"Harry, buka pintunya!" Seseorang menggedor pintu rumahnya dan berteriak-teriak dengan keras.
Harry dengan malas bangkit dari tempat tidurnya. Diseretnya kakinya dengan berat untuk membuka pintu. Dengan malas dibukanya pintu kayu yang cukup berat itu. Dan di saat bersamaan sang penggedor pintu tengah mengayunkan kaki hendak menendang pintu kayu yang lumayan berat itu. Sementara sebuah tas ransel bergelantungan di dadanya.
Untuk sesaat keduanya saling bertatapan. Dengan jengkel, sang penggedor pintu menurunkan kakinya. Dan dengan marah dia meraung pada pria di depannya yang tengah menyender dengan santai di daun pintu.
"Harry Si, bisakah kau berpakaian dengan benar?" teriaknya dengan salah tingkah.
"Milli, bisakah kau tidak berteriak? Suaramu terdengar sampai ke ujung gang," Pria itu menjawabnya dengan acuh tak acuh.
Sang penggedor pintu bernama Milli itu pun memelototi pria di depannya. Pria ini sebenarnya cukup tampan dan memiliki tubuh yang bagus, meski sayangnya otaknya benar-benar payah.
Dihelanya napas dengan pelan untuk menenangkan emosinya. Setelah merasa cukup tenang, Milli pun masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi dalam ruangan yang sepertinya adalah ruang tamu.
"Harry, duduklah. Aku ingin bicara denganmu." Milli menatap Harry yang mengikutinya masuk.
Sekali lagi dipelototinya pria itu. Pria ini benar-benar tidak menyadari kondisi tubuhnya. Dia hanya mengenakan celana panjang jeans yang resletingnya terbuka dan bertelanjang dada.
Milli meneguk ludah. Tanpa sadar tatapannya jatuh pada dada bidang dan perut six pack pria itu. Bulu-bulu di dadanya membuatnya merinding.
Dia hanya bisa mengeluh dalam hati. Harry Si memang salah satu anak buahnya yang paling lumayan tampangnya. Namun otaknya paling payah, dan kekonyolannya ampun-ampunan.
Terlalu sering dia harus membereskan kekacauan yang ditimbulkan Harry Si. Meski tidak merugikan secara materi atau membahayakan nyawa, tetap saja itu menjengkelkan baginya. Karena itu dia heran mengapa mendiang kakaknya sangat mempercayai si bodoh ini?
"Tunggu, cuci mukamu, gosok gigi dan berpakaianlah dengan benar!" Milli kembali berteriak saat melihat pria itu hendak duduk di depannya.
"Milli, ayolah …." Harry tak melanjutkan perkataannya saat melihat tatapan membunuh dari perempuan yang tengah duduk di depannya.
Tanpa banyak protes, Harry segera melesat ke kamar mandi dan melakukan perintah Milli. Dia masih ingin hidup, jadi lebih baik turuti apa pun perintah bosnya itu.
Milli adalah satu-satunya bos geng perempuan di kawasan itu. Meski seorang perempuan, dia tidak kalah sadis dari para lelaki. Dan Harry paling takut padanya. Milli sangat berbeda dengan kakak laki-lakinya, Tony, yang cenderung dingin dan pemilih dalam menerima pekerjaan.
Sedangkan Milli selalu berorientasi pada uang, uang dan uang. Kakak beradik ini memang berbeda prinsip. Namun, darah selalu lebih kental dari air. Anthony sangat menyayangi dan melindungi Milli, satu-satunya anggota keluarganya yang tersisa. Meski mereka kerap bertentangan, namun jarang ada konflik tajam di antara keduanya. Dan sepeninggalan Tony, dua tahun lalu, Milli menggantikan posisi kakaknya itu memimpin geng yang telah ada hampir sepuluh tahun lebih itu.
Harry Si merupakan salah satu anggota geng terlama. Dia bersama Tony sempat merajai jalanan kota ini. Bagi Milli keberadaan Harry di sisi kakaknya sungguh mengganggu pemandangan. Namun dia satu-satunya sahabat setia sang kakak bahkan sampai saat maut menjemputnya.
Mengingat itu, selalu berhasil membuatnya menekan keinginannya menendang laki-laki bodoh ini jauh-jauh darinya. Dan di saat dia muak dengan segala kebodohan dan kekonyolan Harry Si, pria ini mengajukan keinginannya untuk pensiun dari dunia hitam. Milli menyambut dengan antusias keinginan sahabat mendiang kakaknya itu. Namun dia ingin Harry Si melakukan sesuatu untuknya sebelum dia pergi.
Setelah mandi dan berganti pakaian, Harry kembali menemui bosnya itu. Kini mereka berdua duduk berhadapan. Milli menatapnya dengan serius. Sementara Harry hanya tertunduk sambil memainkan korek apinya.
