Share

5. Keputusan Azka

Saat sarapan, terjadi keributan antara Arya dan Dita. Arya meradang mengetahui Zoya tidak menurutinya dan pergi diam-diam.

Dita dan Elvan tentu menjadi sasaran kemarahan Arya. Elvan yang sudah terbiasa sengaja tak mendengar ocehan ayahnya itu dan tetap menikmati sarapannya dengan tenang.

Arya yang semakin meradang pun melakukan sesuatu untuk memperingatkan anak perempuannya.

“Mas, apa yang Mas lakukan? Kenapa harus sampai melakukan hal itu?” protes Dita pada suaminya.

“Ini peringatan untuk anak perempuanmu, kau terlalu memanjakannya sehingga dia jadi pembangkang seperti ini,” ucap Arya.

“Bukankah sifatnya sama sepertimu, Ayah, sama-sama keras kepala,” sanggah Elvan tak senang ibunya disalah-salahkan.

“Apa kau bilang?” teriak Arya pada anak laki-lakinya.

“Lihatlah, Dita! Bahkan kau juga gagal mendidik anak laki-lakimu, sebenarnya apa yang bisa kau lakukan sampai-sampai kehidupan kedua anakmu berantakan seperti ini?” lanjutnya lagi.

“Ayah! Apa kau lupa, aku hancur seperti ini pun karena mengikuti keinginanmu?” geram Elvan.

“Elvan!” teriak Dita, “sudah, kau berangkatlah bekerja! Ini sudah terlambat,” ucap Dita melembut berusaha menengahi.

Elvan menyudahi sarapannya dan bangkit dari duduknya.

“Aku harap Zoya tidak salah mengambil keputusan sepertiku! Semoga saja dia tidak mengikuti keinginan ayah agar hidupnya tidak berantakan sepertiku,” ejek Elvan pada ayahnya.

“Elvan! Dasar kau ....” Wajah Arya memerah karena emosi.

“Aku sudah bilang, ‘kan? Aku sudah memberinya kebebasan sejak kecil dan sekarang saatnya Zoya mematuhiku. Apa pun akan kulakukan agar anak itu tidak mempermalukanku! Untung saja Yogi dan keluarganya tidak jadi datang hari ini,” ucap Arya kesal pada istrinya.

“Aku akan ke kantor sekarang dan mungkin akan pulang terlambat. Saat anak perempuanmu itu pulang, lakukanlah tugasmu dengan baik!” perintah Arya.

‘Aku tidak akan bisa bicara pada Zoya, dia tidak akan mau mengerti. Kalau begitu tidak ada cara lain, aku harus menemuinya,' batin Dita.

Dita pun bersiap dan pergi menuju orang yang dia anggap bisa menyelesaikan masalah keluarganya.

*** 

Tin ... Tin ...

Suara klakson menghentikan laju motor Azka yang baru saja mengantarkan adiknya ke kampus.

‘Tante Dita?’ batin Azka sambil menyisi ke tepi jalan.

“Untunglah, bertemu denganmu di sini. Ada yang ingin kubicarakan, sebaiknya kita berhenti di tempat itu,” ucap Dita menunjuk sebuah kedai kopi.

Dita melajukan kembali mobilnya tanpa menunggu persetujuan Azka.

Azka pun mau tak mau mengikutinya dari belakang.

“Untunglah aku bertemu denganmu di sini, kau tidak bekerja, Azka?”

“Tidak, Tante. Kebetulan hari ini jadwal malam. Jadi tadi hanya mengantar Inaya ke kampus saja,” balas Azka sopan.

“Ya, Inaya sudah kuliah, ya. Kau anak yang baik, Azka. Tante sering mendengar tentangmu dari ibumu,” ucap Dita berusaha mencairkan ketegangan.

“Kau sudah bertemu Zoya?” tanya Dita tak mau lagi berbasa-basi.

Azka terlihat terkejut mendengar pertanyaan itu, tapi kemudian menjawab dengan biasa.

“Belum, Tante, rencananya siang ini aku akan menjemputnya ke kantor,” jawab Azka.

“Kau pasti terkejut, aku sudah tahu semuanya. Zoya sudah cerita. Aku juga tahu kalian tidak bertemu ataupun berkabar selama dua hari. Sepertinya Zoya juga belum memberitahumu apa-apa,” lanjut Dita.

“Ada apa dengan Zoya, Tante?” tanya Azka mulai khawatir.

“Dia baik-baik saja, tapi sepertinya hubungan kalian yang tidak akan baik-baik saja,” jawab Dita semakin membuat Azka tak karuan.

Azka masih terdiam, menunggu penjelasan Dita.

