Share

3. Kecemasan

Hadi baru saja menyelesaikan tugas terakhirnya, berpatroli sebelum jam pulang.

“Aku dengar Pak Arya akan menikahkan anak perempuannya dengan keluarga Kavindra,” ucap Sapto, salah satu satpam yang bergosip dengan rekannya saat sedang serah terima pergantian jam kerja.

“Yogi Kavindra? Setahuku mereka memang sudah berteman sejak lama, dan sekarang akan jadi besan?” Rekannya yang bernama Rudi menanggapi.

“Apa yang kalian maksud itu adalah Zoya?” tanya Hadi, ayahnya Azka yang tak sengaja mendengar dari arah belakang.

“Iya, siapa lagi, anak perempuan keluarga itu ‘kan hanya Zoya,” jawab Sapto tanpa menoleh ke arah suara yang bertanya.

‘Apa Azka tahu hal ini?’ tanya Hadi dalam hatinya sambil berlalu memasuki ruangan untuk mengambil kunci motornya karena jam kerja sudah selesai.

“Hei, kenapa kau bicara begitu? Kau tahu ‘kan kabarnya anaknya itu punya hubungan dengan Zoya,” ucap Rudi pelan.

“Aku tidak sengaja, aku pikir bukan dia yang datang. Lagi pula memangnya kau percaya? Bisa jadi itu hanya bualannya saja, ‘kan?” balas Sapto.

“Dasar mulutmu itu,” cecar Rudi.

Hadi melajukan motornya menuju rumah sambil terus memikirkan apa yang didengarnya dari orang-orang tadi.

Saat sampai di rumah, dilihatnya Azka sedang mencuci motor kesayangannya. Hadi duduk tepat di kursi sampingnya.

“Azka, bagaimana hubunganmu dengan Zoya? Apa baik-baik saja?” tanya Hadi penuh kehati-hatian, dia tidak bisa menahan rasa penasarannya.

“Ada apa, Pak? Kenapa tiba-tiba tanya itu?” balas Azka tanpa menghentikan kegiatannya.

“Ti-tidak apa-apa, sepertinya sudah lama Bapak tidak bertemu Zoya.” Hadi menjawab dengan gugup, tidak tega menyampaikan apa yang sudah didengarnya.

“Iya, Azka. Kapan Zoya mampir ke sini lagi? Ibu kangen,” ucap Mina, ibunya Azka yang tiba-tiba datang sambil membawa secangkir kopi dan menyodorkannya pada Hadi.

“Loh, Ibu kok tahu Bapak sudah pulang? Bapak ‘kan belum masuk rumah,” tanya Hadi keheranan sambil menyeruput kopi buatan istrinya.

“Ibu ‘kan sudah hafal suara motor Bapak,” jawab Mina tersenyum.

Azka ikut tersenyum melihat tingkah kedua orang tuanya yang seperti remaja kasmaran, tetapi kemudian terdiam, terpikirkan apa yang terjadi pada kekasihnya karena tidak mendapat kabar apa pun selama dua hari.

*** 

“Pak, ada apa? Kenapa dari pulang kerja melamun terus? Bapak sedang memikirkan apa?” tanya Mina saat melihat Hadi terus termenung sendirian.

“Azka ke mana, Bu?” Hadi balik bertanya.

“Dia bilang mau menjemput Zoya,” jawabnya seraya duduk di samping Hadi.

“Apa yang Bapak pikirkan? Apa ada hubungannya dengan Azka?”

Hadi terdiam menatap lurus televisi di depannya, tapi Mina tahu suaminya bukan sedang menonton televisi melainkan memikirkan hal lain.

“Ya sudah, kalau Bapak tidak mau cerita, tidak apa-apa, Ibu tidak akan memaksa,” ucap Mina lembut.

“Bu ... bapak mendengar kabar yang tak enak di kompleks,” ucap Hadi ragu-ragu.

Mina menatap, bersiap untuk mendengarkan. Akhirnya Hadi pun menceritakan semua yang didengarnya dan juga kekhawatirannya.

“Bapak sudah bertanya pada Azka?” tanya Mina pelan.

“Bapak tidak berani, tapi tadi Azka bilang hubungan mereka baik-baik saja,” jawab Hadi.

“Ya sudah, apa lagi yang Bapak pikirkan kalau Azka berkata seperti itu, berarti memang tidak ada apa-apa yang harus dicemaskan, ‘kan?”

“Tapi, Bu ....” Hadi masih belum bisa menghilangkan rasa khawatirnya.

“Pak, bukankah kita sudah setuju untuk percaya dan menyerahkan semuanya pada mereka berdua? Sudah biar mereka sendiri yang atasi, kalau ada apa-apa Azka pasti akan memberitahu kita,” ucap Mina, menenangkan.

‘Ya, Ibu benar juga,' batin Hadi mengangguk-anggukkan kepalanya.

Hadi dan Mina, orang tua Azka, sempat tak yakin dengan hubungan anaknya. Apalagi mengetahui latar belakang keluarga Zoya yang dianggap jauh dari jangkauan mereka. Namun Azka selalu berusaha meyakinkan keduanya karena memiliki perasaan yang terlanjur dalam pada Zoya.

