Keesokan harinya.
Entah ramuan apa yang telah di campur dengan susu coklat hangatnya semalam., Bella merasakan ngantuk teramat sangat. Silau mata pada mentari pagi. Bella tergagap bangun, memutar bola mata berkeliling. "Apa aku masih di rumah Tuan Lorenzo?" Di kedip-kedipkan mata untuk menarik kesadaran. "Nyonya ..." Jantung Bella berdegup, ketika di hadapannya adalah pelayan tua dengan wajah patung hidup. Bagaikan masih tersangkut di mimpi buruk, tapi harus menyadari ini kenyataan. "Semua sudah di siapkan. Bangun dan menurut saja!" Bella tarik selimut ketika pelayan tua itu berjalan mendekat, tapi segera menuruni kasur setelah pelayan tua justru membuka lalu melipatnya. Bella menoleh cepat pada manequin yang tadi tertutup korden tempat tidur bergaya eropa itu. "Itu ... Apa ... Apa benar aku akan di nikahkan hari ini?" Pembicaraan semalam dengan keluarga Umberto jadi penarik kesimpulan. Bella berjingkat, pelayan tua sudah berada di belakangnya saat berbalik. Diberikan sebuah bathrobe putih, lalu menoleh ke arah kamar mandi. "Waktu mandimu 10 menit." "Bolehkah aku pikir-pikir dulu? Sampai sekarang saja, aku belum bertemu Tuan Lorenzo atau Hector atau siapalah dia." Bella mengharap mendapatkan bantuan sang pelayan tua, tapi justru menyodorkan sebuah kertas yang merupakan copy dari portal berita online di negara kecil bernama San Marino. 'Skandal Baru Keluarga Kerajaan.' Bella membaca tiap baris isi berita. Terpampang foto pria dan wanita aaling berhadapan di sebuah lorong, tapi wajah keduanya di blur. Bella bisa pastikan itu adalah dirinya di pesta topeng malam itu. Belum di jelaskan siapa dan dimana, tapi dari kolom komenan sudah penuh dengan dugaan itu adalah salah satu pangeran bernama Hector. Bella lemas. Ternyata ini bukan sekedar gertakan, tapi kenyataan tanpa berikan pilihan. Pertimbangan Bella saat ini adalah nenek dan adik laki-lakinya, jadi dengan langkah gontai dia memasuki kamar mandi. ** Dua jam berselang. Taman belakang rumah terubah skema, menjadi suasana chapel yang di kelilingi kebun bunga mini. "Dasar gadis desa, di rias seperti puteri kerajaan tapi tetap saja kampungan!" cemohoan Victoria. Kipasnya terkibas, seolah bersiap menghalau aroma menjijikkan yang akan lewat. Tapi berbeda dengan tanggapan Victor. Pria jangkung berambut klimis itu justru terpana. Walaupun Bella hanya mengenakan gaun putih bergaya simple, tapi siluet tubuh langsingnya terbentuk sempurna ini tak mampu membendung rasa kagum Victor sebagaimana laki-laki normal lainnya. "Victor ... Vic!" "Hmm?" Victor terkejut oleh goncangan saudari kembarnya, Victoria. "Ada apa?" tanyanya. "Kamu tidak ... Ah, lupakan saja!" Victoria lebih tertarik menanyakan hal lain, daripada keheranannya akan kekaguman Victor pada tampilan Bella. "Kau akan mengucilkan mereka kemana? Bukankah itu rencanamu buat menjauhkan para makhluk tidak berguna ini, iya kan?" Victor tersenyum smirk. "Surat resminya sudah di buat, tapi tempatnya rahasia!" godanya. Lebih menyenangkan membuat wajah jutek Victoria menjadi lebih terbakar amarah karena permainan emosinya. Victoria cemberut, tapi kemudian lebarkan senyum. "Ini dia. Drama tragedi yang sudah kita tunggu-tunggu!" Memang benar, Bella telah sampai di altar. Saling menatap itu kini tak terelakkan. Baik Hector, maupun Bella saling terpaku. Keduanya seperti sepasang alien beda planet, orang saling asing tapi di pertemukan pada waktu dan tempat sama-sama tak di inginkan. *** Seremonial singkat telah di lalui, kontrak perjanjian pernikahan juga sudah di tandatangani. Bella