Terima kasih. Semoga suka.
Setelah makan malam, kakek pulang. Pria itu hanya ingin memastikan bahwa Bramasta benar-benar akan menikah.“Terima kasih, Kek.” Aqeela dan Bramasta mengantarkan kakek ke depan pintu utama.“Jangan tidur satu kamar,” ucap kakek tersenyum.“Apa?” Aqeela memicingkan matanya pada Bramasta.“Hati-hati, Kek.” Bramasta membuka pintu mobil untuk kakek. Pria itu meningggalkan rumah cucu kesayangannya yang merupakan pewaris dan perintis.“Besok, kita akan menikah. Keluarga kamu akan datang. Karena mendadak, jadi kita hanya acara keluarga saja,” jelas Bramasta.“Hey, Om. Tolonglah. Kita tidak usah menikah.” Aqeela bersimpuh di kaki Bramasta.“Kenapa kamu tidak mau menikah denganku?” tanya Bramasta yang ikut duduk di lantai.“Aku adalah pria yang paling diinginkan semua wanita,” tegas Bramasta.“Pertama karena Om adalah calon suami Kak Alina. Kedua, aku memang tidak berpikir untuk menikah,” jelas Aqeela.“Tidak akan menikah?” Bramasta menaikkan salah satu alinya. Menatap heran pada Aqeela.“Ya.
“Woaah!” Semua berteriak ketika Aqeela menjadi pemenang. Wanita muda itu meninggalkan saingannya di belakang. “Gila, Aqeela. Belum ada yang bisa mengalahkan kamu untuk tahun ini.” Rangga menyambut Aqeela yang turun dari motor. Pria itu merangkul dengan bahagia.“Sayangku.” Vio segera memeluk Aqeela.“Kamu benar-benar membuat semua orang kagum.” Vio mencubit pipi Aqeela. “Aww.” Aqeela masih merasa sakit pada pipinya. “Ada apa, Qeel?” Rangga segera memeriksa. “Tidak apa.” Aqeela tersenyum. Dia selalu berusaha menyembunyikan rasa sakitnya.“Qeel.” Key ingin memeluk Aqeela, tetapi dihalangi Vio.“Pelit sekali,” ucap Key kesal.Para pemenang naik ke atas podium untuk menerima piala dan hadiah. Aqeela mendapatkan juara satu. Wanita itu benar-benar berbakat secara mandiri karena terbiasa hidup di luar rumah. Jauh dari pengawasan orang tuanya. Dia dibedakan dengan Alina.“Qeel, kamu mau langsung pulang.” Rangga mengikuti Aqeela.“Ya. Kamu lihat! Mereka akan mengejarku.” Aqeela tidak mau be
Alina benar-benar tidak tahu siapa saja teman Aqeela. Dia kesulitan mencari adiknya. Ponsel pun tidak aktiv.“Kemana Aqeela pergi? Kenapa tidak bisa dihubungi?” Alina duduk di kantin rumah sakit. Dia sedang makan siang.“Alina, kemana kamu memindahkan Aqeela?” Dokter Fauzan duduk di depan Alina.“Dia kabur dari rumah sakit,” ucap Alina.“Apa? Bagaimana bisa? Bukankah ada begitu banyak penjaga?” Dokter Fauzan menatap Alina. “Fauzan, kamu tidak tahu. Aqeela itu nakal. Dia punya banyak teman preman. Itu juga yang membuat dia terluka,” jelas Alina kesal.“Aku benar-benar tidak mengenal Aqeela. Padahal dulu dia sangat imut dan menggemaskan.” Dokter Fauzan tersenyum.“Itu dulu. Sekarang berbeda. Apalagi dia tinggal di asrama kampus. Teman-temannya lebih banyak pria dari pada wanita,” tegas Alina.“Jadi, di mana Aqeela sekarang?” tanya dokter Fauzan.“Aku tidak tahu,” jawab Alina.“Dia memang tidak betah di rumah. Jadi, biarlah di hidup bebas di luar sana,” ucap Alina.“Kamu kakaknya, Alina.
