Share

4. Berakhir

Zoya tampak sedang menikmati makan malam bersama ibu dan kakaknya, setelah mengetahui sang ayah akan pulang terlambat. 

Sudah dua hari Zoya tidak pergi bekerja karena belum berani bertemu Azka, ponsel pun hanya dinyalakan saat malam hari agar tidak ada yang menelepon.

Zoya juga hanya berdiam diri di kamar, enggan keluar karena tidak mau bertemu ayahnya. 

“Baguslah kau terlihat baik-baik saja,” ucap Arya membuat Zoya terkejut.

Zoya langsung menatap ke arah ibunya. Dita pun sama terkejutnya, karena saat pagi jelas dia mendengar suaminya mengatakan akan pulang sangat larut.

“Mas, bukankah tadi pagi bilang akan pulang terlambat? Kalau tahu tidak jadi, kami pasti menunggu dulu untuk makan bersama,” ucap Dita tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan keterkejutannya, dia lalu menarik Arya duduk di kursinya dan meraih piring untuk menyiapkan makan malam.

“Tidak usah, aku sudah makan malam di luar,” cegah Arya.

Dita kembali duduk sambil menatap penuh khawatir pada anak perempuannya.

“Ada bagusnya aku pulang cepat. Aku jadi bisa bertemu dengan anak perempuanku, saking lamanya tidak bertemu aku bahkan hampir lupa di rumah ini ada anak perempuan,” ucap Arya pada istrinya, tapi semua tahu maksudnya untuk mengejek Zoya.

“Aku sudah kenyang,” ucap Zoya bangkit dari duduknya.

“Besok pagi keluarga Yogi Kavindra akan datang untuk menentukan tanggal pernikahan!” ucap Arya dengan wajah datar.

Zoya seketika berbalik dan mendekat pada ayahnya.

“Apa maksud Ayah? Kapan aku menyetujui pernikahan ini?” tanya Zoya dengan suara lantang.

“Ayah bukan meminta persetujuanmu, Zoya. Ayah hanya memberitahumu, kau akan menikah dengan anak tertua keluarga Wiguna!” tegas Arya.

“Ayah!” teriak Zoya.

“Mas, besok masih hari kerja, Zoya sudah dua hari bolos, jadi setidaknya besok dia harus kembali bekerja. Kita undur saja pertemuannya di akhir pekan,” ucap Dita buru-buru, takut Zoya tak bisa menahan kemarahannya.

“Dia akan menikah dengan seorang CEO, untuk apa bekerja lagi? Sudah, kirim saja surat pengunduran diri lewat kurir,” jawab Arya seraya berdiri dan berjalan menuju kamarnya, tanpa mendengar jawaban dari siapa pun.

“Ayah! Ayah tidak bisa memutuskan sepihak, ini hidupku. Aku yang berhak memutuskan dengan siapa aku menikah!” teriak Zoya penuh kemarahan.

“Pokoknya aku tidak akan mau menikah dengan pilihan Ayah!” teriak Zoya lagi.

Arya tak bergeming, dia tetap berjalan tanpa menengok sedikit pun.

“Sudah, Zoya! Lebih baik kau istirahatlah,” ucap Elvan.

“Tapi, Kak ...,” rengek Zoya.

“Tidak ada gunanya kau berteriak-teriak seperti itu, Ayah tidak akan mendengarkanmu!” tegas Elvan.

“Bunda ....” Zoya melirik pada ibunya, namun ibunya pun hanya duduk tertunduk sambil memijat kepalanya yang terasa pening.

Melihat reaksi Ibu dan kakaknya yang seperti itu, Zoya langsung berlari ke kamarnya dengan mata yang berkaca-kaca.

*** 

Zoya sengaja pergi diam-diam pagi ini, dia berangkat ke kantornya saat semua orang masih tertidur pulas.

Di kantor pun Zoya tidak bisa fokus pada pekerjaannya karena ketakutannya untuk bertemu Azka, bahkan sampai sekarang Zoya belum berani untuk membalas pesan-pesan Azka di ponselnya.

Untunglah ada dua sahabatnya, Nisa dan Mila yang mau membantu mengerjakan tugas-tugas Zoya. Meski pada awalnya Zoya harus dihujani belasan pertanyaan dari dua sahabatnya yang merasa khawatir.

“Zoya! Kenapa kau tidak bilang hari ini akan datang?” tanya Mila saat melihat Zoya di meja kerjanya.

“Zoya ... kau ke mana saja? Kenapa tidak ada kabar? Kau menerima pesanku, ‘kan? Kenapa tidak di balas? Aku meneleponmu berkali-kali, kenapa ponselmu mati?” Nisa menghujani Zoya dengan pertanyaan begitu melihatnya.