dan Hector di pertemukan kedua kalinua hari itu di sebuah kamar. Tak ada dekorasi rangkaian bunga, atau bahkan tatanan tempat tidur pengantin baru. Semua biasa saja, tidak mencerminkan perayaan bahagia layaknya pernikahan pada umumnya. "Sepertinya dia ... Memang anda. Benarkah?" Masih dalam balutan baju pengantin, Bella beranikan membuka percakapan. Bagaimana Bella bisa lupa pria pertamanya ini. Tubuh tinggi besar, dada bidang, kulit zaitun khas pria eropa meditarian, dan juga bulu-bulu halus di beberapa bagian. Hector terlihat lebih kusut daripada malam itu. Walaupun saat itu dalam siraman cahaya temaram, tapi Bella masih bisa mengenalinya. Sorot tajam ke arah luar jendela itu beralih menjadi lirikan dari gerakan setengah menolehnya. "Nona. Aku peringatkan kamu untuk pertama dan terakhir kalinya. Pergilah dari rumah ini. Sopir sudah menunggu di bawah. Dia akan mengantar kemanapun tujuanmu. Jangan kembali lagi ke sini. Lakukan demi hidupku dan hidupmu sendiri." Bella mencerna sejenak. Pilihan memang ada dua. Kemewahan tapi jadi boneka aturan orang kaya, atau tetap melarat namun bahagia dan dipenuhi cinta keluarga? "Bagaimana dengan status pernikahan kita, Tuan?" Rasa ingin tahu Bella. "Sudah di tulis dalam kesepakatan. Dalam 2 tahun kita bisa akhiri pernikahan ini. Uang kompensasi akan di berikan untukmu, selain tunjanganmu tiap bulan sebagai istri." Hector masih berbicara sambil membelakangi Bella. "Pernikahan ini hanya untuk membungkam skandal, bukan?" Pertanyaan Bella barusan di tanggapi Hector dingin dan membisu. "Baiklah. Saya paham. Maafkan saya kalau kesannya tiba-tiba datang ke sini mencari anda, tapi percayalah Tuan. Niat saya mencari kalung mendiang ibu saya yang hilang, dan bicarakan apa yang sudah terjadi di antara kita malam itu secara baik-baik." Hector menoleh perlahan, ucapan Bella spontan menggerakkan tubuhnya untuk menghadap padanya. "Itu kesalahan. Salahku mengira kamu wanita lain. Pakaian kalian mirip. Dalam keadaan mabuk, aku sulit membedakan. Justru akulah yang meminta maaf padamu, Nona." Hector mengakui secara gentleman. Dalam posisi berhadapan dengan saling bertukar tatapan begini, suasana berbeda tercipta. Hector dan Bella masih seperti alien beda planet, tapi ada hal lain tak terdefinisikan secara jelas. Napas Hector mendadak memburu. Tubuh Bella pemicunya. Darahnya mendidih mengingat malam bercinta panas mereka pertama kalinya waktu itu. Tapi Hector sadar, dia bukan sang pejantan yang bertemu pasangan dalam kumpulan serigala. Dimana akan terangsang bila takdir Luna itu adalah Bella. Oleh karena itu, tangannya segera menunjuk ke arah pintu. "Keluarlah sekarang, Nona. Anggap kita tak pernah saling mengenal. Pengacara pribadiku akan mengurus segalanya nanti." Harga diri Bella terusik. Pilihannya tertuju pada realita. Dia akan kembali ke hidupnya, lalu melupakan semua. "Baiklah. Selamat tinggal, Tuan." Bella masuk ke dalam kamar mandi. Butuh beberapa waktu untuk berganti dan menghapus riasan. Setelah selesai, Bella keluar kamar menuju ke lantai bawah. "Kamu akan pergi, Bella?" Pertanyaan bernada keheranan dari Victor. Pria itu memegang kunci mobil, dan berencana keluar rumah. "Iya, Tuan. Waktu cuti saya sudah habis," jawab Bella kaku. Sudah tak tahan berlama-lama di rumah yang sudah menjungkirbalikkan cerita hidupnya dalam semalam. "Si. Kalau begitu, aku yang akan mengantarmu," tawar Victor. Tatapannya jalang menelusuri tubuh Bella dalam balutan midi dressnya. Tak ada sungkan, Victor tunjukkan rasa tertarik pada Bella. Sebagai pria yang