Tangan Bramasta tanpa sengaja menerima panggilan dari Alina. Suara lembut wanita itu terdengar dengan jelas.“Aqeela kamu di mana?” tanya Alina.“Aku di….” Aqeela tidak berani menjawab. Dia tidak mungkin mengatakan bahwa dirinya sedang di rumah Bramasta. “Aqeela,” sapa Alina.“Aku di rumah teman, Kak. Kakak tidak perlu khawair.” Aqeela memutuskan panggilan. Dia masih berada di atas tubuh Bramasta.“Hah! Aku harus pulang.” Aqeela turun dari tubuh Bramasta. Dia membereskan ransel dan bersiap pergi.“Kamu tidak akan kemana-mana Aqeela,” tegas Bramasta melihat Aqeela yang sudah berdiri di depan pintu.“Kenapa jantungku berdebar? Apa aku sakit?” Bramasta memegang dadanya dan menatap Aqeela.“Tolonglah, Om. Kita tidak bisa menikah. Aku tidak mau disebut perebut calon suami kakakku. Hidupku sudah cukup susah, Anda jangan lagi menambah masalah.” Aqeela berlari menuruni tangga. Dia melihat dokter Diko yang baru akan masuk ke dalam mobil.“Dok, tunggu!” Aqeela mempercepat larinya dan mengejar d
Aqeela membuka mata ketika gorden dibuka oleh seorang wanita dengan pakaian serba putih.“Ah!” Aqeela merasa silau.“Maaf, Nyonya.” Wanita itu kembali menutup gorden. “Suster, pukul berapa?” tanya Aqeela memperhatikan kamar yang berbeda.“Pukul Sembilan pagi,” jawab wanita itu.“Oh. Apa dokter Fauzan sudah datang?” Aqeela menyadari ruangannya sangat berbeda dan mewah.“Aku lapar,” ucap Aqeela melihat sarapan yang telah tersedia di atas meja.“Anda sarapan saja dulu. Dokter akan segera datang.” Wanita itu tersenyum.“Aku akan mandi sebelum sarapan. Di mana kamar mandi?” Aqeela melihat sekeliling. Kamarnya benar-benar luas. Tidak seperti di rumah sakit.“Ini, Nyonya.” Pelayan membuka pintu kamar mandi.“Kenapa kamu memanggilku, Nyonya? Namaku Aqeela.” Aqeela tersenyum. Dia masuk ke kamar mandi.“Waaah. Kamar mandinya luas sekali. Batu hitam yang cantik.” Aqeela menutup pintu dan mandi. Dia keluar dengan baju handuk.“Suster, apa kamu melihat pakaian gantiku?” tanya Aqeela keluar dari ka
Bramasta meremas pena hingga patah ketika mendengarkan percakapan kedua keluarga. Pria itu tersenyum sinis.“Berani sekali dia lari! Brak!” Bramasta memukul meja hingga mengejutkan Beni dan Jesi.“Jangan main-main denganku, Aqeela.” Bramasta berdiri. “Cari, Aqeela!” teriak Bramasta.“Baik, Tuan.” Beni segera menarik Jesi keluar dari ruangan Bramasta.“Aqeela!” Bramasta berteriak.Alina keluar dari ruang operasi. Dia membersihkan diri dan bertemu dengan keluarga pasien. Wanita itu berhasil dengan baik.“Dokter Alina. Dokter Fauzan menunggu Anda.” Perawat berbisik pada Alina.“Terima kasih.” Alina keluar dari ruangan kerja dan pergi menemui dokter Fauzan yang telah menunggunya di koridor.“Ada apa, Dok?” tanya Alina ketika melihat dokter Fauzan yang duduk di kursi.“Kenapa kalian mengurung Aqeela?” Dokter Fauzan menatap pada Alina.“Aku rasa Anda tidak perlu tahu urusan keluarga kami. Pastikan Aqeela tetap aman di dalam kamarnya.” Alina menatap tajam pada dokter Fauzan yang telah berdir