Share

Third Marriage, My Last Love
Third Marriage, My Last Love
Penulis: Nurfainarah

1. Penolakan Ayah

Zoya termenung sendirian di kursi taman belakang rumahnya, dia teringat percakapannya dengan Azka siang tadi.

“Zoya, apa akhir pekan ini kau ada acara?” tanya Azka saat menjemput Zoya dari kantornya.

“Sepertinya tidak, ada apa?”

“Orang tuaku ....” Azka tampak ragu dengan apa yang ingin disampaikannya.

Zoya menggenggam tangan Azka dengan lembut, “orang tuamu kenapa?”

“Mereka ... ingin bertemu dengan orang tuamu, Zoya.”

Zoya melepas genggamannya, dia sesaat terdiam mendengar penuturan kekasihnya itu.

“Ada apa?” tanyanya lagi melihat reaksi Zoya.

“Azka ... ayahku memang tahu kalau kita sedang menjalin hubungan, tapi aku belum memberitahunya kalau kita berencana ke tahap yang lebih serius. Bisakah, kau menunggu sampai aku memberitahunya?” jawab Zoya dengan hati-hati.

“Baiklah,” jawab Azka berusaha menyembunyikan kekecewaannya.

“Maaf, Azka ... kau tahu ‘kan ayahku seperti apa? Tolong jangan salah paham, aku hanya tidak ingin orang tuamu tidak mendapat sambutan yang layak jika datang tiba-tiba,” ucap Zoya lirih, berusaha menjelaskan.

“Tidak apa-apa, Zoya. Aku mengerti.”

Azka berusaha memaklumi agar tidak membebani Zoya, dia pun sebenarnya tahu bahwa sejak awal hubungan mereka tidak mendapat restu dari orang tua Zoya.

*** 

‘Sepertinya memang sudah saatnya aku bicara pada ayah,' batin Zoya.

Saat masih terhanyut dalam lamunannya, Zoya dikejutkan dengan kedatangan Dita, ibunya.

“Zoya, kau sedang apa sendirian di sini?” tanya Dita seraya duduk di samping Zoya.

Zoya hanya menatap lurus tanpa menjawab, batinnya masih berkecamuk.

“Zoya, sayang, kenapa? Apa ada masalah?” tanya Dita lagi, khawatir melihat raut Zoya.

‘Pokoknya aku harus bicara pada Ayah dan Bunda sekarang juga, kamu pasti bisa, Zoya,' batin Zoya menyemangati dirinya sendiri.

“Bunda ... ada yang mau Zoya bicarakan,” ucapnya ragu-ragu.

Zoya pun menceritakan keinginannya, rencana pernikahannya dengan Azka, laki-laki yang sedang menjalin cinta dengannya sejak masa sekolah.

“Azka ... temanmu saat sekolah itu? Dia anak dari Mina, penjual kue langganan Bunda ‘kan?” tanya Dita memastikan. Zoya mengangguk pelan.

“Zoya, kau serius dengan ucapanmu itu?” tanya Dita terkejut mendengar penuturan anak perempuannya.

“Iya, Bunda,” jawabnya pasti.

“Zoya, ada apa denganmu? Bunda pikir kalian ini hanya cinta sesaat di masa sekolah saja, tapi ....” Dita menghela napas panjang.

“Kenapa kau tidak pernah cerita apa pun? Kau tahu ayahmu seperti apa ‘kan?”

“Kalau aku cerita, Ayah dan Bunda pasti akan menentang ‘kan?” dalih Zoya.

“Lalu dengan sembunyi-sembunyi seperti ini, kau pikir akan dapat persetujuan ayahmu?” hardik Dita.

“Bukankah dulu Bunda sudah memperingatkanmu? Putuskan hubungan kalian sebelum semuanya jadi rumit!”

Dita terdiam, tak habis pikir dengan sifat keras kepala anak perempuannya.

“Bunda akan bicara pada Mina besok,” ucap Dita menyebut nama ibu dari Azka.

“Jangan, Bunda. Aku mohon,” ucap Zoya cepat, dia terlihat panik.

“Maafkan aku, aku memang salah sudah menyembunyikan ini dari Bunda. Karena itu, aku bicara pada Bunda lebih dulu. Tolong bantu aku, Bunda.” Zoya memelas.

“Bunda tahu, Azka memang laki-laki yang baik. Tapi untuk bisa diterima oleh ayahmu tidak cukup hanya dengan baik, apalagi latar belakang keluarganya ....” Dita memijat kepalanya yang tiba-tiba terasa pusing.

“Bunda ....” Zoya berusaha membujuk ibunya agar mau membantu.

Zoya Cathelia Pradipta, anak perempuan satu-satunya dari pasangan Arya Pradipta dan Dita Cathelia.