“Doakan saja semoga Zoya berjodoh dengan Azka, Pak,” ucap Azka setiap kali ayahnya mengingatkan.

Hadi dan Mina hanya orang biasa, sedangkan orang tua Zoya keluarga terpandang. Tentu saja rasa cemas akan hati anaknya selalu terlintas di pikiran Hadi, dia tidak ingin anaknya patah hati terlalu dalam. Namun Hadi juga tak bisa menentang apa yang sudah dipilih Azka, karena dia tahu anak muda yang tengah kasmaran tidak akan bisa mendengarkan perkataan orang lain.

*** 

“Tumben Kak Azka sudah pulang, katanya mau jemput Kak Zoya?” tanya Inaya saat melihat kakak laki-lakinya memasuki rumah.

“Iya, Kakak langsung mengantarnya pulang, tadi,” jawab Azka berbohong sambil berlalu menuju kamarnya.

‘Aneh, biasanya wajah Kak Azka selalu ceria kalau bertemu dengan Kak Zoya, kenapa sekarang terlihat lesu begitu?’ batin Inaya.

“Bu, Kak Azka lagi ada masalah dengan Kak Zoya, ya?” tanya Inaya pada ibunya yang hendak keluar untuk membuang sampah.

“Tahu dari mana kamu?”

“Biasanya setelah bertemu Kak Zoya, wajahnya selalu ceria. Tapi tadi Kak Azka kelihatan murung,” jelas Inaya.

Mina terdiam sesaat, teringat apa yang diceritakan suaminya.

“Mungkin hanya cape,” jawab Mina melangkahkan kakinya lagi.

‘Apa aku coba tanya saja? Tapi tidak, lebih baik tunggu Azka yang cerita lebih dulu,' batin Mina sambil berjalan.

Di dalam kamar, Azka berbaring di tempat tidurnya sambil memegangi ponselnya. Dia masih belum berhasil menghubungi Zoya.

“Zoya, sebenarnya ada apa denganmu?” gumam Azka.

Dia kembali menyalakan ponselnya dan mencoba menghubungi Zoya kembali, tapi tidak tersambung.

“Sudah dua hari kau tidak ada kabar, bahkan sampai tidak masuk kerja. Kau juga tidak mengabari Mila dan Nisa, lalu aku harus bertanya pada siapa? Kalau aku nekat mendatangi rumahmu, kau pasti akan marah, ‘kan?” Azka menghela napas kasar.

‘Apa ini ada hubungannya dengan apa yang aku bicarakan kemarin lusa?’ batin Azka mengingat percakapannya yang meminta untuk bertemu orang tua Zoya.

‘Kalau iya, aku harus bagaimana?’ ucapnya lagi dalam hati.

*** 

“Kak El,” panggil Zoya pelan di depan pintu kamar Elvan.

“Masuk, Zoy. Ada apa?” ucap Elvan sambil tetap fokus pada layar laptopnya.

“Kakak tidak ke kantor?” tanya Zoya berbasa-basi.

“Tidak, hari ini tidak ada jadwal penting, jadi semua bisa dikerjakan di rumah saja,” jawab Elvan.

Zoya duduk berhadapan dengan Elvan. “Maafkan aku, Kak.”

Elvan menghentikan aktivitasnya dan menatap Zoya. Dilihatnya Zoya sedang tertunduk sambil memainkan jari-jarinya.

“Kau sudah bertemu Bunda?” tanya Elvan, Zoya mengangguk.

Elvan menggenggam tangan mungil adiknya itu. “Aku tidak marah, semua yang kau katakan tadi itu memang kebenarannya, ‘kan?”

“Maaf, Kak. Aku tidak bermaksud seperti itu,” ucap Zoya lirih.

“Tidak apa-apa, Zoya. Kakak bisa mengerti.” Zoya tiba-tiba menitikkan air matanya, Elvan menggeser kursinya mendekat.

“Jangan menangis, kau menangisi apa? Ayah?” ucap Elvan menyeka air mata adiknya.

“Dengar, Zoya, kalau kau benar-benar memikirkan Azka, kau harus kuat! Jangan pernah perlihatkan kelemahanmu pada Ayah, berhentilah menangis dan pikirkan saja apa yang akan kau lakukan setelah ini.” Zoya mengangguk lemah.

“Kau tahu aku ataupun Bunda tidak akan bisa membantumu, tapi aku ingin mengatakan satu hal. Jangan sampai ada yang terluka dengan keputusan yang akan kau ambil nantinya. Kau tentu tidak akan bisa mengorbankan orang lain hanya demi kebahagiaanmu sendiri, ‘kan?”

Zoya menatap, mengerutkan dahi, tidak mengerti maksud dari ucapan kakaknya.

“Sekarang kau pasti tidak mengerti, tapi nanti kau akan mengerti maksudku. Aku juga pernah berada di posisi yang sama denganmu,” lanjut Elvan. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status