"Harry, aku ada pekerjaan untukmu. Sekali ini aku menginginkan keberhasilanmu. Ini tugas yang teramat mudah." Milli menatapnya dengan tajam.
"Oke, aku akan berusaha sebaik mungkin," Harry berbicara dengan nada sungguh-sungguh.
Milli mengeluarkan sebuah gulungan dari tas ranselnya yang sedari tadi masih didekapnya. Gulungan itu dibukanya setengah. Sepertinya itu sebuah lukisan. Harry menatap Milli dengan tampang konyolnya itu. Dia tidak mengerti apa yang harus dilakukannya dengan sebuah gulungan.
"Tugasmu kali ini adalah menukar lukisan ini dengan lukisan di balai lelang." Milli memberikan gulungan itu padanya.
Harry menerimanya. Dan membuka lukisan itu. Kini gulungan itu terbuka seluruhnya. Itu memang sebuah lukisan. Tapi kuno atau tidaknya, Harry tidak mengerti dan tidak tertarik untuk menyelidikinya. Dia hanya perlu menukarnya, maka selesailah tugas yang diberikan oleh bosnya itu.
"Oke, kapan aku harus menukarnya?" Harry menggulung lukisan itu kembali.
"Sebelum tahun baru Imlek kau sudah harus menukarnya. Lukisan itu akan di pamerkan dan dilelang dalam perayaan tahun baru itu." Milli meletakkan secarik kertas di atas meja.
"Ini alamat balai lelangnya. Di sini juga ada denah balai lelang, jadwal petugas keamanan dan cleaning service, kau bisa observasi dulu sebelum bertindak." Milli bangkit dari duduknya. Dia mengambil tas ranselnya dan beranjak pergi.
"Harry, jangan sampai gagal. Kau ingin berhasil dalam tugas terakhirmu bukan?" Perempuan itu berhenti sejenak saat hampir mencapai pintu.
"Baiklah Milli, kau jangan khawatir. Asalkan bayarannya sesuai, aku pastikan tidak akan gagal lagi." Harry tersenyum konyol menatap bosnya itu.
Milli hanya mendengus dan pergi begitu saja. Harry menatap kepergian bosnya itu. Senyum konyolnya pelan-pelan memudar dan berganti dengan senyum dingin dan sinis.
Gagal? Hohoho Harry Si, si maling bodoh ini akan memastikan tidak ada kegagalan dalam tugasnya kali ini. Gagal dan berhasil dari sisi dirinya. Milli? Kliennya? Dia tidak peduli. Karena dia tahu alasan mereka memilihnya untuk tugas ini karena dia terkenal sebagai maling bodoh, tak berotak.
Ditatapnya lukisan itu dengan penuh minat. Mereka tidak pernah menyangka bahwa Harry si, maling bodoh itu, mungkin salah satu orang yang paham betul nilai lukisan antik ini. Bahkan Milli pun tidak tahu berapa besar nilai lukisan yang harus ditukarnya itu.
Lukisan ini akan membuat keributan besar di awal tahun ini. Keributan yang akan mempermalukan dunia seni dan orang-orang yang terlibat di dalamnya.Keributan yang akan menutupi kekacauan sesungguhnya. Harry si tersenyum, sebuah rencana yang telah ada dalam otaknya selama dua tahun ini akan segera terlaksana.
Ini adalah waktu yang telah lama dia tunggu. Waktu untuk membalas kebohongan dan penipuan yang menyebabkan kematian Anthony, sahabat karibnya.
"Tony, saatnya kita bermain-main dengan orang-orang yang berlimpah uang. Meski aku tahu itu tidak akan menghidupkanmu lagi. Setidaknya aku puas," bisiknya lirih.