Arya Pradipta yang seorang pebisnis sukses dan memang berasal dari silsilah keluarga terpandang, membuatnya memiliki pandangan yang sangat tinggi terhadap apa pun terutama status sosial. Namun tidak dengan kedua anaknya, Elvan dan Zoya.

Elvan, anak pertamanya, laki-laki yang lembut dan hangat, sedangkan Zoya gadis yang keras kepala. Namun keduanya memiliki persamaan, yaitu rasa simpati dan juga tidak setuju dengan pandangan ayahnya terhadap status sosial.

“Jadi kau masih berhubungan dengan anak rendahan itu?” tanya Arya yang tiba-tiba datang dengan nada ejekan.

“Ayah.” Zoya terkejut, mendapati ayahnya sudah berdiri di belakang mereka dengan tatapan tajam.

“Kau tahu apa pekerjaan orang tuanya?” 

Zoya tertunduk, tidak berani menatap ayahnya.

“Apa kau tahu, kalau Hadi, ayahnya itu hanya satpam di kompleks kita ini? Apalagi ibunya, penjual kue keliling yang sudah jadi langganan rumah ini.”

“Tahu, Ayah,” jawab Zoya pelan, masih tertunduk.

 

“Dan kau masih ingin menikah dengannya?”

“Ayah, apa hubungannya dengan pekerjaan orang tuanya?”

“Kita ini keluarga terpandang, Zoya. Ayahmu ini seorang pebisnis sukses.” Arya menepuk dada, membanggakan diri.

“Apa kata kolega-kolegaku nanti, jika mereka tahu besan kita hanya seorang satpam itu pun di kompleks perumahan kita sendiri?”

“Ayah!” Zoya sudah berkaca-kaca menahan tangis, dia tak ingin terlihat cengeng di depan ayahnya.

‘Tahan Zoya, jangan menangis. Kalau kau ingin menang dari Ayah, kau harus bisa lebih keras darinya,' batin Zoya.

“Kau tahu keluarga besar kita seperti apa, ‘kan? Setidaknya, pilihlah calon suami yang tidak akan membuatku malu saat menyebutnya sebagai menantu!”

“Mas, dengarkan Zoya dulu!” pinta Dita, berusaha meredam amarah suaminya.

“Lagi pula anak itu hanya pekerja kasar di pabrik kecil, apa yang bisa dia berikan padamu?” tambah Arya tak menghiraukan ucapan istrinya.

“Azka laki-laki yang baik, Ayah,” ucap Zoya lantang.

“Ayah tidak akan melarangmu jika hanya berpacaran dengan anak itu. Tapi jika untuk dijadikan suami, pilihlah yang tidak akan membuat malu keluarga besar kita,” tegas Arya.

“Tapi, Ayah ....”

“Jika kau memang ingin menikah, putuskan saja anak itu! Ayah akan carikan calon suami yang lebih pantas untukmu,” ucap Arya, Zoya tak bisa menahan air matanya dan mulai menangis.

“Ayah, aku hanya mencintai Azka,” ucap Zoya lirih.

“Bunda, bantu aku untuk bicara pada Ayah.” Zoya mencari pembelaan.

“Pernikahan itu tidak cukup hanya dengan cinta, Zoya. Suatu saat kau pasti akan berterima kasih padaku karena menentang anak itu,” ucap Arya, meninggalkan Zoya yang kini menangis di pelukan ibunya.

“Bunda, aku harus bagaimana?” tanya Zoya dengan terisak-isak.

‘Bagaimana ini? Apa yang harus aku katakan pada Azka dan keluarganya?’ batin Zoya.

Dita tak bisa berbuat apa-apa jika mengenai suaminya yang keras kepala, dia hanya bisa menenangkan Zoya dalam pelukannya.

Dita pun sebenarnya setuju dengan keputusan suaminya. Bagaimanapun, Zoya hanya akan mendapat perlakuan buruk dari keluarga besar Arya jika meneruskan hubungannya dengan Azka. Bagaimana tidak, di keluarga Arya tidak ada satu orang pun yang tidak memiliki harta dan jabatan.

Dulu Dita selalu merasa bangga pada anak-anaknya yang tidak terpengaruh cara berpikir Arya dan keluarganya. Dia bersyukur Elvan dan Zoya tumbuh menjadi manusia yang memiliki kelembutan hati dan rasa simpati.

Namun, Dita sama sekali tidak menyangka, bahwa hal itu akan membawa anak-anaknya pada kehancuran.

‘Semua ini salahku, karena memilih keluarga batu seperti mereka,' batin Dita menyalahkan dirinya sendiri.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nurfa Faiz
awal yang bagus, lanjut author
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status