Share

2. Air Mata Zoya

Setelah perseteruan dengan ayahnya kemarin, Zoya mengurung diri di kamar. Tidak berselera makan dan tidak enak tidur, dia hanya memikirkan apa yang harus dikatakan jika bertemu Azka dan orang tuanya. Apalagi mengetahui ayahnya yang akan menjodohkannya dengan orang lain, membuat Zoya semakin kebingungan.

“Ponselnya mati,” gumam Zoya saat meraih ponsel yang tidak dia lihat sejak kemarin.

Zoya menyalakan ponselnya, muncul notifikasi panggilan tak terjawab dan pesan dari para sahabatnya.

“Astaga, ponselku bisa meledak karena pesan dari dua orang ini,” gumam Zoya dengan senyum tipis, melihat banyaknya pesan dari Nisa dan Mila, sahabatnya.

[Hei, Zoya! Kau sakit? Kenapa tidak ke kantor?]

Pesan dari Mila.

[Zoya, kau tidak apa-apa, ‘kan? Tadi Azka mencarimu ke sini, ada apa denganmu? Kenapa tidak ada kabar?]

Pesan dari Nisa.

Belum sempat membalas pesan itu, Zoya terdiam saat muncul notifikasi dari kekasihnya.

“Azka menelepon sampai lima belas kali? Dia pasti khawatir,” gumam Zoya.

[Zoya, kau baik-baik saja?]

Pesan dari Azka.

Zoya hanya membaca pesan itu tapi tidak berani membalasnya.

[Kemarin aku menjemputmu ke kantor, tapi Nisa bilang kau tidak masuk tanpa pemberitahuan. Ada apa? Kenapa tidak mengabariku?]

Zoya menangis lagi, semakin merasa bersalah pada Azka dan keluarganya. Dari awal dia sudah tahu ayahnya tidak akan menyetujui hubungan itu. Tapi karena telanjur jatuh cinta, Zoya selalu menghibur dirinya dengan berpikir bahwa mungkin saja ayahnya bisa berubah.

Kini dia hanya menangis sendirian dan bahkan tidak berani untuk bertemu dengan Azka.

*** 

“Zoya mana, Bunda? Tidak ikut sarapan?” tanya Elvan, kakak laki-laki Zoya.

“Anak itu masih keras kepala?” tanya Arya ketus.

“Iya,” jawab Dita singkat.

Elvan yang tidak mengerti hanya memandang keduanya dengan raut penuh tanya.

“Hari ini aku akan bertemu Yogi Kavindra untuk membahas perjodohan Zoya dengan anaknya,” ucap Arya.

“Mas, apa sebaiknya kita bertanya dulu pada Zoya.” Dita khawatir Zoya akan menentang.

“Tidak usah, kali ini dia harus mematuhiku!” tegas Arya, mengakhiri sarapannya dan meninggalkan Dita yang tertunduk lemas.

“Bunda, sebenarnya ada apa?” tanya Elvan menyelidik.

“Zoya bilang ingin menikah dengan Azka, tapi ayahmu menentang. Sekarang dia malah akan menjodohkan Zoya dengan anak sahabatnya. Bunda khawatir pada Zoya. Kau tahu betapa keras kepalanya anak itu, ‘kan? Dia bahkan tidak keluar kamar dan tidak makan sejak kemarin.” Dita tidak bisa menahan tangisnya di depan Elvan.

Elvan menyiapkan beberapa makanan di piring.

“Aku akan mengantarkan ini dan bicara pada Zoya, akan kupastikan Zoya menghabiskan makanan ini,” ucap Elvan.

“Jangan terlalu keras padanya, El, dia pasti masih bersedih karena penolakan ayahmu kemarin,” pinta Dita.

“Berhentilah menangis, Bunda. Aku tidak suka melihatmu seperti ini, tenang saja aku akan bicara baik-baik pada Zoya.”

*** 

“Zoya, boleh Kakak masuk?” ucap Elvan di depan pintu kamar Zoya.

Tidak ada jawaban, Elvan pun membuka pintu. Terlihat Zoya masih berbaring di tempat tidurnya, pandangannya menatap kosong ke arah jendela sambil memegangi ponselnya. Matanya sembab karena menangis terus menerus.

“Zoya ...,”ucap Elvan lembut menyadarkan Zoya.

“Kakak, ada apa?” jawab Zoya dengan suaranya yang parau.

“Kakak tidak melihatmu saat sarapan tadi, karena itu Kakak bawakan sarapanmu. Ayo dimakan!” bujuk Elvan.

“Aku tidak lapar, Kak,” jawab Zoya lemas.