“Sebaiknya segera akhiri saja hubungan kalian! Aku bicara seperti ini bukan karena tidak menyukaimu, aku tahu kau laki-laki yang baik dan mungkin Zoya tidak akan menemukan yang lebih baik darimu, tapi ini demi kebaikan kalian berdua dan orang-orang di sekitar kalian juga,” jelas Dita serius.

“Apa maksud Tante, orang-orang di sekitar kami?” Azka mengerutkan dahi.

“Apa kau tahu apa yang sudah terjadi pada ayahmu?” tanya Dita.

Azka terperanjat mendengar ayahnya disebut. “Jadi ini ulah Ayah Zoya, suami Anda?”

Dita tersenyum kecut, “Berarti sedikitnya kau sudah tahu orang seperti apa suamiku itu.”

Azka terdiam, dia tampak berpikir keras.

“Suamiku orang yang bisa melakukan hal nekat demi mewujudkan tujuannya. Sekarang ayahmu ... mungkin nanti bisa ibumu atau adikmu,” ucap Dita, tapi Azka belum menanggapi.

“Kau pasti pernah mendengar kalimat, cinta tidak harus memiliki, memang terdengar klise tapi itu ada benarnya, Azka. Dalam hidupmu pasti ada yang lebih penting daripada cinta, ‘kan?”

Dita menatap Azka yang kini tertunduk, dia mengerti ini pasti sangat berat untuknya, apalagi hubungan keduanya sudah berlangsung bertahun-tahun.

“Aku tahu cintamu tulus untuk putriku, aku juga tahu kau akan bisa membahagiakannya, tapi bagaimana dengan orang-orang di sekitar kalian? Hubungan Zoya dengan ayahnya akan memburuk, bahkan mungkin dengan saudara-saudara yang lain juga, dan apa nantinya kau akan bisa menahan perlakuan suamiku pada orang tuamu?”

 Pertanyaan-pertanyaan Dita semakin menohok dan memojokkan perasaan Azka.

“Sekarang semua terserah padamu, buatlah keputusan yang terbaik untuk semua orang. Aku tahu kau mengerti maksudku,” lanjut Dita.

Dita meraih tasnya dan hendak beranjak dari duduknya. “Zoya tidak tahu kalau aku menemuimu seperti ini, kau tahu anak itu sangat keras kepala, dia tidak akan mau mendengarkan siapa pun, karena itu aku lebih memilih untuk bicara padamu. Jadi ... tolong jangan beritahu dia tentang pembicaraan kita ini.”

Dita pergi meninggalkan Azka begitu saja, sedang Azka masih menunduk tak berkutik, tangannya mengepal menahan amarah dan juga kekecewaan.

Azka sudah membuat keputusan dan pergi untuk menemui Zoya.

‘Aku sudah tahu semua akan seperti ini pada akhirnya, tapi tetap saja hatiku tidak bisa menahan rasa sakitnya,' batin Azka menitikkan air mata.

*** 

Saat sampai di rumah, Azka langsung mencari orang tuanya. Dia berjalan ke arah belakang rumah karena mendengar suara mereka di sana.

Azka berhenti, bersembunyi di balik dinding, mengamati orang tuanya yang tengah mengobrol. 

‘Ibu, Bapak, kalian masih bisa tersenyum seperti tidak ada yang terjadi. Padahal aku yakin kalian pun pasti sudah tahu alasan Bapak sampai dipecat,' batin Azka.

“Azka, kau pergi ke mana dulu? Kenapa lama sekali, tidak seperti biasanya,” tanya Mina, ibunya, saat tak sengaja melihat Azka berdiri di ambang pintu.

“Tadi Azka langsung menjemput Zoya dulu, Bu,” jawab Azka lemas.

“Zoya tidak diajak ke sini dulu?” tanya Hadi, ayahnya.

Azka langsung duduk dan bersandar di pangkuan ayahnya.

“Maafkan Azka, Pak,” ucapnya dengan pelan dan mata berkaca-kaca.

“Maaf karena Bapak sampai harus kehilangan pekerjaan,” lanjutnya lagi.

Hadi dan Mina saling menatap lalu mengelus rambut anak laki-lakinya, sedang Mina mengelus lembut pundaknya.

“Sudah, tidak apa-apa,” balas Hadi lembut.

“Maaf, Pak. Seharusnya dari awal Azka tidak keras kepala,” ucapnya lagi penuh penyesalan.

“Sudahlah, dari awal kita memang sudah memprediksinya, bukan?” ucap Hadi.

“Lalu bagaimana dengan kalian sekarang?” tanya Mina.

“Azka sudah mengakhiri semuanya,” jawabnya singkat.

Mina meneteskan air matanya, menyayangkan apa yang terjadi pada anak laki-lakinya.

“Anakku ...,” ucapnya memeluk Azka.

“Sudah, sudah, seperti katamu dulu, ‘kan? Itu artinya dia bukan jodohmu, ikhlaskan!” ucap Hadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status