"Wah! Mirip istana di negeri dongeng!" Cecilia berseru saat motor besar Huan berhenti di depan sebuah bangunan megah bak istana."Rumah keluarga Wong kurang lebih juga seperti ini." Huan tersenyum melirik Cecilia yang menatap bangunan di depannya dengan kagum."Kalau kau ingin menjadi putri bak Cinderella atau Belle, kapan-kapan kita ke Chengdu." Huan menggandeng lengan gadis itu mengajaknya untuk memasuki bangunan megah itu."Tidak perlu, aku tidak mau menjadi putri. Aku hanya mau menjadi Ceci kesayangan Koko dan dirimu." Cecilia tertawa pelan dan bergayut manja di lengan Huan."Baguslah kalau begitu. Itu Tuan Theo!" Huan menunjuk pada seorang pria yang bergegas menemui mereka."Tuan Harry, saya sangat senang Anda berubah pikiran. Marilah, Nyonya Liliana sudah menantikan kedatangan Anda." Theo terlihat begitu bersemangat.Pria berkacamata itu menyambut mereka dengan ramah. Harry mengabarinya pagi tadi, bahwa dia bersedia untuk mencari kotak musik milik Nyonya Liliana.Mereka berdua me
"Pak Wang silakan!" Huan mempersilakan Darren Wang untuk duduk.Mereka kini berada di kafe yang dikelola anak buah mendiang Anthony. Di sudut kafe yang sepi karena pagi telah menjelang. Kafe ini bisa dikatakan buka sepanjang waktu."Harry, tidak pernah aku bayangkan bisa berbicara seperti ini denganmu. Mengingat kau licin seperti belut." Darren Wang tersenyum menatap pria yang lebih muda darinya itu."Terima kasih atas pujianmu Pak Wang," sahut Huan sembari menggaruk kepalanya.Dia sudah tidak lagi berbicara dengan bahasa yang formal pada pria itu. Rasanya akan terlalu berlebihan jika mereka berbincang-bincang dengan bahasa yang kaku, akan lebih terasa seperti sebuah interogasi daripa sebuah perbincangan ringan antar dua pria."Kepolisian tidak pernah bisa menemukan bukti akan keterlibatanmu dalam beberapa kasus pencurian besar hingga kini, karena itu aku pun tidak bisa berbuat apa-apa lagi." Darren Wang mengangkat bahunya dan tersenyum k
Huan menatap ke sekeliling yacht. Sepi, seperti tidak ada yang menjaga. Perlahan dia menelusuri geladak dan mengetuk pintu yang diyakininya sebagai sebuah ruangan pribadi. Itu terlihat dari sebuah papan nama yang tergantung di pintu."Sebentar!" Terdengar suara seorang wanita menyahut dari dalam.Pintu terbuka perlahan dan sesosok wanita berdiri, terkejut dengan keberadaan Huan yang bersandar di pintu dengan santai bersedekap tangan."Selamat pagi Nona Anna!" Sapanya seraya melambaikan tangannya dan tersenyum menggoda."Kau!" Anna Karenina tertegun menatap Huan. Dia mengenalinya sebagai pria suruhan pamannya untuk mencari kotak musik milik neneknya."Ada apa kau kemari? Apa kau akan menawarkan kotak musik itu padaku?" Anna Karenina menatapnya dengan gaya acuh tak acuh."Anda tidak ingin mempersilakan saya masuk?" Huan kembali tersenyum menggodanya.Anna menghela napas, terlihat dia sangat kesal dan tidak menghendaki keha
Cecilia terbangun saat smartphone yang diletakkannya di bawah bantalnya bergetar dengan keras. Masih setengah terpejam diambilnya benda itu dan menerima panggilan video yang masuk."Ceci jika besok aku tak kembali, bawalah kotak musik itu ke kediaman Nyonya Liliana bersama Jonathan." Wajah tampan Huan muncul di layar smartphone-nya."Huan, kau di mana?" Ceci segera terbangun, seketika kantuknya hilang begitu saja."Aku mengejar penyusup yang masuk ke apartemen. Jangan khawatir, aku pasti kembali." Huan tersenyum dan menggerakkan tangannya seakan-akan tengah menyentuh rambutnya."Huan berhati-hatilah! Aku akan menyusulmu!" Cecilia bergegas melompat turun dari tempat tidurnya."Tidak perlu, bye Cecilia, aku pasti kembali!" Huan mengakhiri panggilan videonya."Huan," gumam Cecilia lirih. "Firasatku tidak baik, seperti saat Koko Anthony menghubungiku malam itu." Tubuh Cecilia luruh ke lantai. Dia menangis tersedu-sedu."Aku