sudah pro menilai karakter wanita, dalam batin Victor memberikan poin sempurna untuk Bella. "Tidak perlu, Tuan. Kata Tuan Hector, sudah ada sopir yang ak ..." "Tidak Bella. Aku tidak suka penolakan." Victor meraih pinggang ramping Bella untuk di tuntun keluar bersama. "Maaf, Tuan. Saya takut Tuan Hector tersinggung." "Hector tersinggung?" Victor tertawa kecil. "Memang anak itu punya perasaan?" cemoohnya. Victor berusaha meraih pinggang Bella, meski untuk kedua kalinya Bella bergeser kembali menghindar. "Ayolah, Bella. Jangan terlalu naif. Aku bisa memberimu lebih dari yang ..." "Lepaskan dia, Victor!" Suara bariton tiba-tiba muncul, yang merupakan milik Hector. "Dia istriku. Aku sendiri yang akan mengantar Bella." Belum selesai keterkejutan Bella, Hector sudah berpindah di sampingnya. Bukan hanya berucap, tapi pinggangnya berganti di tarik Hector, sehingga kini dalam pelukan pria tinggi besar berstatus suaminya itu. Tatapan Bella membulat tercengang, ketika wajah Hector mendekat, lalu sentuhan bibirnya menekan dalam dengan gelora gairah menyengat ikut menjalar dalam tubuhnya.Benar saja, yang di maksudkan dengan Yang Mulia itu adalah Umberto. Bella dan Madame Maria di minta menunggu di depan ruangan dengan pintu kembar besar dan tinggi terbuat dari kayu oak tua yang megah. "Bella. Jaga sikapmu." Bella satukan kedua tangannya di depan dengan remasan kegugupan. "Akan aku usahakan, Madame. Kalau panik atau gugup, bicaraku sering tidak terkendali. " kejujuran Bella dimana sering terjadi. Bella akan banyak bertanya atau berbicara panjang dan lebar, bertujuan untuk mengurangi kecemasan tak terkendali dalam dirinya sendiri. Terlebih saat ini yang akan dia temui adalah seorang raja. Bella memang pernah bertemu dengan Umberto, di kala pertama menginjakkan kaki di rumah tersebut, tapi situasinya saat itu tidak baik. Umberto hanya menemui sebentar saja, sebelum akhirnya di bawa ke ruangan kamar pribadinya untuk beristirahat. Saat Bella menatap nanar pada pintu kembar di hadapannya, dapat di rasakan genggaman penuh kehangatan dari wanita di sampingnya. "Jangan ce
"Kepala keamanan? Apa dirimu mantan tentara?" Secara spontan, Bella menelusuri penampilan Madame Maria dari ujung kepala sampai ujung kaki. Hal ini Bella lakukan saat memutuskan melepaskan sepatu high heelsnya untuk melemaskan kaki, memijit-mijit sebentar, baru kemudian memakai sepatunya itu kembali. Duduk bersebelahan seperti ini membuat Bella busa melihat dengan jelas tampilan Madame Maria, dan Bellapun merasakan ada yang salah dengan itu semua. Rambut dominan putih dengan tatanan ke belakang membentuk cepol itu membuat kecurigaan Bella semakin besar. "Apa ini jati diri anda sebenarnya?" tanya Bella kemudian. Madame Maria menoleh dan berikan senyuman untuk Bella. "Kamu memang gadis urakan yang norak, tapi untung saja sebenarnya kamu itu pintar!" "Hei, aku tidak norak!" Ketidakterimaan Bella. Dia memang gadis yang berasal dari desa, dandanan juga biasa saja. Bella menyadari itu, tapi sebisa mungkin dengan keterbatasan yang dia milili, tidak membuatnya jadi orang yang terlalu kuno
