secara baik-baik kok,” sahutku dengan nada tenang.

“Lalu?” tanyanya lagi.

“Ada wanita lain yang berhasil memikat hatiku ...,” sahutku bermaksud memberinya hint.

Wh-what? Maksudnya Kakak selingkuh di belakang Kak Stefani?? Kok Kakak bisa jahat begituuu sihh??” protesnya kesal.

Astaga... Kenapa dia bisa begitu lemot? Kupikir dia akan segera menyadarinya.

“Aku baru tahu ternyata kamu agak lemot juga,” ucapku datar.

“Hah? Aku lemot? Issh, aku 'kan lagi serius sekarang!” protesnya lagi sambil cemberut.

“Aku juga serius! Jadi, tolong dengarkan aku,” seruku padanya dengan sedikit berteriak. Ia tertegun saat aku sedikit mengeraskan suaraku.

“Wanita itu adalah kamu, Klara!” tegasku padanya. Tampaknya ia terkejut dengan pernyataanku barusan, seperti salah tingkah.

“Oooh ... emm, itu ... Kakak tidak salah makan, kan?” tanyanya seperti mencari kepastian dari kata-kataku.

“... Pffftt—ahahaha ... kamu lucu sekali, Klara. Tentu saja tidak! Aku bahkan belum makan apa-apa malam ini. Dan aku benar-benar lapar sekarang ... hmmmpph ...,” ujarku sembari perlahan mendekati wajahnya lalu mengecup bibirnya dengan lembut.

Untuk beberapa saat, Klara tidak merespon ciumanku, ia hanya diam membiarkanku mengecup bibir mungilnya. Aku sedikit memaksanya agar meresponku dengan mencoba memasukan lidahku ke dalam mulutnya. Sepertinya cara ini berhasil, ia sedikit mengeluh saat membuka mulutnya dan membiarkan lidahku masuk untuk beradu lidah dengannya.

Yah, aku tahu apa yang aku lakukan itu salah, karena aku tidak meminta persetujuannya terlebih dahulu. Tapi, aku memutuskan untuk tidak memikirkannya sekarang. Aku hanya ingin merasakannya sedekat mungkin denganku.

“Ku rasa ... hahh ... haah ... sudah cukup untuk saat ini ... hufft ...,” ucapnya dengan napas terengah-engah.

Ia mendorong tubuhku sedikit lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi sembari membuang pandangannya dariku.

“Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak terlibat dalam hal apapun? Tapi, kenapa tiba-tiba Kakak melakukan ini padaku?” lanjutnya lagi, masih enggan menatapku.

“Maaf ... aku baru menyadarinya ketika kita membuat kesepakatan. Pada awalnya aku berusaha mengabaikannya karena kupikir itu tidak berarti apa-apa, tapi secara perlahan ada perasaan aneh di dalam diriku. Aku selalu merasa hampa saat melihatmu mengabaikanku. Aku tahu semua itu karena perjanjian yang kubuat ... Tapi, aku tidak tahan lagi, aku benar-benar ingin memberitahumu tentang perasaanku. Tolong, beri aku kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang telah kulakukan padamu,” sahutku lalu mengeluarkan surat kesepakatan dari dalam tas kerjaku.

“Aku akan membuang surat perjanjian. Mari kita mulai dari awal. Kamu mau?” lanjutku.

“Tolong beri aku waktu untuk berpikir ...,” pintanya setengah berbisik.

Sekarang ia menoleh ke arahku dengan ekspresi sendu. Sepertinya semua ini terlalu mendadak untuknya, baiklah tidak apa-apa, mari kita mulai pelan-pelan.

“Baiklah, aku akan menunggumu sampai kamu siap.”

End POV

.

.

Klara POV

Saat mendengar pernyataannya, kuakui aku sangat bahagia karena akhirnya perasaanku berbalas. Tapi, entah kenapa aku malah merasa takut ... what’s wrong with me? Apa yang kutakutkan? Aku tidak mengerti ... yang kutahu dengan pasti, sekarang aku merasa takut ...

End POV

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status