"Ini kotak musiknya?" Jonathan menatap kotak musik di atas meja."Lihat, perhatian dengan seksama. Mirip bukan?" Huan membuka sebuah album foto yang diambilnya dari tas kerjanya."Memang mirip," gumam Jonathan seraya bergantian membandingkan kotak musik itu dengan beberapa foto yang ada dalam album foto itu."Apakah dia Liliana?" Tiba-tiba saja Cecilia menunjuk pada foto seorang balerina. Foto hitam putih tetapi masih cukup jelas dan terang. Kemungkinan foto itu hasil repro dengan teknologi masa kini yang canggih."Dari mana kau tahu mengenai Nyonya Liliana?" Huan menatapnya heran."Dari ini!" Serunya seraya meletakkan setumpuk kertas dan juga buku note kecil yang tadi ditemukannya di dalam laci kotak musik.Huan dan Jonathan mengambil kertas-kertas itu dan memeriksanya dengan teliti kemudian membaca catatan yang tertera di dalam buku itu. Mereka berdua menatap Cecilia seakan meminta penjelasannya."Baiklah!" Cecilia ter
Cecilia berganti pakaian dan membersihkan lantai mezanin. Ada beberapa serpihan kaca yang masih tertinggal. Dia memiliki praduga itu serpihan kaca dari bola kaca saljunya yang pecah. Benda itu tidak ada di dalam laci mejanya."Bukan barang berharga, tetapi itu baru saja aku beli," gumamnya seraya membuang sisa-sisa serpihan kaca ke dalam tong sampah di sudut kamarnya.Setelah memastikan tidak ada lagi serpihan kaca di lantai, dia pun turun lagi ke lantai bawah. Dia mengambil paper bag yang berada di lemari penyimpanan di bawah tangga. Dia belum sempat mengeluarkannya kemarin."Aku belum sempat memutarnya lagi semenjak diperbaiki," katanya seorang diri dan mengeluarkan kotak musik tua dari dalam paper bag itu.Cecilia membawanya ke jendela dan meletakkannya di atas meja tinggi. Kemudian dia duduk di kursi berkaki tinggi sejajar dengan meja dan jendela. Dengan hati-hati digesernya kaca jendela agar udara segar dapat masuk."Semoga saja bisa
"Kau yakin dengan informasi itu?" Wanita cantik itu menatap pria yang berdiri menunduk di hadapannya."Benar Nona!" Pria itu menganggukkan kepalanya."Baiklah! Kalian harus bisa mendapatkan kotak musik itu terlebih dahulu sebelum orang-orang suruhan pamanku." Wanita itu mengambil beberapa lembar foto di atas mejanya."Hanya seorang gadis saja, aku rasa itu mudah bagi kalian, bukan?" lanjutnya lagi setelah menatap foto-foto itu cukup lama."Iya Nona." Pria itu kembali menganggukkan kepala."Pergilah!" Wanita bergaun merah itu menjentikkan jarinya dan pria itu pun pergi meninggalkannya seorang diri.Anna Karenina, wanita itu merupakan cucu satu-satunya Nyonya Liliana. Dia digadang-gadang akan menjadi pewaris seluruh kekayaannya.Sayangnya hingga saat ini Nyonya Liliana masih hidup dan segar bugar. Selain itu dia telah membuat pernyataan akan mewariskan kekayaannya pada anggota keluarganya yang meneruskan tradisi keluarga s
"Kotak musik?" Harry menatap Jonathan dengan kening berkerut."Benar Tuan. Nyonya Liliana kehilangan kotak musiknya beberapa hari yang lalu. Sepertinya Nona Anna, cucunya telah membersihkan gudang dan menjual semua barang yang terpakai pada toko loak." Pria berkacamata yang duduk di hadapan mereka menjelaskan maksud permintaan mereka."Nyonya Liliana bersedia membayar berapa pun asalkan kalian mendapatkan kotak itu," lanjutnya dengan serius."Theo! Kau tidak perlu repot mencari benda itu! Aku memang sengaja membuangnya! Sebaiknya kalian pergi dan tidak usah mendengar omong kosong wanita tua itu!" Seorang gadis cantik tiba-tiba saja datang dan menyela pembicaraan mereka."Nona, Anda tidak bisa bersikap seperti itu pada Nyonya Liliana. Beliau adalah nenek Anda." Theo, pria berkacamata itu menegur gadis itu dengan sopan."Kau pikir kau siapa? Kau hanya asisten pribadi nenekku, begitu dia meninggal kau orang pertama yang aku depak dari rumah
"Kau bisa memperbaikinya bukan?" Cecilia berjongkok di depan pemuda yang tengah mengamati kotak musiknya."Aku rasa bisa, ini hanya tuasnya saja yang bermasalah. Sebentar aku ambil alat-alatku." Pemuda itu tersenyum dan berdiri kemudian masuk ke dalam bengkel."Kalau begitu aku pergi berbelanja dulu!" Cecilia berseru dan setelah pemuda itu mengiyakan, dia pun segera meninggalkan bengkel."Sungguh membosankan jika Huan mulai sibuk dengan pekerjaannya," keluhnya saat menelusuri trotoar menuju pasar terdekat.Huan tengah menemui Alexander Lim dan Jonathan Mo. Dia tidak pernah ikut campur jika mengenai pekerjaan, kecuali untuk beberapa hal yang dapat dikatakan aman untuknya."Ceci!" Seorang wanita setengah baya berseru memanggilnya. Cecilia menoleh, dia segera berbalik dan menghampiri wanita yang tengah menata barang dagangannya."Ada apa Bibi Yu? Apakah ada sayuran segar yang baru datang?" Cecilia tertawa dan memilih sayur-sayuran y