'Aku akan mengirim seseorang untuk melindungimu. Kamu ... ' Itulah bunyi salah satu pesan terakhir dari Hector yang sempat di bacanya. Walaupun Bella hanya melihat dari notifikasinya saja, belum membaca keseluruhan. "Siapa kau?!" Pertanyaan bernada tegas dari salah satu trainer Bella yang ada di dalam ruangan. Pertanyaan sama dalam batin Bella. Ada dugaan kalau orang tersebut kemungkinan besar adalah yang di maksudkan Hector, tapi seorang wanita? Tua, lagi! Iya. Wanita yang baru datang itu berpostur lumayan tinggi untuk ukuran wanita, badannya sedikit tambun, dan umurnya di perkirakan Bella sekitar 60 tahunan. Penampilan lainnya adalah dia berkacamata dengan posisi agak melorot, sehingga mencerminkan kalau merupakan tipe plus atau untuk membaca jarak dekat, sebagian besar rambutnya berwarna putih atau beruban, dan membawa tongkat selain tas jinjing yang di kalungkan di lengan kirinya "Panggil saja aku Madame Maria," jawab wanita yang baru masuk dengan gaya bicara penuh percaya d
"Namamu Bella. Orang harus beranggapan kamu bertingkah laku cantik seperti arti dari namamu!" Bella terdiam. Kalau bersuara, apalagi melakukan pembelaan diri akan percuma. Dirinya akan tetap mendapatkan cercaan, bahkan berkesan mencari-cari kesalahannya. "Kami rasa kamu sudah mendapatkan penjelasan awal dari tuan putri." "Iya, saya sudah mendapatkannya," jawab Bella. Sebagai orang biasa, sebenarnya semua ini sangat menyiksa. Baru awal saja, sudah harus hadapi tempaan bahkan tidak pernah dia bayangkan dalam hidupnya selama ini. Tempaan itu di mulai dengan pelatihan attitude dari ketiga trainer tersebut. Hal yang di sebut kebiasaan jadi berbeda sekarang bagi Bella, dari cara duduk, berbicara, menjawab pertanyaan, dan lain sebagainya. Pada awalnya Bella tidak menyangka kalau training yang di maksud adalah tentang protokoler kerajaan, sehingga setengah dari pikirannya sekarang adalah reaksi dari orang-orang terdekatnya. Bukan training yang berhubungan dengan dunia showbiz atau enter
Sudah pasti yang menelpon itu Hector. Walaupun tak melihat layar ponselnya sendiri secara langsung, tapi Bella teringat akan ucapan Hector untuk menghubunginya setelah beberapa menit kedatangannya di gedung tersebut. "Cepat keluar dari sini!" Victoria memerintah dengan lantang. Ponsel Bella di letakkan di atas meja, kemudian membalikkan arah kursi sehingga kembali ke posisi seperti saat Bella pertama kali masuk. Asap rokok kembali mengepul. Bella hanya bisa menatapnya dalam diam. Setelah keluar bergegas dari ruangan, Bella mencari sang sekretaris yang di maksudkan oleh Victoria. Wanita tadi tidak ada lagi di mejanya, jadi Bella harus mencari lebih jauh. Baru setelah bertanya-tanya ke pegawai lain, barulah dia menemukannya di sebuah ruangan yang tidak jauh dari tempat tadi berada. "Oh, kamu orang yang sudah buat janji dengan nona presdir. Masuklah," ucap sekretaris dari Victoria. Bella masuk ke ruangan yang di maksud. Hal pertama yang dapat di lihatnya adalah sebuah meja panjang
Perasaan belum adanya cinta, tak membuat Bella berpaling pada pendiriannya. Yang dia tahu sekarang adalah dia mempercayai Hector. Saat ini, kepercayaan itu sudahlah cukup buatnya melangkah lebih jauh. Bella menatap ponsel, pada nama Hector yang tertera di layar di ganti sebagai pemegang kontak VIP. Senyum tipisnya merekah setiap saat mengingat wajah pria gentleman yang pernah di kenal Bella. "Nona. Masuklah." Bella buru-buru memasukkan ponsel ke dalam tas kerjanya. Panggilan untuknya adalah awal untuk memasuki hal baru. Sebuah ruangan terbuka untuknya. Bella merasakan perbedaan dari model seleksi training seperti yang dia tahu, karena dari sejak waktu kedatangan dan sejauh mata memandang, hanya dirinya berada di ruangan tunggu tersebut. Belum ada tanda-tanda kedatangan peserta lain untuk mengikuti seleksi. Bella tertuju pada kursi putar yang masih menghadap ke jendela membelakanginya. "Selamat pagi. Saya Bella Costa, pegawai dari Pak Victor Garibaldi." Bella memperkenal diri, ber