“Zoya, kau baik-baik saja? Kenapa wajahmu pucat sekali, kau tidak sakit, 'kan?” tanya Mila.

“Aku tidak apa-apa?” jawab Zoya lirih.

“Hei, apa ini? Aku yang bertanya lebih dulu, tapi malah Mila yang kau jawab,” gerutu Nisa dengan cemberut. 

“Maaf, maaf, lagi pula pertanyaanmu terlalu banyak, aku bingung harus jawab yang mana dulu,” balas Zoya.

“Tidak apa-apa, Sayangku, yang penting kau baik-baik saja. Kau tahu kita berdua sangan cemas kemarin, aku bahkan sampai ingin datang ke rumahmu. Tapi kau tahu ‘kan ... aku takut pada ayahmu,” ucap Nisa terkekeh.

“Terima kasih sudah mencemaskanku, tapi aku tidak apa-apa.” 

Zoya dan Nisa kembali memulai pekerjaannya, sedangkan Mila menatap Zoya penuh curiga.

‘Kau mungkin bisa membohongi Nisa, Zoya, tapi tidak denganku. Aku tahu pasti ada sesuatu, walau kau berusaha menutupinya, aku tahu itu wajah sedihmu,' batin Mila.

*** 

Setelah pekerjaannya selesai, Zoya menyalakan ponselnya dan benar saja langsung ada pesan masuk dari Azka.

[Zoya, kita harus bertemu! Ada yang harus kita bicarakan.]

‘Bagaimana ini? Apa jangan-jangan Azka sudah tahu?’ batin Zoya cemas.

“Zoya, ada Azka di luar,” ucap Nisa yang baru saja kembali dari tugas lapangannya.

“Apa? Bisakah kau bilang padanya aku tidak masuk kerja lagi?” pinta Zoya.

“Kenapa? Kalian sedang bertengkar?” tanya Mila yang sedari tadi mendengarkan.

“Maaf, Zoya. Aku sudah telanjur mengatakan kau ada ...,” ucap Nisa pelan.

“Apa perlu aku turun lagi dan bilang salah bicara?”

“Tidak, tidak apa-apa,” jawab Zoya lirih.

“Sebenarnya ada apa denganmu? Dua hari tidak bisa dihubungi, dan sekarang untuk pertama kalinya kau menghindar dari Azka,” tanya Mila hati-hati.

“Maaf, aku belum bisa cerita sekarang, tapi aku janji akan cerita nanti pada kalian. Kalau begitu aku pulang, ya,” pamit Zoya.

“Kau yakin tidak apa-apa? Atau aku temani saja?” tanya Nisa.

Zoya menolak tawaran lalu pergi menemui Azka.

Dari kejauhan Zoya melihat Azka tersenyum lebar padanya. Ada kerinduan yang sangat besar dalam hatinya, namun tetap tidak bisa mengalahkan kecemasan dan rasa takut akan kelangsungan hubungan yang telah lama dijalaninya.

“Zoya, kenapa wajahmu pucat sekali? Kau sakit?” tanya Azka meraih tangan Zoya.

“Tanganmu juga dingin.”

“Aku baik-baik saja, tidak apa-apa,” jawab Zoya enggan menatap mata kekasihnya itu.

*** 

“Ke mana saja kau dua hari ini, Zoya? Kau bahkan tidak menjawab teleponku ataupun membalas pesanku,” tanya Azka memulai pembicaraan saat keduanya memutuskan untuk bicara di sebuah kafe.

“Maaf,” jawab Zoya singkat.

“Apa kau sakit?” tanya Azka lagi, Zoya hanya menggeleng sebagai jawaban.

Azka menggenggam tangan Zoya dengan tatapan sendu. Walaupun Zoya tidak memberitahunya, Azka tahu kalau kekasihnya itu telah melalu hari yang berat.

“Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi, kau juga tidak perlu memberitahuku jika tidak mau,” ucap Azka menghela napas panjang.

“Maaf.” Lagi-lagi Zoya hanya memberikan jawaban singkat.

Perlahan Azka menarik tangannya, melepas genggaman tangan Zoya.

“Zoya ... sepertinya kita harus memikirkan lagi kelanjutan hubungan ini,” ucap Azka pelan sambil menunduk.

Zoya meraih lagi tangan Azka yang terlepas, menggenggam dengan lebih erat. Dia hanya menatap tajam tanpa berani bertanya.

Ada keraguan di hati Azka, tapi segera dia tepis. Azka mengangkat kepalanya dan menatap lurus pada Zoya.

“Kita akhiri saja!” tegas Azka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status