“Ayolah, Zoya. Jangan seperti ini, kau juga bersalah dalam hal ini.”

“Jadi Kakak sudah tahu, siapa yang memberitahu? Bunda? Atau Ayah? Tidak diingatkan pun, aku tahu kalau aku salah,” balas Zoya.

Elvan sedikit geram dengan sikap Zoya yang hanya memikirkan dirinya sendiri.

“Apa kau tahu bagaimana keadaan Bunda sekarang? Dia terus membujuk Ayah meski selalu berakhir dengan tangisan, wajahnya sangat murung, makan pun tidak benar. Apa kau tega melihat Bunda seperti itu?”

“Yang Kakak pikirkan hanya Bunda? Lalu, bagaimana denganku, Kak?” tanya Zoya lirih.

“Bagaimana aku dengan Azka? Bagaimana dengan orang tuanya? Aku sudah sangat dekat dengan keluarga Azka, Kak.” Zoya menatap kakaknya dengan sendu.

“Kenapa diam? Kakak pun tidak bisa menjawabnya, ‘kan?” lanjutnya lagi, kembali bulir bening mengalir di kedua pipinya. 

Elvan terdiam. Sama seperti ibunya, dia juga tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan Zoya.

Ayahnya tumbuh di keluarga yang keras, keluarga yang memilah status seseorang dari pangkat dan kekayaan, sehingga dia pun memiliki pandangan yang sama.

Dia memanjakan dan membebaskan Elvan dan Zoya dalam semua hal sejak kecil, kecuali hubungan.

“Aku juga pernah ada di posisimu, apa kau lupa?” Zoya menatap Elvan yang kini duduk di hadapannya.

“Lalu apa yang terjadi setelah itu, Kak?” Pertanyaan Zoya berhasil membuat raut wajah kakak laki-lakinya itu menjadi tak karuan.

“Menikah dengan pilihan Ayah, lalu bercerai?” tanyanya lagi membuat Elvan tak bisa berkata.

Elvan hanya menatap lekat adik perempuannya. Terlihat jelas kesedihan dan keegoisan di mata itu.

Tidak ada gunanya bicara dengan dia yang seperti ini, pikirnya.

“Aku sudah membawakanmu sarapan, makanlah!” ucap Elvan, bangkit dan berjalan meninggalkan Zoya.

Elvan berhenti tepat di pintu, dan berbalik. “Kau benar, Zoya. Pernikahanku dengan jodoh yang di pilihkan Ayah memang hancur, tapi setidaknya aku tidak menyakiti ibuku dengan keegoisanku.”

“Kau bertanya, bagaimana dengan Azka dan orang tuanya? Apa benar hanya itu yang penting untukmu sekarang? Kalau begitu kau egois, karena tidak mau tahu dengan keadaan ibu yang melahirkanmu, saat ini,” lanjutnya lagi.

“Habiskanlah makananmu! Bunda sedang menangisimu di meja makan, bahkan hari ini pun dia tidak menyentuh makanannya sedikit pun karena memikirkanmu,” tambah Elvan sambil berlalu.

Zoya merenungi setiap perkataan kakaknya sambil menangis.

“Kakak benar, aku memang egois,” ucapnya pelan.

Zoya merapikan penampilannya, membawa makanan dari Elvan dan berjalan menemui ibunya. Dilihatnya Dita masih termenung sendirian di meja makan.

“Bunda,” panggil Zoya dengan lembut.

Dita segera menyeka air matanya dan menengok ke arah Zoya.

“Zoya, kau baik-baik saja?”

Zoya terdiam sesaat, melihat wajah lelah ibunya. Dia merasa bersalah.

“Bunda kenapa tidak bangunkan aku untuk sarapan? Kakak bilang Bunda belum makan, karena itu aku bawa lagi makanan ini ke sini,” ucap Zoya menaruh piringnya di atas meja dan duduk di sebelah Dita, berusaha menutupi kesedihannya.

“Ayo, kita sarapan sama-sama, Bunda!”

“I-iya, kau makanlah yang banyak.” Dita menyantap makanan dengan senyum mengembang.

 

‘Terima kasih, Zoya. Aku tahu kau masih terluka,' batin Dita menatap anaknya.

Melihat wajahnya yang masih sembab, Dita tahu seberapa besar luka Zoya. Tapi melihatnya yang berusaha menutupi semua demi dirinya, menjadikan kekuatan bagi Dita.

Dia pun tidak boleh menunjukkan kesedihannya di depan Zoya, dia harus bisa menjadi kekuatan untuk Zoya, pikir Dita.

‘Maafkan aku, Bunda, karena aku egois,' batin Zoya menatap sendu pada ibunya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status